Chapter 1

"Ini, kukembalikan VCD-nya," ujarku sembari menyodorkan sebuah VCD bercover seram pada Uzumaki Naruto, sepupu sekaligus teman dekatku di sekolah. Saat ini kami sedang duduk di meja paling sudut (alias meja Naruto), bersiap-siap makan bekal. "Ino benar. Film seperti ini bukan tipeku."

"Heeh? Bukannya kau sangat suka film horor, Karin?" tanya Naruto tak percaya.

Aku cemberut. "Aku memang suka. Tapi pilih-pilih dong! Cerita horor dengan masalah silih berganti jelas tak akan kutonton!" ujarku sebal. "Soalnya, yang seperti itu tidak ada di dunia nyata."

Naruto menatapku heran sekaligus menyelidiki. Terlihat jelas dari matanya yang menyipit. "Memangnya kau tak pernah mengalami hal seperti itu, ya Karin?"

"Tentu saja tidak pernah!" ujarku songong sambil menggoyang-goyangkan jari telunjukku.

"Wah.. enaknya.. aku juga mau seperti itu," ucap Ino dengan irama yang mendadak sedih. Aku menatapnya heran.

"Memangnya sekarang apa lagi masalahmu, Ino?" tanya Naruto.

Ino terlihat malas menjawabnya. Tapi akhirnya ia menyerah. "Sasuke menolakku," jawabnya ogah-ogahan.

Aku dan Naruto langsung tersenyum lebar—sebuah ekspresi dalam menahan tawa, tamun tidak terlalu berhasil.

"Sasuke itu kan sukanya sama cewek berambut merah, Ino!" kata Naruto. "Aku mendengar dari mulutnya sendiri kemarin."

"Hah? Perasaan warna favoritnya itu pink, deh!" koreksiku. "Seperti rambutnya Sakura!"

"Apa hubungannya dengan Sakura?" tanya Naruto sembari mengerjap heran.

Aku langsung mencubit pipinya. "Sakura itu kan pacarnya, dodol!"

"Heh, masa sih? Aku baru tahu!" ucap Naruto sembari mengusap-usap pipinya yang memerah.

"Aku serius loh! Sasuke itu kan tetanggaku. Kemarin, waktu di jalan pulang, aku melihatnya bersama Sakura. Romantis banget loh!"

Sebuah pukulan langsung menghantam kepalaku. Rasa sakitnya sempat membuat otakku oleng sedikit. Benar-benar sedikit loh! Karena aku bisa mengenali siapa yang memukuliku. Dengan garang aku melihat ke atas dan tatapan kami pun beradu. Hanya tatapan loh, bukan bibir. Aku ogah berciuman dengan alien yang berani memukul anak manusia polos sepertiku. Dan berhubung aku belum pernah ciuman, aku tak ingin dia merebutnya.

"Jangan seenaknya menyebar gosip!" ujarnya datar. Rambut ravennya jatuh menyentuh pipiku.

Aku menatapnya lebih tajam. "Dan jangan menyela obrolan orang lain, plis!" balasku. Saat ini seperti ada petir yang memisahkan mataku dengan matanya.

Naruto ©MasashiKishimoto

Mondai ©VannCafl

Pairing: Sasuke x Karin x Itachi

Genre: Family, romance.

Rate: M

"Maukah kau ikut makan siang bersama kami, Sasuke?" tanya Ino pelan. ia yang biasanya tenang tumben-tumbenan jadi pemalu.

Orang yang memukulku barusan, Uchiha Sasuke, melirik Ino sembari melempar senyum sok menawannya. Saat itu lah aku membalasnya dengan pukulan di rahang. Sasuke langsung mundur selangkah. Ia menyisingkan lengan bajunya hingga ke siku dan maju selangkah. Sementara aku mengelus-elus tangan kiriku yang sudah terkepal erat. Kami berdua siap bertarung!

"Wah, jangan bertengkar begitu dong! Sasuke, Karin!" teriak seseorang di depan kelas yang kami kenali sebagai Uchiha Itachi, atau kakak kandung Sasuke.

Sial! Apa-apaan dia?! Mengganggu saja! "Diamlah, Sensei!" aku balas berteriak. "Saat ini kami sedang terlibat masalah serius. Karena itu jangan hentikan kami bertarung secara jantan!"

"Mencampuri masalah antar laki-laki itu juga tidak boleh, Nii-san!" timpal Sasuke. Ia mengirim senyum menantang padaku. Dasar sialan!

"Tu-tunggu dulu! Karin itu perempuan, loh!" protes Itachi lagi.

"DIAM, KAMPRET!" teriakku dan Sasuke serentak.

Itachi langsung melangkah mundur karena terkejut. Tapi detik berikutnya ia berderap mendekati kami. Kami berempat beserta seisi kelas menatapnya horor. Niatku ingin berantem jadi hilang entah kemana.

"Karin, Sasuke, kalau kalian berani bertarung, aku akan menghukum kalian!" ancamnya.

Aku menelan ludah. Sementara Sasuke terlihat pucat. "Me-memangnya hukuman apa yang sanggup kau berikan pada kami, hah, Nii-san?" tanyanya dengan nada sama. Tapi lebih kecut.

"Karena membersihkan wc dan koridor sudah biasa bagi kalian, bagaimana kalau penyitaan ponsel untuk Sasuke dan skorsing satu hari untuk Karin?" Itachi balik bertanya.

"Sial!" Sasuke menggertak giginya.

Aku mengerjap. "Skorsing? Hukuman cupu macam apa tuh?" tanyaku heran. "Tapi boleh juga tuh! Aku jadi bisa main ke tempat-tempat yang aku mau. Ibarat tiket bolos gratis!"

Itachi ikut menggertak giginya. "Kalau begitu kau mau dapat hukuman apa hah? Aku sendiri ingin menyita ponselmu, tapi kemarin kudengar guru lain sudah lebih dulu melakukannya."

"Wah, kau tahu banyak ya, Sensei.." ujarku kagum. "Untuk saat ini hukuman bagus bagiku itu tiket bol—maksudku skor apalah itu, Sensei. Jangan sungkan, Sensei!"

"Tidak akan pernah!" katanya keras. "Untuk saat ini aku akan memikirkannya dulu! Karena itu temui aku di kantor guru nanti."

"Siaaal!" tak sengaja, aku mengumpat keras. Untung Sasuke membekapku sebelum aku mulai menyanyikan lagu berlirik umpatan lain. Itachi pun pergi meninggalkan kelas dengan merengut.

Aku menendang kaki meja. "Kenapa harus kantor guru, sih?!" kataku sebal.

"Heh? Kau takut masuk ruangan itu, ya?" tanya Naruto sambil mengunyah udang tepungnya. "Padahal itu baru permulaan dari penderitaan."

Aku mengacuhkannya sembari membuka kotak makananku. Sasuke langsung mencomot bakwan jamur-ku dan mengunyahnya santai. "Begini loh," aku memutuskan cerita sebelum tanganku melayang sendiri ke kepala Sasuke. "Dulu aku pernah numpang lewat di depan ruangan itu. Tiba-tiba seorang guru keluar dan menyuruhku mengambil spidol yang tertinggal di kelas 1C. Berhubung waktu itu aku masih polos, aku mau-mau saja mengambilkannya. Namun ketika aku kembali, ada guru lain yang menyuruhku mengantar print-out ke kelas 1A. Intinya, berurusan dengan guru itu hanya membuatku menjadi babu. Berhubung aku bukan masochist dan cita-citaku bukan ke itu, maaf-maaf saja, aku tak akan sudi ke sana lagi."

"Lalu apa rencanamu?" tanya Sasuke sembari mencomot makananku untuk kelima kalinya. Sebelum ia menghabiskan semuanya, aku pun ikut makan.

"Mungkin, aku akan menunggunya di mobil saja. Sekalian minta diantar pulang," jawabku sambil mengunyah satu bakwan sekaligus. Bakwan buatan ibuku ini enak sekali. Membuatku ingin memakan sepuluh buah sekaligus. Sayangnya porsi sebanyak itu tak akan muat di tenggorokanku.

Sasuke menekan bibirku dengan jari telunjuknya. "Kalau bicara jangan sambil makan dong!" katanya sebal.

"Dari tadi gayamu sok menggurui terus!" kataku sebal. "Seharusnya kau—uhuk."

Aku pun terbatuk-bantuk panjang sampai akhirnya Sasuke memaksaku minum dan membuatku semakin tersedak.

Anak sialan itu pasti ingin membunuhku. Ya kan?

.

.

.

Sesuai rencanaku tadi, aku menunggu di depan mobil Itachi setelah selesai dengan klubku (aku, Naruto, dan Ino mengikuti klub panahan). Tapi setelah satu jam menunggu, sensei sekaligus tetanggaku itu tidak muncul. Karena yakin tidak ada guru lain yang masih di sekolah dan berpotensi menyuruh-nyuruhku di kantor, aku memutuskan menyusulnya.

Dengan tidak rela aku kembali ke dalam gedung dan mengganti sepatuku dengan uabaki. Sambil memikirkan perkataan Sasuke tadi, aku berjalan ke lantai di mana kantor guru berada.

Sasuke mungkin benar. Bahwa rencanaku ini kurang rasional.

Ketika sampai di lantai itu, aku tersenyum tipis. Dari ujung ke ujung koridor terlihat sepi. Benar-benar bersih dari musuh-musuhku.

Sambil berjingkat-jingkat, aku mendekati pintu kantor guru. Sayangnya kebahagiaanku langsung sirna saat mendengar suara obrolan di dalam kantor guru. Yang kudengar memang bukan suara sensei yang kubenci, melainkan hanya suara seorang siswa yang ku kenal. Tapi kenapa perasaanku jadi sesak begini?

"Sakura, aku serius. Jangan pernah datang ke rumah lagi. Kau dengar sendiri, kan? Bahwa semua orang jadi membicarakanmu. Terutama para tetangga. Kau tidak kasihan pada dirimu dan Sasuke?" tanya suara berat yang kukenali sebagai suara Itachi.

"Tapi aku berkujung untuk mencarimu," itu dia, suara Sakura. "Aku bersama Sasuke karena kau menolak memberitahu alamatmu. Padahal kita ini pacaran!"

"Diamlah," kata Itachi dengan suara rendah.

"Tidak mau!"

"Jika tidak aku akan menciummu."

Tanganku langsung menggeser pintu. Entah mengapa aku tidak bisa mengendalikannya. Dasar tangan keparat! Atau pintunya yang keparat? Karena benda itu membuatku bimbang harus membuka atau membiarkannya saja.

"Permisi," bisikku polos. Aku menatap wajah Itachi dan Sakura yang memerah karena kehadiranku. "Sensei, maaf aku terlambat."

Itachi berdehem. "Karin, kita bisa bicara nanti," katanya sambil melempar kunci mobil ke arahku. Dengan sigap aku menangkapnya.

"Boleh kumaling nih, mobilnya?" tanyaku.

"Tentu saja tidak! Aku memberikannya padamu karena aku tahu kau tidak bisa menyetir!" katanya sebal. "Lagi pula jika kau memang ingin mencurinya, kau mau menaruhnya di mana? Di rumah mu yang beda satu inci dengan rumahku?"

Aku mengulum senyum. "Boleh juga tuh, sarannya!" kataku iseng. "Lain kali ajarin aku bawa mobil, ya Itachi!"

"Kalau di sekolah panggil Sensei!"

"Iya..iya, dasar Itachi bawal!" seruku sambil berlari cepat meninggalkannya.

Aku bukan pelari handal, tapi entah mengapa lariku semakin cepat saja setiap menuruni tangga dan menyusuri koridor. Dan ketika aku tersandung di keramik yang retak, aku tidak menggubris rasa nyeri yang mendadak menyerang.

"Karin!" Sasuke mendadak muncul dari lorong lain dan meneriaki namaku dengan irama yang tidak ada halus-halusnya. "Kenapa kau bisa lari-lari seperti itu? Apakah ada hantu? Hantu yang di perpus itu kan? Cepat katakan! Ciri-cirinya berambut panjang selutut, berbadan kurus, serta—"

"Urusai!" bentakku sebal.

Sasuke membatu. "Apakah kau terluka?" tanyanya ragu.

Aku menggeleng. Tapi ada rasa sakit yang menikam dadaku. Sulit didefinisikan, tetapi nyata. Setidaknya lebih nyata daripada hantu di perpus yang Sasuke sebutkan tadi.

"Tapi kau lecet begitu loh!"

"Kalau kau sudah tahu kenapa bertanya?!" Gawat! Aku jadi semakin kesal saja. "Mooou! Aku mau pulang!" Dengan emosi, aku melempar kunci mobil Itachi pada Sasuke.

Aku pun berjalan lemas (bukan niatku, tapi lututku nyeri beneran loh! Pasti karena jatuh dalam kecepatan sembilan puluh kilometer per jam tadi!) menuju kotak sepatu.

"Tunggu, Karin!" Sasuke mendadak menahan lenganku dengan jari-jarinya yang tidak memegang kunci mobil.

Aku berbalik dengan wajah garang. "Apalagi?!"

"Mau kah kau mampir ke UKS sebentar? Aku yang memegang kuncinya, jadi tidak masalah!" ujarnya. "Kau mau kan? Aku akan membalut lukamu."

Aku ingin sekali berkata 'Nggak usah! Belum mau mati soalnya!' tapi benar-benar penasaran dengan caranya membalut luka. Habisnya, sejak bertahun-tahun ia masuk anggota PMR, aku belum pernah melihatnya mengobati orang. Soalnya aku bukan jenis murid yang suka bolos di UKS sambil mendengar musik. Bikin huru-hara di kelas lebih menarik, buatku.

"Oke, deh!" kataku akhirnya.

Sasuke tersenyum dan segera memapahku.

"Ngapain nih?!" tanyaku tak setuju.

"Memang seperti ini tindakan yang tepat untuk orang yang terluka di kakinya!" kata Sasuke dengan lagak sok.

Aku mengangguk-angguk. "Boleh juga tuh!" kataku. "Tapi menurutku lebih seru kalau digendong. Jadi nggak perlu jalan."

Sasuke menatapku lama. Akhirnya ia menahan punggungku dengan tangan kanan dan menyelipkan tangan kirinya di bawah lututku. Perlahan ia mengangkat tubuhku.

"Berat, ya?" tanyaku penasaran.

Dia menggeleng. "Kau ringan sekali," ujarnya dengan mimik tak percaya. "Apakah karena aku sering mengambil jatah makanmu setengah?"

"Yah, mungkin iya.." entah kenapa aku tidak bisa marah-marah lagi padanya. Habisnya dia bilang aku ini ringan sekali.

Setibanya di UKS, Sasuke mulai membersihkan dan mengobati lukaku. Selama ia melakukannya, aku mencoba memperhatikan prosesnya. Tapi aku tidak bisa melihatnya karena rambutnya menghambat. Alhasil, setelah selesai, aku tidak mengerti sama sekali cara mengobati luka. Yang lumayan kumengerti hanya cara membalut. Itu pun lebih terlihat seperti mengikat kain biasa. Dasar Sasuke.

"Sejak tadi kau ingin melihat terus, memangnya kau tertarik dengan hal seperti ini, ya?" tanya Sasuke.

"Tentu saja! Aku kan ingin pamer pada ibu dan ayahku nanti!"

"Kalau alasannya seperti itu, aku tak akan mengajarimu!" katanya sebal.

"Heh, kenapa?"

"Aku ingin kau menggunakannya untuk menolong orang yang kau sayangi!"

"Heh, ternyata kau sejenis orang yang ingin mengobati ibu dan ayahmu.."

"Aku memang seperti itu," ujarnya sembari memalingkan wajah. Mungkin tidak tahan melihat mukaku yang mengejeknya. "Misalnya saat ini, aku sedang mengobati gadis yang—"

"Hah, ternyata kalian di sini!" sebuah teriakan lega Itachi menginterupsi ucapan Sasuke. Kami berdua meliriknya sebal.

Ketika menyadari kakiku terluka, Itachi langsung terkejut. "Astaga, ternyata kau terluka! Mau diperiksa di rumah sakit, tidak?" tanyanya khawatir.

"Tidak usah," ujarku sok. "Lagi pula Sasuke sudah membalutnya tebal-tebal begini."

"Oh begitu," Itachi berjalan ke arahku, kemudian berjongkok membelakangiku. "Naik ke pungguku!"

"Tidak mau! Aku bisa jalan!" kataku sambil berdiri. "Aku juga mau pulang sendiri. Kunci mobilmu ada di Sasuke."

Sasuke menatapku heran. Mungkin karena selama ini aku tidak pernah menolak ajakan pulang bareng dari Itachi. "Karin, kau sedang marah karena apa?" tanyanya pelan.

"Betsu ni," kataku singkat.

"Cepatlah naik!" kata Itachi mulai tak sabar. "Kalau kau pulang sendiri, ibumu akan berpikir kau habis kecelakaan atau berantem dengan temanmu."

Yah, kalau dipikir-pikir ucapannya itu ada benarnya. Hari ini aku memang nyaris bertarung dengan Sasuke, dan terjatuh di koridor bisa disebut kecelakaan.

"Maksudku kecelakaan karena tertabrak mobil," kata Itachi lagi. "Kau tidak mau membuat ibumu khawatirkan?"

Tentu saja aku tidak mau!

Arrgh! Dasar Uchiha bersaudara. Mereka selalu tahu cara membujuku.

To be continued.