Author : Keewani
Title : Crush
Cast : KrisTao, KrisLu, and others
Genre : Romance, a little bit sad—semoga kkk-
Length : Twoshoot
Rating : T
DISCLAIMER!
IT'S YAOI;BOYXBOY;BOYSLOVE BAGI YANG GASUKA DENGAN GENRE INI DAN PAIRINGNYA SILAHKAN KLIK CLOSE ATAU KLIK TANDA X PADA LAMAN WEB ANDA. MAAF JUGA KALO FIC INI MEMILIKI KESAMAAN PADA FIC LAIN, KARENA ENTAH KENAPA SAYA SULIT MEMBUAT FIC YANG ANTI MAINSTREAM/? JUDUL DAN CERITA GANYAMBUNG. SEKIAN DAN TERIMAKASIH.
Kris POV
Langit biru sore ini mulai ditutupi awan dengan warna kehitaman. Tidak terlalu hitam memang, tapi cukup untuk membuat warna kelabunya nampak gelap. Aku melangkahkan kakiku selangkah demi selangkah, tidak terlalu tergesa-gesa tapi tidak juga membuatnya menjadi lambat. Baru saja aku menyelesaikan kelasku. Kelas seni lukis terakhir di hari yang tidak sepenuhnya cerah ini. Baru beberapa langkah aku berjalan keluar dari gerbang universitasku, langit sudah menjatuhkan butir air matanya seolah memang benar-benar merasakan kesedihan. Langit yang tadinya masih nampak sedikit kebiruan mendadak berubah warna menjadi benar-benar kelabu. Langkahku yang masih santai berubah menjadi langkah seribu, seperti rusa yang dikejar oleh pemburu, berusaha menyelipkan kanvas-kanvas kecil yang kubawa di balik jaket tebalku agar mereka tidak terkena tetesan air dari langit. Aku tidak ingin lukisanku yang belum rampung ini menjadi hancur hanya karena air. Seolah tidak mengerti keinginanku, hujan semakin deras turun dan seperti menyuruhku berteduh barang sejenak sampai ia puas meyates. Aku meyapi. Di depan sebuah cafe. Ada kanopi yang membuatku dapat berteduh di sana. Aku meyapuk-yapukkan tanganku ke arah jaket dan kanvas-kanvasku, bertindak seolah airnya akan hilang dari jaketku karena tepukan-tepukan kecil itu.
"Jogi.."ujar seseorang yang berdiri tepat di sebelah kananku. Aku menoleh dan mendapati seorang Pria bermata kecil melihat ke arah kanvasku dengan wajah setengah bingung.
"Ya?"aku bergumam tanpa sadar.
"Lukisanmu.."ia menunjuk ke arah kanvasku tanpa melanjutkan kata-katanya. Aku mengerutkan dahiku, sedikit bingung dengan tingkahnya. Kemudian aku menyadari sesuatu pada lukisanku. Ada beberapa bagian yang luntur karena terkena air.
"Aish!"aku menggerutu sendirian, mengabaikan pria di sebelahku. Aku melihatnya menyunggingkan sedikit senyuman melihat tingkahku. Aku dapat melihatnya dari sudut mataku.
"Kurasa hujannya akan lama."ujar pria di sebelahku tiba-tiba. Entah apa yang ia miliki, tiba-tiba satu kalimat darinya membuat mataku terpaku hanya menatapnya. Seolah hujan berhenti detik itu juga. Tak hanya hujan, semua di sekelilingku seolah berhenti tapi kurasakan ada satu yang tidak berhenti. Penabuh yang memainkan alat tabuh di dalam jantungku dan juga kupu-kupu yang tiba-tiba saja terbang di dalam perutku. Tunggu dulu! Bagaimana bisa ada kupu-kupu yang terbang di perutku? Bagaimana bisa?
"Apa kau mahasiswa Seoul Institute?"tanya Pria itu lagi.
"Apa wajahku tidak terlihat seperti seorang mahasiswa?"balik tanyaku,"perkenalkan, aku Wu Yi Fan. Mahasiswa seni rupa tahun kedua."
"Aku Xi Luhan. Mahasiswa tahun pertama."sahutnya seraya membubuhi wajahnya dengan lengkungan senyum yang manis, membuat kupu-kupu di perutku sekali lagi berkerucuk.
"Senang bertemu denganmu, Luhan-ssi."ujarku.
"Ya, sunbae. Bangapsseumnida."
Aku tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Cukup lama aku berdiri di depan cafe itu bersama Luhan, sebelum akhirnya langit berhenti menangis dan membiarkanku pulang ke rumah tanpa kebasahan lagi. Aku dan Luhan saling mengucapkan salam. Kami berdua pulang dengan arah yang berbeda. Luhan berjalan berlawanan arah denganku. Blouse warna biru kehijauannya semakin jauh dari pandangan mataku. Semoga kita bisa bertemu lagi lain waktu, Luhan-ssi.
***
Pepohonan di sekitaranku mulai meranggas, menggugurkan dedaunannya yang mulai menguning. Aku sibuk berjalan sambil menata kanvas-kanvas yang kubawa. Selalu seperti ini setiap harinya. Aku selalu kerepotan membawa kanvas-kanvas milikku yang harus kulukis di rumah. Aku berjalan melewati perempatan di kampus sebelum ada pemberitahuan bahwa kami harus menghormat ke arah bendera. Hari apa ini? Mengapa harus menghormat? Aku pun berbalik dan tak sengaja menabrak seseorang di depanku hingga kanvas-kanvasku berjatuhan.
"Jeosonghamnida."seruku seraya membungkukkan badan berkali-kali.
Pria yang kutabrak berbalik dan berusaha membantuku mengambil beberapa kanvas yang jatuh.
"Gamsahamnida."ujarku lagi, masih belum melihat siapa yang kutabrak barusan.
"Yi Fan sunbae!"seru pria yang kutabrak.
"Ya?"jawabku seraya menoleh ke arahnya,"Luhan-ssi!"
"Ige."ujarnya seraya menyerahkan beberapa benda milikku yang tadi kujatuhkan.
"Terimakasih, Luhan-ssi."
"Ya, sama sama sunbaenim."balas Luhan sopan.
"Maaf karena menabrakmu. Harusnya kau menghormat bendera tadi tapi karena aku—"
"Tidak apa apa, sunbae. Aku juga tadi tidak melihat bahwa ada orang yang akan berbalik dengan jarak dekat denganku."ujarnya memotong ucapanku.
Aku tertawa menanggapi ucapannya. Daun-daun yang berguguran semakin nampak banyak, seolah mengerti untuk sekadar menambah suasana menjadi lebih romantis. Aku berkali-kali tersenyum tanpa sebab. Bukan! Sebenarnya sebab mengapa aku tersenyum adalah karena melihat senyuman Luhan yang sangat menyejukkan. Aku berani bersumpah, senyumnya memang benar-benar menyejukkan hatiku.
"Apa kau akan ke kelas?"tanyaku pada Luhan.
"Tidak. Aku akan kekantin, sunbae."jawabnya.
"Ah, kalau begitu aku pamit lebih dulu. Aku harus kembali ke studio."
"Ya, sunbae."
"Sampai jumpa, Luhan-ssi."
Luhan membungkukkan badan padaku sebelum aku berbalik dan melanjutkan perjalananku menuju studio. Aish! Harusnya aku menanyakan nomor ponselnya atau minimal aku bertanya di kelas mana biasa ia berada. Kalau seperti ini maka peluang untuk bertemu dengannya lagi sangat sulit. Tunggu! Bukankah sebelumnya aku juga tidak pernah berjanji untuk bertemu? Lalu hari ini kami dipertemukan begitu saja. Bukankah itu berarti kami memang berjodoh?
"Ya! Darimana saja kau? Kulihat tadi kau berbicara dengan seorang pria di sana."seru Chanyeol saat aku baru saja menata kanvas-kanvasku di studio. Ia menunjuk ke sebuah tempat lewat jendela yang ada di depanku.
"Kau melihatnya?"
"Ah, berarti benar kau bicara dengan pria di sana. Siapa dia?"tanyanya penasaran.
"Tidak. Aku hanya tak sengaja menabraknya tadi."jawabku sekenanya.
"Sungguh? Kau tidak mengenalnya?"
"Tentu saja tidak."jawabku berbohong. Selama ini semua orang tahu aku tidak pernah dekat dengan satu pria pun. Aku terlalu malu untuk bisa dekat dengan pria. Tentu saja Tao adalah pengecualian karena ia selalu mendekatiku walaupun aku selalu terang-terangan menunjukkan bahwa aku risih dengan semua sikapnya.
"Ah, tadi Tao mencarimu lagi. Ia membawa sesuatu. Kurasa itu be—"
"Gege!"pekik seseorang di depan pintu studio, menghentikan ucapan Chanyeol sekaligus membuatku dan Chanyeol menoleh. Tao!
"Gege! Dari mana saja kau? Aku mencarimu ke sini tadi. Kata Chanyeol-ge kau sedang keluar. Aku membawakanmu makan siang. Aku tahu kau pasti lupa makan jika kau sudah bertekur di sini. Karena aku tidak ingin kau sakit maka aku membuatkanmu makan siang sebelum pergi kuliah tadi."ujarnya panjang lebar.
"Kau tidak harus repot-repot seperti itu, Tao-ah."sahutku enggan.
"Tidak. Aku tidak pernah merasa repot, gege. Ini. Untukmu. Kau harus makan."
"Tapi aku sudah makan siang."
"Kalau begitu biar bekal ini untukku saja. Anggap saja Yi Fan yang memakannya."ujar Chanyeol seraya mengambil bekal dari tangan Tao.
"Tidak! Ini untuk Yi Fan gege. Kau tidak boleh memakannya gege!"protes Tao seraya mengambil lagi bekalnya dari tangan Chanyeol membuat Chanyeol memajukan bibirnya kesal.
"Sudah! Jangan bertengkar di studio! Sini, biar kuambil bekalmu. Nanti akan kumakan saat aku lapar. Sekarang lebih baik kau keluar. Aku tidak bisa melanjutkan lukisanku jika kau ada di sini."ujarku pelan tanpa berniat menyinggungnya.
Tao menyerahkan kotak bekalnya kepadaku dan beranjak pergi keluar setelah sebelumnya ia pamit padaku disertai dengan flying kiss yang selalu ia berikan itu, yang selalu membuatku bergidik ngeri.
"Ini, makanlah. Aku sudah kenyang."ujarku seraya memberikan bekal itu pada Chanyeol.
"Benarkah? Gomawo, Yi Fan-ah."
"Ya…"
***
"Aku melihat lukisan barumu. Kurasa aku pernah melihat wajah itu beberapa kali."
"Yang mana?"tanyaku saat Yi Fan baru saja menyapaku dengan pertanyaan yang membuatku sedikit bingung.
"Lukisan seorang pria."jawabnya santai.
"Kau melihatnya?!"sahutku dengan nada panik. Yi Fan bodoh! Seharusnya aku tidak menanggapi dengan nada panik seperti itu.
"Kenapa? Kenapa kau terlihat panik?"
"T-tidak. Aku-aku hanya..hanya tidak ingin orang-orang melihatnya terlebih dahulu. Lukisan itu mungkin akan kuikutsertakan dalam lomba nanti."jawabku gugup.
"Lomba? Dimana ada perlombaan itu? Menurutmu apa seharusnya aku ikut juga?"sahut Chanyeol.
"Ah, ide bagus. Kita berdua ikut perlombaan itu bersama."
"Tidak. Kurasa lukisanku belum bisa disepadankan dengan milikmu. Jika aku ikut lomba itu maka otomatis aku akan kalah, Yi Fan-ah."
"Kau bercanda. Bakatmu lebih baik daripadaku, Chanyeol-ah."
"Aish sudahlah, jangan merendahkan diri satu sama lain lagi. Omong-omong, aku ingin pergi makan, apa kau ikut?"ajak Chanyeol.
"Tidak. Aku akan pergi setelah ini. Aku akan makan siang sendiri nanti."
"Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu, Yi Fan-ah. Annyeong."
"Annyeong."
Kulihat Chanyeol berjalan keluar dari studio seraya memasangkan earphoya di telinganya. Anak itu, untung saja ia tidak mengenal siapa Luhan dan tidak bertanya lebih jauh mengenainya. Aku memasukkan alat-alat lukisku seperlunya ke dalam tas. Bangkit dari tempat dudukku dan beranjak keluar dari studio.
"Gege!"pekik seseorang di depan pintu tepat saat aku akan melangkah keluar.
Pria itu sesegera mungkin menggamit lenganku dan ikut berjalan di sampingku. Selalu saja seperti ini.
"Lepaskan tanganmu, Tao-ah."suruhku.
"Tidak."bantahnya cepat.
"Aku tidak ingin anak-anak mengira yang tidak-tidak."
"Biarkan saja ge. Aku senang jika ada yang mengira kita adalah sepasang kekasih."
Aku berusaha melepaskan tangannya tapi ia lebih kuat menggamit lenganku sehingga aku tidak bisa melepasnya. Sekali lagi aku berusaha melepaskan lengannya dengan sekuat tenaga dan berhasil.
"Maaf, Tao-ah, aku harus pergi. Annyeong!"teriakku seraya berlari tepat setelah lepas dari jeratan tangan Tao.
"Gege! Ya!"balas Tao seraya mengejarku. Sayangnya, langkah Tao tidak dapat mengimbangi milikku. Aku meninggalkannya jauh di belakang sementara aku keluar dari gerbang. Aku berjalan pelan menyusuri jalan-jalan yang ramai dengan kendaraan. Aku berniat duduk-duduk di tepi sungai Han hari ini. Aku ingin menghabiskan soreku dengan melukis. Bukankah tadi sudah kukatakan pada Chanyeol bahwa akan ada lomba melukis? Ya. Aku akan mengikutinya dan sekarang aku harus mencari inspirasi untuk lukisanku itu.
Setelah beberapa lama berjalan aku meyamukan tempat yang cocok untuk melukis. Aku mulai mengeluarkan buku sketsaku. Mencorat-coret sedikit sebelum aku memindahkannya ke atas kanvasku yang berukuran kecil. Beberapa kali aku mengguratkan pensil di buku sketsaku, yang keluar selalu saja wajah Luhan. Aku selalu melukis wajahnya. Saat kami pertama kali menunggu berhentinya hujan bersama, saat ia tersenyum ketika berkenalan denganku dan juga saat aku tak sengaja menabraknya di kampus. Aku menghela napas panjang kemudian mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Siapa tahu saja sekitaranku dapat menjernihkan pikiranku sehingga bisa melukis dengan baik hari ini.
Aku menolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Andwae! Aku meyamukan sosok itu lagi, sosok yang sedari tadi mengganggu pikiranku dengan suksesnya. Ia berdiri menghadap sungai Han dengan menggenggam sebuah kamera dan mengarahkannya ke seberang sungai, seperti sedang mengambil pemandangan di seberang sana, lengkap beserta sungainya. Tanganku mulai bergerak tanpa sadar, menggoreskan pensilku di atas kertas sketsa putih. Sambil sesekali meyangok ke arah obyek yang kulukis, aku terus menggoreskan pensilku rapi. Aku tersenyum pada diriku sendiri seiring dengannya selesainya sketsaku. Aku menoleh lagi, mencari sosok pria di pinggir sungai tadi. Tidak ada! Aku mencari-cari sosoknya kembali, seolah tidak ingin kehilangan pandangan akan sosoknya tapi tetap tak dapat kutemukan.
"Sunbae!"seru seseorang seraya meyapuk bahuku dari belakang.
"Ha-ha-Luhan-ssi!"seruku tergagap.
Ya. Sosok pria yang sedari tadi mengganggu pikiranku dan membuatku menuangkan wajahnya pada secarik kertas adalah Luhan.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini, sunbae?"tanyanya pelan seraya duduk di sebelahku. Sesegera mungkin aku menutup buku sketsa milikku agar tidak terlihat olehnya.
"Ah, aku hanya sedang melukis. Aku sedang mencari inspirasi di sini. Kau sendiri sedang apa di sini?"
"Aku sedang mengambil gambar. Ada beberapa tugas fotografi yang harus kuselesaikan."
"Kau..kau datang sendiri ke sini?"
"Ya. Aku sengaja ke sini sendiri. Kalau aku datang beramai-ramai maka aku tidak akan bisa mencari objek, sunbae."
Aku tersenyum, membalas senyumannya padaku. Senyumannya kali ini lebih manis dari senyumannya yang terdahulu. Tidak tahu mengapa tapi yang jelas senyumannya kali ini membuat jantungku berdetak lebih cepat. Dua kali lebih cepat bahkan.
"Apa kau sudah selesai?"tanyaku kemudian, memulai pembicaraan di antara kami. Kami didominasi sepi sedari tadi. Dan sepi tidak terlalu menyenangkan untuk dinikmati bersama Luhan, bersama senyumannya.
"Ya. Aku akan pulang. Bagaimana dengan sunbae?"tanyanya balik.
"Aku juga. Hmm, bolehkah aku mengantarmu pulang?"aku memberanikan diriku kali ini, keluar dari tempurung ketakutanku sendiri.
"Rumahku dekat sini, sunbae. Kau tidak perlu repot-repot mengantarku."tolaknya halus.
"Tidak apa. Aku antar ya."
Luhan menggangguk, tersenyum kecil kemudian bangkit dari tempat duduknya. Aku ikut bangkit dan mengikuti langkahnya. Kami berjalan pelan menyusuri jalan-jalan menuju rumah Luhan. Beberapa dauh berjatuhan dari pepohonan yang kami lalui di sepanjang jalan. Tiupan angin kadang mengacak rambut Luhan, membuatnya nampak lebih memesona.
"Luhan-ssi."
"Sunbae."ujarku dan Luhan bersamaan, kemudian kami tertawa bersama-sama.
"Kau lebih dulu."ujarku, menyuruh Luhan bicara terlebih dahulu.
"Tidak. Kau lebih dulu, sunbae."sahut Luhan.
"Kau dulu."
"Tidak. Sunbae dulu."
Kami terdiam sejenak, saling pandang kemudian tertawa bersama kembali.
"Lukisan yang kau buat tadi…"ujar Luhan tertahan. Ia menoleh ke arahku dan menatapku dengan tatapan berbeda dari biasanya,"boleh aku tahu lukisan apa yang kau buat tadi?"
Aku menatapnya dalam. Luhan tidak boleh mengetahuinya. Luhan tidak boleh tahu apa yang kulukis. Tepatnya siapa yang kulukis. Aku mengulum senyum dan menarik napas panjang, bersiap menjawab pertanyaan Luhan dengan kebohongan.
"Aku melukis pemandangan Sungai Han."
Luhan nampak mengangguk seraya mengalihkan pandangannya ke kedua ujung sepatu yang bergerak seiring langkahnya.
"Rumahku sudah sampai, Sunbae."
"Mana rumahmu?"
"Di depan. Rumah bercat hijau itu rumahku."
"I-itu rumahmu? Kau tinggal di sana? Bukankah itu rumah Tao?"
"Kau mengenalnya? Dia sepupuku."
"Kurasa aku sebaiknya pulang. Terima kasih sudah mengizinkanku mengantarmu pulang, Luhan-ah. Sampai jumpa."akhirku seraya berbalik dan kembali melanjutkan perjalanan menuju rumahku sendiri.
Luhan. Bagaimana jika ia tahu bahwa sepupunya itu menyukaiku? Aishh!
***
Luhan POV
Aku melihatnya dengan jelas tadi. Lukisan yang dibuatnya. Bukan! Sketsa, ya, itu hanya sketsa. Yi Fan sunbae membuat sketsa wajahku. Memegang sebuah kamera dan mengarahkannya ke arah sungai. Sementara angin bertiup menyibakkan rambutku, membuatnya berantakan. Aku menatap langit-langit kamarku gamang. Tidak tahu apa yang ada di pikiranku sendiri sekarang. Yi Fan sunbae? Apa dia menyukaiku? Berkali aku tanyakan itu pada diriku sendiri. Berkali aku memikirkan itu seorang diri. Dan berkali juga aku tidak tahu jawabannya.
"Luhan-ah."panggil Tao di depan pintu kamarku. Tak lama kemudian ia masuk dan duduk di tepian tempat tidurku.
"Ada apa?"tanyaku pelan.
"Kau sedang ada masalah?"tanyanya balik tanpa menjawab pertanyaanku.
"Tidak."jawabku sekenanya.
Tao ikut membaringkan dirinya di sampingku. Ia ikut menatap langit-langit kamarku dan menghela napas panjang.
"Kita tidak pernah tahu bagaimana cinta berpihak pada kita. Ada kalanya kita mencintai orang yang ternyata tidak mencintai kita. Sekeras apapun kita berusaha, kadang ada seseorang yang tetap tidak akan luluh, tidak akan menggubris kita. Tapi kadang ada beberapa orang yang mencintai dengan mulusnya. Mereka hanya perlu berusaha sedikit kemudian cinta itu sudah terpatri dalam hatinya."Tao berkata panjang lebar.
"Tao-ah."panggilku seraya menolehkan kepalaku ke arahnya.
"Ya?"
"Kau tidak sedang demam? Mengapa tiba-tiba kau bicara seperti itu?"tanyaku setengah bingung.
"Aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan."jawabnya sambil menolehkan kepalanya juga ke arahku. Matanya sedikit berkaca. Aku tahu persis Tao bukan tipe Pria seperti ini. Ia adalah tipe Pria periang yang selalu tersenyum.
"Kau menyukai seseorang?"dugaku.
"Lebih dari itu."jawabnya.
"Siapa?"
"Sunbae kita. Ini fotonya."Tao menunjukkan ponselnya padaku, memperlihatkan sebuah foto.
Aku kenal baik dia. Wu Yi Fan sunbae. Bagaimana bisa orang yang disukai Tao adalah dia?
"Pria ini?"tanyaku memastikan.
Tao mengangguk lirih. Ia menghela napas panjangnya lagi dan kembali menatap langit-langit.
"Tapi dia tidak menyukaiku. Sekeras apapun aku berusaha, dia tidak pernah melihat ke arahku. Tidak pernah sekalipun."lengkap Tao.
Aku harus berkata apa? Aku harus mengatakan apa pada Tao? Apa aku harus bersembunyi? Berpura tidak mengetahui siapa Yi Fan sunbae atau aku harus mengatakan padanya bahwa aku mengenalnya?
"Ta—"
"Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, Luhan-ge."
***
Ini sudah satu minggu. Satu minggu sejak Yi Fan sunbae mengantarku pulang ke rumah. Satu minggu sejak Tao bercerita mengenai pria yang disukainya. Satu minggu sejak aku memutuskan untuk menghindari segala kemungkinan yang akan mempertemukanku dengan Yi Fan sunbae. Kurasa hatiku masih berfungsi sebagaimana mestinya. Ia masih tahu jika ada orang yang menyukainya dan ia juga tahu bagaimana ia harus berlaku saat ia tidak ingin menyakiti orang lain.
"Luhan-ge, bagaimana kalau kau temani aku ke ruang pameran? Aku ingin melihat Yi Fan di sana."ajak Tao yang tiba-tiba menggamit lenganku dari belakang.
"Apa?"
"Temani aku ke sana. Jebal, Luhan-ge."pinta Tao dengan wajah memelas.
Aku mengangguk terpaksa. Ya, terpaksa. Terpaksa mengantarkannya ke sana dan terpaksa akan bertemu dengan Yi Fan sunbae lagi. Aku mengikuti langkah Tao dari belakang, langkah yang secara perlahan membawa kami berdua ke ruang pameran.
"Annyeong gege!"sapa Tao setelah bertemu dengan Yi Fan sunbae.
"Tao-ssi! Kau datang dengan siapa?"tanya seorang pria di samping Yi Fan sunbae. Dia Chanyeol sunbae. Aku mengenalnya karena kami berasal dari sekolah meyangah yang sama.
"Eh, Luhan-ssi."seru Chanyeol sunbae lagi.
Aku dapat melihat delikan Yi Fan sunbae. Ia melihat ke arahku dan Chanyeol sunbae berkali-kali. Mungkin setengah heran melihat Chanyeol sunbae yang sudah mengenalku.
"Gege, mana lukisan karyamu?"tanya Tao seraya menggelayut manja di lengan Yi Fan sunbae sementara mata Yi Fan sunbae menatap ke arahku dan Chanyeol sunbae.
"Kau berkuliah di sini?"tanya Chanyeol sunbae padaku.
"Ya, sunbae."jawabku sekenanya, karena aku memang tidak begitu ingin terlibat dalam percakapan sekarang.
"Kenalkan gege, ini Luhan, sepupuku."ujar Tao mengenalkan diriku pada Yi Fan sunbae.
"Xi Luhan."
"Wu Yi Fan."ujar kami bersamaan sambil membungkukkan badan.
Bodoh! Kami berdua harus berpura-pura tidak mengenal satu sama lain sementara kami sebenarnya sudah pernah bertemu bahkan jalan bersama-sama.
"Bagaimana kau bisa mengenalnya, Chanyeol?"tanya Yi Fan sunbae.
"Dia hoobaeku di sekolah meyangah. Bukan begitu, Luhan-ssi?"sahut Chanyeol sunbae. Aku menjawabnya dengan anggukan kecil, kemudian kembali terdiam.
"Mana lukisanmu gege?"tanya Tao pada Yi Fan sunbae. Yi Fan sunbae nampak sedikit kesal dan melepas gamitan lengan Tao di lengannya.
"Luhan-ah, kau ingin melihat-lihat lukisanku?"tanya Chanyeol sunbae padaku. Otomatis aku mengangguk, tidak enak menolak ajakan sunbaeku ini.
"Ini adalah beberapa lukisanku."jelas Chanyeol sunbae seraya menunjukkan beberapa lukisan yang menempel di dinding.
Aku mengikuti langkahnya menyusuri lukisan-lukisan yang terpampang di dinding. Pandanganku lekat mengikuti arahan tangan Chanyeol sunbae sambil sesekali mencuri pandang ke arah Yi Fan sunbae. Aku tahu ia tidak nyaman berada di dekat Tao. Kerisihan itu terlihat jelas di kedua matanya.
"Ini adalah lukisan-lukisan Yi Fan."terang Chanyeol sunbae ke arah yang berbeda, menunjuk ke beberapa lukisan yang sedikit memiliki nuansa yang berbeda.
Lukisan Yi Fan sunbae lebih terlihat lugas dan bermakna. Makna yang tersembunyi di balik lukisan-lukisan ini merupakan makna yang tidak dapat sekejap diterka dengan kasat mata tapi sesuatu yang harus benar-benar dirasa dan dipikirkan.
"Bagaimana jika kita pergi minum sejenak?"ajak Chanyeol sunbae.
"Ide bagus."sahut Tao cepat.
"Maaf aku—"aku dan Yi Fan sunbae bicara bersamaan.
"Maaf, sepertinya aku tidak dapat ikut kalian. Masih ada urusan yang harus kuselesaikan di sini."ujar Yi Fan sunbae terlebih dahulu.
"A..aku juga harus terlebih dahulu ke perpustakaan. Ada buku yang harus kucari. Aku minta maaf."sambungku.
"Mengapa kalian berdua sama-sama tidak bisa pergi? Kalian tidak sedang berjanji untuk pergi bersama bukan?"canda Tao.
"Tidak!"jawabku dan Yi Fan sunbae cepat.
Yi Fan sunbae menatapku sekilas. Semoga sekarang wajahku tidak memerah. Semoga mereka semua tidak curiga. Aku tahu aku dan Yi Fan sunbae sangat gugup saat ini. Terlalu gugup sampai-sampai kami salah tingkah di depan Tao dan Chanyeol sunbae.
"Baiklah kalau begitu aku akan pergi ke studio dulu. Sampai jumpa."pamit Yi Fan sunbae pada akhirnya.
Ia berbalik dan pergi dari hadapan kami. Aku memerhatikan langkahnya yang perlahan semakin menjauh dan menghilang seiring ia keluar dari pintu ruang pameran. Sunbae. Rasanya aku ingin sekali dapat tersenyum padanya seperti kemarin-kemarin saat aku tersenyum padanya di waktu kita berdua.
***
Aku tidak lagi mengikuti Tao saat bertemu Yi Fan sunbae. Aku memilih jalan menghindar. Mungkin bukan ini yang terbaik. Maka semua hariku sedikit kelabu saat aku tidak tersenyum bersama Yi Fan sunbae. Bahkan tidak untuk satu senyuman pada pertemuan yang tidak disengaja. Tidak satu pun. Aku mungkin hanya mengulum senyumku dalam hati, berharap Yi Fan sunbae melihatnya tapi tidak mungkin terjadi.
Chanyeol sunbae semakin intens mendekatiku. Entahlah, seperti tidak ingin mengindahkan tetapi aku merasa tidak enak. Bagaimanapun Chanyeol sunbae sangat baik terhadapku, bahkan binatang pun tahu bagaimana cara membalas budi, bagaimana dengan aku yang seorang manusia. Aku harus lebih baik dalam hal membalas budi baiknya bukan?
"Luhan-ge.."panggil Tao di depan pintu kamarku yang terbuka. Aku menoleh dan menaikkan kedua alis mataku seolah bertanya.
"Mau ikut denganku? Kami akan makan di luar sore ini?"jelas Tao, seolah sudah tahu apa pertanyaanku.
"Kemana?"
"Cafe? Di dekat kampus mungkin."
"Tidak akan ada masalah jika tanpa aku bukan?"ujarku.
"Ayolah, ge."pinta Tao seraya masuk ke kamarku dan memelukku erat,"Yi Fan gege tidak akan mau pergi jika tidak ada Chanyeol gege dan Chanyeol gege ingin aku mengajakmu maka ia akan ikut. Jadi semua bergantung padamu, Luhan-ge."
Tidak bisakah mereka berhenti membawa-bawaku dalam hubungan mereka yang rumit itu? Mengapa harus menggantungkan semuanya padaku sementara aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka itu. Mereka benar-benar membuatku setengah gila.
"Luhan-ge."rujuk Tao.
Aku terdiam sejenak. Menimbang-nimbang ajakan Tao. Sementara ia terus memasang wajah memelas dengan menatapku lekat. Aku benci tatapannya itu.
"Jebal…"ujarnya lirih seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah.
Aku menghela napas panjang,"baiklah."
"Sungguh? Kau mau ikut dengan kami? Terimakasih, Luhan-ge!"pekik Tao senang setelah aku memberikan jawaban positif atas ajakannya. Bagaimana aku tega menolak ajakannya itu. Selama ini Tao sudah terlalu baik padaku, tidak mungkin aku menolah membantunya kali ini meskipun aku tidak suka melakukan ini untuknya. Tidak, bukan aku tidak ikhlas, hanya saja aku enggan bertemu dengan Yi Fan sunbae. Aku tidak ingin membuat diriku kembali bimbang. Ya. Aku tidak ingin hatiku kembali bimbang.
"Cepatlah berganti pakaian. Kutunggu kau setengah jam lagi."titah Tao padaku seiring dengan keluarnya ia dari kamarku.
Aku menghela napas lebih panjang dan berat, beranjak bangkit ke arah meja riasku dan memandangi pantulan diriku di cermin.
"Luhan bodoh! Kenapa kau harus menerima ajakan Tao."
Aku menangkup wajahku frustasi. Kemudian kedua mataku beralih ke arah lemari pakaianku. Entah mengapa rasanya enggan mengganti pakaian untuk pergi. Aku terus menatap pantulan wajahku di cermin. Tidak! Aku harusnya tidak boleh pergi bersama mereka. Aish!
"Luhan-ge, kau sudah siap?"tanya Tao dari balik pintu kamarku yang tertutup.
"Tunggu sebentar, Tao-ah!"seruku seraya bergegas berganti pakaian, tidak peduli lagi bagaimana penampilanku saat ini, yang terpenting adalah segera melalui sore ini.
Aku keluar dari kamarku, menghampiri Tao yang sudah menunggu dengan memasang senyuman terbaik di wajahnya. Senyuman yang mengatakan bahwa ia akan menikmati sore ini dengan sangat bahagia. Aku tersenyum, menyembunyikan keengganan yang muncul dalam hatiku. Tao membawa mobilnya menuju cafe dekat Seoul Institute, tempat kami menghabiskan sore ini. Dua orang pria yang akan kami temui sudah duduk di sudut ruangan dengan daftar menu di tangan mereka masing-masing. Tao dengan semangat menarik lenganku untuk segera menghampiri tempat duduk mereka.
"Kukira kau tidak akan datang."ujar Chanyeol sunbae padaku.
"Tao memintaku datang."sahutku sekenanya seraya duduk di samping Chanyeol sunbae karena Tao otomatis mengambil kursi di samping Yi Fan sunbae.
Mata Yi Fan sunbae menatapku sesekali kemudian kembali menatap Chanyeol sunbae dan berbicara dengannya seolah tidak ada yang ia pikirkan tentangku tapi tatapannya saat menatapku berkata banyak. Kami memesan makanan seperti halnya pengunjung-pengunjung lainnya. Tao masih berusaha bercengkrama dengan Yi Fan sunbae yang mulai melunak sementara Chanyeol sunbae terus mengajakku berbicara walaupun aku menanggapi dengan cukup dingin.
"Kurasa aku harus ke toilet."ujar Chanyeol sunbae.
Aku mengangguk pelan seraya menyeruput lemon ice tea milikku. Kuarahkan pandanganku ke sekitar, melihat-lihat suasana cafe. Ada sepasang kekasih di sudut yang lainnya, saling menyuapi satu sama lain. Kemudian ada beberapa kelompok mahasiswa yang makan bersama teman-teman mereka. Kemudian di ujung sana ada sebuah piano putih yang menantang untuk dimainkan, sementara seorang pria berjalan ke arahnya seolah menjawab tantangan piano putih itu. Tunggu dulu! Itu Chanyeol sunbae. Aku menghentikan kegiatanku sejenak dan memandang ke arahnya. Mata kami tak sengaja bertemu. Ia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum manis. Jari-jarinya ia taruh di atas tuts-tuts dan menarikannya lentik di atas sana, kemudian mengalunlah sebuah lagu yang indah. Bagaimana bisa ada seorang pria seperti dia, lembut, pandai melukis, pandai bermain instrumen musik pula. Sekitar lima menit setelah itu, suara dentingan piano berhenti. Aku menatap ke arah Chanyeol sunbae yang sekarang sudah berdiri memegang sebuah microphoya.
"Aku tahu bagimu ini mungkin terdengar begitu cepat, begitu mendadak dan tanpa persiapan tapi bagiku semua ini tidak berlangsung secepat yang kau pikirkan. Bagiku semua ini adalah perasaan yang sudah lama bersarang dalam diriku, yang berteriak-teriak memintaku untuk segera menyampaikannya. Menyimpannya selama ini membuatku nyaman dan gelisah sekaligus. Aku tidak ingin kehilangan lagi kesempatanku untuk mengatakan semuanya."
Apa maksud Chanyeol sunbae? Ia berpidato di ujung sana seolah akan menyatakan perasaannya kepada seseorang saja. Tapi kuakui, kata-katanya memang menyentuh hati. Orang mana yang tidak akan luluh mendengar seorang pria berkata seperti itu. Kulihat pria di sekitarku mulai menangkapkan tangan mereka dan menaruhnya dekat wajah, tersipu dan berangan kalau-kalau ada yang mengatakan hal seperti itu pada mereka. Aku tersenyum sendiri membiarkan imajinasiku berkelana jauh.
"Xi Luhan, maukah kau menjadi kekasihku?"
Aku terdiam sejenak dan beberapa detik kemudian aku baru menyadari bahwa seluruh pasang mata di ruangan itu menatapku, seolah meminta jawaban. Aku berpikir sejenak. Mengapa semua orang melihatku seperti ini? Apa aku telah melewatkan sesuatu?
"Xi Luhan? Maukah kau meyarimaku sebagai priachingumu?"Chanyeol sunbae menatapku dalam dari ujung sana.
"Apa?"ujarku pelan, terkejut mendengar ungkapannya.
"Terima dia, ge."seru Tao.
Aku menundukkan kepalaku. Jadi semua yang ia katakan tadi. Semuanya untukku? Itu semua aku? Wanita yang dimaksudnya adalah aku? Bagaimana aku bisa membalas ungkapannya tadi?
"Permisi, aku ingin ke belakang sebentar."ujarku seraya pergi ke toilet di belakang.
Aku perlu waktu untuk berpikir. Chanyeol sunbae telah membuatku bingung seketika dan juga malu. Bagaimana tidak, ia menyatakannya di depan banyak orang dan tentu saja aku tidak akan tega jika harus menolaknya terang-terangan di sini. Aku menatap pantulan wajahku lewat kaca yang ada di toilet. Luhan-ah, bagaimana?
"Permisi, apa kau bisa beritahu aku di mana jalan keluar lewat pintu belakang?"
Next or Delete?
Aku comeback dengan ff KrisLu ini, sebenernya aku kurang suka sih dengan pair yang satu ini, tapi entah kenapa yang terlintas waktu buat fic ini malah pair KrisLu wkwk. Di fic ini anggep aja Luhan lebih muda dari Kris gitu yaa~ kkk~
Btw untuk ff KrisTao yang He Stolen My Panda itu yaoi ya, maaf kalo ada kata yang ga sinkron/? Wkwk, tadinya itu kubuat straight terus aku ubah jadi yaoi, aku ngeditnya kurang teliti maaf sekali lagi ya. Thanks yang udah review, favs, follow, ataupun hanya sekedar mampir. Laf{}
Regards,
Keewanii
