Lovers!

Disclaimer : Naruto adalah manga Masashi Kishimoto. Hanya OC yang milik author

Warning: OOC, Semi-Canon, OC

Contains Lemon scenes


"Aku rasa hal ini tidak boleh dilanjutkan lagi."

Aku menghela nafas panjang mendengar kalimat sama yang lagi-lagi diucapkan. Entah sudah berapa kali kalimat yang sama ini diucapkan oleh Konohamaru sejak kami meninggalkan tempat makan malam. Saat ini sudah malam, bintang-bintang pun telah menunjukkan diri mereka. Aku sungguh ingin cepat pergi ke tempat itu, namun Konohamaru terus menahanku.

"Kau tidak boleh pergi ke tempat itu lagi. Kau sudah terjebak terlalu dalam, Aoi." Ia memperingatiku. Dia memang selalu bisa mengangkat topic pembicaraan yang dapat membuatku mood-ku memburuk. Aku berhenti berjalan, lalu memutar dan berdiri menghadap Konohamaru. "Bisakah kau berhenti mengangkat topic ini? Aku akan tetap pergi, apapun yang kau katakan." Aku kembali berjalan cepat, berusaha meninggalkannya. "Pergilah, Konohamaru-sensei. Jangan ikuti aku lagi."

"Aku hanya ingin mengingatkanmu, semua tindakan ini tidak akan berakhir dengan baik. Dia hanya memperalatmu." Aku menggigit pipiku, kesal dengan senseiku yang tidak terlihat ingin menghentikan mulutnya. "Dari sisi manapun, apa yang kau dan dia lakukan itu salah."

Aku hanya diam, tidak ingin berdebat lebih lanjut dengannya. Biarlah dia terus mengoceh –

"Lagipula, pria itu sudah memiliki istri dan anak. Kau hanya selingkuhannya." Sungguh cara yang halus untuk mengatakan 'jalang' atau 'perusak rumah tangga'.

"Ya, aku tahu apa yang kulakukan ini salah, tapi aku sendiri tak dapat menghentikan diriku. Seperti yang kau katakana, aku sudah terjebak terlalu dalam."

"Lagipula, selisih usia kalian terlalu jauh. Kau hanya bocah berumur 19 tahun, sedangkan dia? Dia sudah berusia hampir 40 tahun." Aku hanya diam, semakin kesal dengan pembicaraan yang hanya memojokkanku dari tadi. Dalam hati aku hanya mengomel, dia baru berusia 32 tahun. Kami hanya terpaut 13 tahun.

Yah, itu benar. Aku hanya seorang remaja yang berusia 19 tahun. Usia yang sama dengannya ketika ia menikahi istrinya dulu. Tapi, setidaknya minggu depan aku sudah berusia 20 tahun. Minggu depan kami hanya akan terpaut 12 tahun. Dadaku bergemuruh merasakan kegembiraan dari hal sepele seperti ini. Aku tahu, kami tak akan bisa bersama. Hubungan paling jauh yang bisa kurasakan dengannya hanyalah sebatas pria beristri dengan selingkuhannya. Akan tetapi, setidaknya aku ingin terus merasakan hubungan istimewa ini dengannya selama mungkin. Aku sadar, aku pelan-pelan telah dibutakan oleh rasa posesifku ini. Ah, tidak, aku memang sudah dibutakan sejak awal aku menjalin hubungan ini dengannya.

"Hei, Konohamaru-sensei, berhentilah menggangguku soal ini lagi. Aku bisa membuat keputusanku sendiri." Jawabku, berusaha membuatnya berhenti membuntutiku. "Aku sudah bukan anak-anak lagi. Aku adalah seorang chuunin sekarang. Dan bukankah menurut peraturan shinobi, di saat kau menjadi seorang shinobi, kau sudah menjadi seorang dewasa?"

Konohamaru menunduk, menyadari kebenaran dalam kata-katanya. Aku agak prihatin melihatnya yang seperti ini. "Aku tahu, kau hanya tidak menyangka orang yang pernah kau kagumi akan menjadi seperti ini bukan? Menjadi seorang pria yang bisa… berselingkuh dengan wanita lain." Tanyaku pelan.

"Aku masih tetap mengaguminya…" Gumamnya pelan. "Hanya saja aku tak menyangka ia sanggup melakukan hal ini. Dengan muridku pula. Seharusnya aku tak mempertemukan kalian berdua."

Aku meletakkan jemariku pada pundaknya, berusaha menghilangkan rasa bersalahnya. "Ini bukan kesalahanmu. Kami memang berjodoh, jika bukan karenamu, sensei, kami pasti juga akan bertemu."

Mataku melebar ketika aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 9.30 malam. "Sensei, aku pergi dulu! Aku sudah melewati waktu janjianku dengannya!" Aku langsung berlari dengan wajah berseri-seri meninggalkan senseiku yang masih terdiam di tempatnya.


"Sampai juga." Nafasku terengah-engah, keringat memenuhi wajahku, kaki bergetar dan perutku serasa dipenuhi kupu-kupu kecil yang beterbangan. Ah, tidak seharusnya stamina seorang ninja seburuk ini. Tapi aku cukup yakin ini bukan karena aku kelelahan. Bukan, aku hanya terlalu gugup untuk bertemu dengan dia. Aku merapikan rambutku sejenak, berusaha agar aku tetap tampak cantik di hadapannya. Perlahan tanganku membuka pintu kayu itu, lalu melangkahkan kaki jenjangku memasuki rumah kayu tua ini.

Baru berjalan dua langkah dari pintu, aku sudah melihatnya, berdiri sambil bersandar pada dinding. Rambutnya masih tetap berantakan seperti biasanya, namun pirangnya rambut itu selalu berhasil membuatku terpesona. Matanya yang biru menatapku serius, membuatku merasa semakin gugup. Tanda lahirnya, kedua kumis kucing yang menghiasi pipinya, membuatnya tampak semakin menggoda di mataku. Dan yang terakhir, yang membuatku dadaku berdegup semakin kencang, adalah kenyataan bahwa ia hanya mengenakan jubah Hokagenya. Di balik jubah itu, dia polos, seperti hari di saat ia lahir, tanpa sehelai benang pun.

Tangannya membuat gerakan yang mengajakku untuk segera memasuki kamar, lalu ia menghilang. Seperti dihipnotis, aku segera mengikutinya, menanggalkan hitai ate kebangganku yang bertengger di kepalaku dengan cepat. Di detik aku memasuki kamar, aku langsung merasakan tubuh kekarnya mendekapku, lengannya mengelu surai coklatku.

"Naru – " Aku bahkan tak diberi kesempatan membalas sebelum bibirnya menangkap bibirku dalam ciuman panas yang menggebu-gebu. Tampaknya hari ini pun dia amat bersemangat. Lidahnya bermain-main dengan rongga mulutku, mengecap isi mulutku, mengabsen satu persatu geligiku, dan terakhir melingkarkannya pada lidahku. Tubuhnya semakin menempel padaku, berat badannya menindihku hingga menempel ke dinding, dan tangannya bergerak liar melepaskan satu demi satu pakaian yang melekat di badanku. Aku hanya mengerang pasrah, merasakan tangannya yang besar meremas dadaku, mulutnya yang panas melingkari puncak berwarna coklat yang menonjol dari dadaku. Aku bisa merasakan cairan yang mulai mengalir dari dalam tubuhku, menandakan bahwa aku juga kini amat menginginkannya. Kaki bergerak sendiri dan melingkarkannya pada punggungnya. Pria ini, dia menangkap niatku. Dengan segera ia menggendongku, lalu melemparku dengan kasar ke atas tempat tidur.

Tak tahan menunggu lebih lama lagi, aku sendir yang melepaskan satu-satunya pakaian yang tersisa di tubuhku, yaitu celana dalamku. Dia lagi-lagi mengeluarkan seringaiannya. "Sudah tak tahan ya, anak kecil?" Godanya melihatku begitu bersemangat. "Aku bukan anak ke – Aaahhnn…" Protesu diputus oleh eranganku sendiri ketika aku merasakan satu jarinya membuka jalan ke dalam tubuhku. Jemarinya berputar-putar, menyentuh segala titik sensitifku, membuatku melayang-layang dan hanya bisa mengerangkan namanya. Satu jari, dua jari, tiga jari, semakin cepat mengaduk-aduk tubuhku. Bibir seksinya menyesap dan menggigit ganas dadaku, membuatku mengerang kesakitan bercampur kenikmatan. Tanganku menjambak surai pirangnya semakin erat, pertanda aku semakin mendekati puncakku. Dan benar saja, sedetik kemudian, aku merasakan tubuh bawahku mengetat dan jarinya bergerak melambat.

Ia belum selesai, tentu saja. Ia melebarkan kedua pahaku, meletakkannya di atas pundaknya. Matanya menatapku kosong, satu-satunya bagian yang kubenci saat percintaan kami adalah ini. Matanya tak pernah bisa membohongiku. Terkadang, ditatap seperti ini membuatku merasa jengah dan hendak memutuskan hubunganku dengannya. Tapi, bagian terbaiknya akan segera datang. Aku merasakan tubuhku mulai dimasuki olehnya, batangnya yang besar melebarkan liangku, memenuhinya dengan pelan, seolah ingin menunda percintaan ini meski hanya sedetik. Aku tak sabar, kugoyangkan pinggulku, dan aku melihat matanya menutup dengan ekspresi wajah menahan kenikmatan. Sedetik kemudian, kurasakan dirinya bersatu denganku, dan aku tersenyum puas.

Aku tahu dia tak sepenuhnya ingin melakukan ini, namun ketika dirinya sudah menembusku, semua kendali atas dirinya menguap begitu saja. Mungkin ini salah satu pengaruh dirinya yang semakin jarang bertemu dengan istrinya dan ia melupakan semua rasa frustasi seksnya padaku. Mungkin jika ia bukan Hokage, hubungan ini tak akan pernah ada.

Gerakannya liar dan cepat, membuatku meneriakkan namanya berkali-kali. Untunglah rumah kayu ini terletak cukup jauh dari desa Konoha, sehingga aku tak perlu khawatir ada yang mendengar teriakan percintaan ini. Ia menciumku berkali-kali, terkadang aku kewalahan mendapatkan kecupan demi kecupan ini. Tangannya tak berhenti meremas dadaku, dan aku bisa merasakan gerakannya menjadi semakin cepat dan tak beraturan. Nafasnya mulai memendek, demikian juga diriku. Puncak kenikmatan itu semakin dekat, sedikit lagi, sedikit lagi –

"UNGHH! Narutoooo!" Aku kembali meneriakkan namanya saat kurasakan orgasme keduaku malam ini. Tubuhku bergetar merasakan desiran kenikmatan membanjiriku. Sesaat kemudian, aku merasakan tubuhnya juga menegang dan rahimku merasakan semburan panas yang berasal dari benihnya.

Tentu saja, itu tak berarti percintaan kami berakhir. Kami terus melakukannya hingga matahari terbit. Berbagai posisi kami lakoni, berbagai hal kami lakukan. Karena hanya pada malam-malam seperti inilah Naruto menjadi milikku.


"Lelah sekali…" Gumamku pelan, menyadari tempat tidur di sampingku sudah kosong. Hanya cairan putih yang mengalir dari selangkanganku dan seprai tempat tidur yang acak-acakan pertanda kegiatan terlarang kami semalam. Lagi-lagi ia meninggalkanku sebelum aku sempat melihat dirinya. Aku lalu bangkit dan memunguti pakaianku, lalu memakainya.

Aku memutuskan untuk berjalan pulang kembali ke apartemenku. Aku sungguh tidak fokus, sedikit tersenyum mengingat keliaran yang kulakukan dengannya kemarin. Tiba-tiba saja, sebuah kunai mainan menghantam wajahku

"Kena kau!" Teriak seorang anak kecil berusia 12 tahun. Anak itu adalah Boruto, putra dari Uzumaki Naruto. Yah, inilah bagian paling buruknya. Pria yang meniduriku hampir setiap malam bahkan sudah menikah dan memiliki 2 anak. Dan yang paling mencengangkan, kedua anaknya mengenalku dengan baik sebagai "Kakak Aoi" yang merupakan murid dari Konohamaru, pria yang sudah seperti keluarga bagi mereka.

"Boruto, jangan bermain-main seperti itu!" Tegur seorang wanita bersurai indigo pada putranya. Wajahku memucat. Sial sekali, pagi-pagi seperti ini sudah bertemu dengannya. Istri dari pria yang baru saja bermain gila denganku semalam, Uzumaki Hinata.

"Selamat pagi, Aoi-san." Sapanya dengan senyumannya yang ramah. Oh, andai saja kau tahu hubunganku dengan suamimu…

"Selamat pagi juga, Uzumaki-san." Aku balas menyapanya dengan kikuk, sedikit merasa berdosa di depannya. Ia adalah wanita yang baik, sungguh, dan dia bertindak seperti seorang kakak perempuan yang tak pernah kumiliki.

"Boruto, kau tidak boleh begitu pada Aoi-san." Tegur ibunya pada Boruto. Uzumaki Himawari terkekeh kecil melihat kakaknya dimarahi oleh ibunya. "Himawari, jangan tertawai kakakmu." Sungguh ia bertindak layaknya seorang ibu. Jika itu aku, mungkin aku akan tertawa lebih keras lagi, dan mungkin inilah alasan Hinata-san adalah istri sah sedangkan aku hanya seorang selingkuhan.

"Aoi-san, datanglah ke rumah kami untuk makan bersama. Kau sudah seperti bagian dari keluarga kami." Kata-katanya yang lembut membuat rasa bersalah semakin menguasaiku. "Terima kasih, Uzumaki-san. Mungkin lain kali."

"Oh ya, bukankah minggu depan adalah hari ulang tahunmu? Datanglah ke tempat kami, keluarga Uzumaki akan mengadakan perayaan kecil-kecilan untukmu."

"Baiklah." Jawabku sekenanya, berusaha melarikan diri dari situasi ini. Aku memberikan senyuman pada ketiga anggota Uzumaki itu, lalu segera berlari pelan.

Dosa macam apa yang telah kuperbuat.

TBC