Aku khawatir dengan keadaanmu. Semoga kau baik-baik saja.
Disclaimer :
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Arigatou © Aoko Himawari
Enjoy!
Chapter 1
Tubuh itu langsung terduduk, menyentuh lantai yang terasa dingin. Wajah itu begitu pucat. Perlahan pipinya mulai dialiri likuid bening yang keluar dari mata birunya yang terlihat jauh lebih redup dari biasanya. Salju perlahan turun, seakan turut bersedih. Langit yang gelap seakan tahu bahwa ia sudah kehilangan mataharinya.
Kepergian yang membawa sakit yang amat pada semua orang yang dekat dengannya. Kepergian yang memberikan torehan luka di hati semua orang yang mengenalnya. Kepergian yang membuat likuid-likuid bening yang keluar dari lima pasang mata yang mendengarnya.
Tak ada yang sanggup berkata-kata.
"Mou~ Aominecchi hidoi 'ssu yo!" Bibir itu mengerucut ke depan. Batang es krim itu ia buang lalu ia menyilangkan tangannya di depan dada.
"Apa salahku? Aku menyatakan fakta, tahu." Mulut itu mencibir, mengejek, kemudian menjilat es krim berwarna biru langit itu.
"Jangan jahat pada Ki-chan dong, Dai-chan." Rambut pink bergoyang, reaksi dari tubuhnya yang bergerak ke antara kedua pemuda yang berjalan bersisian.
"Aku sudah bilang, aku hanya mengatakan kenyataan. Itu tidak salah, kok. Salahkanlah kenyataan bahwa Kise itu memang berisik, bukan?" pemilik rambut biru tua itu memasang senyum iseng. Batang es krimnya ia buang setelah ia menghabiskan es krim itu. "Lagipula, bukankah menarik melihat wajah Kise yang sedang cemberut seperti itu?" salah satu sudut bibir pemuda bersurai biru tua itu tertarik ke atas setelah menyampaikan kata-katanya yang bersifat semi-mengejek itu.
"Aku tidak menarik saat sedang cemberut 'ssu!" Lagi-lagi, sang surai pirang memajukan bibirnya.
"Iya."
"Tidak."
"Iya."
"TIDAK!"
"KALIAN BERDUA BISA DIAM TIDAK SIH?!" dan adu mulut itu dihentikan oleh si surai pink. "Hanya soal menarik atau tidak saja sampai adu mulut seperti ini. Seperti anak kecil saja kalian ini." Tangan putih si surai pink ia letakkan di pinggangnya. Alisnya yang kanan terangkat. Kedua pemuda yang lain terdiam, tidak melanjutkan lagi, walaupun sang surai biru tua masih bergumam tidak jelas sedangkan sang surai pirang masih memajukan bibirnya.
Tak jauh mereka berjalan, terdapat sebuah pertigaan. "Baiklah, aku pulang dulu. Bye, Momocchi, Ahominecchi," sang pirang tersenyum lebar. Sang biru tua berjalan mendekati sang pirang. Ia mengecup sekilas dahi putih sang pirang.
"Aku minta maaf. Aku hanya bercanda tentang kau berisik. Sebenarnya aku ti-tidak membenci suara berisikmu." Ia bergumam pelan kepada sang pirang. Wajah sang pirang itu memerah perlahan. Sang pirang yang menyandang marga Kise itu hanya mampu mengangguk kaku sebagai reaksi atas perkataan sang biru tua yang berstatus kekasihnya itu.
.
.
"Selamat pagi, Kurokocchi." Seorang pemuda berambut kuning keemasan berteriak sedikit kencang, memecahkan keheningan pagi itu. Lengan putihnya yang mengarah ke pucat itu terentang dan menyambut tubuh mungil seorang pemuda lainnya yang bersurai biru muda ke dalam pelukannya.
"A-aku ti-tidak bisa berna-nafas, Kise-kun." Tangan pucat sang pemuda biru muda yang sering diketahui sebagai pemain bayangan keenam itu terulur, mencoba mencari pertolongan. Namun, bukanlah pertolongan yang didapatkannya. Bahkan 'beban' yang membuatnya semakin sulit bernafas justru bertambah.
"Tetsu-kuunnn!" Kali ini gadis bersurai pink. Lengannya juga memeluk sang biru muda dengan erat, membuatnya lebih susah bernafas.
"Hei, Satsuki, Kise, lepaskan Tetsu. Dia tidak bisa bernafas." Suara malas sang pemuda biru tua juga ikut menyemarakkan suasana pagi itu. Ia mencibir saat mengucapkan kalimat yang bahkan tidak mendapatkan hirauan dari kedua manusia bersurai kuning keemasan dan pink itu. Setelahnya, ia hanya bisa menghembuskan nafas. Kali ini, wajah Kuroko yang memang pucat menjadi lebih pucat dari sebelumnya.
Melihatnya, Aomine segera mengambil tindakan. Ia menarik tubuh Kise yang lebih pendek sedikit darinya itu, membuat pelukan Kise kepada Kuroko terlepas.
"A-Aominecchi, apa yang kau lakukan?!" Kise hanya bisa pasrah saat dirinya diseret dengan pasti oleh Aomine.
"Tentu saja menolong Tetsu, 'kan?" Aomine menaikkan sebelah alisnya, seakan menanyakan bukankah-itu-sudah-jelas. Kemudian ia memalingkan wajah dan pandangannya, sehingga tidak perlu menatap wajah Kise, "lagipula, aku ini 'kan kekasihmu, jadi yang harusnya kau peluk itu aku, bukan Tetsu." Aomine bergumam, namun terdengar sangat jelas di indera pendengaran Kise. Lagi, pipi Kise memanas mendengar hal itu.
.
.
"Pelajaran dihentikan untuk sementara. Tetsuya, cepat bawa Ryouta ke ruang kesehatan." Darah mengucur pelan dari hidung putih pemuda bersurai kuning keemasan itu, memaksa kepalanya mengangkat sehingga tak lebih banyak darah yang terbuang percuma. Seorang pemuda bersurai biru muda membawa pemuda lainnya yang bersurai kuning keemasan tersebut.
Pelajaran olahraga dengan basket sebagai kegiatan hari ini diadakan di sebuah auditorium indoor–sebuah fasilitas ruang tertutup yang dimiliki oleh Teikou. Beberapa pasang mata mengiringi kepergian sepasang pemuda dengan surai berbeda itu. Setelah pintu tertutup, meninggalkan bunyi debum yang menggema di seluruh auditorium, seorang laki-laki setengah baya membunyikan peluitnya.
Ia sedikit terkejut sebelumnya karena sang pemuda surai kuning keemasan itu tiba-tiba mengucurkan darah dari hidungnya; mimisan. Namun setelah diyakinkan ada sang bayangan yang dapat membawanya ke ruang kesehatan, ia melanjutkan pelajaran yang sempat terhenti.
Semua anak laki-laki dari dua kelas yang ada di dalam sana kembali melanjutkan aktifitas mereka, berusaha memasukkan bola oranye itu ke ring lawan. Semua berusaha membuat skor. Satu round permainan, dan setelahnya bel tanda istirahat berbunyi. Lagi-lagi, peluit nyaring itu dibunyikan.
"Pelajaran selesai. Semua masuk ke ruang ganti untuk berganti baju." Serentak semua anak mengucap salam lalu menggerakkan kaki mereka masing-masing ke arah ruang ganti baju seraya membicarakan tentang segala hal. Setelah mengganti baju olahraga mereka dengan seragam, satu persatu orang mulai meninggalkan ruang ganti. Ada yang menuju ke atap, kantin, dan lain-lain untuk mengisi waktu istirahat siang mereka yang lebih lama.
Namun, setelah ruangan itu ditinggal dalam keadaan hening, satu orang masih tertinggal di dalamnya. Dengan pakaian olahraga masih melekat di tubuhnya, ia duduk sambil memangku kedua tangannya. Meletakkan kepala berhiaskan surai biru tuanya, ia mulai berpikir–jika itu memang disebut berpikir.
Iris biru gelapnya yang tajam bagai menusuk semua bagian ruangan itu. Berbagai pertanyaan terlintas di benaknya. Apa lagi kalau bukan menyangkut sang kekasih yang meninggalkan pelajaran olahraga dikarenakan mimisan itu.
Pelajaran olahraga–terutama basket–adalah salah satu pelajaran yang paling disukainya, terutama karena nilai-nilainya tidak begitu tinggi di mata pelajaran lainnya. Hanya olahraga-lah yang nilainya 'masuk akal'. Ditambah lagi kemampuan copycat miliknya, membuat semua bidang olahraga mampu ia kuasai dengan cepat.
Namun, mengapa ia tiba-tiba mimisan seperti tadi. Ini aneh, Aomine menggumamkan dua kata itu dalam lamunannya. Ini sudah entah kesekian kalinya ia mimisan, entah sudah berapa banyak pelajaran olahraga yang harus terpotong karena ia harus ke ruang kesehatan.
Aomine meluruskan kedua kakinya dibantu kedua tangannya yang ikut bergerak bersama. Matanya kini menatap sendu melihat lantai ruang kesehatan berwarna putih bersih itu. Sedangkan bibirnya perlahan mengeluarkan desahan halus. Sungguh, sepertinya ia harus memaksa Kise menceritakan semua yang ia tahu.
.
Seorang pemuda bersurai biru langit berhasil menidurkan seorang pemuda lain bersurai kuning keemasan di ranjang bersepraikan putih. Ia membalut tubuh pemuda yang sedang menahan hidungnya dengan selembar tisu dengan selimut.
"Terima kasih, Kurokocchi." Sang pemuda kuning keemasan menampakkan giginya yang putih. Sedangkan sang pemuda biru langit hanya mengangguk sekilas dan mendudukkan dirinya di samping ranjang.
"Belakangan ini sepertinya Kise-kun sering sekali mimisan. Ada apa?" Sang pemuda biru langit, Kuroko, memecah keheningan yang berlangsung beberapa menit sejak ucapan terima kasih sang pemuda kuning keemasan, Kise.
Mendengar pertanyaan yang terlontar membuat Kise mengalihkan tatapannya. Matanya yang biasa menampakkan keceriaan kini menjadi sangat redup.
"Tidak apa-apa jika Kise-kun tidak ingin memberitahukannya." Kuroko, lagi-lagi dengan wajah datarnya, mencoba membuat Kise tenang. Ia tahu jika setiap orang pasti memiliki rahasia yang tak ingin diberitahukan kepada orang lain.
"Aku–" kali ini Kise memejamkan matanya erat, menggigit bibirnya perlahan. Dan selanjutnya, dengan bisikan ia mulai melantunkan, kata-kata yang bagaikan dendang kematian.
Ia dapat merasakannya. Mata beriris biru langit itu membesar perlahan. "Eh?" Ia memiringkan sedikit kepalanya, berusaha meyakinkan bahwa itu hanya salah satu lelucon yang dilontarkan salah satu anggota Kiseki no Sedai. Namun semua itu hancur saat melihat anggukan kepala manusia yang sedang beristirahat di ranjang putih di depannya itu.
.
.
Acara wisuda berakhir dengan lancar, ditutup dengan pidato dari ketua OSIS–Akashi Seijuurou–dan kepala sekolah. Semua siswa dan siswi yang memakai seragam Teikou itu kini berselempangkan selendang tanda kelulusan mereka. Masing-masing menampikkan senyum kebahagiaan.
"Selamat, Aomine-kun, atas kelulusannya." Suara datar Kuroko terlontar, memecahkan keheningan yang dibuat oleh Aomine di gym Teikou. Semua anggota Kiseki no Sedai, termasuk anggota keenam bayangan mereka, diperintahkan oleh sang kapten–Akashi Seijuurou–untuk berkumpul setelah acara kelulusan.
"UWAA! Sejak kapan kau ada di sini, Tetsu?" Aomine mencibir kaget. Sudah beberapa lama menjadi cahaya sang pemain bayangan ini tidak sedikitpun membuatnya dapat menyadari sosok Kuroko yang tipis hawa keberadaannya.
"Sejujurnya, sejak tadi Aomine-kun. Hanya saja Aomine-kun tidak menyadarinya." Dengan wajah datarnya, Kuroko menjelaskan.
"Tsk." Aomine mendecakkan lidahnya. "Jadi, apakah yang lainnya sudah datang?"
"Sepertinya belum. Kise-kun masih harus bergelut dengan fans-fans-nya, Akashi-kun masih harus bertemu dengan salah satu sensei, Midorima-kun harus mengurus beberapa masalah sebagai wakil kapten, sedangkan Murasakibara-kun harus membicarakan tentang registrasi adiknya," sebagai observer, penjelasan Kuroko tidaklah buruk.
"Oh." Jawaban Aomine itu kemudian mengundang hening lagi.
"Aomine-kun–" Lagi, Kuroko yang memecah keheningan. Panggilan pada namanya membuat Aomine menggerakkan kepalanya sedikit sambil menaikkan sebelah alisnya. Terlihat Kuroko membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Ya?" Aomine sekarang memiringkan kepalanya, sedikit terlihat bingung.
"–a-ano.. Tentang Kise-kun–" namun kalimat Kuroko terpotong oleh suara terbukanya pintu gym, membuat kedua pemilik surai biru itu menengok ke arahnya.
"Maaf, apakah sudah menunggu lama?" suara Midorima menyusul setelahnya. Sebuah helaan nafas keluar dari bibirnya satu detik setelah ia melihat hanya ada sosok Kuroko dan Aomine di sana. Hidupnya aman.
"Selamat, Midorima-kun, atas kelulusannya." Kali ini suara Kuroko, lagi-lagi mengagetkan seseorang. Tanpa berteriak seperti orang pertama yang dikagetkan olehnya, ia hanya memundurkan sedikit tubuh tingginya. Genggaman tangan kirinya pada patung kucing itu mengerat, tanda bahwa ia sedikit kaget.
"Ja-jangan mengagetkanku seperti itu, Kuroko." Midorima membalasnya, kemudian Aomine berjalan mendekat ke arah mereka berdua sambil menguap.
"Maafkan aku, Midorima-kun." Mendengar permintaan maaf Kuroko, Midorima hanya memalingkan wajahnya.
"Hey, Tetsu, apa yang ingin kau sampaikan barusan, tentang Kise?"
"Ah, tidak jadi, Aomine-kun. Nanti saja." Kuroko hanya menganggukkan kepalanya sekilas, berusaha agar Aomine tidak memikirkan hal tersebut lagi. Sedangkan Aomine hanya mengangkat bahunya tak acuh.
Tak lama, semua anggota sudah berkumpul. Lima surai berbeda warna itu dibariskan sejajar sedangkan berhadapan dengan mereka, seorang pemuda bersurai merah berdiri tegap. Ia menyampaikan beberapa pesan–jika itu dapat dibilang pesan. Dan tepat setelah pesan itu tersampaikan dengan sempurna seperti yang diharapkan, barisan itu dibubarkan.
.
.
"Ck." Suara decakan lidah memenuhi ruangan. Tangan kanan memegang ponsel dan mengarahkannya ke telinga kanannya, sedangkan tangan kiri terletak di pinggang. Suara ketukan pintu membuat kepalanya menengok mengarahkan pandangannya ke pintu bercat putih itu.
"Masuk. Tidak dikunci." –tersusul dengan suara pintu yang terbuka, menampakkan seorang gadis dengan surai pink-nya. Senyum sumringah menempel di wajahnya.
"Dai-cha–" suara gadis yang awalnya hendak menyapa itu kini terputus oleh sosok pemuda pemilik kamar yang membanting ponselnya ke ranjang. Wajahnya terlihat sangat kacau. Pemuda itu lagi-lagi mendecakkan lidahnya dan sekarang mengacak rambutnya; frustasi.
Sang gadis berjalan pelan dan berhenti di sebelahnya. "Ada hubungannya dengan Ki-chan?" ia bergumam lirih.
"Dia selalu tidak mengangkat telepon." Jawaban frustasi yang meluncur dari pemuda itu membuat teman masa kecilnya tertegun.
"Mungkin saja Ki-chan sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai model?"
"Tidak mungkin. Meskipun sibuk, biasanya ia akan menyempatkan diri. Ke toilet atau semacamnya."
"Atau sedang sibuk latihan basket?"
"Apalagi itu. Sangat tidak mungkin sekali." Kini suara sang pemuda melirih. Ia menghempaskan tubuhnya di ranjang lalu menutup wajahnya dengan bantal.
"Apa mungkin–"
"Cukup, Satsuki. Aku sedang lelah." Suara tegas sang pemuda membuat gadis itu menghela nafas pelan. Ia dipanggil ke sini untuk membujuk teman kecilnya makan. Ia dengar dari sang ibu bahwa teman masa kecilnya ini sudah tidak makan selama satu hari. Namun, mendengar kata-kata tegas dari mulut sang pemuda bersurai biru tua membuatnya menyerah.
Perlahan ia menggumamkan kata maaf dan menutup pintu dari luar.
.
.
"Aominecchi! Maaf membuatmu menunggu 'ssu." Lambaian tangan dan suara orang yang dinantinya benar-benar membuatnya menghembuskan nafas lega. Ia kira, orang yang ditunggunya mendadak berhalangan hadir. Pemuda bersurai biru tua yang sudah menyenderkan tubuhnya cukup lama di tiang stasiun itu segera menegakkan tubuhnya.
Bibirnya sudah terbelah, ingin mengeluarkan omelan karena keterlambatan pemuda bersurai pirang yang berstatus kekasihnya, namun omelan tidak keluar dari bibirnya begitu melihat keadaan kekasihnya itu.
Apa yang ia tangkap adalah bahwa tubuh kekasihnya itu sedikit lebih kurus, wajahnya lebih pucat dari biasanya. Kepalanya ia miringkan sedikit, dengan tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya.
"Hei, Kise, kau makan dengan benar dan teratur 'kan?" alis kanannya ia naikkan. Pertanyaan itu membuat wajah kekasihnya sedikit menegang.
"Te-tentu saja Aominecchi. Ke-kenapa bertanya begitu 'ssu?" –uh, bodoh, dia pasti bisa bertanya lebih dalam. Kise hanya dapat mengeluarkan cengiran gugup. Tentu saja hal itu tidak berefek pada Aomine. Hey, Aomine itu tidak sebegitu bodohnya sehingga tidak bisa membedakan orang yang berbohong atau orang yang jujur.
Apalagi objek yang ia nilai adalah kekasihnya.
"Kau terihat lebih kurus, dan..lebih pucat dari biasanya." Kini Aomine mengernyitkan dahi. Ada sesuatu yang disembunyikan kekasihnya darinya.
"Mu-mungkin itu ha-hanya perasaan Aominecchi saja 'kan 'ssu?" Kise mengeluarkan tawa gugup. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya, mata cerahnya tidak melihat ke mata biru Aomine. "Ba-baiklah, ayo jalan 'ssu. Hari mulai panas." Mengalihkan pembicaraan, huh? Teknik yang bagus Kise, setidaknya membuat Aomine melupakan itu walau masih belum puas dengan jawaban Kise barusan.
Kise mengajak Aomine ke Kanagawa hari ini untuk bermain-main. Kise menyampaikan alasan yang cukup logis untuk tidak datang ke Tokyo dan malah menyuruh Aomine yang datang ke Kanagawa. Alasan-alasan semacam tidak diperbolehkan orangtua-lah, bahkan sampai alasan bahwa Aomine hampir tidak pernah datang ke Kanagawa pun ia utarakan.
Siang itu, dengan Kise menjadi 'pemandu', mereka berdua berjalan ke sebuah gedung indoor.
"Nah, Aominecchi, di sinilah biasa aku dan teman-temanku berlatih 'ssu." Kise memasuki gedung itu. Sebuah lapangan yang luas dengan dua ring di kedua sisinya menyambut kedua pemuda itu. Aomine hanya mengitari pandangannya ke seluruh ruang itu.
Aomine berdecak kagum. Sungguh, lapangan ini bahkan dua atau tiga kali lebih besar jika dibandingkan dengan gym yang ada di sekolahnya.
"Aku menantangmu, Aominecchi." Pernyataan yang diungkapkan Kise menghentikan Aomine yang masih terkagum-kagum. Aomine mengernyitkan dahi lalu menengokkan wajahnya ke arah Kise.
"Apa?" Aomine hanya bereaksi singkat.
"1-on-1 denganku. Siapa pun yang berhasil memasukkan sepuluh poin, dia-lah yang menang, dan yang kalah harus mentraktir yakisoba sampai yang menang puas 'ssu. Adil?" Aomine menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.
"Aku terima." Keduanya melepaskan jaket dan meletakkan di bench, lalu Kise mengambil sebuah bola yang tersimpan di sebuah keranjang bersama teman-temannya yang lain. Kise mendapatkan kesempatan offense, dan Aomine defense.
'Cahaya' yang ada dalam mata mereka seperti berubah. Keduanya berusaha memenangkan pertandingan ini.
Kise memulai. Perlahan ia men-dribble bola oranye yang ada di tangannya, membenturkannya ke lantai. Dengan kemampuan copycat-nya, ia berlari secepat mungkin sambil membawa bola itu di tangannya.
Aomine hanya mengeluarkan seringaian kecil, "Kau tidak mungkin menang dariku, Kise. Itulah mengapa aku seme dan kau uke." Aomine mem-blok Kise, melakukan steal pada bola oranye itu. Kedudukan berganti. Kini Aomine mendapat kesempatan offense dan Kise melakukan defense.
Dengan kecepatannya dan kemampuan basketnya yang tanpa dasar, perlahan Aomine mencetak poin-poin dan mencapai poin ke-sepuluhnya saat ia sadar langit mulai terhiaskan dengan semburat oranye.
Di poinnya yang kesepuluh, Aomine menengok bangga pada Kise. Ia memutar bola oranye itu dengan jari telunjuknya. Namun di saat ocehan sombongnya hampir terkumandang di udara, matanya menangkap sosok Kise yang terlihat sangat kelelahan. Wajahnya bertambah pucat dan perlahan, darah mulai menetes dari hidungnya. Aomine membiarkan bola yang tadi diputarnya terjatuh dan menggelinding entah kemana.
Kakinya berlari ke arah Kise yang mengeluarkan sebotol obat dari saku celananya. Kaki Kise yang gemetar membawa tubuhnya ke bench dibantu oleh Aomine. Setelah mendudukkan dirinya, dengan nafas terengah, Kise mengambil tumbler yang ia bawa sejak tadi lalu mengambil dua butir tablet dari botol obat itu. Menelannya dengan air, perlahan wajahnya yang sangat pucat menjadi lebih sedikit baik dan darah sudah tidak keluar dari hidungnya.
"Kau tidak apa-apa?" Aomine memecah keheningan. Dengan senyum yang dipaksakan Kise menjawab.
"Aku baik-baik saja." –apa iya aku baik-baik saja?. "Ayo kita lanjutkan, Aominecchi. Ada satu tempat yang ingin kutunjukkan padamu 'ssu." Kise beranjak, mengenakan kembali jaketnya.
Aomine yang masih bingung hanya dapat mengikuti Kise.
Keduanya berjalan dalam diam selama beberapa saat sampai sepasang tungkai Kise berhenti, disusul milik Aomine. Tempat mereka sekarang adalah tempat yang cukup tinggi. Asri, ditumbuhi banyak pohon di kanan dan kirinya dan dibatasi pembatas. Dari situ mereka dapat melihat matahari terbenam dan hampir keseluruhan prefektur Kanagawa.
"Aku selalu ke tempat ini jika aku sedang sedih 'ssu." Kise memecah keheningan sedangkan Aomine hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyetujui, tempat ini memang indah.
Keheningan kembali tercipta. Keduanya menikmati pemandangan yang mereka dapatkan di sana, sampai lagi-lagi, Kise mengeluarkan suaranya.
"Aominecchi."
"Hn?"
"Jika aku pergi nanti, kumohon Aominecchi jangan sedih ya." Yang kali ini terdengar seperti lirihan pasrah, namun menarik perhatian Aomine.
"Apa maksudmu?"
"Sebentar lagi, dalam jangka waktu yang tak dapat aku tentukan, mungkin aku akan pergi meninggalkan semuanya." Tatapan Kise kali ini bertambah muram.
"Aku tidak tertawa. Jadi itu tidak lucu sama sekali, Kise." Aomine menyunggingkan senyum seakan mengatakan kau-mengumbarkan-lelucon-'kan-?
"Ah, iya. Aku hanya bercanda. Lupakan saja Aominecchi."
.
.
Suara ketukan di depan pintu rumahnya–yang malah hampir mencapai tingkat sebuah gedoran–membangunkan Aomine dari tidurnya. Matanya mengerjap-ngerjap, menyesuaikan diri dengan kamarnya yang gelap. Gedoran itu kembali membuatnya tersadar. Siapa orang yang berani malam-malam begini mengganggunya tidur, oh tidak, mungkin ini sudah subuh. Ia menguap sambil mendudukkan tubuhnya di ranjang.
Suara dari luar rumahnya yang menyebut namanya membuatnya semakin bingung. Ia kemudian teringat bahwa kedua orangtuanya sedang pergi ke luar kota dan baru minggu depan akan kembali. Dengan tujuan akan menghardik orang yang mengganggu tidurnya itu, ia berdiri dan membuka pintu kamarnya.
Menuruni tangga dengan perlahan, lalu berjalan pelan ke arah pintu yang digedor-gedor itu. Aomine membuka pintu itu dan terlihat sosok Momoi yang terlihat sangat terburu-buru.
"Dai-chan, aku mendapat kabar dari Akashi-kun."
.
.
TBC
A/N:
Bagaimana? Fluffnya ancur, not sorry. Author memang sangat kurang asupan fluff banget, ya sudahlah. Terima kasih sudah baca sampai sini. Apakah author berhasil membuat reader penasaran? Semoga saja.
Ya sudah, mari kita berhenti mendengarkan bacotan gaje author lalu beralih ke kotak review!
See you next chapter
