Jinyoung melangkahkan kakinya menuju suara yang terdengar dari arah samping rumah yang baru saja ia masuki. Setelah ia membuka pintu kaca yang menghubungkan taman samping dengan bagian dalam rumah ia segera menuju gazebo yang terletak hampir di pojok taman. Untuk mencapai gazebo itu ia harus melawati kolam renang keluarga yang terletak di tengah-tengah taman. Jinyoung melambatkan langkahnya di jalan batu menuju gazebo – yang sengaja dibuat agar tidak merusak rumput taman, dan sebelum mencapai tempat dimana seseorang menggesek senar biolanya Jinyoung benar-benar menghentikan langkahnya. Jinyoung memejamkan mata menikmati alunan merdu yang dihasilkan oleh alat musik yang berasal dari Italia itu. Jinyoung amat sangat menyukai musik-musik klasik. Terlebih musik yang dimainkan oleh Mark Tuan.
" kau sudah terlambat datang Jinyoung. Jangan buang waktu dengan hanya berdiri di sana!" Jinyoung membuka mata kaget ketika mendengar suara bariton Mark yang anehnya masih memunggunginya sembari masih memainkan biola di tangannya.
" wooaa... bagaimana kau tahu aku sudah di sini?" Jinyoung menghampiri Mark dengan wajah takjub. Dan ini bukan pertama kalinya Mark melakukan itu. Mark selalu tahu bila Jinyoung datang walaupun ia sama sekali tidak sedang melihat ke arah pintu masuk – atau dalam kasus ini adalah pintu penghubung antara rumah dan taman dirumahnya. Ia selalu takjub dengan kelebihan Mark yang satu ini.
" kita mulai dengan ini, in G" Mark menunjuk salah satu halaman partitur di hadapan Jinyoung tak lama setelah Jinyoung siap dengan semua persiapan latihannya. Dan begitulah selalu pertanyaan Jinyoung berakhir dengan tak pernah mendapat jawaban dari Mark. Jinyoung memutar matanya menyerah dan mulai memainkan biolanya mengikuti barisan notasi yang tercetak dalam lembar partitur di hadapannya. Dan setelah itu keduanya melakukan kegiatan yang setiap minggu tak pernah berubah sejak tiga tahun lalu. Tepatnya sejak Jinyoung memutuskan mengikuti ekskul orchestra di sekolahnya.
" no no no apa yang kau lakukan Jinyoung?" suara bariton Mark menghentikan alunan biola Jinyoung.
" kau harus memainkannya dengan tegas di part ini" Mark memainkan biolanya memberikan contoh pada Jinyoung bagaimana seharusnya nada itu dimainkan. Jinyoung mengangguk dan mencobanya sekali lagi.
" lebih tegas lagi" ujar Mark kini menutup matanya untuk berkonsentrasi. Jinyoung mencoba lagi part yang dimaksud dan Mark hanya mengangguk (sedikit). Agaknya dia sudah cukup puas dengan permainan Jinyoung kali ini.
Latihan itu berlangsung selama kurang lebih 2,5 jam setelahnya dengan tidak lupa komentar-komentar Mark yang akan selalu menemani setiap lagu yang dimainkan Jinyoung siang itu. Jinyoung akan selalu patuh pada apa yang dikatakan Mark jika itu bersangkutan dengan musik. Karena ia selalu tahu Mark benar, bahkan sejak pertama ia dengar lagu yang dimainkannya tanpa kenal siapa Mark secara personality.
Dan ketika sang ayah mengenalkannya pada Mark – yang untungnya kala itu ditakdirkan menjadi tetangga barunya, Jinyoung dengan semangat 45 mengatakan pada ayahnya akan ikut ekskul orchestra setelah secara langsung mendengarkan permainan sang pianis jenius itu di rumahnya. Ayahnya tentu dengan senang hati mengizinkan, karena ia tahu betapa terpuruknya Jinyoung setelah kecelakaan yang mengakibatkannya tak dapat meneruskan hobby yang amat dicintainya.
" Mark, mau menemaniku minum kopi?" ujar Jinyoung setelah membereskan note partitur dan biolanya.
Di sinilah mereka di sebuah cafe setelah Mark – tentu saja – tidak bisa menolak Jinyoung dengan puppy eyes-nya 20 menit yang lalu setelah latihan mereka selesai.
" kau tidak perlu jauh-jauh kesini hanya untuk minum kopi Jinyoung. Di rumahku juga ada kopi kau tahu?" ujar Mark setelah sang pelayan selesai mencatat pesanan mereka dan pergi untuk menyediakannya.
" aku sedang ingin minum kopi di sini Mark" Jinyoung menopang dagu menjawab Mark.
Mark memutar bola matanya mendengar jawaban Jinyoung. " kau tidak 'sedang' tetapi 'selalu' ingin melakukan itu jika kau bisa Jinyoung."
" oh... kau mengenalku dengan baik Mark Tuan" Jinyoung tersenyum hingga matanya hanya menyisakan satu garis dan tentu saja kerutan-kerutan lucu di ujung garis tersebut. Jinyoung berkata jujur, namun sayangnya ia tidak tahu efek dari perbuatannya.
Mark menaikkan alisnya dan menarik napas pelan berusaha mengontrol debaran efek dari tingkah Jinyoung di depannya. ' ouh... kenapa dia memasang tampang tak berdosanya itu di depanku'.
Mark memang seorang pemusik yang jenius – setidaknya begitulah yang dikatakan coach dan penikmat musiknya tentu saja, namun ia tidak pernah mengerti mengapa irama jantungnya tak pernah bisa ia kontrol jika sudah berhubungan dengan Jinyoung. Bahkan sejak pertama kali ia bertemu dengannya 3 th silam. Mark sekali lagi menarik napas sebelum menghembuskannya perlahan. Ia harap dapat mengontrol detak jantungnya kali ini. Dan sepertinya usahanya kali ini sedikt berhasil, namun sayangnya Jinyoung salah mengerti.
Jinyoung mempoutkan bibirnya " ayolah Mark jangan begitu. Lagipula kau tidak rugi-rugi amat menemaniku kali ini" Jinyoung tersenyum di akhir kalimatnya.
Mark bingung kuadrat. Jinyoung salah mengartikan hal yang dilakukan Mark tadi sebagai keluhan. Dan ya Mark memang mengeluh tapi bukan karena ia mau menemani Jinyoung melakukan salah satu hobby-nya. Ia mengeluh tentang pengaruh temannya ini pada kesehatan jantungnya. Oh tapi apakah Jinyoung tahu tentang itu? Tentu saja tidak, jadi biarkan saja. Dan hal lain yang membuatnya bingung adalah kalimat terakhir Jinyoung. ' tidak rugi menemaninya? Yang benar saja!'. Dia – tentu saja – tidak pernah merasa rugi bisa menemani Jinyoung walaupun itu berarti melakukan hal-hal aneh yang disukai Jinyoung. Tapi ia benar-benar tidak mengerti yang diucapkan Jinyoung tentang itu.
" lihat Mark, hujan! " seru Jinyoung menunjuk ke arah luar cafe. Mark memutar arah pandangnya ke arah yang ditunjuk Jinyoung.
" kau senang bukan?" Mark kembali menatap Jinyoung yang berbinar didepannya. Dan Mark tidak dapat menahan bibirnya mengulas senyum melihat itu.
