Warning : Mengandung unsur typo, OOC, topik bahasa berat, dan unsur penyelewengan sejarah.

.

.

"PERANG"

Sebuah Kisah Dibalik Tirai Sejarah

*SUICCHON*

.

.

Ada segelas air kelapa dan sesosok pemuda berkulit gelap. Orang awam pun pasti mengira pemuda berkulit gelap tersebut adalah penduduk lokal, pribumi yang terjun ke medan pertempuran. Namun seperti semesta yang menyimpan sejuta rahasia, menunggu untuk dibuka, manusia mana yang bisa menyangka bahwa ia bukanlah pribumi seperti yang diduga. Ia keturunan Dai Nippon berdarah pribumi jawa. Bapaknya sersan prajurit yang jatuh cinta pada wanita Jawa berkebaya jarik lurik motif Parang Parikesit.

Namanya Daiki Aomine. Aomine itu marga bapaknya. Sedangkan Daiki itu nama akal akalan ibunya. 'Dai' dari 'Dai Nippon' dan 'Iki' berasal dari bahasa Jawa 'Ini.' Intinya ibunya hendak mempertegas kewarganegaraan Daiki dengan arti namanya yang kurang lebih menjadi 'Ini orang jepang keturunan Jawa si anak Aomine'. Ibunya benar benar kreatif tiada tara. Aomine jadi bangga.

Jangan tanya keberadaan bapaknya Daiki. Bapaknya tewas ditembus peluru sukunya sendiri. Dihianati oleh anak buahnya yang membelot dan lebih memilih membayarkan kesetiaannya pada kumpeni. Maka dari itu, dendamlah Daiki pada para Nippon tengik itu. Membelotlah ia, ikut berjuang bersama rekan rekan pribumi untuk merebut kemerdekaan yang digenggam tangan tangan tak berperasaan.

Ya itulah Daiki. Si kapten pasukan Rajawali Bimasakti yang beranggotakan pribumi gerilyawan belia yang sudah banyak makan asam garam dalam medan pertempuran.

Saat ini pasukan yang ia pimpin sedang istirahat ceria semi waspada di hutan sekitaran jalur Daendels. Menunggu pasukan Nippon pimpinan sersan Macan Merah. Sesekali Daiki menyeruput air kelapa sambil mengelus senapan Arisaka kesayangannya. Ada penasihatnya duduk di sebelah Daiki. Namanya Tetsuya. Anak Nippon yang Daiki pungut saat rumahnya dibumihanguskan kumpeni. Bapak Ibunya mati dan Tetsuya menganggap Daiki adalah saudaranya sendiri. Kemudian menjual kesetiaannya pada Daiki dengan imbalan perlindungan dalam setiap pertempuran.

"Bung Tetsuya, kira kira kapan pasukan si Macan Merah sampai disini?"

"Sekitar dua jam lagi, bung Daiki."

Daiki menenggak air kelapanya sebelum bangkit dan berteriak pada seluruh prajuritya dengan suara menggelegar, mengomando pasukan perangnya.

"Saudara saudara! Kumpul! Kita susun siasat perang!"

.

.

.

"Bagaimana ini, bung? Pasukan Macan Merah tak kunjung datang."

Daiki berbisik bisik asik dibalik semak belukar dengan Tetsuya. Tetsuya menggosok daun telinganya pelan. Agak berdenging. Tetsuya curiga jangan jangan Daiki tidak mengerti cara berbisik yang bertata krama.

"sst! Kapten Daiki! Lihat itu disana! Ituu!"

Seorang kawan yang selalu Daiki panggil dengan sebutan 'bung' karena ia sering lupa namanya itu bebisik dari samping Daiki. Menjeda percakapan Tetsuya dan Daiki yang juga sama sama saling asik berbisik. Si rekan perang tersebut menunjuk komplotan yang berjalan di kejauhan.

"Gawat! Itu kumpeni!" seru Daiki.

Menoleh ke belakang, pasukannya menatap Daiki penuh rasa percaya terhadap pemimpin mereka yang masih belasan tahun itu. Mereka percaya perintah apapun yang akan Daiki berikan. Bahkan masing masing dari mereka sudah membopong senjata, siap siap bila saja Daiki mengomando untuk maju menerjang si kumpeni sialan itu.

"Saudara saudara! Siapkam senapan serta ranjau! Para kumpeni busuk itu akan melintas!"

"Tenang dulu Kapten. Bukan kah tujuan kita untuk menumpas komplotan sersan Macan Marah? Kita hanya akan buang buang senjata kalau melawan kumpeni! Kita tak bisa ambil resiko menewaskan satu nyawa pasukan kita. Kapten bisa lihat saat ini kita sudah kalah jumlah. Satu nyawa pasukan kita sangat berarti, kapten."

Daiki nampak berpikir serius seusai Tetsuya si penasihat mencurahkan pendapatnya .

"Benar. Tetap di tempat, Saudara saudara!"

Kumpeni kumpeni itu melintas tepat di depan belukar yang pasukan Daiki gunakan untuk bersembunyi dalam rangka mempersiapkan penyerangan pada pasukan Macan Merah. Daiki lihat pasukan itu bagai seusai berperang saja. Darah melukisi pakaian dan wajah mereka. Namun jelas raut kepuasan terselip pada paras masing masing dari mereka yang nampak lelah dan penat. Daiki mafhum. Mereka sehabis membantai. Entah pasukan mana yang darahnya mengucur ditembus senapan si kumpeni, semoga saja bukan pasukan pribumi seperti pasukan Daiki.

"Lihat, Bung! Meski kita punya kesempatan untuk menang, namun persenjataan mereka komplit. Tewas kita kalau tetap bersikeras."

Tak sia sia Daiki mengangkat Tetsuya sebagai penasihatnya. Idenya selalu cemerlang dan bisa diandalkan untuk menyelamatkan pasukannya. Mungkin kalau suatu saat Daiki jadi 'orang' ia akan mengangkat Tetsuya sebagai ajudannya. Daiki senang, Tetsuya senang, negara menang, Daiki jenius top memang.

Selepas para kumpeni melintasi daerah persembunyian Daiki dan pasukan Bimasakti Rajawali, Daiki masih melakukan penantian. Sudah lewat dari waktu yang diperkirakan namun pasukan sersan Macan Merah tak kunjung datang. Daiki jadi berpikiran buruk. Jangan jangan ada yang tidak beres, jangan jangan pasukan Rajawali Bimasakti pimpinan Daiki tengah dipermainkan. Daiki semakin was was saja. Apalagi ditambah pasukannya yang juga mulai berkasak kusuk panik.

Nampaknya Tetsuya mulai merasakan atmosfir berat yang melingkupi para prajurit muda. Ia nampak berpikir sebelum menyerukan pendapatnya

"Tenang, Saudara saudara! Kita tunggu sebentar lagi, barang 10 menit saja. Kalau tak datang , kita hengkang. Kita siapkan siasat yang lebih matang. Bagaimana?"

"Setuju!"

"Betul!"

Riuh rendah menyambut keputusan Tetsuya.

Daiki sedikit lebih tenang. Namun sesungguhnya tangan Daiki gemetar. Tak sabar ingin bertempur menumpas musuh bebuyutannya, si Macan Merah. Daiki berkali kali berhadapan satu lawan satu dengan sersan Macan Merah yang namanya tak ia ketahui. Buat apa tahu namanya kalau tiap pertempuran ia selalu sebut si musuh dengan umpatan 'jangkrik', 'bedebah', 'Nippon Tengik' dan ungkapan ungkapan prokem sejenisnya? Tak perlu tahu siapa namanya. Apalah arti sebuah nama. Andaikata jadi teman pun paling paling Daiki hanya akan memanggilnya dengan sebutan 'Bung'. Daiki jenius top memang. Ia bangga pada dirinya sendiri.

Sekali lagi untung Tetsuya ini jadi penasihatnya. Pas sekali Tetsuya memilih lokasi penyergapan. Berada di semak belukar yang tumbuh sehabis tanjakan pasti membuat pasukan manapun tak akan menyangka akan disergap dadakan oleh pasukan yang konon sejarahnya dibanggakan kaum gerilyawan. Kondisi yang sedemikian rupa membuat pasukan Rajawali Bimasakti berkemungkinan memenangkan pertempuran hingga persentase mencapai 80%. 19% adalah keberuntungan dan 1% tersisa adalah lucky item saran dukun gahul yang ikut berperang dengan menyantet lawan lawannya dari kediamannya sendiri.

Lokasi yang seperti diusulkan Tetsuya segera mendapat sinyal lampu hijau dari Daiki yang sudah banyak makan asam garam di medan pertempuran meskipun usianya masih belasan, masih usianya ABG untuk pacaran dan bukannya terjun ke pertempuran mempertaruhkan nyawa anugerah Tuhan. Menurutnya lokasi pilihan Tetsuya adalah lokasi yang sangat menguntungkan. Disebabkan oleh kondisi yang seperti itulah, saat ini mereka dapat menyaksikan satu persatu kepala kepala yang menyembul dari tanjakan dan lambat laun membentuk sebuah pasukan lengkap dengan pemimpinnya yang berambut merah hitam dan ajudan mudanya yang berambut pirang. Dan ialah orangnya. Si rambut merah hitam yang Daiki nantikan sekaligus Daiki antikan.

Daiki tidak perlu berseru 'serbu'. Ia cukup mawas diri. Dirinya bukan prajurit kacangan yang diduga cemennya ampun ampunan. Lagipula Daiki yakin 100% bahwa anak buahnya diberkahi kecerdasan setingkat member member FBI, ya meskipun kecerdasan mereka belum sampai setingkat kecerdasannya. Daiki yakin ia sangat cerdas. Namun nampaknya tujuan awal daiki mawas diri sudah menyublim menjadi sebuah kesombongan yang jelas tidak ada poinnya. Akan tetapi Daiki patut terpingkal dalam batin. Anak buahnya memang cerdas. Karena mereka mengerti segala kode Daiki meskipun mereka sebatas pasukan dan bukannya mantan ataupun gebetan. Memangnya cuma gebetan yang paham kodean? Gerilyawan pun patut diperhitungkan.

Pasukan Nippon tersebut sudah cukup dekat hingga Daiki memutuskan untuk mengacungkan 3 jari sebagai komando mengakhiri penantian dan memulai penyergapan. Prajurit prajurit pribumi saling berloncat-loncatan keluar semak semak. Lincah bak kijang buruan, meneteng senapan hasil jarahan yang statusnya legal.

Pasukan pimpinan Macan Merah gelagapan. Tidak siap menghadapi pertempuran dadakan yang tidak terperkirakan sekaligus tak terelakkan.

Prajurit Daiki keburu menyerbu sedangkan Daiki malah berakhir membatu alih alih ikut menyerbu. Situasi abnormal jelas ada di depan mata Daiki. Daiki melongo saja melihat pasukan pimpinan si Macan pontang panting lari ke dalam hutan, tertembak mati, maupun yang lehernya putus ditebas pasukannya. Daiki sama sekali tidak merasa harus ikut terjun ke dalam pertempuran meski ialah dalang utama penyergapan dadakan ini.

Sepasukan yang Daiki versus ini bukanlah pasukan normal. Pasukan yang biasanya ia lawan adalah pasukan penuh semangat dengan sersan yang tidak kalah semangat. Bukan sekumpulan pasukan yang pontang panting kesana kemari dengan sersan yang berjalan tertatih tatih dengan penuh luka berdarah di bagian tubuhnya, ditopang ajudan mudanya.

Sepasukan kosong tanpa jiwa bertempur, penuh luka dimana mana, serta berkemungkinan menang tidak lebih dari 0%. Sementara Daiki masih membeku menghadapi pasukan yang sama sekali tak bisa melawan bahkan tak bersenjata, si Macan Merah tetap tenang. Menatap gahar dan ganas pada prajurit bawahan Daiki. Pelan namun terang seterang siang, ia lepaskan topangan tangan ajudan mudanya dan berseru lantang.

"Hei kalian para pejuang! Kalian yang masih berjiwa api tetap disini dan hadapi para pemberontak ini! Buktikan jiwa kalian untuk negara!"

Pasukan yang tersisa berhenti bergerak tak teratur. Tanpa dikomando, sesuai ritme mereka seakan bangkit dari kebobrokan jiwa meraka yang tadi sempat terekspos memalukan. Mereka bangkit, bertempur, bertaruh nyawa.

Kondisi seperti itu, saat Daiki melihat sersan Macan Merah tertatih mengomando pasukannya sambil menatap Daiki penuh semangat membara, saat ia mengabaikan ajudan muda si macan Merah yang bersiap menghunuskan pedang ke arahnya namun untungnya sudah ditangkis Tetsuya, saat ia mengabaikan Tetsuya yang berteriak menyuruh Daiki berlindung sebelum peluru si Macan Merah melubangi dadanya, dunia dan waktu yang berjalan seakan membeku.

Seakan hanya nafas Daiki dan nafas memburu si Macan Merah yang mengacungkan senapan lah yang jadi satu satunya kehidupan dalam dunia paralel yang Daiki ciptakan. Antara ia dan Macan Merah. Antara dua pemimpin yang saling berlawanan. Antara dua musuh bebuyutan yang siap saling menghabisi.

Daiki hatinya berkecamuk. Campur aduk tak berwujud. Tak mungkin ia menghabisi pasukan tanpa persenjataan, tanpa persiapan perang, dengan kondisi yang sudah sangat memprihatinkan bahkan sebelum bertempur dengan pasukannya yang sedang dalam kondisi prima.

Daiki masih manusia. Dimana ibunya selalu berpesan untuk menjadi manusia yang jujur dan mengalah untuk kunci kesuksesan hidup kedepannya. Ia masih manusia, ia masih punya perasaan. Dan saat inilah sepertinya ia menuruti perkataan ibunya untuk mengalah. Mengalah pada hatinya yang berbisik pelan, meminta Daiki sedetik saja melupakan apapun soal kemerdekaan dan memikirkan keselamatan sesama umat manusia. Rasa iba Daiki mendobrak keluar, melabrak Daiki. Memprotes untuk mengakhiri perang.

Daiki tak bergerak. Masih membatu di medan perang. Masih membuat Tetsuya kerepotan melindunginya dari prajurit musuh yang keseluruhannya bernafsu membunuh Daiki dan ingin mempersembahkan kepala Daiki untuk cedera mata si sersan yang nantinya akan si sersan pajang di atas tungku perapian kediamannya. Daiki masih membeku saat melihat sersan Macan Merah tumbang ditembus peluru Tetsuya dan jatuh dalam tangkapan si ajudan pirang.

"Kapten Daiki! Sadar! Kapten!" Daiki baru sadar kalau suara bising itu suara Tetsuya yang berteriak ke arahnya.

Daiki sadar namun masih tak dapat bergerak. Matanya terpaku pada mata si Macan Merah yang menatapnya penuh kekecewaan dan terluka disela nafasnya yang terputus putus.

"Bung Tetsuya! Hentikan perang sekarang juga."

"Kita mundur, kapten?"

"Kita tunda! Segera mungkin selamatkan pasukan yang bisa diselamatkan. Tanpa terkecuali!"

"Koreksi kapten! Pasukan KITA yang bisa diselamatkan bukan?"

"Bung Tetsuya cepat! Pasukan kita dan pasukan lawan! Semua tanpa terkecuali!"

.

.

.

Namanya Kagami Taiga. Sersan berusia belia yang didapuk menjadi pemimpin pasukan pasukan muda Dai Nippon. Pimpinan rupawan yang terbaring hilang kesadaran di dipan kecil dari bambu di kediaman Daiki dan Ibunya. Daiki duduk di depan jasad si sersan. Ia masih hidup. Syukurlah peluru Tetsuya tidak jadi menewaskan nyawa si sersan. Tetsuya berang bukan kepalang kala Daiki menghembuskan nafas lega setelah sersan lawan masih dinyatakan belum berpulang ke haribaan.

Namun inilah yang dirasakan Daiki. Galau. Galaunya bukan mainan. Pasalnya otaknya mengatakan ia harus mengambil pisau yang baru saja ibunya pakai untuk memotong ayam dan memfungsikannya untuk menggorok leher sersan berambut merah hitam. Namun hatinya bisik lirih dan pelan. Mengatakan agar Daiki tidak mencoba berbuat nekat atau ranjau si ajudan akan diledakkan. Ia galau dan baper. Tetsuya turut menyumbang pikiran kotor seperti 'bunuh saja bung Daiki.' Atau seperti 'bung itu ada pisau nganggur tidak mau dipakai? Aku saja yang pakai bagaimana?' lalu Daiki uring uringan.

Tetsuya suka tiba tiba muncul sambil membisiki kalimat kalimat setan. Persis seperti kumpeni yang sering diceritakan bapaknya dahulu. Sukanya menghasut jiwa jiwa bimbang yang hilang pedoman. Sementara ajudan Sersan Macan Merah rupanya sangat sangat sengit dalam melancarkan kritik dan peringatan peringatan untuk tidak menyentuh pimpinan mereka yang tengah hilang kesadaran. Daiki kepalanya kopyor. Otaknya bagai melumer dan terguncang kesana kemari. Salahkan dua orang ajudan yang sangat tidak memahami situasi yang tengah berlangsung. Buta kondisi, tuli situasi.

Masih ditambah Ibunya di luar yang sok sokan ngobrol asik dengan ajudan pirang si Sersan Merah. Daiki dibuat eneg bukan main. Terpaksa saja ia mendengar celoteh ibunya soal kenaikan harga sembako, kasus kabut asap di pulau Borneo dan uneg uneg ibu rumah tangga lainnya.

"Kalau di luar negeri harga beras berapa ya dik Ryouta?"

"Kurang tau tante. Saya lama di negeri ini. Sampai lupa harga sembako di Jepang sana berapa, ssu."

Ibunda Daiki tertawa tawa genit pada si ajudan pirang.

"Haaah.. Ya sudah dik. Temenan yang baik dengan Daiki ya. Dia orangnya suka malas, suka menyeleweng kalau tidak ada yang mengingatkan. Saya sendiri kadang suka kewalahan menghadapi Daiki. Tapi saya bisa berbuat apa? Semua kembali pada kemauan Daiki. Saya hanya bisa mendoakan semoga Daiki diberikan jalan yang terbaik, selalu dilindungi di setiap perang, dan bisa kembali dengan selamat. Do'a orang tua ya seperti itu dik. Cuma agar anaknya sehat dan selamat dimanapun kakinya berpijak."

Ajudan pirang yang dipanggil Ryouta tersenyum kecut tanpa disadari oleh ibunda Daiki. Ibundanya Daiki masih belum tahu bahwa Daiki membawa pulang sepasukan prajurit paling kuat besutan Nippon. Ibunya masih belum sadar bahwa pria muda yang terbaring belum siuman di dipannya itu bisa saja sewaktu waktu sadar dan dengan mudah membolongi dahi Daiki. Ryouta tidak enak hendak jujur ia sesuku dengan bapaknya Daiki. Ia tak mau melukai wanita yang menaruh harapan kemerdekaan negerinya pada anak semata wayangnya. Terpaksa Ryouta iyakan saja segala celoteh wanita yang rela menyembelih ayam ayam peliharaan Daiki itu untuk menjamu lelaki lelaki sekomplotan yang kelaparan seusai pertempuran.

"Ya, ssu."

Ryouta menjawab tegas, diintip oleh Tetsuya yang tengah merencanakan siasat perang meskipun dalam kondisi runyam disana sini.

"Bisa bicara sebentar, Nippon?"

Ryouta menoleh kaget tiba tiba didatangi makhluk mungil berambut biru dengan tatapan mengancam yang amat sangat.

"Silahkan." Balas Ryouta diplomatis.

"Bagaimana Indonesia? Enak?" Tetsuya berbasa basi sembari menempatkan diri di sebelah Ryouta. Di depan emperan kediaman Daiki.

"Menyenangkan. Hampir hampir saya tak mau kembali ke Jepang."

"Jangan terlalu formal. Sejauh ini kita musuh."

"Kau pun begitu. Tidak perlu berbasa basi."

Tetsuya dan Ryouta bertatapan sengit.

"Aku hanya mau memperingatkan saja. Aku melihat kau hampir menebas Kapten Daiki. Kuperingatkan kau, senapan Arisaka Kapten Daiki belum pernah melesat sekalipun."

Setelah itu Tetsuya berlalu dari Ryouta yang benaknya masih mengawang awang.

.

.

.

*SUICCHON*

Catatan Pojok :

Hai.

Kali ini saya membawa fic multi chapter. Aokaga lagi.

Terimakasssssiiiiiiih sekali pada Frea alluka sensei yang sudah membetakan fic saya ini. Sudah turut menasihati serta menyumbangkan ide sebaiknya mau dibawa kemana fic saya yang kali ini saya rasa sedikit berbeda.

saya berharap dengan setting yang sedikit tidak biasa ini akan memberikan warna berbeda bagi fic fic saya yang biasanya.

Reader sekalian, bersedia review tidak ya?

Salam untuk kalian dan sensei wanita di luar sana,

SUICCHON