Aku tidak tahu sejak kapan, tapi keberadaan cangkir karton itu terasa begitu biasa. Benda itu akan tergeletak di atas meja kerjaku dengan uap yang masih mengepul dari bagian tutupnya. Di sisi gelasnya akan terdapat tulisan dari tinta berwarna biru dengan makna menyenangkan.

Dan seperti biasa, pagi ini aku juga menemukan hal yang sama sekali lagi. Secangkir cappuccino dengan tambahan kertas memo dan sebuah buku novel.

Aku meraih ketiga benda itu—gelas cappucino, kertas memo, novel—merengkuhnya sekaligus dalam kedua tanganku. Lagi-lagi seperti biasa, cappucinonya hangat, memonya bertuliskan tinta biru, yang berbeda hanyalah novel itu.

Sebelumnya dia tidak pernah mengirimkan novel.

Aku menghela napas dan mencoba membaca tulisan rapi di memo itu.

Buku yang bagus. Semoga kau suka.

Sekali lagi aku tidak mengerti tentang dirinya. Tentang dia yang selalu meletakkan cappucino hangat ini. Namun, tetap saja, seulas senyum terbentuk di bibirku, membayangkan sosoknya yang berkutat membaca novel yang sedang kupegang ini. Lagi, kurasakan hal yang sama mendesaknya seperti yang lalu-lalu...

"Aku ingin bertemu denganmu, bodoh."

.

.

.


Antara aku, kamu, dan secangkir cappuccino.


"Bilakah dia tahu, bahwa selama ini aku selalu memandangnya dari kejauhan..."

"...Apakah mungkin, takdir kami akan berbeda?"


Segala hal yang berhubungan dengan cerita ini (karakter sifat, plot, alur, nama jurusan, nama universitas, kebijakan diksi, dll, umur para tokoh utama, terkecuali karakter fisik tokoh utama) merupakan properti karangan ReiyKa

segala macam rupa karakter fisik, warna rambut, warna bola mata merupakan hasil pengelihatan dari beberapa gambar di zerochan. Jika ada yang tidak sesuai, segera beritahukan kepada saya.

Untuk cangkir kopi yang tergeletak manis di pagar kosanku, tahu deh itu punya siapa, tapi itu bisa memberiku ide tentang cerita ini.

sebagai kado yang terlambat untuk Gumi Megpoid

sebagai kado yang teralu cepat untuk kakak unyuu (wish you were here)

sebagi pengalih suasana hati, drabbel dengan jumlah kata minimum yang diharapkan menarik hati.


.

.

#1

Aku selalu pergi di pagi hari dan terkadang pulang di malam hari. Aku selalu mengejar kereta pertama di pagi hari dan terkadang menunggu kereta terakhir di malam hari. Aku selalu menjalani hari rutin membosankan yang selalu kutunggu.

Kenapa aku selalu menunggu?

Karena setiap paginya aku bisa membaca pesan pendek yang dia tulis di cangkir karton kopi hangat yang dengan misterius selalu muncul di atas meja kerjaku setiap paginya.

Masih menjadi misteri seperti selama ini, aku masih tidak mengetahui siapa pengirim kopi itu. Aku pernah datang lebih pagi di suatu hari namun aku sama sekali tidak melihat sosoknya.

Kalau aku adalah bocah berumur enam tahun, mungkin aku akan berpikir kalau pemberi kopi itu adalah peri yang mampu menghilang. Akan tetapi, kenyataannya adalah aku seorang pria dewasa berumur 25 tahun yang dapat berpikir logis. Cangkir kopi hangat itu diberikan oleh seseorang—sampai sekarang aku bahkan tidak mengetahui apakah dia seorang gadis atau pemuda dan jumlah usia yang dihitungnya dari lahir hingga sekarang.

Yang kuketahui dengan pasti, orang itu selalu menyediakan secangkir kopi hangat yang tidak pernah sempat kudapatkan setiap paginya sebelum aku pergi bekerja.

Aku, Kagamine Len, 25 tahun, bekerja sebagai salah satu asisten dosen di Universitas Seni Utaunoda jurusan musik klasik. Aku selalu datang di pagi hari untuk membantu Profesor Al—dosenku dulu yang pernah membimbingku dalam mengerjakan tugas akhir. Selain itu, aku selalu mengajar mahasiswa di kelas pagi.

Karena kesibukanku itulah, aku yang benar-benar bersifat adiktif kepada kafein harus bersabar sampai istirahat siang untuk dapat menikmati secangkir kopi hangat. Tidak—aku tidak menyukai kopi kalengan yang bisa kudapatkan di minimarket atau mesin kaleng otomatis—aku lebih suka yang hangat dan segar dengan aroma kopi giling yang menguar kuat dari cangkirnya.

Anggap saja ini suatu kesalahan pola hidup yang kubawa dari Inggris, tempat dimana separuh masa hidupku dihabiskan disana. Disini, Tokyo—Jepang, tidak menawarkan gaya hidup layaknya Boston—Inggris. Tidak ada mesin pembuat kopi di kantor dosen. Orang Jepang—selayaknya budaya adat yang selama ini mereka pegang—lebih memilih meletakkan mesin pembuat teh. Jika pun ada, paling-paling itu hanyalah inisiatif dosen yang memilih untuk membuat kopi instan.

Aku tidak bisa minum kopi instan.

Kadar kafeinnya teralu rendah dan buat orang yang sudah adiktif sepertiku, minuman itu layaknya sampah pencecap lidah. Tidak ada nilainya.

Dan kau bisa bayangkan betapa gembiranya hatiku ketika menemukan secangkir kopi hangat itu di atas meja kerjaku. Uapnya masih mengepul di atasnya, menebarkan aroma kopi giling murni yang amat kusuka. Orang yang memberikan benda ini pasti sempat melewati salah satu cafe yang paling kusuka di stasiun tanpa membuatnya terlambat sedikit pun.

Sebait pesan yang tertulis di cangkirnya membuatku tersenyum.

Untuk maniak kopi paling keren yang pernah kukenal, Sir Kagamine Len.

Aku tidak tahu siapa pengirimnya, tapi hei, sejak membaca pesan itu, aku tahu, pemberi secangkir kopi itu adalah orang baik yang mengerti diriku.

Lantas, selayaknya tukang sepatu yang sudah dibantu oleh peri-peri, aku menuliskan sebait pesan yang kutuliskan di kotak karton susu vanilla—kupikir semua orang menyukai susu vanilla karena aku tidak tahu bagaimana harus menyampaikan terima kasihku.

Aku tidak tahu siapa dirimu, wahai peri kopi, tapi terima kasih.

Mungkin, saat itulah aku tahu bahwa aku mulai terlibat kisah konyol antara pengantar kopi dan penikmat kopi.

.

.


p.s: sampaikan pendapatmu (apapun itu) mengenai cerita ini yaa! :)