Pintu terbuka dan lonceng-lonceng mulai menggelar paduan suara mereka. Para hadirin berdiri. Kain merah panjang mulai dihujani oleh ribuan kelopak mawar putih. Beberapa buah mulut mengomentari betapa lucunya sepasang malaikat kecil yang sibuk membanjiri kain merah dengan salju putih yang terbuat dari mawar. Tidak terusik dengan pujian-pujian yang terlontar keluar dari manusia dewasa, mereka terus saja membuang dan terus membuang; seakan mengotori adalah suatu petualangan seru.
Pujian-pujian itu terhenti. Bola-bola mata dengan iris yang berbeda mengarah pada satu titik. Seorang lelaki berkepala empat sedang menggandeng tangan seorang gadis remaja. Sorot-sorot mata itu seakan memiliki gelombang elektromagnetik yang bisa menembus ke dalam perut sang Gadis dan berharap menemukan gumpalan embrio di dalam sana. Tapi, sayangnya, mereka tidak akan menemukannya. Sejak awal, gumpalan embrio itu memang tidak ada.
Sang Gadis tahu, ia juga dapat merasakan tatapan-tatapan menyelidik yang terbungkus apik dengan suka cita. Dan itu membuatnya ingin muntah.
Gelombang-gelombang persepsi konyol yang ia tangkap membuat perutnya semakin bergejolak. Napasnya terputus-putus. Tubuhnya semakin dingin dan semakin lemas. Kecemasan dan keraguan mulai timbul.Ia ingin lari.
"Tenanglah."
Bisikan yang mengalir lembut di telinga sang gadis mampu menjadi surya bagi dirinya. Cahayanya menghapus kegelapan yang menguasai hati dan pikirannya, dan juga mampu mencairkan indra perasanya yang membeku.
Ia mengangkat kepalanya. Pandangannya lurus. Hijau milik dari insan yang berdiri dihadapannya terasa begitu–
–tenang, hangat, dan aman.
Untuk pertama kalinya sejak ia menginjak jalan mawar putih, ia merasa bahwa ia berada di rumahnya yang hangat dan penuh dengan kebahagiaan. Ia merasa sejahtera.
(Satu rajutan kisah cinta mereka telah terjalin sempurna.)
.
.
.
.
.
A Piece of Our Life.
Hetalia by Hidekazu Himaruya.
M for save. AU, OC, OOC, Fem!Indonesia, miss-typo(s), dan lain-lain. tidak ada keuntungan yang didapatkan dari karya ini dan dibuat untuk kesenangan semata. remake from A Piece of Our Life.
[Ini adalah sebuah klasik yang dimulai dari kata makan malam sederhana dan berakhir di kata perjodohan. Sebuah ideologi kuno yang dimiliki oleh kedua orangtuanya yang membuat Arthur dan Annesia terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan.]
.
.
.
.
.
TUK! TUK!
"Tes... tes..."
NGIIING!
"Ok. Selamat datang di Hetalia Academy of Oxford!"
["Dalam nama Tuhan, saya, Arthur Kirkland, menerima Annesia Maulaniputri sebagai istri saya mulai hari ini dan saya akan mengasihi dan mencintai Annesia Maulaniputri dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam kelimpahan maupun kekurangan; sampai maut memisahkan."]
"–hur Kirkland bangga berdiri dihadapan para generasi luar biasa ini. Sekali lagi, saya mengucapkan selamat datang dan selamat bergabung di keluarga besar Hetalia Academy of Oxford."
["Dalam nama Tuhan, saya, Annesia Maulaniputri, menerima Arthur Kirkland sebagai suami saya mulai hari ini dan saya akan mengasihi dan mencintai Arthur Kirkland dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam kelimpahan maupun kekurangan; sampai maut memisahkan."]
Putar dan terus berputar. Memori yang senantiasa berputar bagaikan film bioskop dengan satu adegan yang memiliki gulungan film hitam tak terhingga. Tak bisa selesai. Terus berepetisi. Tapi, tidak membuat para pecinta merasa bosan saat menontonnya. Yang ada, para pecinta itu ingin terus menontonnya lagi dan lagi, seakan film itu adalah udara yang harus mereka hirup.
Tapi, tidak baginya.
Terkadang ia suka mengingat kembali kenangan itu. Sebuah saat di mana ia menemukan pangeran tampan berkuda putih yang rela kehilangan nyawanya demi melindungi dirinya. Akan tetapi, ia juga ingin melupakannya. Melupakan kenyataan bahwa satu kebebasannya telah terenggut oleh sang pangeran.
"Ada beberapa peraturan sela–"
Pangerannya berada di sana, di atas sana, berdiri dan berbicara dengan penuh kepercayaan diri. Pangeran miliknya, tapi bukan miliknya juga. Pangeran asing.
Coklat muda miliknya terus saja menatap hijau milik anak adam yang berdiri di atas podium. Ego, harga diri, dan rasa bangga, memenuhi dunia hijau miliknya. Tidak ada ketenangan, kehangatan, maupun rasa aman yang mendekam di dunia hijau itu.
Ya, pangerannya berubah menjadi naga saat ia menginjakkan kakinya di istana sang pangeran.
Ada sebuah memori yang ia ingat. Memori itu cukup lama walaupun tak selama akta kelahirannya.
.
Malam itu, ia tidak memiliki firasat buruk atau pikiran negatif lainnya. Seperti bulan-bulan lainnya, dalam satu kesempatan, ayah dan ibunya mengajak dirinya makan malam di luar. Entah itu di kedai murah ataupun di restoran bintang lima. Tergantung dengan keinginan ayahnya.
Dan di sinilah Annesia duduk, dengan dress putih selutut tanpa lengan. Di depannya terdapat meja bundar yang mampu menampung sepuluh manusia. Peralatan makan mewah dan segala dekorasi yang tergeletak pasrah di atas meja bertaplak putih tidak menarik atensi Annesia. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Ayahnya berdiri di dekat lubang besar di tembok, lubang yang sering menelan maupun memuntahkan pengunjung restauran ini. Lelaki berumur empat puluhan itu menyimpan ponselnya lalu –tanpa rasa takut- ia masuk ke dalam mulut raksasa si tembok.
Annesia terus menatap lubang besar itu dengan dahi berkerut-kerut. Tidak, ia tidak takut jika ayahnya tidak kembali. Ia bukan anak-anak lagi yang memiliki imajinasi tinggi. Virus-virus kehidupan sudah merusak sebagian kecil program imajinasinya. Gadis yang akan menginjak angka enambelas itu dikelingi oleh puluhan tanda tanya tak kasatmata yang mengambang di udara. Kenapa, apa, siapa, dimana. Pertanyaan beranak pertanyaan memenuhi pikirannya.
Sepuluh menit kemudian, ayah keluar dari si mulut raksasa dengan seorang lelaki paruh baya. Di detik inilah, Sang Pencipta mulai merajut kisah hidup Annesia yang baru.
.
Satu kedipan dan ia kembali ke masa kini.
"Dilarang membawa rokok, minuman keras, benda ta–"
Hanya butuh waktu dua menit untuk mengulang adegan yang terjadi selama dua jam secara penuh dan utuh. Hebat bukan otak kita?
Jika ada yang bertanya pada Annesia, apa benda terhebat yang pernah ada di sepanjang sejarah manusa? Maka, Annesia akan menjawabnya: otakku.
"Hei, hei, pssst.. hei..."
Ia menoleh.
Ada seorang gadis dengan kulit kecoklatan. Gadis itu sedikit membungkuk dan tangan kirinya terangkat di sisi kiri wajahnya, ia tidak ingin ada orang lain membaca gerakan bibirnya.
"Aku. Michelle. Laroche," katanya pelan dan lambat.
Annesia menaikkan sebelah alisnya dan memberikan gestur tubuh yang berkata ia tidak dapat mendengar suaranya.
"Michelle Laroche. Siapa namamu?" Ia meninggik suaranya sebanyak dua volume.
"Annesia Maulaniputri."
Michelle menegakkan punggungnya, "Mali? Maulny? Manil?"
"Annesia saja."
Michelle tersenyum lebar. Mata yang sama seperti miliknya bersinar-sinar, seakan-akan seluruh bintang di alam semesta terdampar di sepasang kelereng coklat miliknya. "Kau orang tropis ya?" tanyanya bersemangat.
Annesia mengangguk, "kau sendiri orang Asia?" balas Annesia.
Giliran Michelle yang bergeleng. "Nope."
"Kalau begitu, kau berasal darimana?" tanya Annesia. Ia berusaha menemukan sisi non-Asia dari si gadis.
"Seychelles. Kau tahu?"
"Ti–"
"Cukup sekian pengarahan dari kami. Enjoy your Fresher's Week."
.
.
Dua anak hawa yang sempat tersesat dalam menemukan tujuannya, kini, sedang duduk manis di atas bangku yang terbuat dari campuran bata, tanah, dan semen yang terlapis cat putih. Suara-suara bising disekitar mereka tidak menelan percakapan yang terjadi di antara mereka.
"Jadi kau berasal dari Indonesia?" tanya Michelle setelah diskusi singkat mereka mengenai para pemuda yang tengah menghasilkan keringat di lapangan sana.
"Yup. Rumah kita berada di belahan bumi yang berbeda," ujar Annesia. Atensinya masih mengarah pada para pemuda yang berusaha merebut bola oranye.
"Hihi.. bagaimana jika setengah liburan musim panas kita habiskan di rumahmu lalu sisanya di rumahku," usul Michelle. Usul yang terdengar menyenangkan di telinga Annesia.
Annesia menoleh. Ada api yang berkobar di jiwanya, "ide bagus."
Michelle tersenyum lebar, "kita bisa ce–"
"YEAH!"
Percakapan terhenti. Beberapa anak manusia di sekitar mereka berdiri dan di sana, di three-point area, seorang anak adam berseragam HAO dikerubungi oleh empat rekannya. Ada euforia yang meledak-ledak di lingkaran lima anak HAO itu. Ada pula api semangat yang berkobar dahsyat. Api yang sama yang membakar jiwa para pendukung mereka.
Tinggal dua point menuju kemenangan.
"Sepertinya kita melewatkan sesuatu," gumam Annesia. Ia sedikit menyesal karena sudah melewatkan satu momentum yang menghasilkan ledakan euforia sebesar ini.
Lain dengan Michelle, arah pandangannya justru terarah pada undakan pertama dari bangku penonton. "Kau ingat, senior kita yang berbicara di aula utama?"
"Senior Arthur?"
"Ah, dia sedang berjalan kemari."
Cepat, sangat cepat, Annesia membelokkan wajahnya ke samping kiri. Dan, yup, jarak yang tersisa antara dirinya dan sang naga hanya empat langkah sedang. Wajah Annesia memucat. Ia panik.
Annesia menarik ikat rambutnya dengan cepat lalu membiarkan rambut hitamnya tergerai. Sedikit menunduk agar helaian rambutnya bisa menutupi wajahnya. Menutup matanya lalu mulai menghitung dalam hati.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam...
...dan sepuluh. Tidak ada sentuhan. Tidak ada dengungan suara sombong. Tidak terjadi apa-apa.
Ia bernapas lega, sangat lega. Rasanya seperti dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan. Ia bisa merasakan pergerakan normal di dada kirinya. Malaikat kematian sudah pergi dan ketenangan menghampiri hidupnya.
"Ikat rambutmu!"
–untuk sesaat.
Bergeming. Slow motion berkarya di semesta Annesia saat ini. Suara-suara berubah menjadi ultrasonik. Manusia-manusia mulai terserap masuk ke dalam lubang kecil penghubung dimensi lain.
Pangerannya, naganya, mimpi buruknya, dan malaikat kematiannya begitu dekat, sangat dekat. Hembusan napasnya terasa menggelitik di telinga Annesia.
.
Skakmat. Usai. Tamat. The End. Owari.
.
Malaikat kematiannya bukanlah Tuhan yang penuh dengan welas asih dan pengampunan. Ia hanyalah manusia –tampan- dengan ego dan harga diri yang tinggi. Ia tak suka kalah. Tapi, ia penuh keadilan. Mata dibalas dengan mata, darah dibalas dengan darah, nyawa dibalas dengan nyawa; itulah prinsipnya, keadilannya.
Dan pahitnya, ia sudah melakukan kesalahan besar semalam.
Ada suara ludah tertelan, "kenapa kau di sini?" tanyanya gugup, cemas, dan takut.
"Menonton. Oh, aku juga ingin berbicara denganmu," jawabnya lugas.
"Kita bisa berbicara di rumah."
"Tidak, pembicaraan ini akan sia-sia jika dibicarakan di rumah."
"Kalau begitu cepat katakan!"
"Tidak di tempat seperti ini, Nesia. Ini terlalu ramai. Seusai pertandingan, ikutlah denganku."
"Kalau aku tidak mau?" tantang Annesia.
"Kau lupa kejadian semalam?" Arthur menambah volume suaranya.
Ini dia! Ini dia! INI DIA! Satu mantra kutukan telah keluar dari bibir penyihir jahat. Dan kampretnya, si naga, malaikat kematian, penyihir jahat, atau apapun nama sebutan bagi tokoh antagonis, sengaja mengeraskan suaranya. Entah apa yang ia rencanakan, tapi, semoga saja, semoga, Michelle tidak mendengar kalimat terkutuk itu.
"Apa yang terjadi semalam?" tanya Michelle, si gadis yang terlupakan.
Wahai, Bapa di surga, tolong, saat ini juga, angkat anakMu yang Kaukasihi ini.
"Erm, Annesia. Senior Arthur. Apa kalian..."
"Ini sedikit memalukan, tapi kalau kau penasaran, sebenarnya semalam temanmu ini..."
Bangkit berdiri. "STOP! TIDAK TERJADI APAPUN SEMALAM," jerit Annesia frustasi. Ia tak tahan. Ia ingin masuk surga sekarang titik.
Kegemingan berkuasa atas stadion itu. Tidak ada lagi sorakan pemberi semangat. Tidak ada suara pantulan bola. Tidak ada permainan. Semua mata terfokus pada Annesia yang sedang berdiri.
Astaga, astaga, astaga. Apa yang sudah kulakukan?
.
.
"Kita mau ke mana?" tanya Annesia bingung. Sedari tadi, gadis asal Indonesia ini tidak menemukan satupun manusia yang berkeliaran di sekitar mereka.
"Tutup mulutmu dan ikuti saja," titah sang naga mutlak.
Satu belokan telah mereka lalui, tidak ada lagi pintu-pintu kelas yang terbuka. Tidak terdengar pula suara-suara gaduh. Hanya ada suara langkah mereka. Tap, tap, tap.
Ada probabilitas negatif yang terpikirkan oleh gadis Indonesia ini selama ia berjalan mengikuti sang penyihir jahat. Rasa cemas terus membayangi dirinya. Di sini, di daerah kekuasaan Ketua Student Council, pemuda di depannya bisa melakukan apapun yang ia suka dan Annesia tak menyukainya. Ia ingin berbalik arah lalu kabur, tapi, ia sadar, itu hanya akan memperkeruh keadaan. Pemuda Inggris itu hampir saja membeberkan kejadian semalam dengan mudahnya. Ia tak tahu jika ia kabur hal buruk apa yang akan terjadi di hidupnya.
Sial, ini gara-gara baju sial itu.
Tap. Si penyihir jahat berhenti.
"Ayo masuk."
Matanya membulat. "Kau tidak akan membunuhku atau memperkosaku kan?" tanya Annesia panik.
Tangan yang terulur itu berhenti di udara. "Tidak, aku tidak akan membunuhmu," jawab Arthur.
"Dan untuk pertanyaan keduamu. Mungkin saja. Tapi kita sudah menikah, jadi kata itu tak pantas bagi kita," bisik Arthur.
Refleks, Annesia mundur tiga langkah. "Kau tidak bisa melakukannya," desis Annesia.
"Kenapa tidak? Bukankah semalam kau sudah menyentuhnya," balas Arthur sambil menunjuk ke bagian privasinya.
"Di depan keluarga kita," lanjutnya.
Jleb!
"Di depan saudara kita."
Jleb! Jleb!
"Di depan para tamu."
Asdfghjkl! Tuhan, Tuhan, cabut nyawaku sekarang.
"Itu tak sengaja!" bantah Annesia.
"Tapi kau menyentuhnya, Annesia. Dan itulah kenyataannya. Sejarah kita."
"Bisakah kau melupakannya?" tanya Annesia memelas.
"Tidak. Cepat masuk!"
"Aku tidak mau!" bantah Annesia.
"Kubilang masuk ya masuk, Nesia."
"Tidak ya tidak!"
"Astaga! Tidak bisakah kau menurut padaku sekali saja?"
"Tidak. Terakhir kali aku menurutimu, Mimi meninggal," ujar Nesia. Kakinya sudah bersiap untuk kabur.
"Kau belum memaafkanku?"
"Tidak, bukan belum." Kaki kiri Annesia sudah mundur selangkah.
"Ck, sudah. Jangan mengalihkan pembicaraan. Cepat masuk!" perintah Arthur untuk yang kedua kalinya. Tangannya sudah berancang-ancang untuk menarik Annesia.
Ceklek. Suara pintu terbuka.
"Oh, iggy. Kenapa tak masuk? Dan siapa dia?"
Oke, gagal sudah rencana yang sudah tersusun rapi di otak Arthur dan Annesia.
"Dia ingin bergabung dengan kita," jawab Arthur.
"Kenapa tak membawanya ke stand saja?" Kali ini suara feminin yang terdengar.
"Dia..."
"Kenapa masih di sini? Bukankah ini waktu kalian jaga, Elis, Al."
"Kita baru saja akan ke sana, Bel. Tapi, iggy membawa anak baru," jawab si pemuda yang Annesia duga bernama Al itu.
"Loh, kenapa di bawa kemari? Kenapa tak di bawa ke stand saja?"
"Itu sedang kami tanyakan, Bella sayang," kata Elis.
Bella? Alis Annesia tertekuk. Namanya sangat familiar bagi Annesia.
Sementara Annesia sibuk dengan pikirannya, gadis yang dipanggil Bella itu maju dua langkah agar dapat melihat rupa si pendatang baru. "Loh, Nesia," ujarnya terkejut.
.
.
TBC.
.
.
Hai! Hai! Ini remake dari cerita Lena yang sudah terhapus. Lena benar-benar minta maaf kalau sudah mengecewakan para reader sekalian. Tapi, sungguh, Lena ga bisa masukin secara paksa plot hole di cerita lama. Makanya Lena putuskan untuk meremakenya saja. Oh ya, kalau ada plot hole atau kesalahan EYD atau kalimat rancu mohon diberitahu. Lena terima semua masukan yang membangun.
Akhir kata, terima kasih buat yang sudah mau membaca cerita ini.
See you at chapter 2~ Bai bai~
