Omae Dattanda (It was You)
A Naruto fanfiction
All standard disclaimers and warnings applied.
No material profit taken, thank you very much.
[the tittle is taken from one of Kishidan song, Omae dattanda]
.
Sinar matahari pagi di musim semi menerobos masuk melewati jendela lebar sebuah gedung galeri foto di pinggiran kota Konoha yang ramai. Seorang gadis dengan headset di kedua telinganya berbalik sejenak untuk memandang awan yang berarak dari balik jendela saat merasakan kulit langsatnya tertimpa cahaya hangat matahari. Seulas senyum tersungging di bibirnya yang kemerahan. Ia selalu menyukai cahaya matahari musim semi.
Pandangan gadis itu kembali terarah pada foto-foto yang ditata rapi berjajar di sepanjang dinding koridor galeri itu. Foto-foto hasil karya fotografer kondang, baik mereka yang sudah almarhum atau karya fotografer yang tengah laris manis. Matanya dengan cermat mengamati satu per satu deretan foto yang menggugahnya untuk sekedar berdecak kagum. Lamat-lamat gadis itu berjalan, seolah ia memiliki berjam-jam waktu senggang untuk dihabiskan di galeri itu. Nyatanya, ia harus menghadiri salah satu mata kuliah paling memuakkan baginya pagi itu. Ia hanya punya – gadis itu melirik jam tangan pink yang melingkari pergelangan tangan kirinya sekilas – dua jam untuk hengkang dari galeri itu.
Langkahnya terhenti di depan sebuah foto yang tampak sangat menarik perhatiannya. Di antara deretan foto-foto yang menampakkan model-model yang sudah ditata sedemikian rupa dan hasil editan program komputer yang mendominasi deretan itu, gadis bermata emerald jernih itu menemukan satu foto yang tampak lain. Foto yang tengah dipandangi gadis itu bukanlah foto yang tampak 'wah' dengan teknik-teknik tingkat tinggi, atau model yang sangat cantik dan memesona, bukan. Foto itu hanya menampilkan potret seorang gadis bertudung dari arah samping yang tengah berdiri di trotoar jalan yang ramai lalu lalang pejalanan kaki – memandang dengan hampa. Daun-daun ginkgo yang berguguran mendominasi background foto itu. Sekali lagi, bukan karena teknik sang fotografer yang memang patut diacungi jempol, tapi karena dalam foto itu, foto berukuran kecil – tak lebih besar dari foto-foto di kanan-kirinya – itu mampu menunjukkan jutaan emosi di dalamnya.
Ia merasakan adanya kesepian dalam ekspresi alami objek foto itu. Sekaligus hangatnya musim gugur, ketenangan saat melihat hamparan keemasan daun ginkgo, dan ia merasakan ketegaran dalam diri gadis itu. Sendiri di tengah keramaian. Sang fotografer hanya memfokuskan objek pada gadis itu, membuat para pejalan kaki lain nampak buram. Dan tak salah jika sang fotografer menamai hasil jepretannya itu hanya dengan satu kata, seolah mampu mewakili segalanya. Kamu. Entah apa maksud sang fotografer menamai fotonya dengan kata 'Kamu'. Mungkin untuk mewakili satu gurat penantian yang terpapar jelas dari wajah sendu gadis itu, gadis yang berdiri diam di tepi jalan, berhenti dari rotasi sekelilingnya. Seolah ia menunggu seseorang. Atau mungkin 'Kamu' sebagai ungkapan perasaan sang fotografer itu sendiri. Menatap 'Kamu' yang tengah kesepian di keramaian.
Satu yang dirasakan gadis emerald itu, ia merasa pernah melihat pemandangan seperti yang ada dalam foto itu. Matanya yang jernih berhenti tepat di label yang ada di bawah bingkai sederhana foto itu. Label kecil berisi judul dan nama fotografer.
Kamu. In memorial : Vanadium
Dengan segera gadis itu mengerutkan dahinya rapat-rapat. Inisial, ah bukan, lebih tepatnya nama samaran. Berbagai pertanyaan memenuhi otaknya. Vanadium, sepertinya ia tak asing dengan nama itu. Dan, hm, satu tanda tanya besar dalam otaknya. Vanadium itu pria atau wanita?
.
"Dari mana saja kau? Untung hari ini dosennya tidak datang!"
Gadis emerald itu meringis lebar, sekaligus berusaha menghindari tatapan mengerikan gadis blonde yang sudah dua tahun ini menjadi sahabat karibnya. Buru-buru ia mengeluarkan catatan kuliahnya dan diktat tebal dari tas kanvas yang disandang di bahunya sedari tadi. Sakura Haruno, satu nama indah yang tertulis di sampul buku catatan gadis emerald itu.
Gadis blonde di sampingnya terus menekuk wajahnya kesal – setengah iri sebenarnya. "Tahu begini aku tidak perlu datang terburu-buru!" protesnya dengan suara rendah.
"Sudahlah, Ino. Kau memang tidak beruntung," canda Sakura dengan suara tawa renyahnya.
Sahabat blondenya, aka Ino Yamanaka, dengan setengah kesal menyodok Sakura dengan sikunya. "Huuu, payah!" cibirnya seraya kembali melanjutkan tugas dari dosennya.
Sakura masih tergelak, membuat Ino yang sudah tidak menekuk wajahnya kembali menyodoknya, kali ini lebih keras. "Aaaaww!"
"Kau harus traktir aku makan siang hari ini. End of story…" Sakura mendelik dengan mulut setengah terbuka, "and no complain, Miss," sambung Ino cepat sebelum Sakura sempat membantahnya.
Sakura hanya mampu menghela napas, mengangkat bahunya sekilas. No other options, kalau ia tidak mau sahabatnya ini mengacuhkannya sepanjang hari yang bakal sibuk ini.
"Haaah…"
.
"Jadi, kemana saja kau sepagian ini?" Ino menunjuk muka Sakura dengan sendoknya. Mata baby bluenya menyipit, menandakan bahwa ia benar-benar ingin tahu.
Sakura menelan makanan yang baru dikunyahnya. "Galeri," jawabnya singkat.
"Galeri? Galeri apa? Seni? Kemana perginya rasionalitasmu itu?" tanyanya beruntun seraya mengangkat sebelah alis.
Sakura menghentikan suapannya. "Ada yang salah dengan seni?" tanyanya tanpa menghilangkan nada sarkatik dalam bicaranya.
Ino mengangkat bahunya sekilas. "Hanya terdengar bukan kau saja."
Sakura mencibir. "Seaneh Ino Yamanaka yang tidak bergosip seharian kah?"
Ino mengibaskan tangannya ke udara, berusaha untuk tidak menanggapinya. "Aku punya berita baru," ucapnya mengalihkan topik, membuat Sakura menelan ludahnya.
Sakura memutar bola matanya bosan sambil bergumam tak jelas. "Baru kubilang…"
"Ck, dengarkan dulu," potong Ino sambil berdecak. "Kali ini kau tidak akan menyesal mendengarnya."
Sakura mengerutkan kening. Memangnya sejak kapan ia peduli dengan gosip-gosip dan berita terhangat dari Ino? Dan lagi, apa urusannya dengan dirinya? Sakura mengerutkan keningnya tanpa sadar, mengundang Ino untuk melanjutkan deretan kata-katanya yang tampak nyaris bobol dari mulutnya.
"Aku bahkan belum membagi info ini pada teman-teman gosip-murahanku yang lain. Kau harus bangga dengan itu!"
Tentu saja Ino tidak mengatakan gosip murahan dalam kata-katanya. Tidak mungkin, karena gosip sudah menjadi separuh rutinitas hidupnya, sepanjang ia bernafas. Dan tentu saja, Sakura yang kesal seenaknya menambahkan kata-kata itu selama Ino bercuap-cuap tentang menggerutu dalam hati, sementara Ino terus melanjutkan ocehannya tanpa memerdulikan Sakura yang memasang wajah suntuk.
"Kau kenal Sasuke Uchiha kan? Ah, sudah tentu. Pria tampan, berbakat dan kaya seperti dia. Oh, Sasuke!"
Koreksi Sakura kalau ia salah. Ino menyebut nama Sasuke-apalah-itu dengan mata berbinar, intonasi suara yang terdengar sangat mendamba dan memuja. Sakura menghela napas jengah. Nyaris memuntahkan makanan yang baru saja ditelannya saat melihat Ino memajukan bibirnya, hendak mencium layar ponselnya sendiri. Sakura memandang karibnya dengan tatapan... jijik. Mencium ponsel? Oh, sepertinya Ino sudah tidak laku lagi di kalangan mahasiswa universitasnya.
"Aku tidak mengerti siapa yang kau maksud dan kau membuat segalanya semakin membingungkan dengan ritual aksi-memuja-manusia-bak-dewa-mu itu. Hentikan, oke?"
Ino berdecak kesal, setengah hati menurunkan ponselnya dari bibirnya yang sudah tak karuan bentuknya.
"Aku cerita pun kau tidak akan dengarkan, kan?"
"Nah itu sudah tahu!" Sakura memukul meja di depannya pelan, memutar bola matanya sebal.
"Tapi kau harus tahu!"
Sakura memasang wajah tak-percaya-nya menanggapi sikap Ino. "Dan aku tidak harus mendengarkan, right?"
Ino merucutkan bibirnya kesal. "Kau harus mendengarkanku, sampai tuntas!" tandasnya dengan penekanan di tiap katanya.
"Whatever!" Sakura memutar bola matanya lagi, entah yang keberapa hari ini.
"Good!" Ino menarik napas panjang, bagaikan seorang penyanyi opera yang hendak menyanyikan nada-nada tinggi yang mencengangkan. "Jadi, ternyata Sasuke selama sebulan ini sudah…"
Sakura hanya bisa pasrah duduk manis di depan sahabatnya selama dua jam ke depan mendengar ocehannya tentang Sasuke-blabla dan gosip-gosip tentangnya. Memangnya siapa sih Sasuke itu?
.
Sakura menyempatkan diri kembali untuk sekedar menengok galeri foto yang tadi pagi didatanginya. Sore yang ramai di jalan Konoha, kontras dengan keadaan galeri yang sepi. Hanya ada beberapa orang yang mengunjungi galeri terpencil itu.
Sakura segera melangkahkan kakinya ke deret foto yang tadi pagi didatanginya, berniat melanjutkan pengamatannya dari foto karya Vanadium yang tadi pagi dilihatnya. Walaupun berkali-kali melihatnya, Sakura tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak berdecak kagum.
Hampir dua jam Sakura menghabiskan sorenya di galeri itu, dan hanya segelintir foto yang mampu menarik perhatiannya. Sakura memang bukan orang yang tahu banyak tentang seni, ditambah lagi dirinya memang payah dalam seni. Namun, apresiasinya terhadap seni memang tinggi. Sakura bisa dengan jelas memilih mana yang benar-benar seni yang indah. Bukan berarti foto-foto yang dipajang di galeri ini merupakan karya yang tidak indah, bukan. Hanya saja, dari sekian banyak foto, hanya beberapa yang mampu menyentuh perasaan Sakura. Seolah pesan dan emosi sang fotografer benar-benar mencapai hati para pengamatnya.
Sakura tengah memandangi satu foto terakhir – yang nampaknya baru dipasang beberapa waktu lalu – saat seseorang mengagetkannya dari belakang.
"Kau tertarik dengan foto itu, Nona?"
Sakura berbalik – setengah kaget sebenarnya, kemudian buru-buru tersenyum pada pria tua yang menyapanya.
"Begitulah," jawabnya sopan.
Pria tersebut memilih berdiri di samping Sakura, ikut mengamati foto yang juga menarik perhatian Sakura.
"Foto ini baru kudapat tadi pagi dan langsung kupasang." Dari kata-kata pria itu, Sakura menyimpulkan bahwa pria itulah pemilik galeri itu.
Sakura mengangguk-angguk sembari terus menatap lekat foto bertemakan musim semi itu. Foto yang indah, menenangkan. Lagi-lagi Sakura berdecak kagum melihatnya. Diliriknya label di bawah foto itu. Masih belum bernama. Hanya ada label judul foto itu. Masih. Sakura mengerutkan keningnya.
"Vanadium?" gumamnya.
Pria berkemeja putih itu mengangguk. "Kau kenal dia, Nona?"
Sakura menggeleng. "Hanya tertarik dengan karya-karyanya," jawabnya dengan senyum tipis. "Ah, aku sudah tidak sopan. Haruno Sakura. Anda?" Sakura mengulurkan tangannya, mengajak pria itu berjabat tangan.
"Sawatari Gunma. Senang mengenalmu, Haruno." Pria itu membalas uluran tangan Sakura, tersenyum ramah. "Suka fotografi?"
Sakura menundukkan kepalanya malu. "Ah, tidak, Sawatari-san," jawab Sakura dengan suara rendah seraya meremas cardigan biru mudanya gugup.
"Tapi sepertinya kau punya selera tinggi, ya."
Sakura tersenyum lebar mendengarnya. "Kurasa Anda benar soal itu."
"Jadi, apa Vanadium ada dalam daftar favoritmu?"
Sakura mengangguk mantap. "Aku baru lihat dua karyanya. Kamu dan Masih. Dan aku suka keduanya," jawab Sakura antusias sambil terus mengamati potret gadis yang tengah duduk di bangku taman itu.
"Apa kesanmu tentang foto satu ini?"
Sakura tersenyum sekilas. "Karya yang tidak muluk-muluk, sederhana, apa adanya dan bermakna. Aku seperti melihat pantulan diriku sendiri di sini. Gadis ini… Vanadium benar-benar memilih sudut yang tepat untuk menggambarkan kebingungan dalam ekspresi gadis itu."
"Dari mana kau bisa simpulkan gadis itu tengah kebingungan?"
"Hm, perhatikan saja cara gadis itu duduk, saling menautkan jemarinya erat, posisi lutut yang saling menempel dan sedikit meringkuk." Seperti melihat diriku sendiri, tambahnya dalam hati. "Menurutku sudut pengambilan dari samping seperti ini cocok dengan gadis itu. Kebingungan dalam rahasianya. Gadis itu tampak sangat misterius sepertinya." Sakura terkekeh di akhir kalimatnya. "Aku juga suka fokus gambarnya. Hm, tipografi? Hm ya, aku suka."
"Bagaimana dengan gadis itu sendiri?" Sakura menoleh ke arah Sawatari, bingung. "Maksudku pendapatmu tentang dia. Kurasa kau sudah bisa menduga gadis itu adalah gadis yang sama dengan yang ada di karya musim gugur Vanadium."
"Eh?" Sakura mengembalikan tatapannya pada potret musim semi itu. Memang benar, gadis yang sama. Mengapa Sakura tak cepat menyadarinya? Masih dengan sikap rikuh yang sama, ekspresi hampa yang menyembunyikan berbagai perasaan, tergambar jelas dalam pandangan gadis itu.
Sakura mengangguk-angguk. "Mungkin gadis yang spesial. Mampu menarik perhatian seorang Vanadium. Sayang aku tidak kenal siapa itu Vanadium, aku jadi sedikit penasaran dengan gadis itu." Sakura tertawa hambar sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Gadis itu tampak menarik. Sepertinya ungkapan 'laut manapun selalu dalam' cocok dengan gadis itu." Sakura terkekeh. "She is nothing, but when you look closely there is something." Sakura mengakhiri kalimatnya dengan senyuman tipis. "Ah, aku banyak bicara rupanya."
Sawatari memandang Sakura dengan tatapan yang… aneh. Ditambah dengan senyum mafhum, seolah ia tahu benar maksud tiap kalimat Sakura. Sakura yang melihatnya sedikit heran.
"Kau benar-benar menggambarkan gadis itu dengan detail. Semudah kau menilai dirimu sendiri." Pria itu tersenyum semakin lebar.
Sakura mengerutkan keningnya, tersenyum simpul, berusaha mencerna lebih jauh maksud ucapan pria yang baru dikenalnya itu. Begitukah?, batinnya.
"Vanadium benar-benar sosok fotografer jenius. Dengan style fotografinya sendiri. Ia dan kebebasannya adalah gebrakan dalam dunia fotografi masa kini yang hanya sebatas materi."
Sakura memutar kepalanya menghadap Sawatari lagi. Ia benar-benar tertarik dengan topik mengenai Vanadium.
"Anda mengenalnya?"
Sawatari tersenyum simpul. "Ya, dan tak banyak yang tahu tentang dia."
Sakura mengerutkan keningnya, bingung. "Kenapa memangnya?"
"Dia lebih suka bekerja di balik layar, tanpa orang tahu siapa dirinya." Sakura diam mendengarkan dengan seksama. "Bukan bermaksud sok misterius. Tapi memang, keaadannya membuatnya harus menyembunyikan identitasnya."
"Anda terdengar sangat dekat dengannya." Sakura memiringkan kepala. "Dan Anda terdengar sangat respect padanya."
Sawatari mengangguk mengiyakan. "Tentu. Aku bangga padanya, bangga bisa mengenalnya." Satu senyum kembali menghiasa wajah tua Sawatari. "Kau tahu?" Sawatari mengambil jeda sejenak untuk menatap Sakura yang antusias mendengar ceritanya. "Dua karya yang baru dipasang di sini adalah karya lamanya. Kedua potret itu diambil sekitar tiga atau dua tahun lalu. Dan sekarang umurnya tak lebih dari 21 tahun."
Sakura membelalakkan matanya, tak percaya. "Wow. Muda sekali…"
Sawatari mengangguk membenarkan. "Itulah mengapa aku menyebutnya seorang fotografer jenius. Di usia semuda itu, karyanya sudah mampu mencengangkan fotografer papan atas."
"Anda juga kenal dengan gadis dalam objeknya?"
Kali ini Sawatari menggeleng, masih menatap Sakura dengan pandangan yang tak dimengerti olehnya. "Aku hanya sekedar tahu cerita dibalik foto-fotonya, tidak sosoknya."
Sakura mengangguk-angguk. Segera ia tersadar. Ia sudah menghabiskan berjam-jam di galeri itu. Diliriknya jam tangan kesayangannya. Hampir jam tujuh malam. Sakura meringis dan refleks menepuk jidatnya.
"Aku harus pergi, Sawatari-san. Ah, menyenangkan sekali."
Sawatari tersenyum ramah. "Vanadium bisa hadir dalam hidupmu juga, Nona Haruno."
Sakura menatap Sawatari yang masih tersenyum ramah padanya dengan ribuan pertanyaan memenuhi otaknya. Apa maksudnya? Tapi Sakura tidak bisa lagi melanjutkan percakapan mereka karena Sakura tidak mau terlambat ke kafe tempatnya bekerja dan terpaksa memendam dalam-dalam pertanyaannya.
"Aku akan segera memasang karyanya yang lain dalam waktu dekat! Datanglah lain kali!"
.
"Kau tidak harus lembur hari ini, Sakura. Akan ada ujian kan minggu depan?" Seorang wanita berkemeja biru dengan segera menghentikan aktivitas Sakura yang tengah tekun mengelap meja.
Sakura mendongak sembari tersenyum. "Tidak apa, Yugao-san. Ujiannya kan minggu depan."
Wanita yang dipanggilnya Yugao itu menyilangkan tangannya di depan dada, memasang mimic wajah tidak-ada-bantahan-nya, membuat Sakura memutar bola matanya dengan senyum lebar.
"Aku tidak mau disalahkan lagi oleh Kakashi! Kau yang blablabla, menjadi blablabla, blablabla dan ugh sungguh menyebalkan."
Sakura hanya menyeringai geli mendengar tiap ocehan manager café tempatnya bekerja itu.
"Jangan dengarkan dia, Yugao-san. Kau tahu dia tidak sungguh-sungguh peduli padaku," ujar Sakura dengan seringai yang bertambah lebar.
Yugao menghela napas frustasi. "Pokoknya kau tidak perlu lembur selama sebelum dan saat ujian!" tandasnya, membuat Sakura tak berani lagi membantah.
.
"Yugao masih menyuruhmu kerja lembur, Sakura?"
Sakura hanya mendengus sambil terus menatap jalan malam Konoha yang ramai. Volvo silver yang dinaikinya merayap perlahan di tengah padatnya jalan.
"Yugao-san tidak menyuruhku lembur, oke?" Sakura memutar tubuhnya untuk menatap pengemudi Volvo itu. Keningnya berkerut. "Dan lagi, aku yang selalu minta jatah lembur padanya." Sakura kembali menghadapkan tubuhnya ke depan dengan sebuah dengusan.
Sang pengemudi mengangkat bahunya, memilih mengakhiri pembicaraan mereka.
"Ne, Kashi. Kenapa kau melarangku bekerja di sana?" Sakura kembali memutar tubuhnya untuk menatap pria di sampingnya setelah beberapa saat mereka saling diam.
Kakashi, sosok berambut perak itu menatap Sakura sejenak sebelum mengembalikan tatapannya ke jalan.
Diangkatnya bahunya sekilas. "Untuk apa kau bekerja memangnya?"
Sakura menyipitkan matanya. "Apa hubungannya denganmu?" sahutnya ketus.
Kakashi kembali melirik Sakura. "Aku berhak, mengerti?"
Sakura mendengus keras, kemudian kembali duduk di posisinya semula. Memilih diam sampai mereka tiba di tempat tujuan mereka.
.
Datang ke galeri favoritnya adalah satu-satunya hiburan di tengah kejenuhan dan kepenatannya selama dua minggu ujian. Seperti hari ini, hari terakhir mata kuliah yang diujikan, tentu saja hari terakhir yang membawa bencana. Harus berhadapan dengan dua mata kuliah yang paling diengganinya.
Dalam dua minggu itu pula, Sakura ketinggalan foto-foto terbaru Vanadium yang baru-baru ini menjadi fotografer favoritnya. Dua karya yang ditampilkan di ruang utama galeri bersama dua foto terdahuluVanadium.
Bel angin yang dipasang di atas pintu itu berbunyi saat Sakura mendorong pintu kaca galeri tersebut. Dilangkahkannya kaki jenjangnya ke tempat di mana foto-foto Vanadium dipajang. Galeri siang itu sepi, hanya tampak beberapa pengunjung.
Dan lagi-lagi, dari dua foto yang baru dilihatnya itu, tak satupun foto yang tak membuatnya berdecak lidah kagum. Satu foto putih, hanya putih. Hamparan salju di setiap mata memandang dengan batang pohon Sakura yang kering dan seorang gadis – tentu saja – tengah berjalan di sepanjang jalan setapak yang tertimbun salju. Lagi-lagi Sakura serasa mengenal sosok gadis dalam bingkai kayu itu. Siluet tubuhnya, punggungnya, cara berjalannya, semuanya. Sayang, foto itu diambil dari sisi belakang.
Gadis itu seperti…
"…Sakura?"
Merasa dirinya dipanggil, Sakura segera memutar tubuhnya ke belakang, ke sumber suara.
"Yugao-san?"
Sosok berambut violet itu tersenyum hangat. "Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kuliahmu?"
"Baru saja selesai…" Sakura melenguh, "dengan memuakkan tentu saja." Dengan jengah, Sakura memutar bola matanya, membuat senyum Yugao semakin lebar.
"Seorang Sakura mengeluh karena ujian? Seperti bukan kau saja," ujar Yugao diiringi dengan tawa renyahnya. "Juga berada di sebuah tempat seni, lebih bukan kau lagi," senyum Yugao mengembang begitu Sakura mengeluarkan mimik apa-urusannya-denganmu andalannya.
"Menghabiskan waktu," jawab Sakura enteng, kemudian mengembalikan tatapannya pada empat foto yang menjadi pusat perhatiannya. "Memangnya segitu aneh ya?" tambah Sakura. Keningnya berkerut rapat saat menatap Yugao yang kini ikut berdiri di sampingnya dan mengamati foto-foto.
Yugao balas menatap Sakura dengan pandangan mata seolah berkata jangan-bodoh-Sakura.
"Lupakan. Semua orang menganggap aku konyol memang." Lagi-lagi Sakura memutar bola matanya, kebiasaannya saat ia merasa jengkel pada sesuatu.
Mau tak mau, Yugao tak bisa berhenti tersenyum. Perhatiannya kembali terfokus pada empat foto yang sama seperti yang diperhatikan Sakura. Matanya menyipit, terkadang kepalanya miring ke kiri, miring ke kanan, terkadang menjauhkan kepalanya, atau malah mendekat seperti penderita minus parah.
Sakura menatap heran wanita yang sebentar lagi akan menjadi kakak iparnya ini. Sungguh sangat tidak Yugao. Memerhatikan sesuatu sampai seperti itu. Yugao lebih sering mengacuhkan sekitarnya. Hanya memikirkan hal yang dianggapnya penting dan bermanfaat. Dan sekarang? Wanita itu tengah mengamati foto dengan pandangan penuh tanya, menatapnya lama seolah foto itu amat perlu untuk dicermati. Hei, memangnya ada yang salah dengan foto itu?
"Yugao-san, apa yang kau lakukan?"
Yugao menghentikan aktivitasnya untuk balas menatap Sakura yang tengah keheranan. "Melihat foto, apa lagi?" jawabnya ringan seolah apa yang dilakukannya itu biasa saja.
Sakura menatap Yugao aneh, membuat Yugao memutar bola matanya sendiri. "Tidak seperti dirimu yang biasanya."
Yugao mendengus sebal. "Dan berdiri di sini pun, sama sekali bukan Sakura yang kukenal, oke?"
Sakura mencibir aneh, setengah mengejek. "Dasar, kalian semua sama saja. Apa salahnya sih?"
Yugao mengangkat bahunya sejenak sebelum kembali menatap foto di hadapannya. "Kau mulai menikmati hidupmu, sayang." Sakura yang kini tengah mengamati foto-foto lain melirik Yugao dengan ekor matanya. "Kau tampak… lebih punya minat terhadap hal baru."
Sakura menaikkan sebelah alisnya.
"Ayolah, Sakura. Kau sangat tahu. Kau tidak pernah suka perubahan. Kau orang paling monoton yang pernah aku tahu." Yugao memberi penekanan di tiap katanya, membuat Sakura mendengus sebal.
"Bukannya tidak suka, hanya saja…"
"Kau tidak nyaman dengan perubahan, kau payah dalam beradaptasi. Aku tahu itu," potong Yugao cepat. Sangat hafal dengan tabiat Sakura.
Tidak ada jawaban dari Sakura. Matanya masih fokus mengamati gambar di hadapannya sedangkan pikirannya berkelana.
"Kau tak banyak berubah sejak tiga tahun lalu," gumam Yugao dengan suara rendah.
"Kukira itu bukan hal yang buruk."
"Manusia itu dinamis, Sakura. Mereka berubah, menyesuaikan diri, mencari identitas dirinya sendiri. Aku, kau, Kakashi, semuanya. Bahkan tak ada orang yang benar-benar mengerti diri mereka sendiri. Karena itulah mereka berubah, setiap waktu. Mencari hal yang membuat mereka mengerti sedikit demi sedikit tentang diri mereka sendiri. Tapi kau…"
"Ya, tentu saja. Aku tahu diriku sendiri dengan baik. Aku menghabiskan waktu lebih banyak dari yang kau kira untuk mengerti diriku sendiri, Yugao-san," sergah Sakura cepat dengan nada tandas. Rahangnya mengeras dengan tatapan dingin.
Yugao tercengang mendengarnya. Sakura lebih keras kepala dari yang ia kira. Digelengkannya kepalanya perlahan kemudian ia menghela napas berat. Lelah berdebat dengan Sakura, Yugao kembali mengamati foto-foto favorit Sakura. Sakura tidak pernah suka jika harus ditekan. Kali ini keningnya berkerut rapat.
"Ini kau kah, Sakura?"
Sakura menoleh untuk melihat foto yang dimaksud Yugao. Potret seorang gadis dengan gaun musim panas yang tampak nyaman. Gadis itu – tentu saja masih sama dengan tiga foto lain – tengah memegang topi jeraminya yang seolah hendak diterbangkan angin. Lagi-lagi wajah gadis itu tidak tampak karena terhalang sinar matahari musim panas yang terik. Tapi Sakura bisa meihat – walau samar – gadis itu tengah tersenyum bahagia.
"Mirip kau, benar kan?" Yugao menggigit bibir bawahnya. "Tidak terlihat pink sih, tapi memang seperti ini kan warna rambutmu saat terkena matahari?" Telunjuk Yugao yang dihiasi cutex bening beralih menunjuk rambut gadis itu yang tertiup angin.
Sakura mengerutkan keningnya. Seingatnya memang rambutnya terlihat bergradasi saat terkena cahaya matahari. Ujung-ujung rambut lurusnya akan terlihat lebih terang – bisa dibilang kekuningan – dari pada bagian pangkalnya. Aneh? Ya.
Percakapan mereka berdua berlanjut, saling berdebat. Yugao membantah bahwa gadis dalam potret itu adalah Sakura, sedangkan Sakura mengatakan tidak karena ia tidak pernah – atau mungkin ingat – dirinya pernah dipotret. Kalau memang iya, pastinya ia sudah sadar terlebih dahulu kan?
Tanpa mereka sadari, sosok pemuda berkemeja putih lusuh tengah mengamati mereka – Sakura tepatnya – dalam diam di sudut galeri yang sepi dengan pandangan tajam
.
