Aku dan yang Bukan Aku
.
PhantaCity ditayangkan di Hunan TV. Clown Chou (episode ke-10 menit ke-54: 00) diperankan oleh Zhu Yi Long dan disutradarai oleh Wei Xiao, sedangkan Putra Penipu hanya bisa membuat fanfiksi yang bahkan tidak layak disebut sebagai bentuk apresiasi.
.
"Siapa aku?"
Seorang pria mengenakan putih di wajah pasi dan hitam pada tuksedonya. Begitu pulalah ia memandang dunia dari kedua matanya yang disepuhkan jelaga. Ia, yang seharusnya, tidak ingin ragu akan dirinya.
Ia bermimpi, ia tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Namun, kapan mimpi itu datang? Jika ia menyesalinya, maka sekarang.
Mimpi. Matilah dan ubah dirinya. Pria itu bermimpi, ia yang hidup kembali dalam kismat yang lain. Ia bermimpi bahwa seorang pria akan selalu diperdayakan oleh dirinya yang lebih mulia. Ia bermimpi pada akhirnya ia tetap menjadi bangka, meskipun seekor anak naga menjerat di pergelangan tangan kirinya. Konstan pada pukul 20. 46 dan ia terdiam. Lalu, mati. Benar-benar mati.
Di dalam mimpinya, itu sungguh ada dan nyata. Namun, ia tidak lebih bahagia. Ia bermimpi, bukan mimpinya yang paling indah.
Diandai-andai terjagalah ia. Secepat melodi pada gerakan ketiga pada bulan tuaian. Itu yang datang dengan tidak terduga dan menyentak. Merintih dan berkaca-kaca saat ia pukul mata pianonya; yang hitam dan yang putih.
Melodi itu jadilah dirinya. Ya, sudah seharusnya dirinya, si Badut Majenun dari kelompok sirkus Pig One Dragon. Ia yang tidak pernah didengarkan, kesepian, dan sendirian, meskipun ada bingar dari balik jendela di bilik kecilnya.
Di bilik kecil itu, di balik pintunya yang terkunci, ia mengasingkan diri dalam melodi anonim. Bilik itu yang pengap dan menyala redup dari filamen-filamen putih, tetapi tetap tidak ia tanggalkan hitamnya. Datang kemudian selalu lengang yang terentang di antara sepi dan bersendiri.
Lengang, meskipun jendelanya ia biarkan terbuka. Si badut duduk dan memandang ke luar jendela. Ia tahu suatu saat ia akan merangkak menuju dunia, yang sungguh berbeda dari dunianya sendiri; yang warna-warni seperti pelangi, yang adalah tonggak-tonggak penghiburan dan tepukan sebelah tangan, yang adalah kebebasan lalu kekekalan.
Di luar jendela itupun ia mendengar seorang gadis kecil bernyanyi seiring dengan melodinya yang seharusnya tidak pernah dikenal: Tuan dan Nyonya, belilah bunga-bunga ini. Merah dan indah seperti senyum si Badut Chou. Di telinganya, itu terdengar merdu. Namun, ia tahu bahwa seperti hitam-putih hidup ini, maka selalu ada anti-melodi pada sebuah melodi. Anti-melodi yang yang melengking, keras, dan garau yang dituliskan pada partitur kekal dan itu memperdengarkan kematian dan mimpi-mimpi tidak berkesudahan.
Di sana jugalah ia menemukan si gadis kecil yang terduduk dan menunduk. Seorang anak yang ingin ia tinggikan di bahunya lalu biarkan mahkotanya menyentuh kelopak-kelopak merah yang berguguran dan menjadi layu oleh waktu dan ia tiupkan harum merah ke kalbunya agar ia tidak lagi bertanya tentang bahagia. Namun, gadis itu hanya tersenyum. Anehnya, lalu berlari pergi dengan dua kelopak merah dalam genggamannya yang dicerabut dari tangkainya.
Untuk siapa? "Untuk aku."
Siapa aku? "Aku si Badut Chou."
Di depan cermin, ia sudah seharusnya tahu jawabannya. Ia sudah seharusnya mengenakan wajah putih dan tuksedo hitam, kemudian ia lukiskan senyum merah di bibirnya dengan kelopak merah. Itu yang menjadi satu-satunya warna lain di dunianya yang tidak pernah baka; bukan warna-warni, bukan pelangi. Oleh karena itulah yang membentuk melodi mereka yang sebenarnya.
Melodi yang dituliskan pada partitur fana di antara jam-jam yang terus berjalan. Mereka, si Badut Chou dan si gadis kecil penjual bunga kelopak merah. Mereka yang berjalan bersisian dan bergandengan tangan untuk bersama-sama merayakan kehidupan.
.
Selesai
.
Terima kasih untuk Anda yang suatu saat mampir (pasti) karena tersesat.
