"Mr. Scandal"
Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Mr. Scandal © Suki Pie
Warning : Klise. Typo(s). Actor!Akashi. Novelist!Kuroko. And anything.
"Saya tidak mendapatkan keuntungan komersil macam apapun atas pembuatan fanfiksi ini."
.
.
.
Act One : Prologue
[Baginya, menulis adalah napas. Dan untuknya, berakting adalah hidup.]
.
.
.
"Itu dia! Akashi Seijuurou-san!"
"Akashi-san! Tolong beri penjelasan!"
"Apakah berita itu benar? Kau berkencan dengan aktris Momoi Satsuki? Akashi-san!"
"Akashi-san berlari ke sana! Semuanya, Akashi-san berlari ke sana!"
.
.
.
Akashi Seijuurou. Seorang aktor. Mendapat rumor bahwa dirinya seorang playboy dan baru saja berkencan dengan Momoi Satstuki, aktris papan atas yang saat ini melejit kepopulerannya setelah memutus hubungan dengan gadis yang dirahasiakan identitasnnya hingga saat ini.
Aiish! Berisik! Hapus semua berita yang dibuat para wartawan paparazzi itu! Akashi tidak suka mendengarnya. Terlebih ketika ia mendapati gossip seperti itu terpampang jelas di majalah artis sebagai topik utama bahasan. Sial! Sang idola sepertinya tidak akan menurunkan harga diri semudah itu. Tidak akan pernah!
Drap! Drap! Drap!
"Akashi-san!"
Oh, shit!
Kakinya berusaha untuk tak merasa kelelahan; berlari secepat mungkin, selincah yang ia bisa, dan tentu saja, menghindar dari para wartawan yang mengejar tepat di belakangnya. Jika boleh dikatakan, Akashi lelah—sungguh. Bukan lelah dalam artian bagaimana kehidupannya, tapi ia lelah harus terus berhubungan dengan manusia-manusia yang gila dengan berita panas dan fakta yang diputar balikkan. Cih, mengganggu!
Untuk itu, tak ada salahnya 'kan aktor papan atas seperti dirinya berlari di sepanjang jalanan Tokyo hanya demi para wartawan berita berhenti mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh padanya? Huh, seorang artis juga manusia. Mereka membutuhkan waktu untuk sendiri tanpa ditemani lampu blitz dan sebagainya.
Akashi berbelok cepat begitu tikungan jalan di depannya terlihat. Terserah ia mau berlari ke mana, tersesat pun mungkin jauh lebih baik.
"Dia berlari kemari!"
"Kejar! Jangan sampai kehilangan jejaknya!"
Sudut bibir Akashi terangkat, membentuk seringai tipis. Baiklah, berhenti di depan sebuah kafe yang belum pernah ditemuinya hingga saat ini berhasil mengelabui para wartawan sialan itu, untuk saat ini.
"Ck! Tak ada pilihan lain," Akashi mendengus sebal, menggerutu dalam hati karena sadar bahwa mengambil jalan yang sama untuk kembali ke rumah produksinya sama saja mencari mati. Atau perlukah ia pulang ke apartemennya? Ah, tidak. Itu jauh lebih parah, dihadapkan oleh para penggemar.
Maka dari itu, pilihan Akashi jatuh pada kafe yang mungkin—untuk sementara waktu—menjadi tempat persembunyiannya.
Bunyi lonceng kecil terdengar nyaring ketika Akashi mendorong pintu kacanya. Well, menurut pengamatan Akashi, kafe minimalis yang terletak jauh dari perkotaan ini terlihat elegan. Reminiscence, begitu desain interior kafenya. Perancis yang begitu kental, juga cocok untuk menarik perhatian pelanggan.
Hoodie hitam yang dikenakannya sengaja Akashi gunakan untuk menutupi seluruh kepala. Menyembunyikan rambut merah yang mungkin menjadi daya tarik pengunjung kafe. Tidak, bukannya ia seorang buronan atau apa, Akashi hanya malas untuk membuat masalah lagi.
Hingga satu meja paling ujung samping kaca jendela besar menarik perhatiannya. Berjalan dengan wajah menunduk, Akashi berpikir mungkin duduk di sana tak ada salahnya sampai manager-nya nanti menjemput.
Ditariknya satu kursi kosong, tak mempedulikan kursi di depannya yang semula sudah tertarik. Biarlah, mungkin pramusaji di sini belum membereskannya, batin Akashi. Ya, untuk beberapa menit ke depan, biarkan waktu menjadi miliknya seorang—
"Sumimasen,"
—atau tidak sama sekali.
Akashi mendongak. Matanya bersirobok langsung dengan sepasang manik biru muda yang sempat membuatnya tak berkutik.
"Ya?" satu alis Akashi terangkat. Ada nada yang terkesan tidak ramah ketika dua abjad yang diucapkannya tadi terucap. "Ada kerpeluan denganku?"
"Ini tempatku," sahut si biru muda. Menunjuk meja dengan dua kursi yang salah satunya Akashi tempati. "Tuan bisa mengambil tempat lain."
Kening Akashi berkerut samar. Mengamati paras pemuda di depannya dengan teliti. Datar, satu kata melintas dalam benak Akashi. Terlalu datar untuk seukuran pemuda dengan mata yang senada rambutnya. Seperti orang mati, tambahnya. Dan bagaimana cara si biru muda membawa satu nampan berisi teh hitam dan satu porsi apple pie, Akashi berspekulasi bahwa orang itu mungkin tidak terlalu mengenal dunia luar.
"Kau bisa mencari tempat lain," adalah kalimat yang sangat tidak sopan untuk diucapkan kepada seseorang yang lebih dulu mengambil tempat. "Aku tidak ingin berpindah meja."
Kening si biru muda mengerut. "Tapi Tuan, aku yang sampai di sini lebih dahulu. Seharusnya Tuan yang pindah ke meja lain."
Oh. Ada yang berani menantangnya ternyata.
"Kau, siapa namamu?"
"Kuroko Tetsuya."
"Baiklah, Kuroko-san. Dengan berat hati kukatakan, aku menolak untuk pindah."
Telapak tangan si biru muda menggebrak meja secara tidak sengaja. Nyaris membuat semua pasang mata pengunjung tertuju ke arah mereka berdua.
"Tuan, apa kau tidak mengenal tata karma?"
Demi Tuhan, tidak bisakah orang yang bernama Kuroko itu pergi dari hadapannya sekarang juga?
"Lihat dirimu sebelum kau bertanya." Sorot mata Akashi menajam, begitu pula nada suaranya. "Lebih baik kau pergi sekarang juga sebelum aku marah."
"Tapi ini tempatku."
"Salah sendiri kau meninggalkannya,"
"Bukankah Tuan yang menempati tempat ini dengan seenaknya?"
"Kau, Kuroko Tetsuya, berhenti membantah dan turuti saja—"
Tepat pada saat itu, pintu kafe menjeblak terbuka, dan gemerincing bel saling bersahutan, diikuti suara langkah kaki yang saling berdesak-desakkan.
"Itu dia! Akashi Seijuurou!"
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan detik jam tak perlu bergerak hingga di menit ke tiga sampai meja di mana Akashi berdiri, di mana Kuroko berpijak, dan di mana mereka berdua berdebat kini penuh oleh kerumunan orang yang saling berteriak; mengucapkan kalimat berbeda dalam waktu yang sama, juga lampu blitz bertebaran yang terus berkedip tanpa henti. Bahkan para pengunjung kafe pun mulai bersikap berlebihan.
"Akashi-san, siapa pemuda ini?"
"Apakah Anda temannya Akashi-san? Siapa namamu?"
"Kau yang berambut biru muda, apa hubungan Anda dengan Akashi-san?"
Sudah cukup! Akashi tidak suka—tidak, ia benci—dengan semua keramaian ini. Wartawan. Paparazzi. Kamera. Blitz. Kebohongan yang dibuat-buat. Akashi benar-benar membencinya dengan sepenuh hati. Sial. Sial. Sial!
Dalam keadaan ribut seperti ini, Akashi refleks mengangkat kedua tangan—menghindar dari temaran lampu kamera, sebenarnya. Berusaha mencari celah untuk kabur.
Namun keadaan lain menghentikan niatnya. Tepat ketika ia melihatnya. Bagaimana ekpresi yang terbesit dalam raut wajah Kuroko Tetsuya. Bagaimana Akashi menyadari, bahwa pemuda yang secara tidak langsung ikut dalam pemotretan tidak resminya sekarang ini terlihat gemetar. Terkejut, tentu saja. Bingung terlihat jelas dalam binar kedua matanya. Dan yang terakhir… speechless.
Dasar bodoh.
Entah karena situasi, entah karena kebisingan, atau entah karena sifat alaminya, Akashi bergerak saat seperkian detik berikutnya. Mencondongkan tubuh ke depan—tepat mengarah Kuroko Tetsuya—dan menjulurkan satu lengannya, menarik dagu yang awalnya tertunduk malu, hingga kepalanya terangkat; memperlihatkan dengan jelas bagaimana lekuk dan pahatan wajah datarnya. Juga sepasang langit biru yang menyihirnya.
Dan bagaimana bibir itu saling bertemu. Mengecup tanpa rasa. Bersentuhan dengan ragu. Berbagi rasa yang nihil adanya.
Menatap manik biru muda yang terbelalak lebar.
Akashi menutup mata. Menulikan telinga pada setiap teriakan dan tajamnya sorotan kamera yang semakin gencar mengambil momen langka sekaligus mahal untuk berita yang akan terpampang di setiap majalah nantinya.
Akashi Seijuurou. Sembilan belas tahun. Aktor papan atas dengan julukan terkenalnya, seorang laki-laki playboy.
Kini berganti status menjadi seorang gay.
Jangan bercanda!
.
.
.
Well, tbc? *plak*
A/N : *Diem beberapa detik* *terus jedukin kepala*
INI APALAH TOLOONGGG? 8""DD Oke, jangan tanya kenapa ini cerita absurd ada, aduh /gelindingan. Manalagi itu MC Chain belum update-update, ihik. Manalagi tiba-tiba aja ini ada. Manalagi tugas numpuk /udah. Well, ya, halooo... ini Suki, kayaknya lagi stress #heh. Anggap saja cerita ini prequel dari fanfic "Tiramisu" hahaha *ketawa canggung*
Serius, Suki ragu sama ini cerita. Abis mainstream banget 8"D
Terima kasih bagi yang sudah membaca! XD
Akhir kata,
Review please? *boboan*
