Kuroshitsuji Yana Toboso
Warning! AU, OOC (maybe), shounen-ai, typo(maybe), dll.
Summary: Aku tidak ingin mempercayai siapapun. Aku takut orang yang kupercayai akan berbalik membohongiku, meninggalkanku sendirian. Tapi, bisakah kau membantuku agar aku dapat percaya padamu? Hanya padamu seorang.
My first Kuroshitsuji's Fanfic, so please enjoy :)
Chapter 1 : Nightmare?
.
.
Kau yang telah mengajarkan makna dari hidup ini padaku...
Mengisi dan memenuhi hari-hari tak berartiku dengan cinta yang bahkan masih saja mengalir di dalam hatiku,
sampai saat ini
Kumohon, kembalilah...
.
.
"K-kenapa...? Kenapa kau melakukan semua ini kepada kami, paman?"
"Padahal... padahal Ayah selalu mempercayaimu! Dia selalu menganggapmu sebagai keluarganya. T-tapi, kau..."
"Aku tersanjung akan kebaikan kalian padaku. Namun, pekerjaan tetaplah pekerjaan..."
"Sebelum aku membunuhmu, aku akan memeritahu satu hal, Ciel..."
"Jangan pernah percaya kepada siapapun!"
"UWAA!"
Aku bangun dan terduduk di atas ranjangku. Rasanya sangat sulit bernapas, entah karena yang barusan atau memang karena penyakitku. Aku dapat melihat butiran-butiran keringat yang menetes dari wajahku jatuh mendarat di selimut yang menutupi setengah dari bagian tubuhku.
"Ughh..." aku mengerang kecil, sambil memegangi kepalaku. Sakit. Kepalaku terasa sangat sakit, pusing, dan aku merasa agak mual. Kucoba untuk melirik ke meja di samping kiriku, melihat angka berapa yang tertera di jam yang terletak di sana.
Pukul 3.13 dini hari.
Sial. Terbangun jam segini hanya karena mimpi itu? Kenapa mimpi tentang waktu itu tiba-tiba muncul? Padahal aku tak pernah ingin mengingatnya lagi...
Napasku masih terasa belum teratur. Ah, kalau sudah seperti ini, berarti memang penyakitku yang sedang kambuh. Tapi biarlah, aku hanya tinggal lanjut tidur saja, dan keesokan harinya pasti sudah sehat kembali.
Kujatuhkan tubuhku secara perlahan di atas ranjang, tanpa adanya niat untuk menarik selimutku. Keringat yang sangat banyak tadi masih ada, sampai-sampai bajuku terasa basah. Ini tidak nyaman, namun aku tak peduli. Aku ingin kembali tidur saat ini, dengan harapan tidak akan melihat mimpi yang sama. Sangat tidak ingin.
Baru saja aku menutup kedua mataku, tiba-tiba mereka terbuka lagi. Entah kenapa, aku punya firasat buruk jika memang ingin melanjutkan tidurku di sini. Bisa-bisa, mimpi tadi malah berlanjut. Aku berpikir, apa mungkin sebaiknya aku tidur di kamarnya saja, ya?
Aku berusaha bangkit dari posisi tidurku, tanpa memedulikan rasa sakit yang masih menjalar di dalam kepalaku. Untuk beberapa menit, aku hanya duduk di tepi ranjang tanpa melakukan apapun, sebelum berdiri dan mulai berjalan dengan susah payah menuju pintu.
CEKLEK
Setelah pintu terbuka, kubiarkan kedua kakiku membawa tubuh ini ke tempat manapun yang sedang diinginkannya saat ini. Aku berjalan sendirian, di lorong yang gelap, dengan perasaan sedikit kacau. Aku tahu ini tak mungkin tapi, aku selalu berharap bahwa dia akan ada di sana dan menyambutku dengan hangat, seperti yang biasa dilakukannya. Aku tahu, karena dia akan mudah terbangun walau hanya karena suara decitan pintu saja.
Sementara aku sibuk dengan pikiranku, tak sadar aku telah berada di depan kamarnya. Seperti yang kuduga, pintu ini pasti tertutup. Sejenak aku merasa ragu, apa aku memang harus masuk ke dalamnya? Atau apakah aku kambali ke kamarku saja?
Dan sekali lagi, tanpa sadar tangan kananku telah menyentuh kenop pintu tersebut. Memutarnya, hingga pintu itu terbuka secara perlahan. Aku takut. Apakah yang berada di dalamnya tidak akan berubah? Apakah akan sama seperti sekarang, atau sama seperti dulu?
"Hm? Ciel? Ada apa jam segini? Kenapa kau berkeringat seperti itu?"
Aku hanya terdiam. Ya, itu adalah kata-kata yang sangat ingin kudengar darinya.
"Hah... Ciel, kau bermimpi buruk lagi, ya?"
Ya. Saking buruknya, aku sangat ingin hilang ingatan karenanya.
"Tak apa, aku akan menghiburmu! Ayo, sini!"
Ya. Aku senang jika aku dapat mendengarmu mengatakannya padaku. Apalagi dengan senyumanmu itu...
Namun sayangnya, itu semua tak akan pernah terjadi. Pintu ini terbuka, dan yang tampak di dalamnya hanyalah kamar tidur yang kosong. Kosong bukan karena tak ada apapun di dalamnya, namun kosong karena tak ada siapapun di dalamnya. Sepanjang mataku menelusur, yang tampak hanyalah perabotan-perabotan yang sejak dulu memang sudah ada di sana.
Perasaanku semakin kacau. Ternyata, apa yang berada di dalamnya sama sekali tak berubah. Tak berubah, tak seperti yang dulu. Inilah yang kutakutkan. Padahal, aku selalu berharap bahwa semua yang telah terjadi saat itu hanya mimpi. Padahal, aku selalu berharap bahwa dia akan menyambutku dengan kehangatannya setiap saat. Padahal, aku benci terhadap semua kenyataan ini...
Semua yang kulihat tadi hanyalah ilusi. Namun aku tetap merasa senang. Walaupun ilusi, semua perkataannya itu terlihat nyata. Bahkan ekspresi cemasnya, senyumannya, sosoknya, semuanya terlihat nyata.
Kulangkahkan kedua kakiku dengan perlahan, masuk ke dalam kamar ini. Hal yang menjadi tujuanku memang hanya satu. Yaitu king size bed yang selalu terletak di tengah-tengah kamar, yang terkadang juga menjadi tempatku untuk tidur. Ranjang tersebut sama sekali tak berantakan. Tak seperti dulu, yang kadang menjadi arena berperang akibat beberapa keusilan dan kesalahpahaman kecil antara aku dan dia.
Kubaringkan tubuhku secara perlahan di atasnya, mencoba meresapi aroma tubuhnya yang selalu berhasil membuatku merasa nyaman. Aroma tersebut masih ada. Masih sama seperti yang sebelumnya. Walaupun begitu, sumber dari aroma tersebut tak ada di sini. Kututup kedua kelopak mataku, dengan bayang-bayang dia yang tengah memelukku dengan lembut.
Ah... padahal yang tersisa hanya aroma tubuhnya saja, namun aku berhasil dibuatnya merasa senyaman ini. Dasar. Tapi tak apalah. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah kenyamanan, dan aku sudah berhasil mendapatkannya. Semoga saja, mimpi buruk tadi berubah menjadi mimpi yang indah... dengan dia di dalamnya.
.
At time I lost the people who I used to believe,
you're there for me
So please accept this weary soul in order to be able to lean on you
While looking at the millions of stars up there,
we're laughing together right from down here
You hold me gently,
caressing me in the warmth of your arms
For me,
you shine brighter than the millions of stars that exist
.
"Jangan pernah percaya kepada siapapun!"
Pria dalam balutan serba hitam itu berkata padaku, dengan moncong pistol-nya yang telah terarah padaku.
Aku hanya bisa mencerna kata-katanya dengan ketakutan yang tak tertahankan. Kenapa? Kenapa paman menyakiti—bahkan menghilangkan nyawa Ayah dan Ibu, padahal selama ini dia selalu membantu bahkan menyelamatkan mereka? Ayah dan Ibu sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga ini. Aku bahkan selalu memperlakukannya layaknya pamanku sendiri. Dulu dia adalah pria yang baik dan menyenangkan. Dulu.
Dengan seringaian dingin yang membuatku bergidik, dia malah memberitahu padaku agar tak pernah percaya kepada siapapun. Dan kini, aku tak akan pernah mau mempercayai siapapun lagi.
Aku tahu, bahwa ini semua akan menjadi akhir dari hidupku. Penyebab dari semua ini hanyalah satu. Kebohongan. Kebohonganlah yang telah merenggut segalanya dariku. Ayah, Ibu, kepercayaan, juga hidupku. Terdengar suara seperti 'trek' dari arah pistol itu. Apakah dia akan segera menembakkan pistol di tangannya itu padaku, seperti yang dilakukannya pada Ayah dan Ibu?
Rasa takutku telah hilang. Tubuhku yang sebelumnya bergetar, kini telah berhenti. Semua tergantikan oleh perasaan kosong dan hampa. Pikiranku sudah blank, dan tak mampu lagi bekerja. Perlahan, aku menutup kedua kelopak mataku. Semuanya telah berakhir.
DOR!
Suara yang memekakkan telingaku tersebut terdengar kembali. Dan semuanya terjadi begitu saja.
BRUKK!
Namun aku tak merasakan sakit apapun. Apa jangan-jangan aku sudah mati, ya?
Kalau begitu, kenapa aku tak merasakan apapun? Tergores sedikit pun, rasanya tidak. Sebelum aku sempat membuka kedua mataku, aku dapat merasakan bahwa ada sesuatuyang memelukku. Aku tahu itu bukan sesuatu, tapi seseorang. Tangannya terasa besar, begitu pula dengan tubuhnya. Meski begitu, aku dapat merasakan sesuatu dari orang tersebut.
Hangat.
"Maaf. Aku tak sempat menyelamatkan kedua orang tuamu..."
Orang itu memelukku dengan lembut. Membuatku hampir tak sadar, bahwa sebenarnya nyawaku telah diselamatkan olehmya. Aku dapat mendengar suaranya yang terkesan dalam, namun lembut itu berbisik tepat di telingaku. Dia meminta maaf, karena tak sempat menyelamatkan nyawa Ayah dan Ibu. Aku tahu ini salah, karena yang seharusnya meminta maaf bukanlah dia.
Karena rasa percaya akan orang lain, Ayah dan Ibu bernasib seperti itu. Jika saja, jika saja kami tak pernah percaya terhadap hal yang palsu tersebut... jika saja Ayah mau melakukan perlawanan terhadap orang itu... semuanya pasti tak akan jadi seperti ini, bukan?
Secara spontan, aku balas melingkarkan kedua lenganku di bagian yang kuyakini sebagai lehernya. Aku tak sadar saat melakukannya. Saat kucoba untuk membuka kedua mataku, aku dapat melihat seorang pria yang seperti dugaanku—bertubuh lebih besar dariku. Aku tak dapat melihat wajahnya dalam posisi seperti ini. Begitu kucoba untuk menengadahkan kepala, hal pertama yang terpantul di kedua manik mataku adalah sepasang mata berwarna merah pekat. Seperti batu ruby, sedikit menyeramkan namun juga tak kalah indah.
Setelahnya, aku dapat melihat seluruh lekuk wajahnya dengan jelas. Rambut berwarna hitam legam yang menutupi kedua sisi wajahnya, kulit berwarna putih pucat yang jelas terlihat olehku bahkan dalam kegelapan ruangan ini, juga senyuman yang mengingatkanku pada Ayah. Hanya dengan sekali lihat saja, aku sudah dapat menyimpulkan tentang sosok yang tengah berada di hadapanku ini.
Indah, juga rupawan.
Aku yakin, bahwa senyumannya nampak persis dengan milik Ayah. Senyuman dari Ayah, yang kini sudah tak mungkin bisa untuk kulihat lagi. Juga senyuman Ibu, yang selalu bisa menenangkanku dikala sedih. Mengingatnya saja, mataku sudah terasa panas begini. Rasanya ada sesuatu yang memaksa untuk keluar dari kedua mataku.
Sepertinya, pria di hadapanku ini sadar bahwa aku sudah akan menangis. Dia kembali membawaku ke dalam rengkuhan hangatnya. Dia membuat tubuhku yang kedinginan ini menjadi hangat kembali. Aku takut. Rasanya pria ini terlalu mirip dengan Ayah. Aku takut, kalau semua perasaan ini akan lenyap begitu saja, dan aku mulai menangis dalam dekapannya.
Aku dapat merasakan bahwa dia semakin mempererat pelukannya. Ayah, Ibu, kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Apa ini merupakan sebuah hukuman bagiku? Hukuman, karena aku telah banyak mengecewakan kalian? Kumohon, tolong maafkan aku. Kumohon, jangan menghukumku dengan cara ini. Kalian boleh mengurungku selama mungkin, tidak memberiku cemilan berupa cake atau makanan manis kesukaanku, memukuliku berkali-kali, tapi tolong...tolong jangan tinggalkan aku.
"Ayah, Ibu... hiks...j-jangan tinggalkan...aku," aku berucap lirih disela-sela isak tangisku. Dilanjutkan dengan ucapan-ucapan maaf yang tak berhenti digumamkan oleh mulut ini.
Dapat terdengar dengan jelas, bunyi derap kaki yang sangat banyak. Mendekat menuju lokasi dimana aku berada saat ini. Pemilik derap kaki tersebut membanting pintu dengan sangat keras.
"SEBASTIAN! Bagaimana kea—" seseorang berteriak kepada kami. Tidak, mungkin lebih tepatnya ke arah pria yang hangat ini.
Aku masih sibuk menumpahkan segala kesedihan dan penyesalanku dalam air mata, sehingga aku hanya menurut saja saat pria itu mengangkat tubuhku—seperti seorang pengantin. Aku masih memeluk lehernya dengan erat, membuat bahu dan kemeja hitam yang dikenakannya basah oleh air mataku. Dia kemudian berjalan menuju gerombolan orang-orang yang tadi datang sembari membanting pintu ruangan ini.
Aku tak dapat melihat orang-orang itu. Aku hanya dapat mendengar Sebastian—sepertinya itu memang namanya—berkata dengan tegas pada orang-orang itu, "Aku berhasil melumpuhkan pelaku. Kalian semua urus apa yang ada di sini, sementara anak ini akan menjadi bagianku," dan setelahnya orang-orang itu hanya menuruti perkataan Sebastian.
Dia terlihat begitu tenang, padahal aku masih belum berhenti menangis di lehernya. Jujur, dari jarak sedekat ini aku dapat mencium dengan jelas aroma tubuhnya. Wanginya begitu menenangkan. Aku sangat menyukainya.
Kemudian, dia membawaku keluar dari rumah—menuju mobilnya. Setelah dia mendudukkanku di samping bangku kemudi, dia pun menghapus sisa-sisa air mata di wajahku. Kemudian, dia mencium puncak kepalaku. "Besok aku akan menanyaimu beberapa pertanyaan, karena itu istirahatlah... Anak-anak harus tidur jam segini, oke?" ucapnya disertai dengan senyuman yang menurutku tulus.
Bagaikan mantra, kata-katanya benar-benar membuatku mengantuk. Bahkan saat aku terlelap, aku masih saja berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Dan ketika aku terbangun nanti, Ayah dan Ibu akan memelukku dengan hangat seperti yang mereka lakukan setiap harinya.
.
.
TBC
Author's note:
Phew~ Ini adalah fic kuroshitsuji prtama yg sya publish... Sebenarnya sih, rencana mau dibikin oneshot aja. Cuman kayaknya kepanjangan, jadi nggk jadi deh...
Nah, karena sya masih newbie disini, mohon bimbingannya ya! *bow*
Ah, fic ini jg sekalian mau saya prsembahkan buat seorang author yg sangat saya kagumi—namun kini ia tlah pergi meninggalkan kita semua... *plak* Err,, maksudnya bukan gitu ya.. tapi dia prgi meninggalkan dunia ffn. Saya sedih luar biasa, apalagi semua fic buatannya slalu bikin saya terbengong-bengong (?). dia author di FKI jg kok... kalau ada yg tau, diam aja ya? :)
Oh. Saya juga mau minta maaf kalau misalnya puisi berbahasa inggris diatas memiliki bnyak ksalahan... hehe, soalnya saya nggk bagus2 amat xD
So, everyone... Give me review, please? *evil smirk*
.
Sign, Dicchan
