.
LOVE ME RIGHT
.
Menunggu.
Berbaring diatas kasur lalu menatap bosan langit-langit kamar bermotif bunga cantik berwarna merah muda diatasku. Kedua tanganku yang membentang bebas menepuk-nepuk sisi kasur yang kosong, menghitung mundur waktu dan merengek saat yang ku tunggu-tunggu tidak segera muncul.
Meraba-raba disekitar, mencoba mencari ponsel yang sebelumnya ku buang ke sembarang arah dan berhasil mendapatkannya tak jauh di sisi kepalaku.
Setelah melihat ponsel aku hanya bisa mendesah kesal saat mendapati pesan yang ku kirim belum terbaca.
Mengetukkan jari dengan kesal di layar, segera mencari kontak dan meneleponnya. Tidak lama setelahnya, teleponku dijawab,"Sehun!" Teriakku.
Aku memberengut saat mendengar tawanya diseberang sana. Dia tidak tahu jika aku benar-benar kesal kali ini karena dia tidak memberikan kepastian jadi atau tidaknya kencan kami sore ini.
"Maaf, sepertinya sore tidak bisa. Bagaimana jika malam saja?"
Kecurigaan merasuk ke dalam benakku,"Kenapa?"
"Mahasiswi junior meminta-"
"Memintamu untuk mengajari mereka membuat proposal menjengkelkan itu?"
Desahan lelah dari Sehun terdengar ditelingaku, tapi aku tidak peduli, aku lah pihak yang lebih lelah dalam hubungan kami selama ini. Bukan dia.
"Ayolah Zi.. Yang terpenting kencan kita tidak batal, 'kan?"
Aku terdiam memikirkan perkataannya yang tidak sepenuhnya salah. Kurasa, mungkin aku sudah bersikap terlalu berlebihan. Dia memang selalu sibuk bersama para gadis dan aku selalu merengek padanya untuk menghabiskan waktu bersamaku. Seharusnya aku tidak egois tapi mengetahui dirinya lebih sering mementingkan perempuan lain yang bahkan baru saja dia kenal, membuatku cemburu.
"Ya kau benar dan kurasa sebaiknya kencan kita dibatalkan saja."
Dia langsung menjawab dengan cepat dan hati-hati,"Zi.. Apa kau marah?"
Membalikkan tubuh dengan malas dan menjadikan tangan sebagai tumpuan, aku menjawabnya,"Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya merasa kau pasti butuh istirahat setelah mengajari mereka."
Aku tidak tahu apa yang Sehun pikirkan saat dia tak kunjung membalas ucapanku.
Hingga perkataannya berhasil membuat pipiku bersemu dan jantungku berdetak tidak karuan,"Aku sangat beruntung memiliki kekasih pengertian sepertimu."
"Jangan menggodaku," Masih tersenyum-senyum karena ulahnya,"Ya sudah, sampai bertemu besok lusa di kampus, aku mencintaimu."
"Aku lebih mencintaimu."
Dan sambungan telepon terputus.
.
.
Sekarang tidak ada hal yang bisa ku lakukan selain memikirkan hubunganku dengan Sehun yang tidak menunjukkan adanya tanda kemajuan.
Bukan seperti aku sangat berharap kami akan menikah nantinya tetapi terkadang cukup lelah juga menghadapi sikap baik Sehun kepada semua orang, terutama kepada perempuan hingga membuatku sering cemburu. Sehun sering membantu orang lain walau dia sama sekali tidak mendapatkan keuntungan apapun. Sifatnya itu alami, aku tidak bisa berbuat banyak untuk mengubahnya.
Terdengar aneh, awalnya aku tidak mempercayainya. Aku mengira, dia hanya seorang playboy yang selalu mencari-cari alasan untuk bertemu dengan para gadis. Meski aku tahu alasan dia seperti itu karena Sehun pernah menceritakan kisah kelam keluarganya di masa lalu, tetap saja keraguan terus merayapi pikiranku.
Sehun pernah bercerita, kondisi perekonomian keluarganya sempat memburuk karena perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut. Ayahnya depresi, setiap malam sering menenggak berbotol-botol minuman keras hingga tak sadar sering melakukan tindak kekerasan terhadap Sehun dan ibunya.
Sehun sangat menyayangi ibunya sama seperti halnya aku yang menyayangi ibuku.
Setelah melihat perlakuan ayahnya terhadap ibunya, Sehun menjadi lebih sensitif, tidak pernah tega melihat perempuan kecewa dan tersakiti, hingga akhirnya muncul lah sikap kepeduliannya kepada semua orang terutama pada perempuan yang tanpa dia sadari telah menyakitiku akibat dari sikapnya yang mencoba menjaga perasaan setiap perempuan yang berada di dekatnya dengan sedikit mengabaikan bagaimana perasaanku.
Ayolah, Oh Sehun, kekasihmu ini juga seorang perempuan jika kau ingat.
Membahas tentang keluarga Sehun, perusahaan ayahnya sudah lama membaik dan mereka masih baik-baik saja, maksudku orangtuanya tidak bercerai meski ibunya telah mendapat perlakuan kasar dari sang suami.
Sehun bilang ibunya merupakan sosok yang lembut, baik hati, dan penyabar. Saat ayahnya sedang dalam masa-masa sulit ibunya selalu mencoba menenangkan. Aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana sulitnya berada di posisi ibu Sehun, jika jadi dirinya mungkin aku sudah angkat kaki dari rumah dan membawa serta anakku juga surat-surat tanah untuk ku jual.
Mengingat kembali sifat Sehun yang menurutku sedikit aneh ini terselip rasa bangga, nyaman sekaligus lelah memiliki kekasih sepertinya. Bangga karena semua orang tahu, mulai dari kaum hawa hingga kaum adam jika Oh Sehun itu sangat baik hati. Tapi aku harus waspada saat mengetahui semua gadis di kampus menjadikan Sehun sebagai pria idaman mereka. Tak mengherankan, Sehun itu tampan, sangat malah, baik hati, kaya raya, dan pintar, siapa yang tidak ingin memiliki kekasih sepertinya?
Termasuk diriku ini salah satunya.
Kebahagiaan setelah berhasil mendapatkan Sehun bahkan mengalahkan rasa bahagia saat aku di terima di universitas dimana sekarang aku melanjutkan pendidikan bersama Sehun. Wajar saja, aku memang tidak perlu berjuang untuk bisa masuk kesana meski nilaiku pas-pasan. Ayahku yang mengatur semuanya.
Ayah memang menjadi salah satu donatur terbesar di universitas hingga tidak heran aku bisa masuk kesana dengan mudahnya. Jika kau berpikir ini tidak adil tapi begitu lah kehidupan, yang berkuasa mengambil alih keadaan.
Ayah memiliki perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata. Induk perusahaannya berada di Seoul dan sudah bercabang-cabang dibeberapa titik wilayah strategis yang ada di Korea seperti Pulau Jeju dan Gangnam. Ayah sering memintaku untuk berkunjung ke perusahaannya tetapi aku tidak sanggup jika harus berhadapan dengan tatapan genit beberapa karyawan lajang disana. Mereka tidak tahu jika aku sudah memiliki kekasih dan jujur mereka membuatku sedikit merasa bersalah pada Sehun.
Tiba-tiba saja teringat lagi pada Sehun membuatku kesal dan memutuskan untuk segera mengambil handuk lalu pergi mandi.
.
.
Terlihat warna langit dari jendela apartemenku dan menyadari hari sudah mulai gelap.
Menempatkan diri di pinggiran kasur, sedikit memiringkan kepala saat mengerikan rambut panjang kecoklatan bergelombangku dengan handuk putih kecil. Menyisirnya sedikit sebelum membiarkannya tergerai bebas menyentuh pinggang. Meski susah merawatnya tetapi aku sangat menyukai rambut panjangku dibandingkan jika pendek. Sehun juga sering memuji keindahan rambutku membuatku semakin termotivasi untuk merawatnya.
Menyelipkan kaki pada kedua sandal dengan hiasan panda diatasnya, aku pergi keluar kamar lalu menuruni tangga dan menghampiri dapur bernuansa minimalis yang hanya dilengkapi oleh peralatan dapur pada umumnya dan sebuah meja kecil memanjang serta tiga kursi berbentuk bulat khas bar.
Membuka pintu lemari atas, berniat mengambil sebungkus ramen. Aku berjinjit dengan tangan yang mencoba menjangkau saat ku rasakan sesuatu melingkari perutku.
Sedikit berjengit lalu berbalik dan menemukan dia dengan senyum yang mengembang di wajah tampannya.
Sehun berhasil membuatku terkejut dengan kejutan kecilnya kali ini. Aku tidak menyangka dia akan datang. Ya, dia mengetahui password apartemenku dan bebas keluar masuk sesukanya.
"Merindukanku?"
Tidak suka saat melihat senyuman Sehun yang terlihat semakin manis setiap harinya, membuatku selalu salah tingkah dan segera bergerak memeluknya, menyembunyikan wajahku,"Sangat, Oh Sehun." Sedikit menggeram, ingin menunjukkan bahwa aku benar-benar serius. Sehun hanya terkekeh.
Sedikit menjauh saat Sehun meregangkan pelukannya tetapi tidak melepasnya,"Kau ingin memasak?"
"Tadinya iya."
"Dan sekarang?"
"Kurasa tetap iya karena aku sangat lapar." Mengeluarkan pikiranku apa adanya lagi-lagi Sehun tertawa.
"Bagaimana jika kita makan diluar?"
Pertanyaan darinya membuatku bersemangat,"Kita jadi berkencan?!"
Gemas melihat Sehun memasang tampang berpikir dan lambat menjawab, mencoba menggodaku,"Ya begitulah."
Wajahku berubah menjadi datar dan menatapnya dingin. Kurasa dia memang tidak niat berpacaran denganku terbukti dengan jawaban yang baru saja dia ucapkan dengan malas.
Sehun hanya menarik pipiku berlawan arah saat melihatku marah padanya.
"Sudah cepat ganti pakaian. Kau tentu sudah mandi, 'kan?"
Pertanyaan itu sukses membuatku kesal setengah mati padanya dan mendorongnya menjauh, meninggalkannya dan berjalan ditangga sambil berteriak padanya bahwa aku membencinya.
.
.
Sudah ku duga, aku tidak bisa marah padanya. Marah yang benar-benar serius.
Awalnya setelah aku masuk ke kamar dan mengunci pintu, aku berjanji tidak akan keluar dan tidak akan mau diajak makan ke luar bersamanya. Setidaknya aku harus membuatnya membujukku minimal satu jam, tetapi lagi-lagi dengan perkataan yang terlontar dari mulut manisnya berhasil meluluhkanku. Hanya dalam waktu sepuluh menit, aku sudah keluar dari kamar dengan pakaian rapi.
Berjalan keluar gedung apartemen dan memasuki area parkir di basement, kami langsung memasuki Mercedes putih milik Sehun. Baru saja duduk, aku kembali disuguhkan sebuah kejutan kecil lain darinya.
"Bunga dandelion kesukaanmu."
Jika begini bagaimana bisa aku merajuk padanya. Hingga akhirnya hanya bisa mengucapkan terimakasih dan menahan senyumku.
Menggerakkan bola mata ke sepenjuru arah, menjelajahi setiap inci kota Seoul yang terlihat ramai saat di malam hari. Banyak pasangan muda yang berjalan di tempat pejalan kaki. Saat melewati jembatan, ada beberapa dari mereka yang diam berdiri memandang jauh ke sungai meski sebenarnya keadaan sekitar tidak benar-benar terlihat karena hanya ada penerangan dari lampu jalan yang berwana kuning redup.
Aku mengangguk-anggukan kepala kecil menikmati alunan musik beat yang berasal dari audio mobil.
"Sehun.." Panggilku, tiba-tiba menginginkan sesuatu,"Apa kau tidak apa-apa jika makannya sedikit larut malam?"
Sehun tertawa,"Aku bukan gadis yang sedang dalam program diet, tentu tidak apa-apa. Kau sendiri?"
"Ah kau benar, seharusnya aku mengkhawatirkan tubuhku."
Sehun melirik sekilas ke arahku,"Ada apa?"
"Tidak, hanya saja aku sedang ingin bermain skating." Sedikit menyesal karena sudah mengatakannya, aku lupa jika Sehun bisa saja kelelahan dan tak ingin dia jatuh sakit,"Tapi sebaiknya kita makan saja-"
"Sepertinya bukan ide buruk.." Berjengit saat dia mempercepat laju mobilnya,"Baik, kita kesana." Ucapnya terdengar bersemangat yang semakin membuatku jatuh hati padanya.
.
.
Setelah memakai kaus kaki, aku mencoba memasang sepatu khusus skating tetapi sedikit merasa kesusahan dan tanpa memintanya Sehun langsung membantuku.
Kami memasuki wahana skating indoor yang ramai pengunjung. Ada yang bermain sangat lincah dan sebagian terlihat beberapa pengunjung di pinggiran, masih mencoba belajar menyeimbangkan badan sembari berpegangan pada besi yang terpasang di sepanjang dinding.
Sedangkan aku tidak perlu lagi melakukan itu karena jujur saja aku cukup hebat dalam bidang yang satu ini. Ayah pernah mengikutkanku les untuk menjadi penari es tetapi aku berhenti setelah belajar selama lima tahun. Aku memang mudah bosan hingga tak lagi tertarik untuk melanjutkan.
"Sehun?"
Aku tidak berhasil menemukan Sehun disampingku dan ternyata dia sudah berada jauh di depan.
Aku mengejarnya dengan kecepatan yang bisa terbilang sangat cepat bagi orang biasa. Membuat Sehun tertinggal dibelakangku lalu menjulurkan lidah untuk menggodanya.
Dia berhenti dan terkekeh, tidak berniat mengejar dan membiarkanku untuk bermain dengan bersemangat sembari mencoba memperagakan beberapa trik dalam bermain skating yang sudah lama tidak ku praktikkan.
Beberapa pengunjung memperhatikanku, membuatku tak nyaman.
Aku berhenti dan menyadari Sehun yang sudah tidak ada dalam pandanganku. Tidak terlalu peduli karena berhasil menemukan sosoknya di ujung sana yang berdiri membelakangiku. Entah apa yang dia lakukan.
Berpindah ke area yang lebih sepi, aku kembali bermain dengan leluasa kemudian tidak sengaja menabrak seorang pemuda misterius berjaket hitam. Aku tidak dapat melihat wajahnya yang tertutup tudung jaket. Aku segera meminta maaf tapi dia tidak merespon dan berlalu pergi. Aku mengedikkan bahu tidak peduli.
.
Segera menghampiri Sehun, aku mendapatinya dengan seorang gadis cantik disana.
Suasana hatiku seketika meredup.
Aku melihatnya mengajarkan gadis itu cara bermain skating, dan aku mengenalinya. Dia salah satu mahasiswi di kampus kami. Namanya Baekhyun.
Hatiku sedikit memberontak melihat pemandangan itu.
Aku tidak apa jika saja Sehun lebih dulu meminta ijinku. Aku tidak apa jika saja mereka tidak terlihat semesra itu. Apa itu hanya perasaanku saja? Tapi dengan kedua tangan yang bergelayut manja di lengan kekasihku dan tubuh yang menempel erat disisi tubuh Sehun sukses membuatku sakit hati.
Lama terdiam disana, hanya menyaksikan tingkah mereka berdua dan mencoba intropeksi diri.
Teringat saat aku merasa terlalu bersemangat tadi hingga tanpa sadar mengabaikan keberadaan Sehun dan segera menyimpulkan bahwa aku lah yang salah membiarkannya jauh dariku. Aku tidak berhak marah tetapi pada kenyataannya aku benar-benar marah hingga rasanya ingin menangis, meluapkan kepedihan hatiku.
Aku datang kesini untuk menghabiskan waktu bersamanya bukan menghabiskan waktu untuk melihat adegan 'nempel-menempel' yang dilakoni oleh kekasihku sendiri bersama gadis yang tidak benar-benar ku kenal.
Sekitar lima belas menit sebelum Sehun menyadari keberadaanku. Dia terlihat sedikit gugup dan mencoba menjauh dari Baekhyun. Dia segera menghampiriku dan aku tidak peduli jika dia menyadari kemarahanku padanya.
Sedikit memaksakan diri untuk tersenyum dan bersikap biasa,"Aku ingin pulang."
.
.
Sudah ku katakan, aku tidak akan pernah bisa marah padanya. Tidak akan.
Lihat saja, Sehun kembali sukses melunturkan amarahku saat dia tiba-tiba saja menghilang dan memberikanku sebuah penjepit rambut berwarna cream dengan bentuk pita dan ice cream vanilla favoritku.
Baiklah, ice cream sepertinya lumayan untuk membujuk seorang gadis yang sedang merajuk tetapi aku sedikit bingung saat dia menyerahkan padaku sebuah penjepit rambut berukuran sedang. Dia mengelak untuk menjawab dan langsung memakaikannya begitu saja di sisi kiri kepalaku.
"Jangan marah lagi, cantik."
Tak mau termakan rayuan gombal aku segera berjalan meninggalkannya, hingga akhirnya dia mengejarku dan menyamai langkahku.
"Apa kau ingin naik bianglala?" Tanyanya.
Aku menolak pada awalnya tapi dia terus mempengaruhiku hingga membuatku menuruti keinginannya yang tidak pernah bisa ku tolak.
"Disana loketnya."
Dia menunjuk ke arah segerombolan manusia yang berbaris rapi menunggu antrian. Suasana disini benar-benar ramai dan tak jarang aku harus sedikit berteriak ketika berbicara dengan Sehun.
Memperhatikan penuh was-was dan sedikit memicingkan mata, aku berhasil mengenali sosok yang berdiri tak jauh dari posisi kami saat ini, dia Luhan dan teman-temannya yang tak lain dan tak bukan Baekhyun juga Lay. Ternyata Baekhyun datang kemari tidak sendirian.
Sangat merasa terintimidasi saat mereka menghampiri kami dengan Luhan yang berjalan angkuh ditengah mereka. Jujur aku tidak suka pada Luhan. Dia terlalu berbahaya untuk ukuran seorang manusia.
Dia sering menggoda kekasihku, Sehun sendiri yang mengatakannya.
Sehun memang sering terlihat diam tapi sebenarnya dia sadar akan maksud tingkah para gadis yang mencoba mendekatinya seperti Luhan. Sayangnya, Sehun tidak bisa berbuat kasar dengan mengusirnya secara blak-blakan dan mengatakan padanya untuk pergi menjauh. Sehun hanya berusaha menghindar agar tidak bertemu dengan gadis sepertinya.
Tiba-tiba merasakan remasan Sehun ditanganku, mencoba menenangkanku.
"Hai Sehun.." Sapa Luhan manja lalu beralih menatapku,"Kau sedang bersama dengan kekasihmu ya. Siapa namanya? Huang..?"
"Zitao. Huang Zi Tao." Seharusnya aku segera pergi dari sini dan aku malah memilih untuk membalas ucapannya.
Dia menjentikan jarinya yang lentik,"Oh ya.. Huang Zi Tao."
"Maaf, kami sedang buru-buru-"
"Buru-buru ingin kemana Sehun?"
Ingin sekali aku menarik bibirnya yang sengaja dikerucutkan dengan nada merajuk yang terucap dari mulutnya itu pada kekasihku.
Belum selesai dengan amarahku, dia sudah berulah lagi.
"Ah Sehun, ku rasa aku ingin pergi ke toilet, apa kau mau menemaniku?"
Merasakan Baekhyun dan Lay yang seakan menahan tawa melihat wajah-menahan-kesal milikku, ku putuskan untuk tidak mencakar-cakar wajah Luhan sekarang juga.
Kekasihku baru saja ingin menjawab saat Baekhyun mencela, seakan membaca pikiran Sehun,"Aku dan Lay harus menunggu antrian."
Aku hanya pasrah karena biasanya sifat Sehun yang paling ku benci muncul disaat seperti ini.
"Tidak bisa. Kami juga harus pergi."
Aku sedikit terkejut mendengarnya. Ku pikir dia tidak akan tega pada Luhan.
Merasa gagal, gadis genit itu beralih padaku,"Zitao.. apa kau tidak kasihan padaku?"
Menghela nafas panjang, akhirnya aku menjawab,"Baik, aku akan menemanimu-"
"Bukan itu, maksudku biarkan Sehun menemaniku ya?"
Astaga, benar-benar gadis ini.
Dia menambahkan,"Kau pasti percaya pada kekasihmu, 'kan?"
Dia hanya ingin mengujiku, seharusnya aku tidak terpancing tapi aku orang yang mudah terpancing,"Tentu aku percaya padanya, kalau begitu pergilah."
Sehun menatapku tidak percaya tapi aku hanya mengangguk dan mengusap tangannya agar tidak perlu mengkhawatirkanku.
.
Mereka pun pergi meninggalkanku bersama dua gadis yang tidak lebih baik dari Luhan.
Mereka berdiri sedikit jauh dariku, berbincang-bincang penuh minat sedangkan aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatu coklatku di tanah sambil memakan ice cream yang langsung tak lama kemudian.
Bersedekap, menyelipkan rambutku dibelakang telinga yang terus bergerak liar diterpa angin sambil sesekali melirik jam tangan kecil yang melingkar manis di tangan kananku. Sudah jam sepuluh malam.
Baekhyun dan Lay nampaknya kehabisan bahan pembicaraan karena mereka mengalihkan fokusnya padaku. Berusaha bersikap cuek dengan melihat sekeliling tapi tak berhasil saat mereka membahas Sehun.
Melirik Baekhyun yang memandangku jijik,"Aku tidak percaya Sehun memilih gadis seperti ini."
"Aku juga tidak suka padanya. Dia masuk universitas melalui koneksi."
Lay memang terkenal karena kecerdasannya jadi tidak aneh jika Lay lebih mempermasalahkan soal pendidikan dibandingkan dengan Baekhyun yang mencoba mengkritik kisah asmaraku.
Baekhyun tertawa,"Otak dangkal, tubuh berlemak, dan wajah pas-pasan.. astaga apa yang dilihat oleh si pangeran kampus itu."
Kalimatnya benar-benar menyakitkan dan sungguh merendahkanku.
Aku memang tidak pintar tapi aku juga tidak sebodoh itu. Aku selalu masuk tingkat sepuluh besar di kelas dulunya dan yang benar saja dia menghina tubuh montokku ini dengan sebutan gemuk? Mereka saja yang terlalu tidak berisi.
"Kurasa Sehun sudah diguna-guna olehnya!" Mereka tertawa terbahak-bahak.
Cukup sudah, aku tidak ingin berakhir dengan keadaan rambut hancur akibat bertengkar dengan mereka, jadi ku putuskan untuk segera pergi menyusul Sehun dan segera menariknya untuk pulang.
Suasana hatiku hancur. Aku tidak punya minat lagi bermain-main disini.
Mencari-cari cukup lama dalam kerumunan dan pemandangan tak jauh di depan sana sangat mengejutkanku.
Mereka-
-berciuman.
Baik, aku menyerah. Aku mundur, Oh Sehun.
.
.
Ku pikir aku tidak akan pernah bisa marah pada Sehun, tapi kali ini aku berhasil melakukannya.
Aku menamparnya. Benar-benar menamparnya.
Ya, aku melakukannya setelah Sehun berhasil mempermalukan Luhan dengan mendorongnya keras hingga jatuh ke tanah dan mengeluarkan kata-kata kasar padanya tepat di depan mataku. Membuatku sedikit bahagia melihatnya tetapi lantas tidak membuatku melupakan semua yang sudah mereka lakukan beberapa menit yang lalu.
Sehun segera menarikku keluar dari sana dan membawaku ke area parkir sebelum masuk ke dalam mobilnya.
Aku memilih diam, tidak ingin membahasnya tapi dia mendesah dan mencoba menjelaskan,"Dia yang menarikku Zi! Sungguh aku tidak berbohong padamu."
Tidak ingin berkomentar apapun, aku ingin dia menjelaskan semuanya walau sebenarnya aku percaya padanya.
"Aku juga tidak menduganya.. Dia memang benar-benar gila.. Kumohon percayalah padaku."
"Jawab aku Zi.."
"Bukan aku yang memulainya.."
Setelah itu dia diam, mungkin dia telah kehabisan kata-kata untuk meyakinkanku.
Cukup lama terdiam akhirnya aku berbicara,"Aku percaya padamu."
Kepalanya yang semula sedikit tertunduk mulai terangkat lalu menoleh menatapku.
Ingin menambahkan, menarik nafas dalam sebelum menghembuskannya,"Tapi aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."
Dia tidak sempat berkata apapun.
"Aku lelah. Aku benar-benar lelah." Masih tidak mau menatapnya aku melanjutkan,"Kau terlalu sempurna untukku dan itu membuatku kesulitan untuk mengimbangimu."
"Apa maksudmu? Kau lebih dari sempurna dimataku Zi.."
Aku berniat untuk tidak mengatakan apa yang selama ini ku pendam selama menjadi renggut hatiku hanya untuk membuatku senang lalu kembali merasakan kehancuran berkali-kali.
Sehun selalu melakukan itu padaku tanpa dia sadari.
Dengan kebiasaan anehnya yang selalu berhasil membuatku sakit hati termakan cemburu dan membuat sebagian orang memandangku kasihan karena mereka berpandangan aku layaknya kekasih yang tidak dianggap, banyak yang menyangka aku hanya lah gadis mainan Sehun yang diterima cintanya setelah menyerahkan harga diriku. Aku tidak tahu darimana berita itu berasal, yang jelas selama ini aku cukup tersiksa karena mereka menganggapku sebagai wanita murahan alih-alih benar-benar mengakuiku sebagai kekasih yang dipilih oleh Sehun.
Sudah berusaha sekuat tenaga selama ini, selama dua tahun aku menjalaninya.
Aku mencoba mengerti tapi sepertinya aku tetap tidak bisa mengerti dirinya.
Sehun masih tidak terima hingga akhirnya aku berbohong untuk meyakinkannya,"Aku sudah tidak mencintaimu. Aku menyukai pria lain."
Sehun terperangah, bola matanya menyiratkan pemberontakan,"Tidak mungkin! Aku tidak mempercayainya. Kau terlihat tulus selama ini."
Membenarkan tali tasku bersiap keluar dari mobil,"Terserah padamu. Hubungan kita tetap berakhir."
Sehun menarik tanganku, mencegahku untuk membuka pintu,"Kemana kau akan pergi? Aku akan mengantarmu. Ini sudah malam."
Aku mengelak dan segera membuka pintu,"Terimakasih tapi aku akan pulang sendiri."
.
.
Aku sedikit berlari saat menyadari Sehun berusaha mencoba untuk kembali berbicara padaku.
Menemukan celah pada dinding aku segera bersembunyi disana.
Dari balik dinding, memperhatikan Sehun yang berteriak kesal karena kehilangan jejakku membuatku sedih. Terlebih saat mengetahui bahwa dia menangis dengan wajah tertunduk menatap tanah dan tangan yang berkacak di pinggang, berhasil membuatku menumpahkan air mata yang ku tahan sejak tadi.
Aku tidak menyangka jika dia juga terluka.
Dia tulus mencintaiku, mengira perasaannya tidak sedalam itu.
Sehun sudah kembali masuk dan tak lama aku melihat mobilnya yang melaju keluar menerobos jalan raya.
.
Keluar dari persembunyian, aku berjalan lemah menuju jalan besar dan berdiri disana menunggu sebuah taksi lewat.
Hari benar-benar sudah larut dan sepertinya taksi jarang lewat sekitar jam segini jadi aku memutuskan untuk berjalan menuju apartemenku yang jaraknya ratusan kilometer dari sini.
Tidak bersungguh ingin pulang dengan berjalan kaki, aku hanya ingin menenangkan diri sambil menikmati dinginnnya angin malam yang menembus jaket putih berbulu milikku.
Cukup lama berjalan, aku menemukan halte tak jauh dari pandangan dan duduk di kursi panjang yang ada disana. Keberuntungan berpihak padaku saat tak lama sebuah bis malam berhenti. Aku segera naik dan duduk di sebelah wanita tua yang duduk di dekat jendela dibarisan kiri.
Aku memejamkan mata sembari menyamankan kepala dengan sedikit memiringkannya ke kanan dan bersandar pada sandaran kursi.
Teringat kembali kejadian yang baru saja ku alami.
Mencintai Sehun sepenuh hatiku, sungguh berat memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Dia kekasih yang penuh dengan kejutan, selalu berhasil membuatku memekik senang, menatapnya dengan pandangan memuja, dan dia selalu menjadi magnet yang bisa menarikku kembali ke dalam pelukannya walau aku sedang marah sekali pun.
Dia sungguh mempesona dan aku menangis saat tersadar jika aku tidak akan mendapat kejutan-kejutan kecil itu lagi darinya dan dia akan jarang berada disisiku.
Tak ada kata-kata manis, tak ada lagi pelukan hangat, dan tidak ada lagi perasaan mendebarkan saat dia menarikku masuk ke dalam dekapannya sebelum mengecup bibirku.
Mataku terus terpejam dan meneteskan air mata, aku menangis dalam diam. Wajahku sudah basah dan itu membuatku tak nyaman hingga akhirnya aku membuka mata dan menemukan-
Seorang pemuda yang menatapku ingin tahu di kursi sisi kanan seberang.
Aku tidak terlalu peduli karena memang benar-benar merasa lelah. Tapi jauh di lubuk hati aku merasa kesal pada orang itu, sungguh sangat tidak sopan menatap lekat gadis yang sedang menangis. Apa yang sebenarnya orang itu pikirkan?
Aku menarik tudung jaket berbulu milikku yang memang berukuran besar hingga mampu menutupi wajahku mencapai bagian mata. Merasa malu jika diperhatikan sedalam itu saat sedang menangis.
Kembali memejamkan mata, mengabaikan niatku sebelumnya yang ingin mengambil tisu dari dalam tas dan melanjutkan tangisku yang seakan tidak ada habis-habisnya. Ditambah lagi dengan perbuatan kurang ajar pemuda asing itu baru saja yang membuatku ingin berteriak didepan wajahnya bahwa aku butuh privasi.
Aku mulai terisak, kali ini aku benar-benar membutuhkan tisu jadi aku kembali membuka mata dan-
Baru menyadari kalau pemuda itu sungguh sangat tampan sambil menatapku lekat, meski pandanganku mengabur tapi aku masih bisa melihat wajahnya yang memikat dan sudah ku katakan aku ini cukup pintar dan tidak bodoh untuk tidak bisa membedakan antara pria berwajah tampan dan yang tidak walau suasana hatiku sedang muram.
Terkejut sekaligus merasa takut saat pemuda itu bangkit dari kursinya dan menghampiriku untuk memberikan sesuatu yang ternyata adalah sapu tangan.
"Sepertinya kau membutuhkan ini."
.
TBC
.
Hayoo coba tebak cowok yang terakhir itu siapaa
Kecuali Dande ga boleh nebak ya hehe
See you guys
Love y'all
*Request by Dande Liona
