Harvest Moon © Natsume
Wasurenagusa © You'll know me at the end od this story
Waa Viss her Daedu Akata
Selalu memperhatikan sosoknya yang berkutat dengan macam pekerjaan. Menantinya hingga ia berbalik barang sebentar saja. Meninggalkan dunia tempat ia tinggal untuk menyambangiku sebentar. Menanti... Dan menanti...
Aku bertanya, kapankah kau akan berpaling dan menatapku? Menatap diri yang butuh segala perhatian darimu. Aku tahu itu egois, tapi tidak akan ada masalah bila kau luangkan sedikit waktumu kan?
Kumohon... Berbaliklah. Aku mulai lelah hanya menatap punggung mu yang terbalut jas putih. Berbaliklah, aku ingin kau menatapku dengan sepasang kristal onyxmu. Sekalipun kau tetap menunjukkan ekspresi kosong. Itu tak masalah.
Berbaliklah, tatap aku. Katakan kau menyayangiku! Setidaknya dengan itu aku tahu... Bahwa ada seseorang yang memperdulikanku.
Sebuah pena menari lincah di atas kertas-kertas putih. Menyisakan jejak-jejak nyata berwarna biru gelap yang manis. Sementara kedua mutiara hitam itu memperhatikan bagaimana pena menari. Mutiara yang kuharapkan dapat menatapku sebentar saja.
"Trent... Apa masih lama?" tanyaku pelan. Memainkan kubus aneka warna pada genggaman tanganku, sementara kristal aquaku memperhatikan wajah ia yang begitu datar.
Satuan waktu genap mencapai satu menit, dan aku tak mendapat jawaban apapun―bahkan ia tak mempersulit diri untuk mengalihkan ke mana arah pandangan matanya.
"Trent..." Kembali aku memanggilnya. Berharap agar ia memberi respond pada panggilanku kali ini. Dan hasilnya tetaplah sama, nihil.
Selalu seperti itu. Tak pernah sekalipun ia memberikan isyarat bahwa ia memperdulikanku. Seolah aku hanyalah angin yang berhembus dan tidaklah perlu ia perdulikan. Karena aku tidaklah ada di tempat ini... Bukan siapa-siapa.
Suara jarum jam yang bergerap setiap detik terdengar bagaikan tawa mencemooh. Memang, imajinasiku benar-benar semakin kacau saat ini. Kian kacau saat kau tak memperdulikan eksistensiku di dekatmu.
"...-ire, kau mau tambah teh?" Sebuah sapa menyadarkanku. Mengalihkan perhatianku dari pria yang selalu menikmati dunianya sendiri pada seorang wanita dalam pakaian perawat yang manis.
"Ah... Ellie, tidak perlu," tolakku pelan. Mengukir senyuman khas yang selalu kugunakan sebagai topeng―tempatku bersembunyi dari orang lain.
Gadis berbalut warna biru dan putih itu tersenyum pelan. Memberiku isyarat untuk mengikutinya ke lantai atas. Dan akupun mengikutinya―setelah sebelumnya memberitahu Trent, walau tetap tidak ditanggapi olehnya.
Sebenarnya untuk apa aku terus mengharap perhatian darinya?
Seharusnya aku sudah menyerah sedari awal ini dimulai. Seharusnya begitu bukan? Dan mengapa dengan bodohnya aku tetap berharap? Mengapa?
Ah... Sudah lupakan saja. Sebaiknya aku pusatkan perhatian dengan kisah yang tengah Ellie lantunkan padaku. Kisah nyata akan kehidupannya. Karena aku adalah pendengar setia yang tak kan bisa menjadi pendongen dalam kisahnya sendiri.
Terkadang aku merasa sebal dengan taburan bunga di atmosfer sekitarku. Mereka selalu mengumbar kemesraan di berbagai sudut kota.
Kesal sekaligus iri.
Aku bertanya, kapankah aku dapat seperti itu jua? Tanya yang sudah kuketahui apa jawabnya. Tak akan bila aku masih mengenakan topeng dan bersembunyi dari dunia luar.
"Apa kau tidak bosan melakukan hal yang sama tanpa ada perbedaan berarti setiap harinya? Apa yang kau dapatkan dari kehidupan monotone ini?" Kukembangkan sebuah senyum kecil kala Gotz bertanya akan hal itu. Senyuman hampa yang kuyakini benar-benar terlihat nyata bagi mereka yang melihat.
"Lalu, apa kau ingin aku melakukan sesuatu yang lain? Meninggalkan semua kehidupan rapuh yang bergantung padaku ini?" balasku dalam sebentuk kalimat tanya. Memetik tomat merah segar yang baru saja matang pagi ini. Sementara Gotz menyibukkan diri dengan desain rancangan di bawah pohon apelku.
Pria itu tak menjawab pertanyaanku. Hanya mendecak pelan sebelum memainkan jangka, pensil, penghapus―dan alat-alat lainnya―di atas kertas putih miliknya.
Monotone...
Lalu seperti apa kehidupan yang ada di luar kata itu. Bukankah sebenarnya semua hidup dalam dunia monotone? Yang membedakan hanyalah cara mereka melarikan diri dari kebosanan. Itu menurutku.
Bahkan kisah fantasy yang kalian nikmati jugalah datar. Seseorang yang bukan siapa-siapa, mendapat kekuatan, melawan penjahat dan berakhir bahagia atau sedih.
Kisah cinta juga begitu bukan? Liku-liku yang ada memang berbeda, tapi muara yang ada sama. Patah hati atau cinta sejati. Hanya ada dua option yang tersedia. Kau sebut itu sebagai kesan? Terserah.
"Hei, apa ini perasaanku saja atau belakangan ini jumlah tanaman yang ada semakin bertambah?" Kembali ia memecah keheningan. Memperhatikan rumpun kehijauan yang bergoyang saat angin berhembus lembut. Memainkan rambut pirang panjang yang kuikat ekor kuda―sulit melakukan kegiatan dengan angin yang tak ada hentinya untuk terus berhembus.
"Kau menyadarinya, aku memindahkan beberapa bunga liar di gunung. Sekedar menghias area sekitar," jawabku riang, dan kali ini bukanlah sebuah topeng.
Kristal milikku kini memperhatikan bunga-bungan berwarna biru yang kutanam di samping bibit-bibit tomat yang baru.
Merangkai senyuman kecil sebelum memetik tangkai demi tangkai. Merajutnya menjadi rangkaian buket bunga yang manis.
"Ingin kau apakan bunga-bunga itu?" Gotz bertanya halus. Menaikkan sebelah alis dan memandangku ―yang masih merangkai bunga.
"Hadiah. Kurasakan bunga-bunga ini akan terlihat cantik bila dipajang di klinik."
"Kapan kau akan menyerah menghadapi pria dingin seperti Trent? Bukankah ada Gray yang setia menantimu?"
"Entahlah... Setidaknya dia belum berucap kata agar aku menjauh dari kehidupannya. Jadi aku masih memiliki kesempatan."
Sesuatu yang begitu muluk. Aku tahu. Aku benar-benar tahu akan hal itu. Amat sangat. Tapi... Aku hanyalah gadis bodoh yang jauh lebih parah.
Aku membenci sebuah kristalisasi emosi yang terarah padapanya. Pada pria yang menjalin hubungan tanpa landasan apapun. Seharusnya aku tak pernah berharap. Iya kan? Seharusnya...
"Kau terlalu banyak bersabar. Jangan sampai kesabaranmu itu menghancurkanmu."
"Entahlah... Aku tak bisa berjanji akan hal itu Gotz."
Kesunyian bagaikan sebuah sapaan yang tergolong hangat saat aku mencapai ruang kerja ini. Hanya suara dari kertas yang tergores maupun hembusan angin dari pendingin udara yang terdengar―abaikan suara riang milik Ellie yang tengah bercengkrama dengan kekasih jarak jauhnya.
"Selamat pagi, Trent," sapaku pelan. Begitu pelan hingga aku ragu apakah terdengar olehnya. Walau sebenarnya aku tak pernah perduli akan hal itu.
"Kau lupa mengganti bunga ini lagi," bisikku. Menatap hampa pada puluhan tangkai bunga pinkcat yang sudah layu. Bunga yang kubawa tiga minggu yang lalu.
Apa kau tidak bisa meluangkan waktu barang sebentar saja untuk menambahkan air? Sebagaimana kau tak memperdulikan bunga-bunga yang kubawakan, sebagaimana itu juga aku mengerti kau tak memperdulikan kehadiranku.
Selalu memberimu waktu untuk sendiri, berkutan dengan kertas-kertas itu. Aku hanyalah meminta waktu lima jam dari ratusaan jam―yang bilang aku genapkan adalah tiga hingga empat minggu―yang kubiarkan kosong. Dan apa yang kudapatkan? Hanyalah kesunyian darimu.
Terkadang kau berucap―lebih tepatnya bergumam―saat aku ada di dekatmu. Tapi bukan hal yang ditunjukkan padaku. Melainkan hal yang kau tunjukkan pada dirimu sendiri. Tanya jawab akan hal yang kau anggap sulit.
Apa arti keberadaanku bagimu sebenarnya? Apa aku ada dalam duniamu itu? Sedikit saja itu sudah cukup.
"Ah, bagaimana menurutmu, maniskan?" bertanya pada dinding. Tak menjawab sama sekali. Kutatap nanar bunga Wasurenagusa segar yang baru saja menggantikan pinkcat layu. Menunggu untuk mendapatkan jawaban yang tak kunjung terdengar.
Apa aku bisa terus bersabar seperti ini? Aku ini bukanlah robot yang akan terus bersabar menerima sikap dingin darimu terus-menerus. Aku juga butuh perhatian sebagaimana tanaman hijau yang tumbuh di pekaranganku. Mereka memintaku memberi perhatian seperti aku mengharap perhatian darimu... Seperti aku...
"Trent... Apa kau memperhatikan ucapanku?" Sudah cukup! Aku lelah dengan segala kebohongan yang kubuat selama ini. Sudah cukup!
"Claire, kembalikan penaku." Hanya itu yang kau perhatikan?
Saat aku merenggut pena birumu baru kau berucap dan memberiku perhatian?
"Aku bilang, apa kau mendengar ucapanku?" ulangku. Berusaha keras membendung linangan air mata yang ingin segera keluar dari sangkarnya.
Jangan, jangan menangis sekarang.
"Claire, aku tak punya waktu untuk mendengarkan ucapanmu! Masih banyak perkerjaan yang harus kuselesaikan!" Suaramu meninggi, apa kau menyadarinya Trent?
"Jawab pertanyaanku dulu," paksaku. Berusaha agar nada bergetar itu tak terdengar olehnya. Menatapnya tajam dengan kristal yang kuyakini benar-benar retak.
"Tidak! Aku sama sekali tak mendengar. Dan aku tak ingin mendengarnya. Sekarang berikan pena itu."
Oh, begitu. Jadi ucapanku selama ini benar-benar tak kau perdulikan? Ah, tunggu. Bukankah aku seharusnya sudah tahu dari awal. Kenapa aku merasa kecewa? Aku sudah tahu konsekuensi dari kesabaranku selama ini. Sudah sangat tahu.
"Claire! Kembalikan aku bilang!" Semakin meninggi. Ucapanmu kali ini benar-benar mencapai volume tertinggi. Sebuah bentakkan. Dan itu terdengar sangat kasar.
"Tidak... Sudah tidak perlu aku menahan diri. Sudah cukup!"
Terserah! Aku tidak perduli seperti apa kau menatapku saat ini. Seperti apa kekesalanmu saat kubiarkan vas bunga di tanganku roboh dan membanjiri meja kerjamu. Merendam segala macam pekerjaanmu.
"Claire! Apa yang kau lakukan!"
"Cukup! Kesabaranku sudah habis, terserah bagaimana kau membentakku. Terserah! Aku tidak akan perduli! Silahkan kau bermain dengan pena dan kertas ini. Selamat tinggal."
Biar! Biar saja kau melihat bulir airmataku jatuh. Biar saja pandangan kesal yang kau berikan terkikis seiring isakkan bermain dari mulutku. Dan biar saja kau tak memiliki kesempatan untuk berucap apapun saat aku menutup pintu besi ini.
"Maaf menganggu acaramu Ellie."
Tak ada lagi yang kupikirkan. Hanya berlari secepatnya menuju rumah. Mengunci diri sendiri di rumah kaca―tempat di mana aku dapat menikmati aroma herb yang kutanam. Dan menangis sejadi-jadinya. Menangis hingga aku terlalu lelah dan jatuh tertidur.
Wasurenagusa yang kuharapkan sudah terserak bersama kertas-kertas rapuh. Dan itu melambahkan perasaanku yang sudah terserak menjadi kepingan debu. Debu yang sudah tak dapat kembali menyatu.
Mungkin untuk... Selamanya.
Yo...
Rui kembali dengan cerita bertema romance gaje ini...
Dan... maaf bila temanya cukup...
Err... Gaje.
Ini cuma two-shot kok
Jadi untuk chapter penutup nanti Rui berikan keputusan pada kalian.
(Karena Rui nggak punya keputusan yang benar)
Ingin Claire melakukan apa.
Dan maaf atas ke OOC tan dari mahluk-mahluk di atas.
Last, mind to review?
