Lee Jihoon adalah seorang pemuda yang menyukai hal-hal yang menyeramkan. Dia sangat suka dengan sesuatu yang berkaitan dengan hantu, urban legend, atau apapun yang bersangkut paut dengan makhluk halus. Ia menyukai sensasi detak jantungnya yang terpacu saat melihat film horor di kaset VCD/DVD yang disewa atau dibelinya. Jihoon juga suka rasa takut, tegang, dan gugup serta keringat dingin ataupun bulu kuduk yang meremang ketika adegan menyeramkan di film horor dimulai.

Tapi ia menyesali satu hal.

Ia tidak dapat benar-benar merasakan kehadiran mereka. Ia tidak dapat melakukan apapun untuk dapat berkomunikasi dengan makhluk yang sangat ingin ia temui itu. Ia juga bukan seorang lelaki indigo dan tidak mempunyai indra keenam.

Padahal ia sangat ingin mengalami hal yang dianggap orang-orang menyeramkan itu.

Apa daya ia yang sering pulang malam karena mengintrogasi sekolahnya yang mempunyai rumor tentang keberadaan makhluk tak kasatmata, namun berakhir dengan Jihoon yang pulang dengan tangan hampa karena tidak menemui satu pun dari mereka. Yang ada malah membuat dirinya lelah dan bangun kesiangan. Alhasil, sesampainya di sekolah ia harus menjalani hukuman karena melewati batas waktu masuk sekolah.

Sedikit penyesalan di dirinya karena ia sebenarnya adalah murid yang teladan. Tapi semuanya jadi berakhir ia yang tidak terlihat teladan karena obsesinya sendiri.

Sial benar.

.

.

.

Please, Make the Horror Come to Me!

A SEVENTEEN's Fanfiction, with Lee Jihoon and Kwon Soonyoung as the main cast

Characters belong to themselves, Story belong to alexssucchi

This story's idea come after Alex saw and through a spooky and scary graves in the middle of night, most of the ghosts inside this story are Alex's fiction-mind making (that inspired by few urban legends as well, though)

Lee Jihoon hanya seorang pemuda yang ingin merasakan kejadian yang menyeramkan. Jadi ia berusaha untuk mendapatkan kejadian itu. Doanya terkabulkan. Hanya saja ada seorang pemuda yang turut hadir bersamaan dengan kejadian menyeramkan yang mendatanginya. Siapa dia sebenarnya?

A romance-horror fiction story, not a common horror story, fyi. Few typos.

Enjoy the Story.

.

.

.

Chapter 1 : Behind Black Umbrella

Lee Jihoon menghela napas. Bibirnya maju, memperlihatkan ekspresi kekesalan yang nyata. Saat ini ia sedang memangku kepalanya di atas bingkai kayu jendelanya. Memerhatikan apapun yang bisa membuatnya tidak bosan, yang sialnya hal itu malah membuatnya semakin bosan karena tidak mendapatkan sesuatu yang layak dan menarik untuk diperhatikan.

Ini malam hari. Seharusnya para makhluk itu keluar dari tempat persembunyiannya dan menggentayangi setiap orang yang berada di tempat huniannya.

Bahkan Jihoon sampai repot-repot mencari lingkungan tempat tinggal yang juga memiliki beberapa kabar tentang munculnya makhluk halus, ia juga rela berpisah dengan keluarganya hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya, walau ia tahu ia masih belum bisa mandiri.

Hitung-hitung belajar, lah.

Bola mata coklat milik Jihoon melirik jam yang menempel di dinding kamarnya. Jarum pendek menunjuk angka sebelas, sedangkan jarum panjang menunjuk angka tujuh. Apa yang dilihatnya, membuat namja Busan itu mengernyit.

Sungguh. Apakah para hantu itu membencinya atau apa sehingga tidak ingin memberi sedikit petunjuk tentang kehadiran mereka kepada Jihoon bahkan di jam segini? Jihoon mencibir. Ia kesal pada dirinya yang tidak peka terhadap hal-hal ghaib, juga kesal kepada para makhluk yang ia sangat inginkan kehadirannya.

Detik berikutnya, Jihoon menatap ke luar jendela lagi. Ia menatap ke arah jalanan yang lengang tanpa ada seorangpun yang berlalu-lalang. Tentu saja, ini malam hari. Ditambah dengan beberapa berita mengenai hantu yang berkeliaran di sekitar lingkungan tersebut membuat orang-orang berpikir dua kali untuk keluar rumah dan lebih memilih untuk bergelung nyaman di balik selimut.

Raut kesal semakin tampak di wajah Jihoon, ia menutup matanya sebentar. Di detik matanya terbuka, ia melihat sesosok orang yang membawa payung sedang berjalan dengan pelan di trotoar seberang jalan dari rumah Jihoon.

Jihoon menyipitkan matanya. Untuk apa orang itu membawa payung besar begitu? Di tempatnya tidak hujan, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan hujan. Bulan dan bintang yang menerangi jalan menjadi buktinya. Kalaupun takut kepanasan, sekarang 'kan malam hari. Matahari sudah terbenam dan sedang menyinari belahan bumi lainnya.

Hal itu membuat Jihoon merasa ingin tahu dengan orang yang berada di balik payung. Ia menajamkan penglihatannya, berusaha melihat orang yang memegang payung besar berwarna hitam itu. Sia-sia, karena payung itu menutupi wajah―tidak, tapi setengah badannya, dengan baik. Sangat baik, hingga membuat Jihoon hanya dapat melihat setengah badan ke bawah milik orang itu―sepertinya berjenis kelamin perempuan karena Jihoon dapat melihat bagian bawah gaun yang sewarna dengan payung menutupi setengah betisnya.

Yang tidak tertutupi gaun memperlihatkan sepasang kaki dengan kulit putih mulus menapak trotoar tanpa menggunakan alas kaki—yang membuat kerutan di kening Jihoon bertambah, ia bisa melihat dengan jelas telapak kaki itu tidak kotor.

Orang itu masih berjalan hingga mencapai seberang rumah Jihoon. Jihoon sendiri masih memandanginya, penasaran dengan orang di balik payung.

Tepat saat orang yang diperhatikan Jihoon itu berada di seberang rumahnya, langkah kakinya berhenti. Payung itu sedikit demi sedikit tersibak, seolah pemiliknya ingin menengadahkan kepalanya untuk menatap langit.

Jihoon menunggu, sebentar lagi ia akan dapat melihat wajah orang itu dan rasa penasarannya akan hilang.

Lima hingga sepuluh detik ia habiskan untuk menunggu payung itu tersingkap sepenuhnya. Jihoon bisa melihat tangannya yang—Jihoon menyipitkan matanya—ditutupi sarung tangan hitam panjang. Oke, Jihoon jadi makin penasaran.

3 detik lagi waktu yang dibutuhkan hingga Jihoon bisa melihat pemilik payung sepenuhnya dan rasa penasaran Jihoon akan menghilang—

Ting tong.

—Namun suara bel rumahnya yang ditekan membuatnya menoleh ke belakang dengan cepat. Mengernyit untuk yang kesekian kalinya. Siapa gerangan yang mengunjungi rumahnya di tengah malam begini? Jihoon melirik jam dinding lagi. Jam dua belas kurang lima menit.

Jihoon dengan segera meninggalkan bingkai jendela, melangkah menuju pintu depan. Tidak sengaja melupakan objek yang tadi diperhatikannya dengan cermat—karena rasa penasaran Jihoon kini berpindah pada tamu yang mendatangi rumahnya malam-malam. Jihoon juga melewatkan kenyataan bahwa ketika ia berpaling, sosok itu sudah tidak berada di tempatnya.

Butuh satu menit tiga puluh detik bagi Jihoon untuk mencapai pintu depan. Karena kamarnya ada di lantai atas. Ada dua kamar di rumah ini. Namun yang mempunyai jendela besar hanya di kamar lantai atas, jadi Jihoon menempati yang di atas. Kamar tidur yang di bawah digunakannya sebagai kamar tamu sebagai tempat temannya biasa menginap.

Lagipula langkah kaki Jihoon pelan-pelan, sehingga membutuhkan waktu agak lebih dari biasanya. Bukan apa, Jihoon curiga dengan orang yang menekan bel rumahnya. Jadi ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Di tangannya sendiri telah tergenggam sebuah gagang sapu yang patah—dikarenakan Jihoon yang mengamuk saat melihat hasil ujian yang keluar beberapa waktu lalu sangat menurun dari yang sebelumnya.

Omong-omong, Jihoon bisa mendengar kucing mengeong dengan keras di luar sana.

Jihoon sampai di pintu depan. Ia mengintip melalui lubang kaca kecil di sana. Mata sipitnya menangkap seorang pemuda yang menggunakan beanie putih menutupi sebagian rambut dan jaket biru dongker yang menutupi kaus hitamnya.

Menjauhkan kepala dari lubang pintu, Jihoon mengingat-ingat apakah ia pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya.

Tangan kecil milik Jihoon meraih kunci pintu dan membukanya, kemudian memutar knop pintu dan membuka pintu sepenuhnya. Memperlihatkan tamunya yang tidak terlihat mencurigakan. Jihoon mengeratkan pegangannya pada gagang sapu—tidak ada salahnya berwaspada.

"Ada perlu apa?" Jihoon bertanya setelah menelisik namja di depannya dari atas ke bawah. "Apa aku mengenal Anda?"

Pemuda yang menjadi tamu Jihoon tercengang sesaat—Jihoon tidak tahu apa alasannya—ketika melihat Jihoon yang menyambutnya. Tangannya terangkat membenahi letak beanie-nya, kemudian tersenyum kecil.

"Hai. Maaf mengganggu malam-malam, Dik." Cengiran muncul di wajahnya.

Panggilan di akhir sedikit membuat Jihoon tidak senang. Orang kesekian yang menganggapnya anak kecil.

"Aku 17 tahun," Jihoon berujar tanpa ditanya. "Kalau dilihat, sepertinya Anda sendiri tidak jauh-jauh dari 17 atau 19 tahun."

Tercengang untuk yang kedua kali, kini pemuda di depannya menggaruk bagian belakang kepalanya. "Eh, maaf. Sungguh aku tidak tahu," Cengiran lagi. "Dan, ya. Benar. Aku memang 17 tahun."

Jihoon menaikkan salah satu sudut bibirnya. Bangga. Kemampuan analisisnya memang nomor satu.

"Jadi, ada perlu apa?" Jihoon bertanya lagi.

"Ah, benar," Tampaknya pemuda itu kembali sadar apa tujuan utamanya datang ke rumah Jihoon. "Hai. Aku adalah orang baru di lingkungan ini. Tetangga," Ia menunjuk ke belakang, Jihoon melirik ke depan rumah miliknya. "Aku datang untuk memperkenalkan serta mengakrabkan diri dengan tetangga."

Pemuda itu mengulurkan tangan kanannya. "Soonyoung. Kwon Soonyoung. Salam kenal."

Oh. Bukan orang jahat. Jihoon meletakkan gagang sapu yang tadinya digenggam dengan erat di balik pintu. Yang bermarga Kwon memerhatikan dengan heran. Jihoon menatap namja Kwon kemudian menjabat tangannya yang masih terulur. "Lee Jihoon."

"Nama yang bagus." Kedua tangan mereka bertautan selama beberapa detik hingga Jihoon melepasnya duluan. Dia tidak suka dipegang atau berpegangan dengan orang lain.

"Tapi bertamu ke rumah orang saat malam-malam begini," Jihoon memberi jeda sebentar. "Lebih baik Anda tidak perlu bertamu ke rumah yang lain untuk saat ini. Sudah bisa dipastikan mereka akan terganggu, mereka sedang beristirahat."

"Tidak perlu berbicara dengan formal. Kita seumuran, 'kan?" Soonyoung menggaruk pipinya dengan jari telunjuk. "Ah. Begitukah? Lalu apa yang sedang kamu lakukan?"

Jihoon berdehem. "Eng, uh. Belajar?" Jawaban ragu keluar dari mulutnya. Tidak sepenuhnya berbohong, kok. Tadinya niat Jihoon memang belajar.

Soonyoung menatap matanya. "Oh. Tipikal murid rajin?" Soonyoung tertawa.

"Begitulah." Jihoon tersenyum paksa.

"Tidak baik, loh. Belajar sampai malam-malam begini." Soonyoung menepuk bahu Jihoon.

Jihoon sedikit tersentak, kemudian mendapatkan kembali ketenangannya. "Iya, aku tahu. Sebentar lagi juga akan tidur, kok."

Ada maksud mengusir dari kalimat yang Jihoon ucapkan, Soonyoung tampaknya tidak terlalu bodoh untuk mengetahui hal itu. "Baiklah kalau begitu. Silahkan beristirahat. Aku pulang. Selamat malam."

Jihoon mengangguk kecil. Ia masih dalam posisinya sambil memerhatikan Soonyoung berjalan menuju rumah yang berada tepat di depan rumah Jihoon. Mata sipit milik Jihoon menatap punggung tegap itu dengan pandangan datar. Hingga yang ditatap sampai di depan pintu rumahnya dan masuk ke dalam.

Merasakan angin malam sejenak, Jihoon kemudian masuk dan menutup pintu rumahnya, menguncinya dengan cepat. Dan beranjak menuju kamarnya untuk tidur. Tanpa berpikir ulang, langsung saja pemuda mungil itu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang empuknya. Ia memejamkan matanya, hendak menjemput alam bawah sadar.

Hanya 5 detik.

Dengan cepat mata sipit itu membuka lebar. Jihoon bangkit dan sedikit berlari—yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena jarak yang pendek—ke jendela kamarnya. Ia membuka kaca jendela dan mengeluarkan sebagian kepala berambut hitamnya ke luar. Bola matanya bergerak mencari.

Mencari hal yang dilupakannya.

Mencari objek yang tadinya menjadi hal yang menarik baginya.

Yang masih menyisakan rasa penasaran padanya.

Rasa penasaran akan bagaimana wajah orang itu.

Namun ia tidak menemukannya. Indra penglihatan Jihoon tidak dapat menemukannya. Sudah pergikah? Saat Soonyoung bertamu tadi, ia juga tidak melihatnya. Jihoon juga sempat melirik ke rumah yang dihuni Soonyoung tadi dan ia masih ingat matanya tak menemukan ada orang di sana.

Jadi, kesimpulannya adalah saat Jihoon akan membukakan pintu untuk Soonyoung, perempuan yang membawa payung hitam besar itu sudah berjalan pergi.

Atau setidaknya itulah yang ada di pikiran Jihoon.

┐( •w• )┌

Sinar matahari di pagi hari mungkin bisa menjadi kesukaan bagi beberapa orang. Namun ada saja orang yang membencinya. Lee Jihoon, contohnya. Ia terus-terusan mengerang di tempat tidurnya. Tidak ingin membuka mata, tapi sinar matahari memaksanya untuk membuka kelopaknya.

"Matahari sialan!" Umpatan itu keluar dari bibir tipis Jihoon, dengan dirinya yang menarik selimut menutupi wajahnya.

Jihoon masih dalam posisi itu selama hampir semenit.

"Tidak bisa napas!" Jihoon langsung menyingkap selimutnya dan membuangnya ke sembarang arah. Ia berguling ke kiri—berusaha mengurangi sinar matahari yang masuk ke matanya.

Mulai terlelap lagi kalau saja jam beker milik Jihoon yang berada di atas nakas samping tempat tidur Jihoon tidak berdering. Deringan kerasnya berhasil membuat Jihoon membuka mata.

"Jam beker sialan!" Umpatnya yang kedua kali sambil berusaha mematikan deringan jam bekernya. Setelah mati, Jihoon kembali ke posisi tidur sebelumnya.

Kemudian ia segera bangkit sambil berteriak, "Tidak bisa tidur lagi!"

Ini adalah salah satu alasan kenapa Jihoon masih disebut belum bisa mandiri. Susah bangun dan malas beranjak dari tempat tidur. Dia nomor satu kalau sudah berurusan dengan yang namanya tidur dan ranjang. Buktinya setelah berteriak seperti itu, Jihoon masih bersikeras untuk kembali tidur dengan membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

Tapi kemudian bel rumahnya berbunyi. Membuat Jihoon bangkit dengan cepat. Siapa yang bertamu di—Jihoon melirik jam dinding—jam setengah tujuh pagi begini? Ini masih pagi! Pagi buta!

Jihoon mengacak rambutnya sendiri, frustrasi. Sesulit inikah baginya untuk mendapatkan tidur di pagi yang tenang? Walau ia tahu, harusnya ia segera bangun. Dengan lambat dan malas, Jihoon meninggalkan ranjangnya dengan rasa tidak rela dan berjalan dengan menyeret kakinya.

Bel rumahnya berbunyi beberapa kali selama ia berjalan menuruni tangga, membuat Jihoon kesal dan menyahut. "Iya, iya! Sebentar!" Setelahnya tidak ada bunyi bel ditekan lagi.

Jihoon sampai di pintu depan dan membuka kuncinya, kemudian membuka pintunya dengan gusar. Matanya menemukan pemuda berambut hitam berdiri di depan pintu rumahnya dengan kedua tangan yang memegang kedua tali sandang tas punggung—dan ekspresi yang sangat kekanakan di mata Jihoon.

"Soonyoung-ssi?" Jihoon memanggil dengan tanda tanya, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa namja yang berada di hadapannya kini adalah pemuda yang sama dengan bertamu tadi malam.

Yang dipanggil mengangguk senang. "Selamat pagi, Jihoon!" Soonyoung menyapa dengan ceria.

"Ada apa?" Jihoon mengabaikan sapaan Soonyoung. "Kenapa datang pagi-pagi ke rumahku?"

Soonyoung menunjukkan cengiran yang sama seperti yang ia tunjukkan semalam. "Mengajakmu berangkat bersama ke sekolah!" Jawabnya antusias.

Jihoon menaikkan satu alisnya. Ia melihat badge yang menempel di saku kiri bagian dada kemeja seragam sekolah berlengan pendek yang dikenakan Soonyoung. Badge yang sama dengan yang ada di seragamnya.

Tapi, 'kan—"Apa semalam aku memberitahumu aku bersekolah dimana? Kalau iya, tolong beritahu karena aku sama sekali tidak ingat."

Soonyoung tertawa ringan. "Tidak, tidak. Kamu tidak memberitahuku sama sekali," Ia melambaikan tangannya di depan dada. "Aku bertamu ke rumah tetangga sekitar. Ketika aku bertanya beberapa hal mengenai dirimu, aku menemukan kabar kalau kamu bersekolah di tempat yang sama dengan sekolah baruku.

"Jadi aku bergegas bersiap-siap dan menjemputmu untuk berangkat ke sekolah bersama!" Soonyoung mengepalkan kedua tangannya kemudian meletakkannya pada pinggang sambil membusungkan dadanya. Bangga terhadap kemampuannya yang dapat dengan cepat mencari informasi dan tatapan kagum Jihoon kepadanya.

Padahal Jihoon menatapnya dengan datar.

"Oh," Jihoon melirik ke arah lain. "Tapi aku baru bangun. Dan pelajaran baru dimulai pada pukul delapan—kalau Soonyoung-ssi belum tahu—dan sekarang masih jam setengah tujuh," Bola mata Jihoon kembali diarahkan kepada Soonyoung. "Aku menyarankan Soonyoung-ssi kembali pulang. Tapi karena terlanjur bersiap, ya silahkan saja Soonyoung-ssi berangkat duluan."

Soonyoung menganga, kemudian melancarkan protes. "Eh~? Tidak bisa begitu, dong, Jihoonie—oh, panggil aku Soonyoung saja, tidak perlu seformal itu—aku ingin berangkat bersamamu~"

Mungkin daripada disebut protes, itu lebih pantas disebut rengekan. Dan Jihoon benci rengekan yang disertai aegyo jelek milik Soonyoung. Dengan segera ia memutar otak untuk mencari alasan. Belum selesai ia memikirkan alasan yang tepat, Soonyoung mendorongnya mundur dengan lembut dan nyelonong masuk ke dalam rumah Jihoon.

"Kalau tidak ingin berangkat sekarang, aku bisa menunggu, kok." Soonyoung berjalan sambil tersenyum imut kepada Jihoon.

Yang diberi senyum hanya bisa memelototi orang yang baru saja masuk tanpa seijinnya. Memang ini rumah siapa? Ingin sekali Jihoon menendang bokong pemuda itu, tapi mereka baru kenal. Tidak ada salahnya mungkin membiarkannya masuk barang sebentar, mungkin.

Jihoon menghela napas. Ia menutup pintu dan berjalan menyusul Soonyoung yang tengah duduk di ruang tamu tanpa dipersilahkan. Walau begitu, Jihoon sedikit bersyukur Soonyoung masih tahu tata krama saat masuk ke rumah orang lain. Melepas sepatu, contohnya.

Walau dilepas asal-asalan, Soonyoung masih mau melepas sepatunya. Jihoon tentunya merasa dihargai sebagai tuan rumah, karena biasanya teman-temannya jarang ada yang mau melepas sepatu mereka saat memasuki rumah Jihoon, hingga Jihoon meneriaki mereka untuk melepas sepatu. Pernah sekali ia melempar botol plastik kosong ke kepala temannya yang pernah bertamu di rumahnya karena masuk ke rumah dengan alas kaki yang masih terpasang.

Tangannya terulur untuk merapikan posisi sepatu milik Soonyoung. Ya, Jihoon adalah seseorang yang suka memerhatikan hal-hal yang bagi sebagian orang sepele. Jihoon mempedulikan hal-hal kecil seperti itu. Karena itu melihat Soonyoung yang peduli terhadap hal kecil seperti ini, membuatnya sedikit senang. Ia tersenyum kecil.

Yang kemudian pudar saat kakinya sudah melangkah memasuki ruang tamu dan menemukan Soonyoung yang sedang melihat koleksi kaset film horornya. Dengan gesit Jihoon berlari ke arah Soonyoung dan merebut salah satu DVD film horor dari tangan pemuda yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu, memasukkannya kembali ke dalam boks, lantas meletakkannya di samping buffet kemudian menutupinya dengan beberapa buku.

Setelahnya, ia menghadap Soonyoung. Baru saja ia berpikir kalau namja ini adalah orang yang sopan, tapi dengan sembarangannya Soonyoung melihat barang-barang berharganya.

Soonyoung membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Yang langsung diinterupsi dengan jari telunjuk Jihoon yang terangkat cepat ke depan wajahnya. Soonyoung menutup mulutnya.

"Pulang," Jihoon berkata dengan nada yang tak menerima penolakan. "Pulang sebelum aku mengusirmu."

"Jihoon—"

"Pulang, Kwon Soonyoung."

Jihoon berbalik, namun gagal karena bahunya kini dipegang erat oleh Soonyoung. Namja mungil itu terkejut.

"Jihoonie, apakah kau suka dengan hal-hal ini?" Tanya Soonyoung tiba-tiba.

Yang ditanya hanya mengerutkan keningnya tidak suka. "Lepaskan."

"Jawab dulu pertanyaanku, Jihoonie."

Jihoon tidak suka dipaksa. "Lepaskan, kataku!" Tubuhnya berontak ingin lepas dari pegangan Soonyoung.

"Jihoonie, apakah kamu melihat wanita itu semalam?" Pertanyaan lain muncul dan itu membuat Jihoon terdiam.

Wanita?

"Wanita? Wanita mana yang kau maksud?" Walau Jihoon mengerti wanita mana yang lelaki bermarga Kwon itu maksud, ia hanya ingin memastikan.

"Wanita yang membawa payung besar hitam, yang menutupi sebagian tubuhnya." Soonyoung melepas tangannya dari bahu Jihoon.

Mata Jihoon membulat. "Kau—kau mengetahuinya?" Kilas balik kejadian semalam berputar di pikiran Jihoon, mungkin Soonyoung melihatnya saat ia akan pergi ke rumah Jihoon. "Apakah kau melihat wajahnya? Seperti apa rupanya?"

Soonyoung menatap Jihoon dengan tatapan yang menunjukkan bahwa ia benar akan suatu hal.

"Jihoonie, ijinkan aku bermalam di rumahmu. Untuk malam ini." Soonyoung sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang Jihoon ajukan sebelumnya.

Tadi mengajaknya berangkat sekolah bersama, sekarang menyuruhnya untuk mengijinkannya bermalam di rumahnya. Jihoon heran dengan sifat sok kenal sok dekat milik Soonyoung. Ia tidak habis pikir tentang betapa sok akrabnya Soonyoung dengan dirinya. Inikah yang Soonyoung maksud dengan mendekatkan dan mengakrabkan diri dengan tetangga? Yang benar saja.

"Beri aku alasan untuk memberikanmu ijin bermalam di rumahku." Jihoon jadi terlihat sok jual mahal saja. Tapi ini untuk kebaikannya sendiri berhubung Kwon Soonyoung adalah orang yang baru dikenalnya.

Soonyoung mendecakkan lidahnya. "Jihoonie, aku akan memberi kesimpulan di sini. Setelah melihat betapa banyaknya kaset film horor yang kamu miliki, aku merasa kamu adalah seseorang yang maniak sekali terhadap makhluk halus."

"Lalu?" Jihoon menantang.

"Tapi sayangnya kamu adalah tipikal orang yang tidak peka terhadap hal-hal mistis, jadi kamu memilih untuk memuaskan obsesimu itu dengan menonton film-film ini." Soonyoung menunjuk dramatis boks yang Jihoon jadikan tempat berkumpulnya koleksi film horor miliknya.

Jihoon menepis jari telunjuk Soonyoung.

"Kamu berharap kamu dapat melihat makhluk-makhluk ini, tapi sekali lagi, kamu sadar kamu tidak bisa," Soonyoung menjeda kalimatnya. "Tapi tanpa sadar, keinginanmu itu sendiri telah membuat makhluk halus terpancing kepadamu."

Jihoon bisa merasakan bulu kuduknya meremang.

"Dan salah satu makhluk ini akhirnya menunjukkan diri kepadamu. Salah satunya adalah wanita tadi malam."

Tentunya Jihoon tidak bisa percaya begitu saja, walau Soonyoung telah membeberkan hal-hal yang sangat mendefinisikan dirinya. "Wanita semalam adalah makhluk halus? Makhluk halus jadi tertarik kepadaku karena keinginanku untuk melihat mereka? Yang benar saja, Kwon Soonyoung."

Soonyoung menggenggam bahu Jihoon lagi, kali ini lebih erat dari sebelumnya dan membuat Jihoon mengerang.

"Apa kamu sadar, kalau keinginan terkuat itu juga bisa menjadi masalah yang terbesar bagi seseorang?" Soonyoung menggoyangkan bahu Jihoon. "Apa kamu sadar, kalau di rumahmu ini banyak sekali makhluk halus yang berkeliaran?"

Jihoon benar-benar terkejut sekarang. "Rumahku?"

"Ya, rumahmu," Soonyoung menatap Jihoon dalam-dalam. "Di sana, di pojok sana. Di dekat televisi itu. Ada pula yang sedang berdiri di pintu masuk kamar mandi."

Detak jantung Jihoon terpacu. Sungguh? Ada makhluk halus di rumahnya?

Daripada takut, Soonyoung mendapati Jihoon memasang ekspresi antusias di wajahnya. "Benarkah? Lalu? Lalu? Dimana lagi?"

Soonyoung habis kesabaran sudah. "Lee Jihoon!" Jihoon tersentak.

"Manusia dan makhluk halus adalah 2 jenis makhluk yang oleh Tuhan sudah dibuatkan dunia tersendiri! Tidak ada yang boleh untuk menjangkau satu sama lain! Entah itu manusia yang menjangkau makhluk halus, ataupun makhluk halus yang menjangkau manusia!" Tidak ada raut lembut lagi di wajah Soonyoung. "Apabila mereka menjangkau satu sama lain, masalah yang akan datang! Kenapa kamu malah bereaksi senang begini?!"

Jihoon tidak mengerti. Kenapa Soonyoung memarahinya? Bukankah ia sudah tahu kalau Jihoon itu tidak peka dan memiliki obsesi tersendiri terhadap makhluk halus? Kenapa saat ia akhirnya tahu beberapa hal yang berkaitan dengan yang disukainya ada berada dekat padanya, harus dihalangi oleh Soonyoung? Disertai alasan yang kurang logis seperti itu, pula.

"Kenapa—" Jihoon menjauh dari Soonyoung. "Kenapa kau terlihat sangat anti dengan yang namanya hantu, Soonyoung? Bukankah kau sudah dianugerahi dengan sesuatu yang tidak semua orang punya? Bukankah seharusnya kau senang akan hal itu?"

Soonyoung menatap Jihoon tidak percaya. Apa yang dikatakan lelaki kecil di depannya ini?

"Jihoon—"

"Tidakkah itu menyenangkan memiliki sesuatu yang tidak orang lain miliki?"

"Tidak jika hal itu adalah hal yang membuatku tidak bisa merasakan bahagia."

Jihoon balas menatap Soonyoung. Menemukan kesedihan tergambar dengan jelas di wajahnya. Rasa bersalah menguasai Jihoon. Apakah ia telah membuat Soonyoung teringat dengan hal yang seharusnya tak boleh ia ingat?

"Maaf—"

"Aku maafkan jika kamu mau mengijinkanku bermalam di sini."

Jihoon terkesiap. Ia dibodohi?

"Kwon Soon—"

"Sssh!" Lelaki yang memiliki bentuk mata unik itu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Jihoon. "Wanita yang kamu lihat semalam, dia akan kembali lagi malam ini."

Namja Lee itu terdiam lagi. Soonyoung mengelus kepalanya.

"Kali ini bukan untuk berjalan-jalan di depan rumah seperti yang dilakukannya semalam," Soonyoung memerhatikan bentuk wajah Jihoon dengan cermat. "Tapi untuk bertamu."

Lagi. Jihoon merasakannya lagi. Jantungnya yang berdegup cepat. Ia merasa tertantang.

"Bertamu ke rumahku?"

Soonyoung mengangguk, membuat jantung Jihoon seolah akan keluar dari tempatnya karena berdetak dengan sangat kencang. Bahkan mungkin Soonyoung bisa mendengarnya.

"Itu bagus." Jihoon mengatakannya dengan berbisik, namun Soonyoung bisa membaca gerak bibirnya. Menggeleng, Soonyoung merasa percuma telah memberitahu Jihoon tentang kodrat manusia dan makhluk halus.

"Jadi kamu harus mengijinkanku menginap, Jihoonie."

Kepala milik lelaki yang lebih pendek dari Soonyoung itu memiring. "Kenapa aku harus?"

"Karena wanita itu sudah bisa dipastikan akan mengincarmu sampai kamu—"

Soonyoung menghela napasnya, tidak percaya harus mengatakan ini. Sedangkan Jihoon masih memiringkan kepalanya.

"Sampai kamu merasakan derita yang sama seperti yang wanita itu rasakan."

.

.

.

To be Continued...


A/N :

Story Words Count : 3.495 (Without Summary, Emoji, Dots, and A/N).

Hello there. Aku kembali membawakan sebuah fanfiction SoonHoon dengan tema Romance-Horror-Drama fiction. Aku harap ada yang suka, walau engga berharap terlalu banyak juga karena aku merasa memang ada kekurangan dalam ff ini, juga karena sensasi menyeramkannya kurang terasa. Tapi yah, ini baru bab pertama. Aku sendiri berharap lebih di bab berikutnya.

Lanjutkah? Atau cukup sampai di sini? Mohon ekspresikan pendapat Anda di kolom Review, mungkin ada masukan atau semacamnya?

Terima kasih.

alexssucchi, Malang, 070215.