Disclaimer: Kuroko no Basuke belongs to Tadatoshi Fujimaki sensei

Warning: OC (original character of mine), OOC, Typos, dll

Special thanks to all who followed and favorite this story. Saya masih amatir.

.

.

.

Sshhh … sshh dingin. Sepanjang jalan hanya putih yang tampak menyelimuti. Kueratkan lagi dekapan mantel dan topi penghangat. Les piano tadi memang tidak menguras banyak tenaga, tapi musim dingin membuat perjuangan untuk bisa hadir saja terasa terlalu berat. Ah … menyenangkan jika bisa cepat sampai rumah dan minum secangkir cokelat panas.

Tanganku beku karena aku hampir tak bisa merasakannya lagi. Serangan panik menyebabkan kakiku mulai tersaruk, terlepas dari itu~aku memang ceroboh. Kukeluarkan ponsel berusaha tidak bergetar memencet tombolnya. Tak berapa lama, tersambung.

"Kaa-san? Bisa jemput aku di depan minimarket? Aku tidak sanggup jalan lagi."

"Rea-chan? Ah … maaf, Kaa-san belum sampai rumah."

"Oh …" aku berusaha terdengar tegar.

Seperti biasa, tidak bisa diharapkan. Ingin sekali kulampiaskan kekesalan dengan meremukkan ponsel ini. Aku terseok menyeret kakiku menuju halte bis yang sepi. Siapa yang mau keluar ditengah cuaca beku minus lima derajat begini?

Ahaha … tentu saja aku.

Aku mual dan muak. Perutku sakit disertai hantaran kesal menuju tenggorokanku. Kugigit bibir kuat-kuat mencegah lelehan air mata kemarahan. Tapi percuma … selalu percuma. Ah … duniaku … warnanya selalu kelabu.

Salju menyentuh lututku yang telanjang, aku tidak mau bangkit lagi. Aku ingin tidur di sini saja, terkubur dalam butiran dingin putih, dilupakan dan menghilang dalam damai. Lalu terdengar retakkan dari kaca pelapis duniaku dan dunia luar.

"Daijobu?" Aku mengadah mencari arah datangnya suara.

Seorang pemuda tengah berdiri dengan senyuman dan uluran tangan. Senyum itu menghapus sebagian besar matanya menjadi garis lengkung di balik kaca~seperti pelangi dilihat dari jendela. Kujulurkan tangan untuk meraih miliknya, lalu satu sentakkan pelan dia menarikku berdiri. Aku merasa salah tingkah ketika tangannya tak kunjung lepas dari tanganku.

"Ano …"

"Tidak apa-apa kan?" katanya menghentikan keluhanku sambil menunjuk tangan kami yang bertaut dengan isyarat mata. Tanpa sadar aku mengangguk. Rasanya seolah aku sudah menuggu lama sekali untuk hal ini. Seketika dadaku menghangat. Tidak pernah kurasakan kedamaian yang seindah ini sejak lama sekali.

Dia melepas tanganku. Aku merasa beku. Kemudian dia datang lagi dan membawa secangkir kertas cokelat panas. Senyumnya tidak lepas, dia menggosok-gosok tangan lalu menempelkannya ke pipiku yang menghangat entah karena usahanya atau maksud dibaliknya~mungkin keduanya.

"Imayoshi Shoichi, namamu?"

"Rea, Yuuho Rea."

.

.

.

"Arigatou sudah mengantarku, Imayoshi-san." Lelaki itu menggaruk belakang kepalanya dan berucap tak masalah.

"Aku ada pertandingan basket besok, mungkin kau mau datang," dia menyodorkan kertas kecil ke arahku, aku menerimanya dengan senang hati. Senyumnya terkembang lagi, menyetrumku dengan kehangatan.

"Kau yakin menang?"

"Ada dua pertaruhan hari itu, kemenangan yang satu sudah dipastikan, sedangkan yang lainnya tergantung padamu."

Aku tak mengerti. Sepertinya dia menikmati ketidaktahuanku, menganggap hal itu cukup menarik hingga mampu membuat senyumnya bertengger lama. Bagai tertular penyakit aku pun ikut tersenyum. Kami berpisah di jalanan bersalju yang seharusnya dingin namun malah menyebarkan rasa hangat bahagia ke seluruh sel tubuhku.

.

.

.

"Tadaima."

Okaa-san belum pulang karena lampu masih gelap, mungkin juga dia lembur. Biasanya hal itu selalu memicu amarah dan kesedihan, tapi tidak hari ini. Aku masuk dan menyalakan lampu kamar, berbaring dan memikirkan lelaki itu.

Aku pasti sangat bodoh dan ceroboh hingga bisa menceritakan kekesalanku pada orang asing. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku punya teman bicara yang diam dan mendengarkan tanpa interupsi. Tanpa sadar mungkin aku telah memonopoli pembicaraan dan membuatnya bosan. Tapi kurasa dia tidak menganggapku begitu karena dia malah memandangiku dan bertopang dagu, seolah menunggu hal-hal lainnya keluar. aku merona sendiri mengingat Imayoshi berkata dia menyukai caraku bicara. Bisa jadi itu penghinaan terselubung mengingat kadang senyumnya terkesan mencela.

Tapi ada satu kenyataan yang tidak bisa kupungkiri; aku ingin sekali bertemu dengannya lagi.

.

.

.