Chuuya tidak berpikir dia gila, ataupun merasa ia berpikir gila. Ia berpikir logis. Atau setidaknya, begitulah yang ia pikir.
Seperti misalnya, dibandingkan rengekan, "Aku bukan bonekamu. Kau pikir kau bisa terus mempermainkanku seperti itu?!" ia lebih suka menyuarakan perjanjian, "Kita bermain hanya sampai batas ini. Tidak ada relasi lebih. Dan karena kita bermain, maka ini sekadar permainan. Tidak ada rasa, tidak ada cinta, tidak ada apa pun." Ia memilih jalur sakit hati. Dan sebab ia yakin dan percaya diri hatinya sudah mati rasa, ia tidak begitu memikirkan akibatnya.
Lagipula, jika, dan hanya jika, ia menderita dalam sakit hati—entah karena hatinya tiba-tiba sembuh dari lumpuh atau justru hatinya sekarat—bah, entah, ia tak ingin ambil pusing. Permainan ini sudah melebur menjadi rutinitasnya, agak tidak mungkin untuk kabur atau mengelak. Pun, ia sudah terbiasa dengannya dan terbiasa menikmatinya. Jadi, jika hal itu benar-benar terjadi, mungkin ia bisa menolaknya dan membunuh dirinya sendiri perlahan-lahan dengan nafsu yang melahapnya. Atau mungkin, ia bisa melumpuhkan akal sehatnya dan kembali mengiyakan untuk turut serta dalam permainan yang ia ciptakan sendiri. Kemudian, ia mungkin akan mencoba untuk benar-benar menelan seluruh rasa manis yang tersisa di tiap inci tubuhnya seakan itu adalah hal terakhir yang bisa ia jumpai. Mungkin juga sebaliknya. Ia bisa membuang seluruh perasaan itu jauh-jauh dan bermain dalam permainan ini selayaknya orang mati.
Entahlah, kadang ia merasa terjebak dalam permainannya sendiri. Kadang pula, ia ingin mengutuk habis-habisan perjanjian yang pernah ia buat.
Ia ingin kembali.
Tapi, pikirannya yang logis meludahi cuitan hati kecilnya itu. Jalan pikirannya tidak pernah mengarah ke abu-abu. Yang ia tahu, di antara hitam dan putih hanya ada sebuah garis batas yang tegas, bukan warna selemah abu-abu.
Tidak mungkin ia kembali. Bodoh sekali.
Detik berikutnya, pikirannya buyar oleh suara getar ponsel miliknya di atas kasur tepat di samping kepalanya. Ia tidak repot-repot menggulirkan bola matanya untuk melirik nama pemanggil di layarnya; tangannya sudah lebih dulu menggapai benda itu dan menjawab panggilan.
"Halo?"
Tidak ada basa-basi. Suara di seberang langsung membalas, terdengar parau.
"Kau ada waktu malam ini?"
Dalam pikirannya yang logis, tidak ada abu-abu di antara hitam dan putih. Di dunia ini, hanya ada dua pilihan: iya atau tidak.
Seharusnya ia bisa memilih.
Ia yakin lidahnya tidak pernah sekelu ini sebelumnya.
Dazai brengsek.
a/n: Ahaha, help me, please. I've been trapped in this world full of sin and boys-love-atmosphere that I can't getting away from. Help me, please!
(And I know that I'm so rude for abandoning the fic that I should have finished. I'm soo sorry I got writer's block in that case.)
Haha, anyway, thank you for reading this super-short-as-short-as-Chuuya fanfiction.
-H.I-
