Due to technical problems I'm unable to access my Ris-Ndut777 account. Jadi cerita ini saya upload lagi. Mohon maaf untuk para reader yang telah menunggu kelanjutan dari Comfort Woman selama ini. Please enjoy.
Disclaimer: I Do Not Own Naruto, all materials belong to The Great Masashi Kishimoto
Warning : AU (banget,banget!), OOC (sudah pasti), Rated M (Ini darkfic pertama saya dalam Bahasa Indonesia! Lemon-ish, aaand FULL of Violence!) Please, masih ada kesempatan untuk cari fic lain yang lebih "sehat" jika anda kurang dari 18 tahun sangat, sangat, sangat dianjurkan untuk meng-klik "Back" (di lain pihak, semua pilihan tetap diserahkan pada masing-masing pembaca) :D
Do Not Like Do Not Read! Author tidak menerima flames dalam bentuk apapun! Di lain pihak, opini dan masukan sangat author harapkan terutama dari author-author senior.
Aku sudah tidak ingat namaku lagi, bahkan aku berusaha melupakannya.
Ya, melupakan namaku, keluargaku, rumahku, tanahku, semuanya...
Semuanya,...
Termasuk dia...
Sai...
Kekasihku...
COMFORT WOMAN
Rated : M
Genre: Drama, Angst
Main Characters: Sasuke & Sakura
Setting: Indonesia, tahun 1942 (Bwahahahaha!)
Flashback
Sakura's POV:
"Apa benar hanya segini yang akan disekolahkan?" tanya seorang laki-laki Jepang yang kini sedang berdiri di depan mobil jeep yang sudah diisi oleh tiga orang gadis muda dari Desa Jati (mohon maaf, nama desa di sini hanya karangan, jika ada nama desa yang mirip semuanya hanya kebetulan belaka). Laki-laki Jepang itu berdiri di hadapan Kepala Desa yang dari tadi hanya manggut-manggut ketakutan.
"Be-benar, Shikamaru-san... hanya segini..." ujar Kepala Desa Jati. "Di desa ini kebanyakan yang ada pemuda..."
Laki-laki Jepang bernama Shikamaru tersebut mencibir, namun matanya langsung tertuju pada Inu—gadis muda yang duduk di sampingku di atas jeep, yang sama-sama akan bersekolah ke kota. Shikamaru yang tadinya mencibir jadi tersenyum begitu melihat Inu. Dalam sekejap air mukanya langsung berubah, jika tadinya dia tidak puas melihat jumlah gadis-gadis yang hendak berangkat ke kota, sejak melihat Inu ia langsung mengangguk-angguk, dan berkata: "Baiklah, kalau begitu saya akan pergi. Yah, kalau memang hanya segini anak gadis yang mau pintar..." ucapannya sedikit mengejek Pak Kades.
Tak lama aku mendengar mesin mulai dinyalakan, Shikamaru-san membungkuk asal-asalan pada Pak Kades sebelum masuk ke dalam jeep, dan duduk tepat di sebelah Inu yang agak gelisah melihat gelagat laki-laki Jepang itu. Aku sendiri tak bisa berbuat banyak, bukan hanya dia yang gelisah, akupun gelisah. Kami memang tidak tahu apa-apa, namun sejak Jepang datang, dan Belanda kabur, kami cukup merasa senang apalagi sekarang Jepang menawarkan sekolah bagi gadis muda di kota. Mobil yang kami tumpangi nampak menjauhi desa kelahiran yang sangat kami cintai, perlahan-lahan sosok Pak Kades hilang ditelan Bumi saat mobil bergerak semakin cepat.
"Ke-kemana kita akan pergi, Shikamaru-san...?" aku bertanya takut-takut pada laki-laki yang duduk di samping Inu.
"Ke Kota. Nanti kalian akan diberi pelatihan dulu." Jawab Shikamaru.
"Oh." Jawabku singkat. "Ka-kapan kita bisa dikirim ke Tokyo...?"
"Nanti." Ia tersenyum datar, dari nadanya ia nampak agak kesal karena terus-menerus kutanya. Aku mengangguk saja. Namun lagi-lagi begitu pandangannya melihat ke arah Inu, air mukanya segera berubah. "Inu-san... kamu kenapa, huh?"
"Sa-saya... takut... Tuan..." jawab Inu ketakutan, terlebih ketika Shikamaru memegang tangan Inu, aku sendiri merasakan ada hal yang aneh. "Kenapa kamu takut...? Ada saya di sini..." laki-laki itu semakin genit saja. Sebelum aku hendak melerai tangan laki-laki brengsek itu, seorang tentara Jepang lain yang duduk di bangku supir berteriak: "SHIKAMARU-SAN! Tunggu instruks Chudancho*i!"
Shikamaru segera melepaskan tangan Inu, aku semakin bertanya-tanya, aneh sekali tingkah para tentara ini. Shikamaru mengeluh. "Hai, Hai, Juugo-san. Aku mengerti..."
Aku merasakan Inu memegang erat jemariku, ia menunduk ketakutan, tak lama aku melihat airmatanya menetes. Hatiku semakin tidak tenang, aku merangkul tubuhnya perlahan, dan berbisik. "Inu, semoga semua baik-baik saja..."
"I-iya..." gadis sepermainanku itu menjawab pelan. Inu memang cantik, rambutnya yang agak kepirang-pirangan memang menjadi daya tarik, maklum saja dalam darahnya mengalir darah Belanda dari pihak ayah, sedangkan ibunya kembang desa. Kedua orangtuanya sudah meninggal, baru seminggu yang lalu, alasannya? Ditembak Jepang, hah sekarang semua jadi serba salah. Aku memang tidak suka orang Belanda namun ayah Inu adalah Belanda yang baik. Itu sebabnya, tak heran Inu jadi sangat takut pada orang Jepang.
Oh, ya satu orang lagi yang ikut bersama kami untuk disekolahkan oleh Jepang adalah Tenten, putri pedagang Cina yang tinggal di desa kami sejak lama. Tenten sejak tadi tak berkutik, ia menangis semalaman karena dipaksa untuk ikut bersekolah, padahal besok adalah hari ulangtahunnya yang ke tujuh belas. Aku berusaha bicara dengannya, namun tak satupun ucapanku yang dibalas. Aku hanya menelan ludah, tidak apa-apa, ujarku dalam hati, yang penting besok kami sudah bisa sekolah.
Namun hati kecilku sendiri berteriak, mungkinkah aku akan kembali lagi ke desaku? Mungkinkah aku akan bertemu lagi dengan kekasihku?
Sai... semoga saja firasatku ini tidak benar...
Dua hari berselang:
"Bangun, bangun! Semuanya harus segera turun! Kita sudah sampai di barak!" Shikamaru membangunkan kami bertiga, Inu nampaknya sudah sedikit tenang setelah kenyang tidur sepanjang malam di perjalanan, begitu juga Tenten.
Kami bertiga pun turun pelan-pelan. Tak lama sang supir, Juugo mendatangi kami dan membantu kami turun dari jeep yang lumayan tinggi tersebut. Saat dia membantuku, dia menatap mataku dan berbisik. "Berhati-hatilah..."
"Ah?" aku bertanya, setengah berbisik pada Juugo.
"Kalian harus lari..." dia berkata lagi. Aku terdiam, firasatku semakin tidak enak. Namun sebelum sempat aku membalasnya, Shikamaru mendatangi kami dan menyuruh kami berjalan memasuki barak. Sekali lagi aku memandang Juugo yang berdiri di samping mobil, dan memandangi kami dengan tatapan aneh, tatapan... kasihan.
Tatapannya semakin tajam diiringi dengan gelengan kepala. Seakan-akan dia hendak mengatakan: "Jangan!" atau "Pergi!" kepada kami. Namun aku tidak menghiraukannya, aku membiarkan diri untuk memasuki barak meninggalkan Juugo sendirian di samping jeep yang membawa kami dari desa.
Tak dinyana... detik itu adalah detik di mana aku sangat menyesali perbuatanku...
Juugo tidak sekedar menggeleng, dia... memberi peringatan pada kami...
Untuk lari...
Untuk menyelamatkan diri kami...
Aku tidak akan pernah memaafkan diriku selamanya...
Begitu kami memasuki barak, segerombolan tentara Jepang yang sedang beristirahat, dan duduk-duduk segera berdiri dan berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak kumengerti, beberapa bahkan bersiul-siul, dan mereka nampak bertanya pada Shikamaru-san yang berjalan memimpin kami. Shikamaru sendiri nampak tertawa menjawab mereka, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan namun rasa-rasanya bukan hal baik.
Pada barak tersebut ada beberapa bagian yang dibangun dari sisa-sisa gedung milik Belanda. Shikamaru terus menggiring kami bertiga menyusuri lorong dari gedung tua tersebut, tak lama dia menunjukkan sebuah ruangan yang nampak kecil.
"Masuklah kemari, saya akan memanggil Chudancho." Perintahnya.
Aku, Inu, dan Tenten masuk ke dalam ruangan kecil itu sebelum Shikamaru menutup pintu dengan cara membanting sehingga yang kami lihat hanyalah kegelapan di dalam ruangan. Tak lama kami mendengar suara tertawa-tawa di luar ruangan, rasa gelisah semakin menyelimutiku.
"Inu, Tenten... aku merasa ada yang tidak beres..." akhirnya setelah setengah jam menunggu dalam kegelapan aku mulai bicara.
"Aku juga... aku sebenarnya dari awal tidak setuju datang kemari..." Tenten menjawab seraya merajuk. Sementara Inu hanya mengangguk. "Aku sudah tidak nyaman sejak kemarin, terutama sejak Shikamaru-san memegang tanganku..."
"Teman-teman, sebenarnya Juugo-san tadi mengatakan—", "BRAAAK!" sebelum sempat aku melanjutkan ucapanku, pintu dibuka dengan paksa dari luar, beberapa tentara Jepang masuk dengan tatapan mesum, dan di belakang mereka hadir Shikamaru yang sedari tadi kami tunggu.
"Dengar! Mulai hari ini, kamu akan seterusnya dipanggil Ino Yamanaka!" Shikamaru menunjuk Inu yang sedikit kaget. Ada apa ini semua? Apakah kami harus mengganti nama kami hanya untuk bersekolah pada Jepang? Tak lama telunjuknya mengarah kepada Tenten. "Kamu tetap pada namamu, Gadis Cina!" Shikamaru menunjuk Tenten yang juga kebingungan.
"Dan kamu gadis yang sok pintar!" dia menunjuk padaku sekarang yang memegangi kedua temanku. "Mulai sekarang, kau akan dipanggil Sakura Haruno..." ucapnya.
TBC...
Maaf ya... buat fans setia Shikamaru, untuk kali ini saja saya membuat Shikamaru jadi orang jahat, maaf banget padahal saya juga suka dia... Khusus untuk Juugo, saya gak akan ubah apa-apa, dia akan jadi satu-satunya The Good Japanese Guy di fic ini. Hohohohoho...
Satu lagi, Sai adalah kekasih Sakura di sini, tapi buat Sasusaku fans jangan cemas dulu, masih banyak kejutan!
Please R& R!
:D
*Chudancho di sini adalah setingkat kapten. Shikamaru sendiri dalam fic ini adalah Bundancho, yakni setingkat sersan dalam ketentaraan masa penjajahan Jepang. Yang lain menyusul yaa...
