Terakhir kali ibu bercerita tentang kehidupan pernikahannya dengan namja itu, dia tersenyum begitu lebar. Tidak mempedulikan wajah ayahku yang begitu menyedihkan. Menyimpan seribu rasa sakit di senyumannya yang palsu. Sejak saat itu, aku bersumpah akan membencinya. Suami ibu itu.

.

Benang Merah

Warning! Semi-Incest, GS! Kyungsoo, Elder! Jong In, Parent! Joonmyeon x Yixing.

Rated: T

Summary: Benar, kenapa kita harus lahir dari keluarga yang membingungkan seperti ini? Tidak adakah keluarga lain yang bisa melahirkan kita sebagai manusia yang normal. Paling tidak aku!

.

Ayah bekerja sebagai pengacara. Dia sangat sibuk sampai-sampai malam hari pun masih berkutat dengan komputernya. Saat ibu sudah terlelap, sering kali aku duduk di sebelahnya. Menemaninya sambil menulis sebuah dongeng yang terlintas di pikiranku saat itu. Tanpa sadar ayah selalu membaca kumpulan kertas yang kucoret dengan tinta setiap selesai bekerja. Dan dia begitu dongengku. Aku sangat senang. Aku benar-benar mencintai ayahku yang seperti ini. Dia bilang aku akan menjadi penulis yang hebat.

Aku tidak bisa bicara apa-apa saat tiba-tiba ayah pergi, kali ini untuk selamanya. Dan ibu sama sekali tidak menampakkan diri di ruangan itu, dimana semua orang memberikan penghormatan terakhir untuk ayah. Bahkan saat menaburkan abu ke sungai pun aku sendirian. Ayah tidak punya keluarga di Korea, semua ada di China dan tidak ada seorang pun yang datang. Entah kenapa.

Sejak saat itu ibu sedikit berbeda. Entah perasaanku saja atau dia memang sudah berubah. Dia menjadi pendiam dan senyumannya hilang.

Senyuman yang membuat ayah selalu sakit hati dalam diam. Namun begitu menenangkan untuk dilihat. Aku merindukannya…

Sejenak aku merasa sendirian. Atau memang aku hanya hidup sendiri di dunia ini dengan orang-orang yang hanya berperan sebagai latarnya?

"Susu baik untuk orang yang patah hati, emm… dan pendek."

Wajah datar namja itu memenuhi pikiranku seharian, tepat setelah dia memberikan sebotol susu padaku yang isinya tinggal setengah. Yang setengah lagi? Dia minum. Kurang ajar.

"Aku mengecup sebelah situ sebelumnya."

Perlahan, aku mulai mendapatkan lagi kehangatan tubuh orang lain yang sempat hilang. Tidak banyak kata diantara kami yang secara tak sengaja duduk bersebelahan di bangku belakang. Namun kehadirannya disaat aku membutuhkan seseorang membuatku sadar. Mungkin dia malaikat yang diturunkan Tuhan untuk gadis kesepian sepertiku.

"Kita pulang."

Perkataan egois Yixing membuat Kyungsoo terdiam di depan pintu. Wanita yang hampir menduduki usia 40 itu keluar dari kamarnya dengan dua buah koper besar, Kyungsoo memandangnya kaget sekaligus tidak percaya.

"Pulang? Kita sudah dirumah."

"Ada tempat lain untuk pulang, Kyung."

"Tidak! Ini satu-satunya rumahku!"

Yixing menatap nyalang anaknya. Dia mengambil satu tangan Kyungsoo dan meremasnya pelan.

"Kau ingin ikut bersamaku atau tetap tinggal? Silahkan pilih yang kau sukai."

Tubuh Kyungsoo bergetar mendengarnya. Tidak pernah selama hidupnya, Yixing memperlakukannya dengan membingungkan seperti sekarang. Melihat sang ibu terus bekerja menarik kopernya, Kyungsoo hanya terdiam dengan pikiran berkecambuk.

Dia tahu bahwa hanya ada satu pilihan yang sejak awal ibunya ajukan. Dengan kata lain dia tidak bisa memilih, pilihan lainnya hanyalah bualan.

Namja di depannya tidak terlalu tinggi. Tapi senyumannya seperti malaikat. Hangat, dan membuat siapapun yang melihatnya merasa nyaman. Kyungsoo benci mengakuinya, tapi suami ibu itu benar-benar terlihat seperti orang baik yang tidak pantas untuk dibenci.

"Kamu pasti Kyungsoo. Wah… cantik sekali."

Saat namja itu hendak menyentuh pucuk kepalanya, Kyungsoo menepis tangan itu. Tidak lupa memberikan tatapan mematikan yang membuat namja berwajah malaikat itu tertegun sesaat.

"Jangan sentuh. Kau bukan pedophile 'kan?"

"Ahahaha…"

"Kyungsoo! Dia ayahmu."

Tawa renyah memenuhi ruang keluarga rumah Kim yang mereka singgahi. Joon Myeon tidak bisa menahan tawanya saat mendengar dan melihat bagaimana Kyungsoo menanyakan pertanyaan itu. Sementara Yixing sibuk memarahi Kyungsoo yang tidak sopan, seorang namja lain yang masih muda muncul di tengah-tengah mereka.

"Aku tidak punya ayah!" Teriak Kyungsoo yang membuat semuanya terdiam termasuk Joon Myeon yang tetawa lebar.

"Annyeong…" sapaan pelan yang sopan membuat tiga orang disana sejenak mengalihkan pandangan.

Mata bulat Kyungsoo membesar. Namja di hadapannya saat ini membuatnya merasakan perasaan tidak menyenangkan yang teramat sangat.

"Kyungsoo ini Jong In. Kim Jong In, dia kakakmu mulai sekarang. Panggil dia oppa ya?"

.

"Aku tidak bisa percaya ini."

"Aku juga, ternyata adikku benar-benar cantik."

Kyungsoo berdecih mendengar Jong In yang mencoba untuk menggodanya. Dia mengutuk ibunya untuk semua yang dia lalui hari ini termasuk bertemu dengan Kim Jong In di rumah besar keluarga Kim. Belum lagi saat Yixing menyuruhnya keluar bersama namja di hadapannya untuk mendekatkan diri. Mendekatkan diri apanya? Mereka sudah sangat dekat. Bahkan sebelum semua ini terjadi.

"Apa ini alasannya?"

"Alasan apa? Ayolah Kyung, kau tahu oppamu ini tidak suka pertanyaan yang semacam itu."

"Kau bukan kakakku." Kyungsoo mendesis bagai ular. Matanya berubah tajam seakan tengah mencabik tubuh Jong In dari dalam.

"Terserah kau mau bicara apa. Kita tetap bersaudara bagaimanapun juga."

Tangan Kyungsoo mengepal erat. Mendengar kata saudara, kakak, oppa, dan ayah membuatnya muak hari ini. Ingin sekali dia melenyapkan orang-orang di balik kata-kata itu secepatnya. Atau paling tidak melenyapkan dirinya sendiri. Tanpa sadar tubuhnya ikut bergetar seiring dengan angin malam yang berhembus kuat.

"Kita masuk saja. Aku tidak mau adik baruku sakit."

"Kau memperlakukanku seperti barang. Kau akan membuangku setelah aku menjadi barang lama."

"Tidak akan kulakukan jika kau berlaku seperti adik yang baik."

Jong In menepuk punggung Kyungsoo yang membuat gadis remaja itu berjalan maju menuju rumah utama. Halaman belakang rumah keluarga Kim sangat besar, wajar jika Kyungsoo merasa kakinya semakin berat hanya untuk berjalan ke bangunan itu.

"Kau sudah tahu bahwa aku anak dari istri ayahmu. Karena itu kau memberikan setengah botol susumu padaku saat itu. Iya 'kan?"

Jong In menyampirkan jaket rumahnya ke bahu sempit Kyungsoo saat melihat gadis itu menggigil kedinginan.

"Hanya satu dari sekian banyak alasan."

Kyungsoo berhenti berjalan. Dia melepaskan jaket abu-abu milik Jong In dan melemparkannya kembali kepada sang pemilik.

"Apapun yang kau katakan dan lakukan aku tidak peduli. Jangan ganggu hidupku. Sebisa mungkin pergilah dari pandanganku."

"Tapi kau adikku."

"Berhenti menyebutku seperti itu, brengsek."

Kyungsoo berjalan cepat menuju rumah Kim yang sejak malam ini menjadi rumahnya. Tempat untuk pulang yang sama sekali tidak dia harapkan. Meninggalkan Jong In yang tersenyum kecut di belakang sambil meremas kuat jaketnya.

.

Tentu semua orang merasa curiga dengan hubungan dua orang yang duduk di belakang kelas itu. Biasanya mereka akan berbagi cerita singkat seperti teman dekat sambil sesekali tertawa kecil. Awalnya mereka merasa aneh saat pertama kali Kim Jong In –Si ketua kelas- tiba-tiba mengajak Do Kyungsoo –si pendiam- berbicara. Tapi setelah melewati waktu yang diisi dengan kedekatan mereka, dan pada akhirnya mereka bersikap seperti orang asing satu sama lain, membuat orang-orang kembali merasa heran sekaligus curiga.

Kemarin, Kyungsoo meminta pindah tempat duduk dengan alasan tidak bisa melihat tulisan di papan tulis dengan baik. Tentu songsaengnim mengijinkannya dengan senang hati. Padahal dengan pindahnya Kyungsoo kedepan, itu artinya akan ada lagi Do Kyungsoo yang pendiam. Yang tidak bicara pada siapapun. Karena satu-satunya orang yang berhasil membuatnya mengeluarkan suara adalah Jong In. Yang hanya diam saat gadis itu berusaha menghindarinya setiap saat.

"Semua orang silahkan mencari pasangan untuk pemanasan."

Teriakan guru olahraga yang nyaring adalah satu dari sekian banyak hal yang dibenci Kyungsoo dari sekolahnya. Dia selalu berteriak agar mereka mengikuti apa yang dia mau. Berlaga seperti komandan perang yang tugasnya hanya memerintah dan duduk santai.

"Kau belum dapat pasangan? Ayo lakukan denganku."

Jong In tidak membiarkan Kyungsoo berfikir. Tangan yang menganggur di samping tubuh Kyungsoo dia tarik. Mengajaknya untuk melakukan peregangan lengan. Tapi Kyungsoo tidak melakukannya dengan baik. Semua orang sudah memiliki pasangan, dan hanya tersisa Jong In di depannya. Kyungsoo tidak punya pilihan selain meladeni Jong In yang begitu bersemangat sampai-sampai terus tersenyum seperti orang gila.

"Kau pegang pundakku seperti ini. Kita saling mendorong ok? Di hitungan keti- AA!"

Jong In berteriak kecil saat Kyungsoo tiba-tiba mendorong pundaknya dengan keras sebelum hitungan dimulai. Tapi namja itu masih bisa menahan tubuhnya untuk tidak jatuh. Dia membalas Kyungsoo dengan dorongan yang hampir sama kuatnya.

Jong In dan Kyungsoo sama sekali tidak peduli dengan orang-orang yang mulai memperhatikan mereka. Kedua remaja itu terlalu berambisi untuk menang. Jong In mendorong bahu Kyungsoo lebih keras lagi. Ia menundukkan kepalanya dengan harapan hal itu bisa membuat semua tenaganya terpusat pada tangan. Tapi matanya menghianati.

.

Sialan. Apa yang aku lihat ini? Apa yang sudah aku lihat ini?!

Belahan dadanya terbentuk jelas diantara dua buah gundukan yang putih dan berisi. Aku bersumpah ini bukan salahku. Pakaiannya saja yang kebesaran sampai-sampai membuatku bisa melihat hal itu dari sela-sela kerah bajunya yang terbuka.

"Apa yang kau lihat?!" Desisannya membuatku sadar, tapi kekuatanku hilang entah kemana.

"Hah?"

.

Bruk!

"Kya! Jong In-ah!"

Jong In jatuh terduduk setelah mendapatkan dorongan keras dari Kyungsoo. Ia masih memproses apa yang baru saja terjadi sampai akhirnya sadar dengan apa yang sudah dia lakukan. Saat ingin meminta maaf, orang itu sudah tidak ada di tempatnya.

"Dasar kurang ajar. Bukannya minta maaf malah pergi."

"Gadis itu menyebalkan sekali. Jong In kau tidak apa-apa?"

Yeoja-yeoja yang sempat berteriak tadi mengerubungi Jong In. Berebut untuk membantunya berdiri.

"Aku tidak apa-apa. Kalian lanjutkan saja olahraganya."

.

Gudang menjadi satu-satunya tempat yang bisa membuatku sendirian di sekolah sebesar ini. Disana aku bisa melakukan apapun. Bahkan menangis meraung tanpa ketahuan oleh orang lain.

"Sial! Dia melihatku. Bajingan. Sialan!" tanganku memukul-mukul matras tak terpakai yang ada di pojok ruangan. Dia barang pelampiasan yang selalu merasakan sakit dari tanganku.

Tok… tok…

Tiba-tiba saja pintu gudang di ketuk oleh seseorang. Aku bersiap bersembunyi karena ruangan ini sebenarnya adalah terlarang bagi semua siswa. Loker bekas menjadi tempatku bersembunyi. Kadang aku bersyukur mempunyai tubuh kecil yang bisa membuatku tidak terlihat hanya dengan sedikit bersembunyi.

Menunggu lama, tidak ada seorangpun yang datang. Syukurlah. Tanganku bergerak mendorong pintu loker. Aku sadar, seujung jari pun aku tidak menyentuhnya, tapi pintu abu-abu itu terbuka lebar.

"Ketahuan kau."

.

Joon Myeon adalah orang yang hangat. Kyungsoo menyadari itu sejak pertama kali mereka bertemu. Tapi rasa benci yang dia janjikan pada dirinya sendiri agar tidak akan pernah hilang membuat matanya buta akan fakta itu. Ia masih tidak menganggap ada keberadaan ayah sah dalam kartu keluarganya itu sampai sekarang. Bagaimanapun ayahnya hanya satu. Dan dia sudah tiada.

Setiap makan malam tiba, keluarga kecil mereka akan duduk melingkar di meja makan sambil bertukar cerita. Kyungsoo merasa seperti tertinggal di belakang, dia mendengar semua cerita-cerita lucu dari ayahnya tapi tidak ada satupun yang membuatnya tertawa. Sering kali saat melihat ibunya tertawa lepas mendengar cerita dari Kim Joon Myeon, hati Kyungsoo merasa sakit. Selama hidupnya Yixing tidak pernah tertawa selepas itu karena ayahnya. Apa benar ibunya itu hanya mencintai ayah yang sekarang ada di hadapannya? Lalu ayahnya itu apa?

Kyungsoo masih belum mengerti kenapa ia memiliki keluarga yang begitu rumit.

"Kyungsoo-ya ada apa? Kau diam saja sejak tadi." Tanya Joon Myeon.

Kyungsoo berdecih. Padahal makan malam hampir selesai tapi dia baru menyadarinya. Ah tidak! Bahkan setelah 3 bulan mereka tinggal bersama dalam keadaan yang canggung seperti ini, akhirnya Kim Joon Myeon bertanya juga apa alasannya.

Karena kau muncul di depan mataku. Ah dan juga anakmu yang mesum ini!

Ingin sekali Kyungsoo menjawab demikian.

"Aku dengar kau bersembunyi di gudang sekolah."

Ucapan Yixing membuat Kyungsoo kaget. Dia memandang Jong In yang mengangkat bahunya, berlaga tidak tahu apa-apa.

"Kata siapa?"

"Jong In. Dia bilang dia menemukanmu di dalam loker tua. Kau itu sudah besar. Jangan suka main petak umpet!"

Kyungsoo berusaha menahan emosi. Tapi tatapan matanya yang ditujukan pada Jong In tidak bisa berbohong.

"Itu karena ada seseorang yang mengintip dadaku."

"Uhuk! Mwo? Mengintip? Siapa?"

Jong In meneguk salivanya perlahan saat Kyungsoo bukannya menjawab pertanyaan Joon Myeon malah menatapnya semakin tajam. Sedetik kemudian dia mengaduh kesakitan karena kepalanya dipukul sang ayah.

"Sakit! Appa kenapa sih?!"

"Kau yang mengintip anak gadisku ya?! Dasar cabul. Rasakan ini!"

Yixing tertawa lagi melihat suami dan anaknya yang bertengkar. Bukannya melerai dia malah menikmatinya seperti tengah menonton pertunjukan komedi.

"Aku selesai."

Suara derit kursi dan Kyungsoo membuat ketiga orang disana terdiam. Sampai akhirnya Kyungsoo menghilang di balik tangga mereka terkurung dalam sunyi.

"Anakmu sedikit dingin ya."

Uap putih mengepul dari dua cangkir the di atas meja. Malam sudah semakin larut namun dua orang yang berstatus sebagai suami istri itu masih terduduk di meja makan.

"Sebelumnya dia tidak seperti itu. Mungkin karena masih sedih kehilangan papanya."

"Apa mungkin karena aku juga? Kau tahu 'kan aku dan Jong In hanya orang asing yang tiba-tiba merebut posisi ayahnya. Dia pasti menganggap kami pengganggu."

Yixing tidak menjawab. Tangannya sibuk memainkan pegangan cangkir.

"Dia pasti membenciku sekarang. Coba pikir, siapa orang yang mau dilahirkan dari sepasang orang tua yang tidak saling mencintai? Yang bahkan berbagi tawa pun tidak bisa. Secara terang-terangan aku menolak papanya dan sekarang kembali padamu. Bagaimana perasaannya sekarang, aku tidak berani membayangkannya."

Joon Myeon mengusap air mata Yixing yang tiba-tiba jatuh. Dia tidak tahu perasaan wanita. Juga tidak tahu pikiran makhluk yang mudah menangis itu. Selama membesarkan Jong In dia hampir tidak pernah memikirkan perasaan putranya. Yang dia tahu dia harus membesarkan Jong In menjadi laki-laki yang kuat dan baik hati.

"Kita buat dia berubah perlahan. Aku ada disampingmu sekarang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Yixing menggeleng pelan.

"Kenapa saat itu kita bertindak bodoh? Kenapa kita harus menjadi orang tua yang egois?"

Jong In mendengarkan percakapan kedua orang tuanya di ujung tangga.

"Kyungsoo…"

.

Mereka tidak pernah bertengkar. Rumah keluarga Kim begitu damai walau kedatangan anggota baru sebagai penghuninya. Kyungsoo lebih memilih diam atau melarikan diri ke taman belakang saat perasaannya buruk karena Jong In atau ayahnya. Itulah mengapa suasa rumah itu bagaikan rumah hantu. Terlalu sunyi untuk ukuran keluarga yang memiliki anak berbeda gender dengan usia yang hampir sama.

Mereka tidak pernah berinteraksi. Setelah menjadi satu keluarga menurut negara, Kyungsoo tidak pernah lagi menyapa Jong In di sekolah. Bahkan saat mereka menjadi teman kelompok atau tanpa sengaja harus makan siang di meja yang sama.

Jong In pun seperti ingin menuruti kemauan adiknya saja. Dia juga diam walau beberapa kali menunjukkan rasa kepedualiannya. Seperti saat ini. Saat Kyungsoo kebingungan mencari kartu makan siangnya, Jong In menghampiri untuk menawarinya makan roti bersama. Dengan alih-alih tugas ketua kelas untuk menjaga anggotanya.

"Berhenti melakukan itu! Aku muak melihat perhatian palsumu."

"Hei aku hanya menawarkan roti. Kau lapar 'kan?"

"Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tidak membutuhkannya. Aku tidak membutuhkanmu juga ayahmu yang bermuka dua itu!"

Seketika ruang kelas yang gaduh menjadi hening karena teriakan Kyungsoo. Belum lagi ada kata ayahmu didalamnya. Kecurigaan mereka semakin besar. Apa sebenarnya hubungan kedua remaja itu?

Jong In melunturkan senyuman di wajahnya. Dia marah. Kyungsoo samar bisa mengerti bagaimana kemarahan sang ketua kelas lewat mata coklat yang kosong itu.

"Katakan lagi."

"Apa? Ayahmu yang bermuka dua? Hah, dia pikir siapa dia? Aku yakin wajah malaikatnya itu hasil operasi plastik untuk menyembunyikan wajahnya yang jahat. Dia laki-laki jahat!"

"…"

"Dia membunuh ayahku dari hati eomma. Laki-laki itu harusnya mati saja menggantikan ayahku!"

Plak!

"J-Jong In!"

Beberapa siswi di kelas yang melihat bagaimana kerasnya tangan Jong In menampar pipi Kyungsoo menutup mulut mereka. Beberapa siswa mulai mendekat dan menarik tubuh Jong In menjauhi Kyungsoo yang terdiam.

Jong In menyetabilkan nafasnya yang berantakan dan degup jantung yang terpacu cepat. Ia bisa melihat dengan jelas luka robek di sudut bibir Kyungsoo akibat tamparannya.

"Jaga bicaramu."

"…"

"Jika bukan karena appa, sudah sejak dulu kulempar kau dari atap sekolah."

Jong In menghempaskan kedua teman yang menjauhkannya dari Kyungsoo. Ia meleparkan roti yang ada di tangannya ke meja Kyungsoo sebelum akhirnya keluar dari kelas dan melewatkan sisa pelajaran hari itu.

Kyungsoo duduk diam di kursinya. Walau bibirnya terasa sakit tapi dia tidak berniat untuk pergi ke ruang kesehatan. Entah kenapa, dia merasa pantas mendapatkannya.

.

TBC

Halo semua. Author baru disini. Semoga kalian menyukai karyaku.

Are you like it? ^^