Sebagian orang di dunia ada yang memiliki kehidupan gelap dalam hidupnya. Kehidupan yang awalnya normal, menjadi bagaikan mimpi buruk. Termasuk aku, Uchiha Sasuke dan dia, Hyuuga Hinata.
Naruto © Masashi Kishimoto
Darkest Life © Jackquin
Rate : M
Warning : OOC, alur kecepetan, typo(s), dan lainnya.
Author Newbie. Mohon bimbingannya.
Aku sedang berjalan menuju ke rumah. Seluruh tubuhku terasa sakit dan pegal, karena pekerjaanku sebagai montir di salah satu bengkel yang cukup terkenal. Meskipun aku hanya kerja paruh waktu, tapi pekerjaanku banyak sekali.
Namaku Uchiha Sasuke. Aku sudah kelas 2 SMA di Konoha High School, salah satu sekolah menengah atas di kota ini. Meski pun bukan sekolah favorit, aku bersyukur bisa diterima disana.
Karena sebuah kejadian buruk di masa lalu, aku tinggal sebatang kara. Tanpa keluarga. Makanya aku harus bekerja untuk bisa membiayai sekolahku. Dan aku tidak mau mengenang kejadian mengerikan yang terjadi 4 tahun yang lalu itu.
Ku langkahkan kakiku pelan-pelan, sambil menikmati pemandangan khas kota besar yang terhampar dihadapanku. Aku perhatikan semuanya, mulai dari gedung-gedung tinggi menjulang, deretan pertokoan yang menjual berbagai macam barang, sampai gadis-gadis manis berseragam sekolah yang masih berkeliaran di jalan pada jam selarut ini. Ah, dasar gadis jaman sekarang.
Lalu aku mulai memasuki kawasan yang agak sepi, tinggal melewati jembatan ini, dan sampailah aku. Jembatan yang cukup panjang, di bawahnya terdapat sungai luas dan kelihatannya sangat dalam. Aku bergidig ngeri membayangkan kalau aku jatuh kesana. Aku pasti akan mati, arusnya yang tenang tapi dalam menelan tubuhku sampai aku mati kehabisan napas.
Aku terus terlarut dalam pikiran konyolku, sampai mataku menangkap sesosok gadis berseragam sekolah yang sedang berusaha memanjat pembatas jembatan yang tinggi. Eh? Itu kan seragam dari sekolahku?
Mataku membelalak lebar, apa yang akan dilakukan gadis itu?
Tanpa aku sadari, aku berlari kencang ke arah gadis itu dan menarik lengannya hingga dia yang sudah melewati pagar pembatas itu terjatuh lagi ke jembatan.
Aku bersiap untuk membentaknya, tapi aku tidak bisa mengatakan apapun ketika gadis itu menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. Dan aku mengenal gadis itu. Namanya Hyuuga Hinata, murid baru di kelasku. Dia baru 3 bulan sekelas denganku. Aku sangat penasaran dengannya, karena dia sangat pendiam, dan tampak selalu ketakutan apabila ada laki-laki yang mendekatinya.
"T-t-to-tolong biarkan saja aku mati." Ucapnya lirih dan sedikit tergagap. Dia tampak tidak nyaman karena aku menggenggam lengannya.
Kueratkan cengkeramanku pada lengannya, "Apa maksudmu, hah? Kau mau mengakhiri hidupmu, begitu?!" bentakku sedikit kasar. Gadis itu tampak terkejut, kemudian dia menundukkan wajahnya.
Masih menunduk, dia bergumam lirih, "T-t-tidak ada gunanya aku hidup. Tolong, biarkan saja aku melompat ke sungai. S-s-setelah itu semuanya akan berakhir."
Tangis gadis misterius itu pecah. Aku panik. Aku tidak mau disalahkan, dan aku tidak mau terlibat masalah dengan gadis ini.
Hinata tiba-tiba melemah, jatuh tersungkur menghantam aspal jembatan jika aku tidak segera menangkap tubuhnya. Dia pingsan.
Aku benar-benar bingung sekarang. Harus aku bawa ke mana gadis ini? Meskipun dia satu kelas denganku, dan aku terkadang memperhatikannya, aku tidak benar-benar mengenalnya. Aku tidak tahu dia tinggal di mana, aku juga tidak tahu apa masalahnya hingga dia nekat ingin mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari jembatan.
Setelah ku pikirkan, maka aku putuskan untuk membawanya ke flatku. Paling tidak dia bisa istirahat di sana sampai dia sadar.
Kelopak mata Hinata tampak bergerak-gerak. Kemudian, dia mengerang kecil, tangannya bergerak menyentuh sisi kepalanya. Sesaat kemudian, dia bangkit tiba-tiba yang membuatku menjatuhkan cangkir kopiku karena terkejut.
Ah, cangkir kopiku yang malang.
"Apa-apaan, kau? Jangan bangun tiba-tiba begitu." Kataku, sambil membereskan kopi yang berceceran kemana-mana. "Kau ada di flatku, kalau kau penasaran."
Hinata tampak ketakutan, tubuhnya sedikit gemetaran. "K-k-kenapa aku bisa ada di sini?" dia mencengkeram selimut yang membalut tubuhnya, satu-satunya selimut yang aku punya.
Ku lirik dia dari sudut mataku, "Kau pingsan. Dan aku tidak tahu kau tinggal di mana, makanya aku bawa ke sini." Kataku sambil mengelap lantai.
Hinata tidak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya.
Kemudian aku beranjak menuju dapur mini yang ada di sebelah kamar tidurku. Setelah itu, aku masuk kembali dengan membawa secangkir teh hangat untuk Hinata. "Ini, minumlah. Kau akan merasa lebih baik." Hinata mengangkat wajahnya, matanya menatapku dan cangkir itu bergantian. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"
Tangannya terangkat, tapi gemetar. Bisa-bisa cangkirku pecah. Tapi kemudian Hinata memegangnya dengan kuat, menyeruput sedikit isi dari cangkir itu.
Keheningan tercipta. Aku tidak tahu harus berkata apa, dan Hinata kelihatannya ketakutan. Ayolah, apa aku semenyeramkan itu? Diam-diam aku melirik kaca besar di dekat meja belajar.
'Masih tampan, kok' gumamku dalam hati.
"K-kenapa?" ucap Hinata lirih, masih menundukkan wajahnya.
Aku menaikkan sebelah alisku karena tidak mengerti maksud pertanyaannya. "Kenapa apanya?"
Hinata menatapku, tatapannya terlihat kosong dengan raut wajah seperti tengah menahan sakit. "K-kenapa kau menolongku? A-aku bahkan tidak mengenalmu." Ucapnya.
Aku menghela napas. "Jujur, aku juga tidak tahu kenapa aku menolongmu." Hinata spontan melihat ke arahku, tapi kemudian menunduk lagi, "Aku hanya tidak bisa melihatmu seperti tadi di jembatan."
Hinata diam. Matanya bergerak-gerak gelisah. Dan aku bingung dengan gadis ini. Sepertinya dia tertimpa masalah berat yang membuatnya seperti itu.
"Kalau kau mau menceritakan masalahmu, aku akan mendengarkanmu. Jika tidak, tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak memaksamu."
Hinata tampak berpikir. Tapi tidak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya.
Aku mendesah. "Kau istirahat saja. Besok kan kita harus sekolah. Berangkat bersama saja, aku tidak ingin kau mencoba terjun dari jembatan lagi." Kemudian aku bangkit, menuju ke pintu kamar. Sebelum pintu aku tutup, aku berkata, "Aku akan tidur di luar, kalau kau perlu apa-apa, kau bisa memanggilku. Selamat malam, Hinata." Pintu pun aku tutup.
Aku yang memang sudah lelah, segera berbaring di sofa dan tertidur.
Ketika jam menunjukkan pukul 3 pagi, aku terperanjat kaget karena mendengar suara teriakan histeris dari kamarku. Segera aku berlari ke kamarku. Di sana aku melihat Hinata duduk bersimpuh di lantai sambil mencengkeram rambutnya hingga kusut.
Aku mendekatinya dengan panik. "Hei, Hinata! Ada apa denganmu? Tenanglah!" Ku peluk Hinata, sambil ku elus rambutnya agar dia tenang.
Tubuh Hinata bergetar hebat, tangisnya meraung-raung seolah sedang kesakitan. Aku terus memeluknya sambil mengusap-usap rambutnya.
Setelah agak lama, Hinata mulai tenang. Dengan perlahan ku lepaskan pelukanku. "Ada apa denganmu, Hinata?" ujarku, sambil menyerahkan segelas air yang aku dapat dari meja sebelah ranjang.
Hinata meneguk air itu hingga tandas. Dia hanya menggeleng, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Hinata merangkak naik ke tempat tidur, kemudian dia berbisik, "A-aku tidak apa-apa, Sasuke. Kembalilah tidur. M-m-maaf mengganggu tidurmu."
Hinata memejamkan matanya. Aku hanya menghela napas, kemudian keluar dari kamar untuk melanjutkan tidurku. Tapi pikiranku dipenuhi oleh Hinata. Akhirnya aku tidak bisa memejamkan mataku kembali sampai pagi.
"Yo, Teme! Selamat pagi!"
Cih, si kuning bodoh itu! Kenapa sih, dia pagi-pagi begini sudah menggangguku? Seperti tidak ada kerjaan lain saja.
"Hn."
Naruto merengut. "Apa-apaan itu, aku menyapamu dengan penuh semangat, tapi kau hanya menjawab tidak jelas begitu." Naruto melihat ke arah Hinata, "Selamat pagi, Hinata!"
Naruto adalah teman sekelas ku, yang artinya dia juga satu kelas dengan Hinata.
Hinata meraih ujung seragamku, tangannya gemetaran ketika Naruto menyapanya. Aku menarik Hinata ke belakang punggungku, menyembunyikannya dari siluman kuning yang berisik itu.
Naruto mengangkat sebelah alisnya, "Kau kenapa, Hinata?" Dasar siluman kuning tidak peka, apa dia tidak bisa melihat wajah Hinata seperti melihat hantu begitu?
Aku meraih tangan Hinata, "Jangan ganggu dia, Dobe. Sekarang biarkan kami lewat." Aku menarik tangan Hinata lembut untuk segera menyingkir dari situ.
Aku penasaran juga, kenapa Hinata tidak takut jika aku yang mendekatinya, bahkan menyentuhnya? Tapi aku bangga juga, sih, hehehe…
Hari ini ada pelajaran olahraga. Seluruh kelas 2-F sudah berada di lapangan. Termasuk aku dan Hinata. Hm, ternyata tubuh Hinata seksi juga kalau memakai pakaian olahraga yang menonjolkan bagian depan tubuhnya.
Segera ku gelengkan kepalaku. Sepertinya aku sudah tertular virus mesum dari teman-teman mesumku.
Sebagai pemanasan, sensei menyuruh kami untuk lari berkeliling lapangan. 3 putaran untuk perempuan, dan 5 putaran untuk laki-laki. Cuma lari keliling lapangan, apa susahnya?
Ketika aku memasuki putaran ketiga, aku melihat teman-temanku berkerumun di pinggir lapangan. Aku bertanya pada Kiba, salah satu teman sekelasku yang baru saja menyusulku.
"Hei, Kiba, ada apa itu ribut-ribut?"
Kiba menoleh, napasnya memburu karena berlari. "Hinata pingsan. Sepertinya dia kelelahan. Wajahnya pu− hei, Sasuke!"
Ku acuhkan Kiba, aku berlari secepat yang aku bisa untuk menuju ke tempat Hinata dibaringkan. Setelah sampai, aku segera menggendong Hinata untuk aku bawa ke ruang kesehatan.
"Sensei, biar saya bawa Hinata ke ruang kesehatan."
Tanpa menunggu jawaban guruku, aku langsung memacu kakiku untuk membawa Hinata ke ruang kesehatan.
Aku panik. Dan aku merasa heran, kenapa aku repot-repot mengurus Hinata? Padahal aku tipe laki-laki yang cuek dengan perempuan. Dengan Hinata, entahlah, aku merasa dia berbeda, dan sepertinya dia memiliki sisi gelap yang belum aku ketahui sampai sekarang.
Dan anehnya, semenjak aku melihatnya hampir terjun ke sungai, dan melihatnya menangis di tengah malam, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Aku ingin selalu melindunginya.
Akhirnya aku sampai di ruang kesehatan. Tapi ruang kesehatan kosong, tidak ada dokter berjaga. Terpaksa aku menunggui Hinata sampai terbangun. Persetan dengan pelajaran sekolah, saat ini Hinata lebih penting.
Bagaimana kalau dia histeris lagi seperti kemarin, dan tidak ada aku untuk menenangkannya?
Aku menghela napas, kemudian aku duduk di kursi samping ranjang sambil mengamati wajah damai Hinata.
"Makanlah yang banyak, Hinata."
Aku dan Hinata sedang makan bersama di flatku. Kenapa di flatku? Karena Hinata tidak punya tempat tinggal. Hinata menolak memberitahuku di mana alamatnya yang sebelumnya dan alasan kenapa dia sampai tidak punya tempat tinggal.
Awalnya aku ragu, tapi aku tidak tega membiarkannya berkeliaran di jalan tanpa rumah. Apa lagi Hinata berwajah manis, pasti akan sangat berbahaya.
Hinata tiba-tiba meringis. "Ugh, perutku sakit, Sasuke." Hinata mencengkeram perutnya, sepertinya dia benar-benar kesakitan.
Aku membanting piring yang aku pegang, kemudian buru-buru menghampiri Hinata. Astaga, ada apa dengan gadis ini?
Mataku membelalak ketika melihat cairan merah merembes dari paha Hinata.
"Astaga, kau berdarah, Hinata! Ada apa denganmu?"
Hinata mengerang lebih keras, sebelah tangannya mencengkeram lenganku kuat. "P-p-perutku, S-Sasuke, sa…kit."
Aku segera berlari sambil menggendong Hinata. Aku harus membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Hinata.
Sesampainya di rumah sakit, aku seperti orang kesetanan. Aku berteriak kepada setiap orang yang aku temui.
"Tolong, tolong selamatkan dia! Cepat!" teriakanku membahana di lobi rumah sakit.
Kemudian orang berpakaian putih-putih mengambil alih Hinata, mereka masuk ke ruang UGD. Tentu saja aku tidak diijinkan masuk, aku duduk pasrah di kursi tunggu.
Ku remas rambutku frustasi, aku sangat cemas.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter bertanya padaku, "Apa anda suaminya, tuan?"
Aku mengangkat asliku, "Suami? Eh, saya keluarganya." Jawabku kikuk. Sejak kapan aku dan Hinata menikah? "Ada apa, dokter? Bagaimana kondisi, eh, adik saya?"
Dokter itu menyentuh pundakku, "Adik anda tidak apa-apa, tapi maaf, kami tidak dapat menyelamatkan bayi yang ada dalam kandungannya."
Aku melongo. Bayi? Dalam kandungan Hinata?
TBC
Halo, teman-teman semuanya. Saya author baru disini. Mohon bimbingannya, ya. Terima kasih sudah membaca, dan tolong review ya, beritahu saya fict pertama ini kesalahannya dimana. Btw, lemonnya belum muncul, ya.
Salam,
Jackquin
