Aku kembali~ Senengnyaaa bisa balik dengan Fict baru. Aku mungkin akan bikin First Date di dua chapter. Walaupun di fict Lily/James ku yang panjang itu gak aku potong, di fict kali ini aku ngerasa mungkin lebih enak dipotong antara Persiapan sama Kencannya. Dan seperti biasa fictnya selalu aku stay Canon-in. Enjoy ya~
Love,
Raiha
First Date
By : Raiha Laf Qyaza
Disclaimer : J.K. Rowling
.
.
.
Sore itu Harry mendesah pelan sambil menikmati angin sejuk yang berhembus. Sambil bersantai di kursi yang berada di lorong lantai satu, matanya memandang lurus ke arah seorang gadis berambut merah yang sedang belajar di bawah pohon di pinggir danau. Kaki gadis itu dimasukkannya ke dalam danau mungkin untuk menenangkan diri. Bibir Harry otomatis membentuk senyum. Ia senang sekali memandangi gadis itu dari kejauhan. Wajahnya, matanya, hidungnya, semuanya. Harry menikmati apapun yang bisa ia lihat dari gadis itu.
Buku-buku yang sedang menumpuk di pangkuan gadis itu langsung membuat Harry menyimpulkan bahwa sang gadis memang sedang sibuk dan hal itu mengurungkan niat Harry untuk menghampirinya. Harry merutuki perbedaan usia mereka yang berarti gadis itu—Ginny—wajib mengikuti OWL yang sudah mendekat dan itu membuat waktu yang bisa mereka habiskan bersama mulai berkurang.
Dari kejauhan, Harry bisa melihat Ginny menggeram kesal dan membanting salah satu buku yang ia pegang ke sisinya. Ginny merebahkan dirinya dengan kesal dan memejamkan matanya untuk merasakan sejuknya angin saat itu. Harry mau tak mau langsung tertawa, dia tidak tahan dengan sikap lucu Ginny, namun tawa itu langsung menghilang begitu ia mengingat tahun lalu sikapnya juga seperti itu. Apalagi dengan adanya Umbridge (Atau Scumbitch, menurut Fred dan George) yang selalu berusaha mencampuri segalanya.
Sang Potter tersenyum lagi mengingat mereka sudah berpacaran selama dua minggu. Tiba-tiba kenyataan itu seolah-olah menghantam Harry. Mereka sudah berpacaran selama dua minggu! Harry langsung bangkit dari kursinya, melirik Ginny untuk terakhir kalinya dan berjalan panik ke Ruang Rekreasi.
Mereka sudah berpacaran selama dua minggu, bagaimana mungkin ia belum mengajak Ginny kencan sama sekali? Tentu saja mereka berbincang-bincang, makan bersama, dan terkadang duduk berdua saja di Ruang Rekreasi, tapi itu berbeda dengan kencan, dan setahu Harry, orang yang berpacaran itu sangat menantikan kencan pertama mereka. Well, setidaknya begitulah pemikiran Harry saat Lavender mengeluh kepadanya bahwa Ron belum pernah mengajaknya kencan sekalipun. Dan saat itu dia mengeluh persis di hari ke empat mereka mulai berpacaran.
Begitu sampai di Ruang Rekreasi, Harry langsung menyebutkan kata sandinya dan memanjat melalui lubang dengan tergesa-gesa. Begitu sudah masuk, matanya langsung menyipit mencari sosok Hermione, dan Harry langsung merasa lega begitu ia mendapatinya berada di Ruang Rekreasi dan bukannya di Perpustakaan. Hermione yang melihat Harry masuk dengan wajah panik, langsung menutup bukunya dan mulutnya terbuka, tapi sebelum ada suara keluar, Harry memotongnya, "Hermione, aku belum pernah mengajak Ginny kencan sekalipun."
Otak brilian Hermione tidak butuh mendengar kalimat itu untuk kedua kalinya, tapi otak brilian Hermione juga butuh konfirmasi. "Maaf?" tanyanya kaget.
Harry duduk didepannya dan berbisik panik, "Aku belum pernah mengajak Ginny kencan sekalipun! Kenapa dia tidak marah kepadaku?"
Mata Hermione menyipit seketika, mengantisipasi hal-hal tidak menyenangkan, tapi ia tidak menangkap kesan bahwa Harry sedang bercanda. Jadi alih-alih menertawakan kekonyolan Harry, Hermione mengangguk. "Dan itu membuatmu gelisah karena...?"
"Karena orang yang berpacaran itu biasanya pergi berkencan kan?" tanya Harry, berusaha membuat Hermione mengerti.
Namun tidak begitu yang dipirkan Hermione. Menurut Hermione, Harry lah yang harus mengerti. Gadis Gryffindor itu dengan tenang mencoba bersabar. "Harry, apakah kau tahu kenapa orang-orang yang pacaran itu biasanya berkencan?"
Harry kaget ditanyai seperti itu. Otaknya langsung berputar memikirkan jawaban yang bagus, tapi dia juga tidak tahu, "Er, untuk menghabiskan waktu berdua saja?"
"Dan bukankah kau sering menghabiskan waktu berdua dengan Ginny. Berdua saja, tanpa aku dan Ron?" balas Hermione, mengangkat sebelah alisnya.
Harry berpikir sebentar. Apakah itu yang namanya kencan? "Tapi tidak terasa formal bagiku."
Hermione tertawa, merasa geli akan tingkah Harry. Selagi perang belum meletus besar-besaran, ia ingin puas menikmati Harry yang sedang bingung seperti itu. "Lalu kencan formal yang berada di dalam pikiranmu itu seperti apa, Tuan Sang Terpilih?"
Wajah Harry merona ditertawai seperti itu. "Entahlah, aku mengajak Ginny kencan, lalu ia bilang iya, dan lalu esoknya kami menghabiskan waktu berdua. Seharian penuh."
Senyum Hermione memudar, "Harry, kau tahu betul OWL sebentar lagi datang, kau tidak boleh—
"Aku tahu!" sergah Harry cepat-cepat, "Aku akan bertanya dulu apakah dia tidak sibuk Sabtu ini."
"Lalu kau datang kepadaku karena ingin bertanya kencan seperti apa yang Ginny inginkan?" Hermione menebak dengan mudah.
Harry langsung merasa bersyukur sahabatnya yang satu ini memang cerdas. "Betul. Dan... beberapa saran. Kau tahu kencanku benar-benar buruk dengan Cho tahun lalu."
Hermione tersenyum senang. "Kau tidak perlu takut tentang masalah kencan dengan Ginny kali ini, kau tidak pernah kehabisan ide bahan percakapan dengan Ginny sampai sekarang, dan dia lebih mengerti tentang kau. Tidak akan canggung, aku jamin, kencan dengan Ginny pasti jauh lebih menyenangkan."
"Tapi untuk jaga-jaga, apakah ada percakapan yang harus dihindari? Kau tahu, seperti bagaimana Cho tidak berhenti-hentinya menyebut nama Cedric," gerutu Harry kesal.
Hermione berpikir sebentar, lalu mulutnya terbuka walaupun nadanya masih ragu. "Berdasarkan pengalaman yang satu itu, kau berarti pasti tahu kalau aku tidak akan menganjurkanmu untuk menyebut-nyebut nama Dean ataupun Michael, kecuali kali ini tidak ada satupun dari mereka yang meninggal, jadi kurasa sebaiknya mungkin lebih baik dihindari, tapi kalau dia merasa nyaman, mungkin tidak apa-apa."
Harry mengangguk pelan, "Lalu?"
"Entahlah, mungkin hindari juga masalah keuangan. Usahakan di kencan ini kau tidak menghabiskan terlalu banyak uang, mungkin bahkan kalau bisa, jangan keluarkan satu knuts pun." Hermione berkata tenang. "Lagi pula kunjungan ke Hogsmade sudah ditiadakan."
"Lalu bagaimana bisa berkencan?" tanya Harry kesal.
"Dengar, Ginny juga memiliki... harga diri yang cukup tinggi. Tumbuh bersama banyak saudara laki-laki membuatnya tumbuh kuat, dan dia tidak suka diremehkan. Dan kalau kau mengajaknya berkencan dan kau membayar, dia akan merasa sedikit minder karena tinggal di kondisi keluarga yang... pokoknya kau mengerti intinya kan?" Hermione berusaha memilih kata-kata yang ia ucapkan dengan seksama agar tidak terdengar menyinggung.
Harry mengangguk, "Jadi... seperti piknik?"
"Menurutku piknik sempurna, dia senang dengan hal yang tidak terlalu mewah. Oh, dan usahakan kau berbincang-bincang hal yang menyenangkan, dan bukannya tentang Voldemort." Mulut Harry terbuka untuk memprotes, namun Hermione mendelik kepadanya. "Aku tahu kau tidak keberatan dengan itu, tapi bagaimana dengan dia? Kecuali kalau ia menanyakan tentang Voldemort, itu terserah kau untuk menjawab."
"Baik, tidak ada Voldemort kecuali dia yang menyinggung. Lalu?" tanya Harry lagi.
"Bersikaplah normal." Hermione berkata santai sambil membuka bukunya lagi, senyum geli kecil menghiasi wajahnya.
Wajah Harry mengerut. "Aku selalu bersikap normal."
"Tidak juga." Hermione mengangkat wajahnya sekilas dari bukunya. "Ingat saat kau... bersama Cho? Kau bahkan tidak tahu apa yang harus kau keluarkan dari mulutmu itu karena terlalu gugup. "
"Menurutmu kenapa saat itu aku gugup setengah mati?" tanya Harry, heran dengan dirinya juga.
"Karena ia tidak mengenalimu sejak kecil, dan kau berusaha sebaik mungkin untuk memperlihatkannya bahwa kau adalah cowok yang sempurna untuknya, dan itu membuatmu bingung harus bertingkah seperti apa. Tapi Ginny mengenalmu, Harry, kau tidak perlu memperlihatkan sisi yang menurutmu akan disukai Ginny." Hermione memberinya senyum semangat. "Cho hanya melihatmu sebagai hero dan menyukai sisi heroik itu, tapi Ginny, dia tidak hanya melihat sisi heroik itu, tapi juga ia telah melihat seluruhnya. Dari laki-laki polos yang baru mengenal dunia sihir sampai seorang pria yang terpilih untuk melawan Voldemort, dan dia menerimamu. Karena itu kau merasa nyaman, karena kau tahu Ginny mengenalmu dari awal."
Harry tersenyum sekilas. Ia juga mengenal Ginny, dan menyukainya. Kadang kalau sedang memikirkan Ginny dan tentang bagaimana Ginny yang di masa lalu sering merona hanya karena sosoknya, Harry bisa merasa gemas dan maka ia akan tersenyum geli. Kalau dipikir-pikir lagi, Harry suka dengan Ginny kecil itu. Menurutnya, Ginny kecil sangat lucu dan menggemaskan, juga manis.
Pernah, sekali, ketika hari ke tiga mereka berpacaran dan Harry belum sempat berbincang-bincang lagi dengan Ginny sejak mereka mulai berpacaran, Harry nyaris tidak meninggalkan sisi Ginny sekalipun. Ketika Ginny akhirnya bertanya ada apa, Harry dengan polos menjawab, "Membalas usahamu ketika dulu kau sering mengikutiku kemanapun."
Harry mendapat senyuman dan kecupan singkat di pipinya setelah itu, tapi Ginny memintanya untuk tidak berbuat konyol seperti itu lagi, jadi Harry berhenti melakukannya—dengan terlihat tentu saja. Harry masih melakukannya, namun dia selalu memakai Jubah Gaibnya. Selama hari-hari itu, Harry menyadari bahwa Ginny memang terlalu populer, banyak sekali laki-laki yang melirik Ginny ketika ia berjalan melewati mereka. Dalam otak Harry, sudah tercatat berbagai nama laki-laki yang akan ia awasi jika sempat.
"Harry, kau mendengarkanku?" Hermione mengangkat alisnya sambil melambaikan tangannya di depan wajah Harry.
Harry mengedip kaget, "Eh, apa tadi kau bilang?"
Hermione mendesah pelan, "Kubilang, apakah kau butuh yang lainnya? Karena aku benar-benar harus mencari informasi untuk essay Rune."
Harry melirik kearah tumpukan buku yang berada di sebelah Hermione, lalu memutuskan untuk tidak mengganggunya. "Tidak, kurasa tidak—Tunggu, apa kau tahu makanan kesukaan Ginny? Aku harus minta Dobby untuk membuatkannya," kata Harry, nyaris terlupa akan hal itu.
Hermione mendelik kepadanya, tapi Harry keburu menyela. "S.P.E.W. tidak bekerja dengan baik, kau tahu itu. Dobby akan lebih girang kalau aku kasih kerjaan. Jadi kau tahu apa yang Ginny suka?"
"Kau hidup dengannya setiap musim panas, kau seharusnya memperhatikan," tukas Hermione kesal.
Harry memutar bola matanya akan sikap Hermione yang mendadak berubah hanya karena masalah peri rumah. "Maksudku, banyak perempuan yang berusaha menjaga pola makan mereka untuk tampak cantik dan kurus, jadi aku tidak ingin membuat Ginny tesinggung karena aku sal—
"Ginny bukan perempuan centil seperti itu," kata Hermione sambil memutar bola matanya. "Ia justru susah dibujuk untuk makan sayur, sama seperti Ron—Well, Ginny lebih mudah, sebenarnya. Tapi kurasa kau akan baik-baik saja, Harry. Dia tidak akan keberatan memakan lemak, tubuhnya akan selalu terjaga, dia kan pemain Quidditch."
Harry mengangguk, lalu tersenyum lebar. "Woah, trims, Hermione. Oke, sebaiknya kutinggalkan kau dengan buku-buku itu, bye," kata Harry senang.
.
.
.
Ginny kesal, itu pasti. Ia kira Snape hanya membenci Fred, George dan Ron? Tapi kenapa ia kena imbasnya juga? Tugas dari pelajaran lain saja sudah benar-benar membuatnya kewalahan, apalagi ditambah dengan tugas tambahan menyebalkan dari Snape. Ginny menutup matanya sebentar sambil menggelung di kasur Harry.
Tidak, dia tidak melakukan apa-apa disitu, hanya berkunjung.
Ginny berencana menemui Harry karena ia merasa tidak enak karena tidak bisa menemaninya belakangan ini karena terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya menjelang OWL, tapi begitu ia memasuki kamar Harry, dia tidak menemukan siapapun di dalam. Yang ia temukan hanyalah baju Harry (dan yang lainnya, tentu saja, tapi Ginny merasa itu bukan urusannya) yang berserakan dan kasur yang sama sekali tidak bisa dibilang rapih. Akhirnya ia meletakkan tas nya setelah mendesah pasrah dan mulai membereskan baju-baju Harry, memisahkan yang bersih dan yang kotor. Mengetahui benar bagaimana laki-laki itu biasanya, Ginny cukup mengendus bau kaus-kaus yang berserakan, dan dengan aromanya, Ginny bisa mengatakan yang mana yang kotor dan yang mana yang bersih.
Setelah selesai memisahkan, Ginny melipat kaus-kaus Harry yang masih tergolong bersih dan meletakkannya diatas koper Harry. Gadis berambut merah itu sedikit malu untuk membuka koper Harry, takut menemukan... ehem, baju dalamnya. Walaupun ia hidup dengan tujuh kakak laki-lakinya, dan menemukan bau dalam laki-laki tanpa sengaja sudah bisa, tapi tidak dengan milik Harry. Tentu ia pernah melihat beberapa ketika Harry meletakkan setumpuk baju kotor untuk dicuci di The Burrow, tapi bukan berarti dia terbiasa dengan hal itu. Memikirkannya saja bisa membuat Ginny memerah.
Begitu puas dengan memisahkan baju Harry, Ginny sedikit merapikan seprai Harry, dalam hati berpikir apakah kalau sore hari peri rumah memang terlalu sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam.
Akhirnya aktivitas itu selesai dan sekarang di situlah dia, terbaring di kasur Harry, terlalu mengantuk dan lelah untuk bergerak. Waktu tidurnya juga entah mengapa makin berkurang, dan kasur Harry terasa benar-benar empuk. Ginny melawan rasa kantuknya, berharap Harry akan segera kembali.
Krieeet
Ginny mengintip dari balik bantal Harry yang benar-benar nyaman untuknya, dan dengan lega ia berusaha bangun dari kasur Harry.
Terima kasih, Merlin, batin Ginny, lalu ia tersenyum kepada sesorang yang baru saja masuk. Seseorang yang sedang mematung persis di depan kasur miliknya sendiri.
"Hai, Harry, aku tadi mencarimu, tapi karena kau tidak ada, akhirnya aku kemari, kuharap kau tidak keberatan." Ginny duduk bersila di kasur Harry.
Harry tersentak dan kembali ke dunianya sambil berusaha sebaik mungkin untuk tersenyum kembali. "Bagaimana mungkin aku bisa keberatan menemukan putri tidur di kasurku?"
Ginny tertawa, "Itu mengingatkanku ke salah satu khayalan masa laluku, ketika aku bermimpi aku adalah sang Putri dan kau adalah sang Pangeran berkuda putih yang selalu menyelamatkanku dari kejahatan sihir hitam."
Harry tertawa kecil dan duduk bersama Ginny di kasurnya. "Mimpi itu jadi kenyataan, kalau kau memperhatikan."
Ginny terdiam sebentar, lalu tersenyum, mengingat tahun pertama Ginny di Hogwarts. "Benar, terima kasih, pangeranku."
Harry merona kecil. Lalu ia teringat, "Katanya kau mencariku, ada apa?"
"Apa salah aku mencari pacarku sendiri?" ujar Ginny jahil.
"Bukan begitu!" ujar Harry panik, "Maksudku, kau kan sibuk dengan OWL dan lainnya..."
Ginny menyenggol Harry bercanda. "Santai saja, dasar. Karena itu aku kemari. Aku terlalu sibuk dan itu bisa membuatku stress, aku butuh hiburan. Dan tidur. Untung kau kemari, kalau tidak aku bisa ketiduran disini."
"Aku tidak keberatan," cengir Harry, tapi buru-buru ia menambahkan, "Asal Ron tidak tahu."
Ginny memutar bola matanya. "Siapa sangka, Sang Terpilih bisa ketakutan dengan kakak pacarnya sendiri?"
"Tapi serius, Ginny, kau memang benar-benar butuh tidur." Harry menarik Ginny sehingga ia sekarang tiduran di pangkuan Harry.
Ginny menguap. "Kau benar. Tapi kalau aku benar-benar akan tidur seperti ini, lebih baik kita pindah ke Ruang Rekreasi sebelum akhirnya peraturan dilarangnya perempuan masuk ke asrama laki-laki diberlakukan."
Harry mengangguk. Harry tidak ingin itu terjadi, tentu saja. Lalu Harry ingat akan niatannya mengajak Ginny kencan. Dia sudah memikirkan berbagai cara untuk menanyakannya, tapi rasanya hal seperti itu tidak akan persis sama seperti apa yang sudah Harry susun di dalam kepalanya. Harry bermain pelan dengan rambut merah Ginny, mempertimbangkan apakah bijaksana mengajak Ginny kencan dengan kondisinya yang sedang sibuk seperti itu.
"Harry, Snape menyebalkan, kau tahu itu kan?" Ginny bergumam pelan.
Harry tertawa, "Ada apa?"
"Dia memberi PR terlalu banyak, aku lebih ingin kau yang menjadi guruku daripada dia. Hidung berminyak sialan," gerutu Ginny.
Aha! Itu dia, alasan untuk mengajaknya kencan. Sekaligus untuk membantu Ginny mengerjakan PR dari Snape. Jadi Ginny bisa sekaligus belajar juga.
"Ginny?" kata Harry pelan.
"Hmm?" jawab Ginny, mendongak sehingga mata cokelatnya bisa melihat mata hijau Harry yang indah.
"Eh... seberapa banyak PR yang kau dapat?" tanyanya perlahan.
"Segunung—well, tidak juga. Lumayan lah, kau tahu bagaimana rasanya. Kenapa?"
Oke, Harry, tenang. "Um, begini, aku tahu waktunya tidak terlalu pas, tapi aku hanya berpikir... apakah mungkin kau mau berkencan denganku Sabtu ini? Kau boleh membawa PR mu, tentu saja. Aku hanya berpikir kau juga butuh waktu istirahat."
Ginny tersenyum lebar. Harry mengajaknya kencan! "Kalau begitu beres, aku hanya perlu menyelesaikan semua PR ku sebelum hari Sabtu. Apa yang akan kita lakukan?"
"Tidak!" seru Harry kaget. Bukan itu yang ia inginkan. "Aku tidak akan membiarkanmu mengerjakan semua PR yang tadi kau bilang banyaknya ada segunung itu hanya karena kau ingin bebas hari Sabtu demi kencan itu."
Ginny memutar bola matanya dan bangkit dari pangkuan Harry. Telunjuknya ia angkat dan ia letakkan di dahi Harry. "Harry, aku tidak melakukan ini karen aku terpaksa. Aku sungguh-sungguh ingin bebas pada hari Sabtu agar aku tidak harus mengkhawatirkan PR ku lagi."
Harry menggenggam tangan Ginny yang ada dahinya, lalu ia turunkan perlahan. Setelah itu, Harry mencubit hidung Ginny gemas untuk sesaat, lalu ia lepaskan. "Baik, oke, tapi setidaknya biarkan aku membantu. Janji?"
"Aku mengandalkanmu, Harry," bisik Ginny, ia maju dan mengecup Harry di bibirnya sekilas, lalu ia mengangkat barang-barangnya dan beranjak pergi. "Dan aku tahu kau sering memperhatikanku disaat-saat aku belajar di tepi danau, kau boleh datang kapan saja untuk membantu. Ada yang harus kulakukan, aku pergi dulu. Bye, Harry."
Lalu Ginny memberi kedipan terakhir dan pergi, meninggalkan Harry yang sedang tersenyum senang. Ia akhirnya mengajak Ginny kencan. Sekarang yang harus ia lakukan adalah membantu Ginny dengan PR nya dan menyiapkan kebutuhan mereka untuk kencannya.
.
.
.
To Be Continued...
