Vocaloid Fanfiction

Disclaimer: Yamaha and Cripton Media Future

WARNING!

There will be so much Typo, OOC, AU, and so much more

Read First and give me your review... Thats my pleasure

Pemeran Utama :

Kaito Shion

Miku Hatsune

Please Enjoy ^.^

Childhood Blues

Chapter 1 : Darmawisata ke Kyoto

Banyak orang menyangka bahwa kami adalah teman masa kecil. Namun aku selalu menyanggahnya dengan berkata "kami hanya teman di SMP." Tidak lebih, tidak kurang. Lagipula, tak ada hubungan khusus diantara kami berdua.

.

.

.

Musim gugur adalah musim darmawisata. Artinya, satu minggu bebas tugas, PR, dan ulangan. Arti dari artinya, kami bisa bersantai selama satu minggu penuh bersama teman-teman satu angkatan. Arti dari arti dari artinya, kau tidak perlu memusingkan dan membunuh diri sendiri diantara tumpukan PR, tugas, ulangan yang setiap hari menerormu, yang bahkan lebih parah dari terror seorang terorisme.

Nah, ini kusebut dengan "Kekuatan Musim Gugur", yang artinya aku-sangat-mencintai-musim-gugur-!

Darmawisata kali ini Vocaloid Gakuen – nama sekolahku – memutuskan untuk pergi ke Kyoto. Aku senang sekali begitu mendengar destinasi kota wisata kali ini. Oke, aku tahu bahwa aku orang Jepang, namun meski begitu, bukan berarti aku sudah keliling Jepang 'kan? Aku hanya pernah pergi ke Prefektur Chiba dan daerah sekitar Tokyo, namun Kyoto? Ini merupakan mimpi indah yang menjadi kenyataan.

Keluargaku jarang berlibur. Mereka hanya sibuk dengan bekerja-bekerja-dan bekerja. Mungkin jika disuruh memilih antara aku dan pekerjaan, bisa jadi mereka lebih memilih pekerjaan sebagai anak mereka dibandingkanku. Tapi, bukan berarti aku benci pada keluargaku dan kabur dari rumah, menjadi anak nakal dan badung. Aku bukan tipe seperti itu. Dan, adegan seperti tadi hanya akan terjadi di novel dan manga yang sering kubaca.

Kembali ke permasalahan. Intinya aku senang. Dari dulu aku sudah mendambakan pergi ke Kyoto, dan… sekaranglah waktu yang tepat untuk mengunjungi provinsi eksotis yang kaya akan turis domestik maupun luar negeri. Dan, aku memang harus berterima kasih pada musim gugur.

"Jam luang darmawisata nanti kau ingin kemana Miku?" tanya Luka saat jam makan siang. Aku yang sedang membaca sebuah novel klasik berjudul 'Emma' karya Jane Austen versi original, mendongak melihat wajah sahabatku ini.

Luka berambut panjang berwarna merah muda. Dia memiliki wajah cantik nan tegas, tinggi semampai dan merupakan salah satu primadona sekolah. Saat aku berkata primadona, maksudku benar-benar seperti Hime-sama di sekolahku. Belasan surat cinta selalu mengantri di loker sepatunya. Puluhan kado dan hadiah selalu tertumpuk rapi di atas mejanya, dan ratusan penggemar yang tiap hari getol mengejarnya.

Luka bahkan sering ditawari untuk menjadi salah satu anggota cheerleader di sekolah kami, namun ia menolak (suatu hal yang sangat disayangkan banyak pihak). Maksudku, remaja waras mana yang akan menolak jika dapat tawaran masuk klub cheerleader secara cuma-cuma? Padahal menurut gosip yang beredar, klub cheerleader tak akan menerima sembarang orang. Seleksi masuknya ketat dan… dengan melegang santai Luka menolak tawaran tiket emas itu.

Dan, aku, Hatsune Miku, adalah kebalikan dari Megurine Luka.

"Aku memutuskan untuk mengunjungi Kiyomizu-dera, Kinkaku-ji, Fushimi Inari Taisha, Kyoto Tower…"

"Ya, ya. Aku bahkan tak yakin kau akan sanggup berjalan sebelum mati kegirangan ketika kita sampai di Kyoto," tukas Luka sambil mengibas rambut panjangnya dan aku dapat mencium wangi papermint yang khas dari shampoo yang digunakan Luka.

Aku berdecak. "Yah, aku akan mengunjungi semuanya dalam satu hari! Dan aku tidak akan mati karena kita sampai di Kyoto. Kau terlalu berlebihan," ujarku sambil kembali membaca Emma-nya Jane Austen.

Luka terkikik sambail membenarkan posisi duduknya. "Aku tidak berlebihan. Justru kau yang berlebihan. Memangnya siapa yang hampir pingsan ketika tahun lalu kita ke Tokyo Disneyland? Siapa yang tak bisa menutup mulutnya ketika kita ke Tokyo Dome? Dan, siapa yang kegirangan sampai hampir mati ketika mendengar darmawisata kali ini akan ke Kyoto?" tanya Luka. Itu bukan pertanyaan, namun itu hanya retorik.

Aku mendengus. "Tutup mulut," kataku ketus berusaha menahan rasa malu. Apa yang ia katakan memang benar. Aku memang hampir pingsan ketika tahun lalu kelas kami mengadakan piknik ke Tokyo Disneyland. Rahang bawahku terancam lepas dari persendiannya ketika aku dan keluarga Luka berlibur dan mengunjungi Tokyo Dome. Dan sekarang, hampir tiap malam aku selalu bermimpi kegirangan pergi ke Kyoto. Dia tidak salah, namun aku tak mau mengakuinya.

Aku sudah pernah mengatakan pada kalian bukan, jika keluargaku jarang sekali berlibur.

Dia tidak menghiraukan perkataan ketusku dan malah asyik membuka telepon genggamnya. Dia menjelajah akun sosialnya sebentar dan kemudian dia mengunci layar touch screen telepon genggamnya. Aku masih sibuk mmbaca Emma.

"Aku tak mengerti mengapa kau suka sekali dengan novel klasik yang tebal. Apa lagi versi original-nya," kata Luka sambil bertopang dagu di mejanya. Aku hanya bergumam menanggapi komentarnya.

Lagipula dia sudah tahu apa jawabanku. Jadi, tak perlu kuberitahu.

Lima menit kemudian bel masuk berbunyi dan aku (dengan enggan) menutup novel yang kubaca dan memasukkannya ke dalam tas. Tak lama kemudian seorang sensei datang dan kelas kami secara serempak berdiri dan mengucapkan salam.

.

.

.

Satu hari sebelum darmawisata, aku tak bisa tidur nyenyak. Jantungku berdebar-debar dan aku diliputi gairah senang yang berlebihan. Ibuku sudah membujukku agar tidur, dan ketika keempat kalinya aku mengganggu kerja lemburnya yang di rumah, dia menutup pintu kerjanya dengan keras di depan hidungku dan tidak berbicara apapun lagi.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk meminum obat penurun panas yang memiliki obat tidur namun ternyata tidak mempan juga. Aku berbaring kekanan dan kekiri namun setelah melakukannya selama puluhan kali kepalaku jadi pusing. Aku memutuskan untuk mengecek ulang perlengkapan apa yang akan dan harus kubawa saat darmawisata besok.

Besoknya aku panik sendiri. Aku tak mengerti kemana perginya kegairahan dan semangat yang berlebihan semalam. Ibuku sedang menyesap kopi pahit dengan mata tertuju ke laptop keramatnya di meja makan. Ayahku juga melakukan hal yang sama. Bahkan aku yang mengucapkan 'Ohayou' pun hanya dijawab dengan gumaman.

Ibu hanya memberiku sarapan berupa roti bakar berlapis susu vanilla dan segelas susu vanilla panas. Iya, aku memang fanatik akan vanilla. Ia memberiku bekal sekotak bento dan hanya kecupan singkat di dahiku. Hal yang jarang ia lakukan selama ini.

Ayah memberiku uang saku tambahan (aku bersorak dalam hati) dan memeluknya secara berlebihan – hal yang jarang kulakukan juga belakangan ini. Dan, dengan berbekal kecupan ibu dan bekas pelukan ayah, ketegangan dan kepanikanku lenyap. Aku merasa bahagia. Hal kecil seperti ini memang mampu membuatku sangat bahagia.

.

.

.

"Wah, wah… kau lelet sekali," kata sebuah suara yang mampu menghapus seluruh keceriaan yang ada pada diriku semenjak pagi hari.

Aku menoleh kearah sumber suara dan menemukan sesosok yang selalu berhasil membuatku uring-uringan dan marah tanpa sebab. Laki-laki berambut biru laut, dengan cengiran menyebabkan bertengger di wajahnya.

Dia memakai kemeja putih bergaris biru tua dan dipadukan dengan celana jeans biru dongker dan syal berwarna biru laut terlilit di sekitar lehernya.

"Shion kaito," geramku kesal. Kenapa dia harus jadi pengganggu di hari yang bahagia ini? Kenapa? "Enyahlah," tukasku sambil menyeret koperku yang berat dan besar ke dalam pintu masuk kelas. Namun dia menghalangiku. Aku menghela napas tajam.

"Minggir," kataku kesal. Cengiran menyebalkan nan tengil masih bertengger di wajahnya yang membuatku ingin menonjoknya.

"Dengar, aku sedang tidak ingin mencari masalah, jadi pergilah ke tempatmu di neraka," ujarku ketus menahan amarah. Aku menyeret koper beratku dan ketika aku merasa hampir lolos, dia mencekal lenganku.

Astaga! Apalagi sih? Tak bisakah ia melihat orang bahagia barang sedetik? Ku pastikan dia tak mampu melakukannya. Aku menoleh padanya dengan tatapan sinis dan tersenyum mengejek. "Aku tahu bahwa kau adalah fans nomor satuku dan begitu menginginkan tanda tanganku. Akan kuberi setelah aku menaruh koper beratku ini," ujarku meremehkan.

Dia membuat gerakan muntah-dan-sekarat yang sukses membuatku ingin melemparnya ke laut. Dia balas tersenyum mengejek. "Mungkin sebenarnya kaulah yang merupakan fans terberatku. Buktinya kau tak henti-henti melirik kearahku dengan tatapan sok sinismu itu. Harus kau tahu, aku tidak mudah jatuh cinta lho," katanya dan aku bersumpah akan memuntahinya suatu saat nanti.

"Dasar narsis! Jangan harap aku akan melakukannya! Sebenarnya menyangkal adalah hal yang wajar dilakukan oleh seorang fans agar perasaan yang sesungguhnya tak terlihat, padahal dia sangat mendambakan bersama idola-nya tersebut. Akui sajalah, tak perlu menyangkal," ejekku lagi. Dia malah tersenyum menyebalkan.

"Ya, kau benar. Kau harus mengakui bahwa kau adalah fans-ku nomor satu. Kau tak perlu menyangkalnya."

Oke. AKU. BENCI. COWOK. INI.

"Kau…!" ujarku menahan amarah dan sebelum sempat membalas ejekannya, seorang gadis berambut coklat mendatangi kami berdua.

"Ohayou Miku, Kaito," sapanya. Dia adalah Sakine Meiko. Pacar Kaito. Meiko berambut coklat terang dan pendek. Wajahnya imut dan dia mempunyai senyum yang manis. Dia merupakan salah satu anak cheerleader. Anaknya asyik dan enak diajak ngobrol. Supel. Aku kadang kasihan mengapa orang sebaik dan seimut Meiko bisa berpacaran dengan orang urakan dan tengil macam Kaito.

Kadang aku berasumsi bahwa Kaito memelet Meiko agar menjadi pacarnya. Lagipula orang waras mana yang mau berpacaran dengan pemuda menyebalkan seperti SHION KAITO ini?

"Kau terlalu berlebihan Miku. Sebaiknya kau gunakan imajinasimu untuk menulis cerita horror," jawab Luka ketika aku mengatakan asumsiku perihal Kaito-memelet-Meiko. Dan aku tak berkomentar apapun.

Setelah Meiko datang, dan kami meledek Kaito sebentar (yang sesungguhnya membuat perasaanku jauh – sangat jauh lebih baik), mereka berdua berjalan keluar kelas sesudah Kaito melemparkan senyuman mengejek yang membuatku ingin menginjak mulutnya.

Aku kembali menyeret koperku dan dududi bangkuku yang biasanya. Luka sedang asyik menyisir rambutnya ketika aku menjatuhkan bokongku di kursi kayu. "Aku benci cowok itu!" ujarku penuh penekanan.

Luka menatapku dan menghela napas. Hari ini ia memakai blouse berwarna pink cerah senada dengan rambutnya dan celana pensil selutut. Sederhana namun elegan.

Apa yang ia pakai jelas berbeda dengan pakaianku. Aku hanya memakai kaus oblong hijau laut dan dipadu dengan kemeja berwarna biru tua kotak-kotak dan jeans yang sedikit kedodoran. Sepatu hanya memakai sepatu kets. Kebanting abis!

"Aku bisa mendegar 'percakapan' kalian berdua," ujarnya santai. Hari ini dia berbau parfum Louis Vuitton mahalnya. Aku mendelik padanya.

"Jangan anggap itu percakapan!" kataku ketus. Dia menyisir rambutnya dengan tangan dan menatapku dengan tatapan jail.

"Hati-hati. Kata orang, jarak antara benci dan cinta itu tipis lho Miku," ujarnya sok serius. Baik, kenapa sekarang Luka jadi menyebalkan seperti ini? "Apalagi kalian berdua adalah teman masa kecil."

"Urusai! Aku tak akan suka apalagi jatuh cinta pada cowok menyebalkan seperti itu! Lagipula aku…"

"Ohayou minna." Aku tak mampu menyelesaikan kalimatku.

Dari arah pintu kelas, sesosok cowok masuk kelas dengan mengaitkan tas ransel yang cukup besar di punggung kekarnya. Dia memakai kemeja berwarna putih yang tidak dikancing dengan dalaman baju berwarna ungu klasik. Untuk celana ia memakai jeans biru dongker yang sedikit kebesaran, namun terasa pas jika ia yang memakainya. Sepatunya bahkan hanya sepatu kets sama sepertiku (hal ini aku merasa senang sekaligus minder).

Rambut ungu panjangnya ia ikat satu ke belakang, dan sama sekali tidak terlihat aneh. Malah dengan rambut seperti itu dia terlihat menawan dan tegas. Cocok. Semua yang ada dalam dirinya menurutku sangat cocok dengannya.

"Ohayou Gakupo," balas anak-anak dalam kelas.

"…lagipula kau hanya menyukai Gakupo sejak kelas satu kita di SMA ini," lanjut Luka sambil berbisik menuntaskan kalimatku yang tidak selesai. Wajahku sontak bersemu merah mendengar penututran Luka.

Aku mengamati Gakupo yang langsung duduk di bangku biasanya. Dia duduk di dua bangku sebelahku yang artinya dia duduk di sebelah Luka.

Sebenarnya Luka sudah berkali-kali menawarkanku untuk duduk di sebelah Gakupo, namun aku tak sanggup jika duduk tanpa latar suara jantungku yang hampir meletus. Lagipula salah satu alasan kenapa aku tak mau duduk di tempat Luka karena… orang menyebalkan sedunia, yaitu Shion Kaito duduk persis di depan Luka. Bisa-bisa aku malah menampilkan sifat dan wajah yang tak senonoh dan memalukan. Aku tak ingin terjadi.

"Ehm… Yang lagi kasmaran… Jadi, apa rencanamu?" tanya Luka penasaran. Dia mencondongkan tubuhnya kearahku dengan raut wajah ingin tahu. Jantungku bertalu-talu memikirkan rencanaku di darmawisata kali ini.

"RAHASIA." Tegasku. Dia mencibir. Lalu berkerut jail.

"Oh begitu. Baiklah, sekarang Miku sudah main rahasia-rahasiaan. Miku sudah besar!" katanya terlalu riang dan terlalu keras suaranya. Aku gelagapan dan segera membekap mulutnya yang dipoles lipbam berwarna pink pucat.

"Diam," desisku malu. Gakupo melrik kearahku sekilas dan jantungku mungkin sudah loncat ke laut jika aku tidak mempunyai tulang rusuk sejati yang selalu melindungi dan menahan jantungku agar tetap ditempatnya.

Aku melotot pada Luka dalam tatapan diam-dan-aku-akan-memberi-tahumu. Kami duduk kembali di tempat kami dan sebelum aku ada kesempatan untuk menceritakan rencanaku, suara dari intercom menyuruh kami berkumpul di lapangan karena bis yang akan mengantar kita ke Kyoto sudah datang.

Aku, dan Luka dan semua teman seangkatan kami mulai membawa tas ransel, koper masing-masing dan turun ke lapangan.

.

.

.

Kelas XII-3 mendapat bis bernomor 7. Aku duduk di baris kedua di dekat jendela di sebelah Luka. Gakupo dan teman-teman laki-laki lainnya duduk di barisan belakang dan sibuk membuat lelucon yang membuat kami sekelas tertawa. Kadang mereka bernyanyi dan satu kelas ikut menimpali.

Luka menatapku. Aku menghela napas. "Baiklah," awal kataku.

Luka menunggu. Aku mengumpulkan tekad. "Aku… berniat menyatakan perasaanku pada Gakupo saat jam luang nanti," jawabku. Setelah mengatakannya aku ingin bumi menelanku detik itu juga.

Luka segera meremas tanganku dan menatapku berbinar-binar. "Itu hebat Miku! Ganbatte!" ujarnya menyemangatiku. Aku tersenyum kikuk dan obrolan kami meluncur begitu saja dan tak berhenti.

.

.

.

4 jam!

Itu yang kami butuhkan untuk sampai di Kyoto. Pantatku sudah kram. Aku sedikit merutuk kenapa sekolah tidak menyewa Shinkansen saja untuk pergi ke Kyoto. Kan hanya butuh waktu dua jam!

Kalau dengan bis belum macet, berhenti di pom bensin dan ke toilet. Dan membeli camilan. Dan belum lagi yang mabuk darat.

"Akhirnya kita tiba juga disini!" kataku pada akhirnya. Aku melemparkan pandanganku pada lingkungan di sekelilingku. Kyoto jelas berbeda dengan Tokyo, dan aku bersyukur aku disini. Udaranya lebih asri dibanding Tokyo, penduduknya sedikit lebih santai dibanding di Tokyo dan… sedikit tenang dibanding Tokyo. Sejauh mata memandang aku mampu melihat turis-turis yang berasal dari Amerika, Inggris, Prancis, jermas, dan lainnya.

Lumayanlah. Cuci mata.

Penginapan kami untuk satu minggu ke depan bernama Hanakiya. Penginapan yang bergaya Jepang Kuno. Setelah kami masuk ke aulanya yang benar-benar seperti aula Jepang Kuno, sensei membagi kunci kamar kami dan kami dipersilahkan untuk menaruh barang-barang kami di kamar dan beristirahat selama setengah jam.

Aku mendapat kamar bernomor 201 dengan Luka. Setelah aku menaruh koperku du sudut ruangan, aku segera tiduran di tatami dan menghembuskan napas. Aku tersenyum.

Akhirnya! Aku sampai! Kegairahan menyelimutiku lagi. Aku menatap Luka yang ikut tidur-tiduran di sebelahku. "Ini menyenangkan sekali," kataku antusias. Dia mendengus geli.

"Kita bahkan belum pergi ke salah satu situs bersejarah, belum berfoto-foto, belum makan malan dengan makanan khas Kyoto, belum melanggar jam malam, dan kau sudah menganggap ini menyenangkan," ujarnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa pelan.

"Kau tahu aku," balasku. Dia tertawa makin keras.

"Tentu saja aku tahu! Hatsune Miku, yang selalu bisa bahagia dengan hal sekecil apapun," jawabnya. Aku mengangguk setuju.

"Ngomong-ngomong, aku ingin berjalan sebentar di sekitar penginapan. Kau mau ikut?" tawarku. Luka menggeleng.

"Aku masih ingin meluruskan pinggang. Kau saja," tolaknya. AKu mengangguk dan dengan semangat aku keluar kamar dan memulai 'petualangan' mengelilingi penginapan Hanakiya.

Hanakiya seperti hotel Jepang pada umumnya. Tidak terlalu besar juga tidak kecil. Sedanglah. Pas untuk satu angkatan. Aku berjalan ke halaman belakang Hanakiya dan menemukan sebuah taman kecil yang cukup terawat.

Berbagai macam tumbuhan dan bunga-bunga beraneka ragam dan warna tumbuh subur dan terawat. Lalu di tengah taman ada sebuah kolam kecil dan dihiasi sebuah air mancur. Aku melangkah menuju kolam tersebut dan ternyata airnya jernih. Aku mampu melihat seorang gadis berambut hijau panjang yang dikuncir dua. Lalu ada juga beberapa ikan koi dan ikan mas di kolam tersebut.

Aku benar-benar bahagia dan berdebar-debar sebelum sebuah suara menghancurkan seluruh momen bahagia itu.

"Yo! Fans terberatku," sapa Kaito dan aku harus menahan keinginanku untuk mendorongnya ke dalam kolam.

"Kau ini suka sekali merusak momen bahagia seseorang ya," kataku kesal. Aku berkacak pinggang mengamatinya berjalan mendekat kearahku dengan cengiran jail di bibirnya.

"Ya, aku tahu kau sangat bahagia bisa bertemu denganku," katanya narsis. Dia berdiri di depanku di samping kolam.

"Kau tahu, aku ingin sekali mendorongmu ke kolam," kataku menahan amrah untuk kesekian kalinya. Belum ada satu hari namun dia sudah membuatku sangat kesal.

Dia tertawa sinis. "Kau ini ternyata modus juga ya," katanya. Dan, aku segera mendorongnya ke dalam kolam.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" katanya kesal, marah, dan geram ketika dia sudah sukses menjadi salah satu penghuni kolam ikan tersebut.

Tawaku pecah tak terkendali. Aku tertawa sampai perutku kram dan sakit. Sampai aku kehabisan napas dan sampai aku tak tahu apakah aku menangis atau tertawa. Intinya aku puas.

"Selamat bergabung di Komunitas Kolam Kyoto, Kaito," kataku sambil melambai dan berniat meninggalkannya. Namun…

GREB!

BYUUR!

Aku dingin dan basah. Aku diam sejenak berusaha mencerna keadaan beberapa detik sebelum keadaan ini.

Aku menertawakan Kaito, berjalan menjauh, Kaito menarikku dan aku terjatuh. Dan sekarang cowok menyebalkan di sebelahku ini tertawa keras. Aku ingin mengambil batu kali dan menimpuknya.

"KAU…!" geramku marah. Sialan!

"HAHAHAHAHA! Astaga kau tak perlu berkorban sedemikian rupa untuk berendam di kolam ikan bersamaku Miku!" ejeknya di tengah tawa lepasnya.

"Brengsek! Kau pikir ini gara-gara siapa?" tanyaku gereget. Dia masih tertawa sambil mengusap air matanya.

"Ya, ya. Kau benar. Ini gara-garamu! Tapi sekarang aku yakin bahwa kau ingin modus kepadaku dengan cara mendorongku seperti ini!" ejeknya. Aku mulai menciprati air tepat di wajahnya dan ku dorong lagi ia hingga sepenuhnya terbenam di kolam.

Lalu aku naik dari kolam dan aku rasa hari ini aku sedang sial.

Mengapa?

Gakupo sedang berdiri diambang taman menonton kami berdua. Ekspresinya tak jelas antara geli, penasaran dan ingin tertawa.

TUHAN TOLONG CABUT NYAWAKU SEKARANG JUGA!

"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Gakupo menahan tawa. Aku tak sanggup berpikir, dan (dengan bodoh) hanya melongo. Sadaar, apa yang kulakukan hanya akan mempermalukan diri sendiri lebih jauh dan membuat imej-ku hancur berkeping-keping di depan Gakupo, aku kabur ke kamarku.

.

.

.

Luka terkejut ketika melihatku basah kuyup dan bau kolam ketika masuk ke kamar kami. Wajahku panas dingin dan rasanya ingin mengis. Kakiku lemas dan bahkan aku tak mampu menggerakkan sendi-sendi ku. Tanpa banyak bicara Luka mengambil handuk dan membungkus tubuhku.

"Kenapa kau bisa sampai basah seperti ini? Kau kebelet berenang ya?" tanyanya penasaran dan prihatin.

"Kaito sialan! Aku benar-benar benci cowok itu!" gumamku geram.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Luka penasaran.

Selama aku menceritakan, Luka berusaha menjaga wajahnya agar tetap datar dan tidak menertawiku.

"Hentikan itu dan tertawalah!" bentakku pada akhirnya.

"Pffft! Gomenasai Miku… Tapi, tidakkah kau dan Kaito sangat kompak?" tanya Luka sambil mengeringkan rambutku. Aku terpaksa mengganti bajuku dengan yang lain. Aku mendelik padanya.

"Tidak! Jangan pernah kau berpikiran seperti itu!" bentakku lagi. Luka menghela napas.

"Baiklah. Lalu ceritamu belum selesai," lanjut Luka.

Aku mengerang. Bagian selanjutnya adalah bagian yang ingin kuhilangkan dari memori otakku. Aku jadi ingin mengulang waktu dan mengganti adegan memalukan itu dengan hal lain. Intinya aku malu sekali.

"Dunia memanggil Hatsune Miku!" Luka berseru keras, dan aku tersentak. Aku menatapnya kesal.

"Apa?" tanyaku.

"Sepertinya Dunia sudah memanggilmu," ejek Luka. Aku berdecak.

"Diamlah dan jangan menambah masalah!" kataku keras dan setegah jam berlalu dengan cepat. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa malas kemana-mana.

Luka berdecak. "Kau tak bisa seperti ini! Astaga, apa karena kau diceburkan ke dalam kolam membuat semangatmu surut?" Luka berkata sebal. Tapi dia tidak mengerti permasalahannya!

"Tapi GAKUPO MELIHATNYA!" aku nyaris berteriak histeris. Luka mematung sejenak.

"Gakupo… apa…?" tanya Luka perlahan.

Aku mendengus kasar. "Gakupo melihatnya! Gakupo melihat ketika keadaanku sedang kacau dan berantakan. Ia melihatku sedang melongo seperti orang bego karena terkejut akan kedatangannya!" jelasku cepat dan terengah-engah.

Luka masih bergeming dan sedetik kemudian, pipinya berubah merah dan matanya berbinar.

"Hentikan itu! Kau sama menyebalkannya dengan Kaito kalau menertawakanku!" bentakku gusar. Aku mengacak-acak rambut yang baru saja disisir oleh Luka.

"Tamat sudah! Gakupo pasti akan menertawaiku dan dia tak akan melihatku seperti dulu lagi," kataku hampir menangis.

"Astaga Miku! Apa jatuh ke kolam membuat otakku bergeser dari tempatnya? Gakupo tak akan melakukan hal seperti itu! Lagipula aku rasa dia bukan tipe orang seperti itu," ujar Luka berusaha menenangkanku.

Mungkin ia benar. Aku terlalu berlebihan.

Aku memantapkan tekadku. Jangan biarkan cowok bernama Shion Kaito itu merusak darmawisata yang kutunggu-tunggu!

To Be Continued

Hai, hai haiiiiiiii!

Ini fict kedua Audry di Fandom Vocaloid lho...

Huehehehehehe...

Ya ampun... Audry nge-posting cerita ini saat besoknya ada remedial matematika (garis singgung irisan kerucut, Hubungan dua garis dan irisan dua lingkaran memang menyebalkan)

HAHAHAHAHA! Dan Audry sedang gak mood buat belajar...!

Dan...

Sebenarnya cerita ini merupakan salah satu request dari seorang reviewer..

Hai, Mikunegi-chan...

And, dari pada Audry mlah bacod gak jelas,

Last Word...

RnR Please...