Aku memang tidak pandai berkata-kata. Namun, untaian dari kata itulah yang membuat semua kenanganku bersamamu terukir rapi di buku harianku.

.

.

.

Dear Diary

By 狐氏例(Kitsuneshi Rei)

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki-sensei

Warning : Gaje, missed typo(s), OOC, dll.

.

.

.

Enjoy!


20 Maret

Sungguh aku tidak ingat peristiwa apa yang akan terjadi hari ini sampai okaasama-ku memberitahunya. Jujur saja aku masih tidak percaya dengan apa yang kudengar, atau mungkin telingaku sedang tidak bekerja sewajarnya dan mengakibatkan salah dengar. Cukup lama bagi otakku untuk memproses bahwa hari ini adalah hari kelulusanku. Ya. Hari terakhirku sebagai siswa SMP, dan hari terakhirku bersama pemuda pemilik surai crimson yang begitu kukagumi, Akashi Seijuurou. Kami memang akan terpisah oleh jarak, tapi...

... bolehkah aku memiliki harapan itu?


Kuroko mendapati beberapa temannya yang sedang berkumpul di depan papan pengumuman. Jarang sekali para manusia itu tertarik dengan berita hari ini, pikir Kuroko saat itu. Biasanya Kise, Aomine, dan Ogiwara tidak begitu tertarik melihat deretan kertas yang terpasang bertumpukan di sana. Mungkinkah mereka sedang kerasukan? Atau mungkin kepala mereka habis teratuk meja?

"Konnichiwa."

Sebuah suara kecil nan halus itu sontak membuat ketiga pemuda anggota klub basket itu merinding ria. Tidak mungkin ada hantu yang berani muncul di siang yang terik—tidak, ini baru awal musim semi dan para awan itu terlalu memonopoli langit—ini, bukan? Ketiga kepala itu menoleh kompak dan menghembuskan napas lega begitu melihat pemuda mungil bersurai azure di belakang mereka.

"Tetsu! Sudah kubilang agar tidak mengagetkan kami, 'kan?!" Aomine mulai mencak-mencak tak peduli dengan beberapa pasang mata yang menatapnya heran.

"Daripada itu, kalian sedang melihat apa? Tumben sekali," ucap Kuroko dengan ekspresi sedatar tembok tanpa menggubris protesan Aomine tadi.

Kise kembali menatap papan pengumuman itu lagi. "Oh, ini daftar siswa-siswi yang mendapat rekomendasi. Kita berempat juga dapat, lho!" seru pemuda pirang itu girang. "Kita dapat rekomendasi yang sama, Kurokocchi! Kau mau menerimanya?"

Manik azure itu menjelajahi tiap kata yang tercetak di beberapa lembar kertas bertuliskan 'Rekomendasi Sekolah Lanjutan Siswa SMP Teiko' itu. Kelereng sewarna langit Kuroko terpaku pada suatu nama yang begitu dikenalnya. Ia membacanya lebih lanjut, dan desahan kecewa keluar dari bibir tipisnya.

"Oh, Akashi, ya?" Ogiwara ikut memperhatikan susunan kanji yang membentuk nama 'Akashi Seijuurou' seperti Kuroko. "Sepertinya di antara anggota klub basket hanya dia yang mendapat rekomendasi dari Kyoto." Pemuda itu mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu Akashi menerimanya atau tidak, tapi kudengar SMA yang menawarkan rekomendasi itu adalah sekolah yang mempunyai klub basket yang tangguh."

"Akashi pasti menerimanya," timpal Aomine, "dengan begitu kita tidak perlu menjalani latihan neraka itu lagi."

"Apa yang kau maksud dengan latihan neraka itu, Daiki?"

Kali ini mereka benar-benar merinding ketakutan. Bukan hantu yang mereka kira sebelumnya, melainkan makhluk yang lebih menyeramkan lagi. Keempat pemuda itu—tiga pemuda, Kuroko masih asyik menatap papan pengumuman di depannya—menoleh takut-takut sambil menelan ludah dengan susah payah. Mereka berharap bukanlah seorang maniak gunting yang mereka dapati begitu menolehkan kepala. Oke, itu mustahil karena Akashi-lah yang berdiri di sana dengan tenang sembari mengeluarkan aura menyeramkannya.

"A-akashicchi, s-sedang a-apa di s-sini-ssu?" tanya Kise terbata-bata. Tuhan, Kise masih ingin hidup! Kise tidak mau mati muda hanya karena hujan gunting dari kapten sadisnya yang tak kenal ampun itu! Bagaimana nasib para fans-nya nanti kalau ia mati?!

Sementara Kise sedang sibuk berkomat-kamit dalam hati, Ogiwara mulai bergeser pelan, menunggu waktu yang tepat. "A-aku baru ingat kalau sensei menyuruhku pergi ke perpustakaan sekarang. S-sampai jumpa, teman-teman!" serunya, kemudian mengambil langkah seribu dan kabur dari sana. Dan semoga kalian selamat, teman-teman! tambahnya dalam hati.

"A-aku juga belum menyelesaikan tugas sensei untuk mengisi buku kelas," kata Kise asal. Perlu diketahui bahwa hari ini bukan jadwal piketnya, namun Kise hanya punya alasan itu untuk kabur. "J-jaa nee, Minna!"

"Woi, Kise!" pekik Aomine yang tertinggal sendiri di sini—akal sehatnya sepertinya sudah lupa bahwa Kuroko masih di sampingnya. Keringat dingin mulai bercucuran. Pemuda tan itu hanya nyengir tidak jelas. "Sepertinya aku ada janji dengan teman. Kalau begitu aku pergi dulu." Aomine mulai gelagapan. "J-ja!"

Akashi hanya menghembuskan napas pasrah begitu melihat tingkah anggota klub yang dipimpinnya itu. Melihat Kuroko yang masih terpaku di tempatnya, tuan muda Akashi itu pun mendekati pemuda bersurai azure itu. "Tidak melarikan diri bersama teman-temanmu, Tetsuya?" tanyanya sembari menyeringai.

"Konnichiwa, Akashi-kun." Kuroko membungkuk. "Lalu, apa maksud—are? Akashi-kun, kemana teman-teman yang lain?"

Oke, Kuroko Tetsuya tampaknya bukanlah orang yang peka. Atau mungkin ia terlalu asyik mengamati papan itu sampai tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Yah, itu bisa dipikir nanti. "Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Akashi lagi.

Kuroko mengalihkan pandangannya dari Akashi ke papan pengumuman. "Hanya melihat-lihat," jawabnya, datar nan singkat.

Akashi mencondongkan tubuhnya. "Sepertinya kita mendapatkan rekomendasi." Akashi menyeringai. "Kau menerimanya, Tetsuya?"

"Bagaimana dengan Akashi-kun?" Alih-alih menjawab, Kuroko malah balik bertanya. Manik azure-nya membulat, penuh dengan rasa ingin tahu.

Sang pemilik surai crimson itu hanya tersenyum misterius. Sorot manik heterokromnya melembut. Tangan kanannya terangkat ke puncak kepala Kuroko, mengacak-acak surai itu lembut. "Aku memang senang mendapat rekomendasi. Soal aku menerimanya atau tidak... yah, mungkin saja."

Ekspresi Kuroko kembali datar seiring dengan bel istirahat berakhir. "Souka," gumamnya. "Ja, aku kembali ke kelas dulu, Akashi-kun. Ja nee," pamitnya kemudian. Kuroko tidak lagi mempedulikan apakah Akashi menjawabnya atau tidak. Pemuda surai crimson itu pasti menerimanya. Perlahan ekspresi datar Kuroko berganti menjadi ekspresi sedih. Tokyo dan Kyoto itu bukanlah dua tempat yang berdekatan. Sangat kecil kemungkinan Kuroko untuk bertemu dengan Akashi lagi jika pemuda itu menerimanya, kecuali jika mereka mengadakan suatu reuni dan itupun jika Akashi mau datang. Tiba-tiba saja mood Kuroko untuk melangkahkan kakinya ke kelas hilang entah kemana. Sepasang kaki ramping itu malah membawanya ke atap sekolah. Masa bodoh ia nanti tertinggal pelajaran, toh itu lebih baik daripada dimarahi sensei-nya karena tidak berkonsentrasi. Yang ia butuhkan sekarang hanya udara segar dan langit biru yang luas. Siapa tahu semua itu bisa mengembalikan mood Kuroko. Hanya saja Kuroko berharap agar tidak menangis begitu berada di atas nanti.

.

.

Sebuah benda tabung kini berada di tangan Kuroko. Di dalam benda itu terdapat surat kelulusannya, menandakan bahwa sekarang Kuroko sudah bukan siswa SMP lagi. Bisa ditebak bahwa sang jenius yang perfeksionis dan absolut bernama Akashi Seijuurou itu menyandang gelar lulusan terbaik tahun ini. Beberapa orang terlihat tersenyum dan menyalami pemuda calon penerus Akashi Corp. itu, berbeda dengan Kuroko yang langsung pulang tanpa menggubris ajakan Ogiwara untuk memberi selamat pada kapten—mantan kapten—mereka. Tidak, Kuroko yakin ia tidak siap untuk itu. Berpisah dengan orang yang disukainya tanpa berkata bahwa kau menyukainya itu terdengar menyakitkan, apalagi jika setelah ini tidak bisa bertemu satu sama lain lagi. Batin Kuroko belum siap, tapi mungkin ia bisa mengirimi e-mail ucapan selamat pada kaptennya nanti.

.

.

Kuroko akan merebahkan dirinya di tempat tidur ketika sebuah dering ponsel mengintrupsinya. Maniknya mengerling pada ponsel yang bergetar dan mengeluarkan suara berisik di saat bersamaan di atas meja belajar. Dengan ogah-ogahan ia meraih ponsel itu dan menatap tulisan yang tertera di layar. Akashi Seijuurou-kun calling.

Kontan saja jantung Kuroko melonjak. Akashi Seijuurou meneleponnya. Akashi menelponnya. Akashi meneleponnya!

Oke, ini berlebihan. Dengan takut-takut Kuroko membuka flap ponselnya dan menekan tombol 'jawab'. Ditempelkannya benda mungil itu di telinganya. Suara dalam Akashi langsung terdengar di telinga Kuroko, membuat pemilik surai azure itu semakin menahan debaran tidak jelas yang ditimbulkan oleh jantungnya itu.

"M-moshi-moshi. K-kuroko Tetsuya desu," ucapnya pelan.

["Kau kemana saja setelah upacara kelulusan tadi?"]

Suara Akashi terdengar datar, namun nada tidak suka dari suara itu bisa dirasakan Kuroko. Diam-diam ia menelan ludah, berharap mantan kaptennya itu tidak murka padanya kali ini. "P-pulang." Kuroko terbata. "A-ada apa, Akashi-kun?"

Terdengar suara desahan dari seberang sana. ["Kau masih meninggalkan barang-barangmu di ruang klub. Ruangan itu sudah bukan markas kita lagi, kau tahu?"]

Oh, tidak. Kuroko bahkan lupa mengemasi barang-barangnya di ruang klub karena memikirkan Akashi seharian ini. Memang hanya sedikit, tapi itu terdengar tidak bertanggung jawab sekali mengetahui bahwa itu bukan ruangan pribadimu, apalagi Kuroko sudah tidak berada di sana lagi. "Maaf, Akashi-kun. Aku akan mengambilnya sekarang." Kuroko melirik jam yang bertengger di atas sana. Pukul tujuh. Mungkin ia harus bergegas.

["Oh, kurasa itu tidak perlu."]

"Eh?"

["Bisakah kau turun sebentar?"]

Permintaan Akashi membuat Kuroko bingung. Memangnya ada apa? Tidak mungkin, 'kan, Akashi datang ke rumahnya di malam yang lumayan dingin ini? Pemuda itu pasti sudah pulang daritadi. Atau mungkin Akashi mau mengerjainya karena ia pulang lebih dulu daripada anggota klub yang lain? Kuroko menghela napas. Ia benci dengan dirinya yang selalu menerka-nerka sesuatu tanpa memikirkan kemungkinan lain yang lebih baik. Mungkin setelah ini ia harus mengurangi porsi bacaan novel fantasi dan mengisinya dengan membaca buku yang lebih realistis. Sekali lagi ia menghela napas. Tangannya mencengkram daun pintu dan membukanya. Maniknya menelusuri sisi kanan dan kiri jalan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Yah, sepertinya ia memang sedang dipermainkan. Ia kembali mengamati sekeliling, dan akhirnya matanya terpaku pada satu titik. Sosok yang berada di balik tiang pagarnya yang tinggi...

"Halo, Tetsuya."

Pemilik surai crimson itu berdiri di sana, tersenyum. Tersenyum, bukan menyeringai menakutkan seperti biasa. Dilihatnya Akashi Seijuurou dari bawah sampai atas. Wajahnya yang pucat tampak semakin pucat. Hidungnya memerah, dan Kuroko baru tahu kalau pemuda itu tidak memakai syal dan sarung tangan. "Lebih baik kau masuk, Akashi-kun. Udara luar masih sangat dingin walau ini sudah musim semi."

Akashi kembali tersenyum. Ia membiarkan dirinya diseret masuk oleh Kuroko ke dalam. Setidaknya itu lebih baik daripada terus menunggu di luar. Kuroko benar, walau musim semi sudah datang, sisa-sisa angin musim dingin masih mendominasi.

"Jadi, bagaimana cara Akashi-kun mengetahui rumahku?" tanya Kuroko sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh yang masih mengepul dan beberapa camilan dari dapur. Seingat Kuroko ia tidak pernah mengundang Akashi ke rumahnya.

Tuan muda Akashi itu membantu Kuroko menurunkan barang-barang di atas nampan dan menaruhnya di meja. "Kau pikir siapa yang setiap hari mengurusi administrasi sekolah, hm?" Akashi bertanya balik.

Ah, benar. Ketua OSIS pastinya bertugas untuk mengurusi berkas-berkas sekolah bersama sekretaris, termasuk data para siswanya. Tak heran Akashi bisa dengan mudah menemukan rumah Kuroko tanpa bertanya pada sang empu.

"Ngomong-ngomong, kau sendirian di rumah?" tanya Akashi lagi begitu menyadari bahwa rumah Kuroko saat ini begitu sepi.

Kuroko mengangguk. "Mereka bilang akan pulang sekitar pukul sembilan, atau mungkin lebih dari itu." Ia mengendikkan bahunya.

"Kau sudah makan?"

Sang pemilik surai azure mengangguk pelan. "Akashi-kun sendiri?"

Akashi mengulum senyum. "Sudah. Yah, hanya sedikit, sih," jawabnya. Ia melirik jam dinding yang berada di atas sana. "Sepertinya aku harus pulang sekarang. Dan ini barang-barangmu." Akashi menyodorkan tas berisi barang-barang Kuroko yang tertinggal di ruang klub.

"Terima kasih, Akashi-kun," ujar Kuroko pelan sembari menerima benda yang disodorkan Akashi. Pemuda itu mengantarkan Akashi sampai depan pintu rumahnya.

"Sampaikan salamku pada orang tuamu saat mereka pulang nanti," ucap Akashi sebelum pulang. Kaki-kakinya baru saja akan melangkah ketika Kuroko menahannya.

"Tunggu sebentar, Akashi-kun." Kuroko masuk ke dalam rumah, meninggalkan Akashi yang sedang melemparkan tatapan bertanya padanya. Tak lama kemudian, pemuda bermanik sewarna langit itu keluar sembari membawa syal dan sepasang kaos tangan berwarna biru muda. Ia melilitkan syal itu di leher Akashi dan memakaikan sarung tangan di tangan Akashi yang mulai dingin. Kuroko menatap Akashi dengan semburat warna merah muda di pipinya, entah karena kedinginan atau malu. "Setidaknya itu bisa membuatmu hangat, Akashi-kun. Dan..." Kuroko menunduk, "... selamat atas kelulusannya, Akashi-kun. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti."

Manik heterokrom yang semula menatap Kuroko heran kini menunjukkan sorot keramahan. Sudut-sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman. Tangannya berpindah ke puncak kepala Kuroko, mengacak-acak helaian surai azure itu lembut. "Kita pasti bertemu lagi, Tetsuya." Akashi masih tetap mengulum senyum. "Kita pasti bertemu lagi."

Kuroko baru saja ingin melontarkan pertanyaan ketika sebuah kecupan mendarat di keningnya. Pemuda bersurai azure itu terkesiap pelan dan memegangi keningnya, sedangkan Akashi sudah berjalan cukup jauh dari Kuroko dan mengangkat sebelah tangannya. Kuroko kaget, tentu saja. Tapi...

Kita pasti bertemu lagi, Tetsuya.

... bolehkah ia berharap?


A/N :

Eh? Kenapa saya malah nulis fic gaje ini? *cengo* Duh, padahal Summer Promise belum selesai, ini malah buat fic baru. Yah, anggap saja ini adalah fic pelampiasan saya yang pusing mengurusi perkemahan Penerimaan Tamu Penggalang tanggal 8 nanti. Ternyata kehidupan SMA itu menyibukkan juga, ya~

Yak, cukup segini cuap-cuap saya di fic gaje saya kali ini. Saya mohon maaf jika ada typo(s) yang bertebaran di atas sana atau alur yang begitu aneh. Karena saya manusia, sudah biasa jika saya punya kesalahan *senyum tak berdosa*

Well, mind to review?