Jimin, 3 years old

Seketika, Jimin kecil terbangun dari tidur siangnya saat suara petir terdengar begitu keras. Karena takut dengan suara petir yang menurutnya begitu menyeramkan, Jimin kecil turun dari ranjangnya yang tidak terlalu tinggi. Berjalan ke luar kamar untuk mencari seseorang yang bisa membuatnya aman.

Jimin kecil terus berjalan sampai dia berada di ruang tengah. Terlihat dua orang dewasa yang sedang berbicara dengan nada tinggi di ruangan tersebut. Seorang namja dengan setelan jas hitam dan seorang yeoja dengan dress merahnya. Appa dan Eomma Jimin.

Jimin kecil yang tidak tau apa-apa langsung berlari menghampiri dua orang itu. Dan dengan polosnya menarik ujung dress merah sang eomma.

"Eomma.. chim tatut. Peyuk~" Jimin kecil mengangkat dua tangannya bermaksud ingin dipeluk sang eomma.

"Aku sibuk. Pergi kekamar sana!" bukannya memeluk dan menggendong Jimin kecil yang sedang ketakutan, yang dipanggil eomma itu malah membentak dan menolak permintaan Jimin kecil.

Jimin kecil tidak menyerah, karena sekarang dia benar-benar ketakutan. Lalu Jimin kecil memandang ke arah sang appa, berharap sang appa mau memeluknya. Belum sempat Jimin kecil berkata apa-apa, sang appa sudah membentaknya.

"Apa kau tidak dengar? Cepat pergi ke kamar dan jangan ganggu kami!"

'Chim hanya ingin dipeluk appa dan eomma.'

Jimin kecil hanya bisa menundukkan kepala mendengar perkataan sang appa. Akhirnya Jimin kecil berjalan kembali kekamar, walaupun sebenarnya dia masih sangat ketakutan sekarang. Jimin kecil berbaring di ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Menangis lirih tanpa ada seorangpun yang memeluk dan berusaha membuatnya tidak ketakutan lagi.

.


.

Jimin, 6 years old.

Hari ini adalah hari pertama Jimin kecil masuk SD. Jimin sudah rapi dan siap berangkat. Bocah chubby itu berlari keruang makan untuk memakan sarapannya. Dilihatnya appa dan eomma sudah berada diruang makan lebih dulu. Jimin menyapa appa dan eommanya dengan riang khas anak kecil.

"Pagi appa. Pagi eomma."

Tidak ada jawaban. Dua orang dewasa itu terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sampai tidak menjawab sapaan sang anak. Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah Jimin. Tapi seolah tidak terjadi apa-apa, Jimin melanjutkan acara sarapannya.

"Appa dan eomma hari ini mau mengantar Chim ke sekolah?"

"Aku sibuk."

"Kalau eomma pasti bisa, iya kan?"

"Jangan harap. Aku punya hal lain yang lebih penting untuk kukerjakan."

'Tidak bisakah appa dan eomma membuang sedikit waktu kalian untuk menemaniku sebentar saja?'

Raut kekecewaan diwajah Jimin semakin terlihat. Padahal dia hanya ingin hari pertama sekolah ditemani appa dan eommanya. Tapi mereka selalu sibuk dan tidak pernah punya waktu untuk Jimin.

.


.

Jimin, 9 years old.

Jimin berjalan kearah ruang kerja sang appa, sambil membawa sebuah kertas ditangan kanannya. Ketika sampai didepan ruang kerja appanya, Jimin langsung masuk dan berlari ke arah seorang namja yang sedang duduk di kursi kerjanya .

"Appa~ coba lihat. Jimin naik kelas dan dapat juara satu~" ujar Jimin dengan riang.

"Kenapa tidak mengetuk pintu dulu? Apa kau tidak diajari sopan santun oleh gurumu?"

"Ma-maaf. Maafkan Jimin appa" senyum diwajah Jimin seketika lenyap. "Lain kali Jimin akan mengetuk pintu terlebih dulu."

"Sekarang cepat keluar dan jangan menggangguku lagi."

"Iya appa." Jimin menundukkan kepalanya dan keluar dari ruangan sang appa.

'Aku hanya ingin menunjukkan pada appa bahwa aku adalah anak yang pantas untuk appa banggakan.'

Jimin meninggalkan ruang kerja sang appa dan berjalan lesu menuju kamarnya. Jimin tidak sadar bahwa sang eomma sedang berjalan dari arah berlawanan. Karena Jimin terus saja menunduk dan sang eomma yang terlalu serius dengan handphone yang sedang dipegangnya, akhirnya mereka bertabrakan.

"Oh tuhan handphone ku!" melihat handphonenya jatuh ke lantai sontak saja membuat sang eomma berteriak marah. "APA KAU TIDAK PUNYA MATA HA! Lihat. Karena perbuatanmu sekarang handphone ku jadi rusak seperti ini!" Sang eomma semakin marah ketika tau layar handphonenya retak dibeberapa bagian.

"Ma-maafkan Jimin eomma. Jimin benar-benar ti-tidak sengaja."

"Ck. Dasar tidak berguna."

Mendengar perkataan sang eomma, Jimin hanya bisa menahan tangisnya. Bahkan kertas yang sedari tadi dipegangnya kini sudah kusut parah dibagian sudut atas, karena Jimin begitu kuat meremasnya.

'Di mata eomma, handphone itu lebih berharga dari pada aku.'

.


.

Jimin, 12 years old

"Kenapa diam saja? Ayo cepat dimakan!"

"Tapi eomma..."

"Cih. Aku mengajakmu kesini bukan hanya untuk memandangi makananmu saja. Sudah untung aku mau mengajakmu."

"Iya eomma..."

Jimin hanya mengaduk-ngaduk makanan yang ada di depannya tanpa sedikitpun ada niat untuk menikmati makanan itu. Tapi perintah dari sang eomma mengharuskannya untuk segera makan. Atau kalau tidak, eomma nya akan kembali marah.

Jimin menyuapkan sendok berisi kuah sup kepiting miliknya. Terlihat ekspresi Jimin yang seakan ragu-ragu harus memakannya atau tidak. Saat menelanpun Jimin seakan ingin langsung memuntahkan makanannya.

"Uhuk" Jimin terbatuk setelah menjatuhkan sendoknya.

"Kau!-" Eomma Jimin yang awalnya ingin memarahi Jimin karena sudah menjatuhkan sendoknya seketika berhenti berteriak setelah melihat raut wajah anaknya itu. Eomma Jimin berpikir Jimin memuntahkan makannya karena dia tidak menyukai sup kepiting itu.

"Uhuk uhuk" Jimin terus saja terbatuk sambil memegangi lehernya. Tenggorokannya terasa panas, gatal dan tidak nyaman. Bahkan mata Jimin sekarang dipenuhi air mata karena ia terus saja merasakan tenggorokannya yang sakit.

"Kau ini benar-benar merepotkan. Tidak bisakah kau membiarkanku makan dengan tenang?!" Eomma Jimin menarik tangan Jimin dan mengajaknya keluar dari restoran.

'Eomma... apa eomma tidak tau kalau aku alergi kepiting?'

Sepanjang perjalanan pulang, Jimin terus saja menangis tanpa suara. Tenggorokannya masih terasa sakit, tapi hatinya lebih sakit lagi. Mengetahui bahwa eomma nya sendiri tidak mengetahui apa-apa tentang dirinya. Dan malah memberikan apa yang seharusnya Jimin hindari.

.


.

Jimin, 15 years old

"Haaaah.. aku bosan sekali disini. Kapan aku boleh pulang?"

Jimin berjalan menuju kamarnya setelah hampir selama satu jam berada di taman rumah sakit. Anak itu menghembuskan napas pelan saat melihat keadaan kamarnya yang sama sekali tidak berubah sejak satu jam yang lalu. Pertanda bahwa belum ada orang yang mengunjunginya hari ini.

Jimin duduk di tempat tidur dan memandang kearah luar melalui jendela kamarnya. Sekali lagi, anak itu menghembuskan napas.

"Apa mungkin appa dan eomma benar-benar sedang sibuk? Hingga menjengukku pun mereka tidak sempat."

Sudah tujuh hari ini Jimin dirawat di rumah sakit. Tapi selama tujuh hari itu pula Jimin belum bertemu dengan appa maupun eommanya. Satu kalipun appa dan eomma Jimin belum menjenguk Jimin di rumah sakit. Dan tentu saja membuat Jimin sedih.

Keadaan ini membuat kondisi Jimin makin drop dari hari ke hari. Jimin yang seharusnya hanya butuh waktu tiga hari untuk perawatan, mau tak mau harus berada di rumah sakit lebih lama lagi. Karena kondisinya tidak menunjukkan peningkatan yang berarti.

"Bahkan aku tidak yakin appa dan eomma tau kalau aku sakit".

..


..

Seandainya diberi kesempatan untuk memilih di keluarga mana aku akan dilahirkan, aku tidak akan memilih untuk dilahirkan di keluarga mana. Keluarga kaya yang akan memenuhi semua kebutuhan dan menjamin kebahagiaanku dengan uang yang mereka miliki, atau keluarga yang serba kekurangan dan tidak bisa memenuhi segala kebutuhanku, aku tidak peduli.

Tapi kalau di beri kesempatan untuk memilih kapan aku dilahirkan, aku akan meminta dilahirkan pada waktu yang tepat. Saat kedua orang tua ku sudah saling mencintai satu sama lain dan mengharapkan kehadiranku di dunia ini.

Karena sangat menyakitkan ketika aku berada di tengah-tengah orang yang sama sekali tidak mengharapkanku. Dan malah menganggap kehadiranku adalah sebuah petaka bagi mereka.

.

.

.


Hey! Say! JUMP – Memories

25 November 2016