In a Painfull

StevexTony

.

.

.

DLDR AJA, JADI YA TAU DIRI. GA SUKA GA USAH BACA.

"Yak, tidak. Kau tidak perlu melakukan itu" Kata ku pada wanita biru tanpa ekspresi didepanku.

"hhh" Wanita itu tenang dan duduk kembali fokus pada permainan kami.

Ya, kami. Hanya berdua di pesawat luar angkasa, terombang ambing dua hari tanpa amunisi setelah pertempuran sengit dengan makhluk besar jelek bernama Thanos yang akhirnya harus mengorbankan banyak nyawa termasuk anak didik ku, Peter Parker. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi, yang ku tahu sang penyihir memberikan Time Stone-nya kemudian beberapa saat kemudian wusss, semua menghilang. Teman bertempurku berubah menjadi debu.

Dan yang membuatku paling terluka adalah, Peter. Kenapa aku harus melibatkan anak tak berdosa sepertinya?

Benda segitiga yang menjadi permainan itu masuk kedalam lingkaran tanganku yang berarti permainan dimenangkan olehnya. Baiklah, membuatnya senang sedikit tak apa.

"Okay, kau menang kali ini. Look, that's think come inside me, you won. Game's over?" Kataku -pujiku.

"Hhh" Lagi-lagi dia tak berkata apapun hanya tatapan dingin suara aneh dari mulutnya.

"You won, and i lose. Are you happy now?"

"Yeah, i'm happy" -kata-katanya tak sesuai dengan mimik wajahnya, aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Ya, ini hari kedua kami disini. Dan besok adalah habisnya stok oksigen di kapal ini. Itu artinya akhir dari hidupku, ceritaku, akhir dari Iron-Man.

Mungkin tak ada salahnya membuat pesan terakhir untuk istriku, Pepper. Ya, Pepper Potts. Mungkin kalian bingung kenapa Pepper yang menjadi istriku. Aku menyayanginya, sungguh. Dia wanita cantik, mandiri, pintar, super sabar dengan segala sikap kekanakan dan egoisku. Apalagi yang kurang dari sosoknya? Yang mampu ku balas hanyalah dengan menyayanginya.

Aku mulai membuat video perpisahan itu. Dengan sisa tenaga yang ku punya, dengan segala kewarasan yang masih ku miliki. Hingga pada akhirnya mataku terpejam, aku lelah.

Aku tak mampu untuk membuka mataku, terlalu berat. Sesak, nafasku hatiku.

Apakah ini akhirku? Belum. Aku belum bertemu lagi dengannya.

Aku memang menyayangi Pepper. Tapi, ahhh sulit untuk mengatakannya. Okay aku akan mengatakannya dengan cepat.

Hatikumasihselalumengingatnyamencintaidiayangpergimeninggalkankusendiri.

Ya, dia. Detik ini, di penghujung hayatku, aku masih mengingatnya. Rasa sakit yang ia berikan padaku, pengkhianatan -mungkin. Aku tak tau, yang ku ingat saat itu setelah aku memukul wajah tampannya. Dia tetap membela pembunuh orang tuaku. Okay, aku menyadari disini aku yang salah. Aku masih belum menerima kenyataan saat itu bahwa orang itu dibawah pengaruh HYDRA.

Dia hanya berusaha menyadarkanku, dengan pukulan-pukulannya pada armourku. Sakit, bukan hanya tubuhku. Hati ku sakit. Setidaknya sedikit saja aku menginginkan ia memikirkan perasaanku saat itu.

"Dia temanku." Katamu.

Lalu aku apa? Selama ini aku yang berada disisimu, mendengarkan dan menjalankan semua kata-katamu okay meski berdebat terlebih dahulu. Tapi aku selalu disampingmu. Yang memelukmu dan menjadi lampu tidurmu. Yang kau katakan, dengan melihat Arc Reactor ku kau tau kau masih di jaman yang sama denganku. Dan tidak bermimpi atau tidur terlalu lama.

Kau yang mengatakan sendiri, bahwa akulah yang membuatmu nyaman. Kau juga selalu melindungiku dalam pertempuran-pertempuran itu.

"So do I" jawabku saat itu. Yang benar-benar mengiris hatiku.

Wajahmu mengeras. Lalu kau pukul aku bertubi-tubi lagi. Hingga kau hujamkan shieldmu tepat didadaku. Menghancurkan Arc Reactor pada armourku.

Sakit

Sakit sekali, rasanya.

Melihatmu pergi, meninggalkanku sendiri. Aku tak percaya kau sanggup lakukan itu padaku.

"Steve" Isakku saat ini mengingat kejadian beberapa tahun lalu.

Dan aku masih mengingat kata-kata yang kau ucapkan sebelum kau benar-benar pergi.

"You not my friend, Tony."

Kau berhenti.

"Kau adalah orang yang paling berharga untukku. Dan aku tak kan membiarkanmu termakan oleh dendam kebencianmu. I love you, Tony."

Kemudian kau pergi.

Meninggalkan ku. Tak hanya menghancurkan armourku, tapi juga hatiku.

"Steve"

"ughhh" desisku merasakan suatu kehangatan yang aneh.

Aku berusaha membuka mataku, dengan sisa-sisa kekuatan yang ku miliki. Ah, silau! Apa itu? Aku sudah tak sanggup berpikir lagi. Tubuhku sudah terlalu lemas, otakku sama sekali juga tak mampu berpikir. Yang kutahu, aku melihat seorang gadis yang bersinar di luar pesawat. Apa ia malaikat pencabut nyawa? Pikirku.

Kemudian beberapa saat kemudian, aku merasakan pergerakan pesawatku. Kami bergerak. Pesawat kami akhirnya mampu bergerak. Apakah kami akan selamat? Semoga.

Dan benar, beberapa saat kemudian aku lihat bumi yang kurindukan. Aku pulang. Syukurlah. Aku selamat.

Wanita biru, -ah Nebula. Ia Nebula. Membantu memapahku yang sudah tak bertenaga ini. Pintu kabin terbuka. Yang ku lihat pertama kali di bumi adalah birunya.

Mataku terpusat pada tatapan cemas pada mata biru indahmu. Penuh kekhawatiran, takut, dan lega?

Apa aku berhalusinasi? Apa lagi ketika kau berlari menyongsongku, menggantikan Nebula memapahku. Tidak, ini lebih dari hanya memapah. Kau begitu erat menggenggam pinggangku.

"I lost that kid, Steve..." lirihku menatap manik birunya begitu dalam, berusaha menahan air mataku agar tak tumpah.

"We lose, Tony." Ujarmu pelan, seakan takut membuatku semakin hancur.

Kau mengeratkan genggamanmu. Seakan-akan kau ingin memelukku, menguatkanki. Menyalurkan kehangatan yang selama ini begitu kurindukan.

"Tony, I m..."

"Oh my God!"

Pepper menghampiriku, kemudian memelukku.

Saat itu pula Steve melepas pelukannya padaku. Dan meski telah digantikan Pepper, rasanya tetap ada yang hilang. Aku menginginkan sentuhan itu lagi. Sentuhan tangan kekar yang melindungiku.

Kami hanya saling bertatapan meski Pepper yang berada dipelukanku. Aku tak peduli, yang ku inginkan aku tak melepas sinar lembut yang sejak dulu begitu membuatku nyaman.

.

Ya, setelah mendapat perawatan dari Bruce. Kami berkumpul, melakukan rapat singkat. Menceritakan segala apa yang ia bersama yang lain juga berperang melawan pasukan Thanos. Dan juga aku menceritakan pengalamanku bersama The Guardian.

"Jadi Tony, apa kau mengetahui sesuatu? Koordinat atau sesuatu apapun itu mengenai keberadaan Thanos saat ini?" Tanya Steve.

"Nope" Jawabku singkat

"Tony kau bertempur dengannya."

"Tidak, aku tidak melawannya. Aku hanya dilempar planet olehnya tepat diwajahku! Dan penyihir itu memberikan batu itu padanya. Aku memiliki pandangan, dan aku berpikir aku bermimpi."

"Tony, aku ingin kau fokus."

"Aku membutuhkanmu."

Kata terakhirku membuatnya terdiam. Birunya tersirat luka, penyesalan amat terlihat di wajah malaikatnya. Entah kenapa itu membuat ku kesal hingga aku meledak.

"Aku bertempur melawannya sendiri! Dengan orang-orang yang tak ku kenal! Aku kehilangan anak itu! Lalu kau tanya apa? Koordinat? Tidak! Aku tak memiliki koordinat apa pun untukmu! Kau selalu bilang apa? Bersama?" racauku. Aku rasakan kepalaku memanas, nafasku terengah-engah dan emosiku semakin memuncak. Tanpa ku sadari aku telah melepas selang infus ditanganku.

Amarah sepertinya kini telah menguasaiku, aku mendekatinya. Aku lepas Nano Reactorku dan ku berikan padanya.

"Ini, ambil ini. Kemudian bertempurlah sendiri dengannya." Desisku tepat didepan wajahnya.

Wajah tampannya penuh dengan penyesalan aku tahu itu aku terlalu memojokkannya, menyalahkannya. Dia hanya diam hingga semua gelap. Aku tak tau lagi apa yang terjadi.

.

Normal Pov

Tony Stark mengalami Collapse, serangan jantung ringan. Ia berada dalam ruang perawatan Bruce Banner. Sedangkan Pepper dengan setia menemani disampingnya

Steve, sang Captain America. Orang yang juga menawan hati si billiuner playboy jenius itu hanya mampu berdiri mengamati dari luar ruangan kaca itu.

Ya, ia mencintai Tony. Sampai saat ini hatinya tak berubah.

Sungguh, ia tak berniat meninggalkan Tony atau membiarkan Tony bertarung sendiri melawan Thanos. Mungkin ia terlalu keras. Tak seharusnya ia, pergi begitu saja meninggalkan Tony saat di Siberia dulu. Mungkin kesalahannya tak terampuni. Dan ia sungguh-sungguh tak menginginkan orang yang dicintainya menjadi pembunuh, ataupun harus kehilangan sahabatnya di tangan orang yang ia cintai. Waktu itu Steve benar-benar dilema. Dan ia terpaksa melakukannya, karena Tony telah buta oleh kebencian.

Pepper melihatnya. Kemudian menghampiri Steve diluar.

"Masuklah."

Steve mengangguk dan mengikuti Pepper.

"Kau lihatkan, ? Ia terlalu banyak menerima rasa sakit, kan?" Wajah Pepper memerah menahan isak, lalu melanjutkan, "Kau tau? Selama ini ia tak dapat tidur nyenyak. Setiap malam aku melihatnya menangis dalam tidurnya, memanggil namamu?"

"Sangat sulit, untuk mengembalikan Tony menjadi seperti semula setelah kau pergi. Sangat sulit untukku mengobati semua luka yang kau berikan padanya, Mr. Rogers. Dia percaya padamu, padamu janjimu untuk selalu bersama."

"Ku mohon, biarkan ia bahagia." Pepper kini tak mampu lagi menahan isakannya.

Kembali, lagi dan lagi wajahnya seakan ditampar berkali-kali. Hatinya sakit, ya dia salah. Steve sangat merasa bersalah meninggalkannya, meninggalkan orang yang dicintainya.

Begitu bodoh.

Steve tak berkata apapun, ia hanya mendekati Tony. Mengecup keningnya lembut.

"I'm so Sorry, Tony." Bisik Steve walaupun ia tahu, Tony tak akan mendengar ucapannya.

Kemudian ia pergi meninggalkan ruangan itu, dengan Pepper yang menangis melihat keadaan suaminya yang sangat rapuh. Juga hatinya yang terkoyak tahu bahwa kedua insan itu memiliki ikatan yang tak terpisahkan.

'Apa yang harus ku lakukan, Tony? Katakan padaku? Kalian saling mencintai, tapi juga saling menyakiti. Aku hanya ingin menjagamu, love.'

.

"Steve, don't..."

.

Yapp...ini murni imajinasi saya, saat nonton Endgame, You know, saya benar2 seperti melihat Stony dalam film itu... saya begitu mencintai ship ini...

Yahh begitu lah

Lanjut Tydaa?