CiTY CiNDERELLA
Cast:
Kim Jong Woon / Yesung, Kim Ryeowook, Choi Seunghyun, Kwon Jiyoung, Lee Eunhyuk, Lee Donghae, Cho Kyuhyun, Lee Sungmin and other.
Genre : Romance, Family etc.
Declaimer : FF ini adalah cerita remake dari sebuah novel berjudul "City Cinderella (Cinderella Modern)" dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh Catherine George dan diterjemahkan oleh Khamsa Noory F. dengan beberapa perubahan untuk kebutuhan FF.
Dan semua cast di FF ini milik semua orang yang memiliki mereka, author hanya meminjam nama mereka untuk kebutuhan cerita dan 'kebutuhan hidup' reader pencinta FF khususnya FF YeWook... :D
Warning : Yaoi/BL, M-Preg, some Typho(s).
Don't Like? Don't Read!
Okay guys!
HAPPY READING‼!^^
Angin dari Sungai Han bertiup ke jalanan batu saat ia membayar taksi. Setiap tulangnya terasa sakit, jadi ia bergegas memasuki bangunan apartemen dan bersandar di dinding lift, memaki virus yang akhirnya berhasil menyerangnya. Di lantai teratas, ia memaksa diri untuk tegak, dan sambil mengerang lega karena membayangkan kehangatan, memasuki apartemen loft yang merupakan rumahnya. Ia melepaskan mantel, melemparkan koper ke tumpukan surat di atas bufet di lorong, lalu membuka pintu dapur—ia benar-benar butuh secangkir kopi dicampur sedikit scotch. Dan ia berdiri membeku.
Dapurnya yang bepermukaan stainless steel dan granit bersih sempurna, seperti biasa. Namun seseorang berada di sana. Pria muda yang belum pernah dilihatnya duduk di kursi tinggi bergaya retro di bar sarapan, mengetik di laptop, begitu berkonsentrasi sehingga tidak menyadari kedatangannya.
Sebelum ia sempat meminta penjelasan, suara batuknya yang tiba-tiba membuat kepala pria asing itu menoleh, terbelalak khawatir saat dia meluncur turun dari kursi dan berdiri menghadapnya.
"Tuan Kim?" ujar pria asing itu akhirnya, suaranya serak dan berat, cukup mengejutkan, terutama untuk seseorang yang tingginya hanya sekitar 170 sentimeter. "Saya minta maaf. Ini yang pertama kalinya, sungguh."
Kim JongWoon tetap berdiri di ambang pintu, menatap kosong kepada pria asing itu, pikirannya jadi lambat karena sakit kepala ini. "Pertama kali untuk apa? Dan kau siapa?"
"Saya yang membersihkan rumah Anda."
JongWoon mengerjap, "Yang membersihkan rumahku?"
Si pria asing mengangguk dengan wajah merah. "Terima kasih atas cek yang Anda tinggalkan untuk saya hari ini—kecuali Anda ingin mengambilnya kembali."
"Kenapa aku mau mengambilnya kembali?" jawab JongWoon terganggu, berusaha menerima fakta bahwa inilah RW. Kim yang menjaga apartemennya tetap bersih. Bukan wanita tua yang mengenakan celemek, namun seorang pria muda yang mengenakan celana jins dan sweter mungil—sesuai tubuhnya, rambut coklat tuanya sedikit berantakan.
"Tuan Kim," ujar si pria asing setelah beberapa saat, memperhatikan JongWoon dengan tajam. "Anda kelihatan kurang sehat."
"Aku memang sedang tidak enak badan," jawab JongWoon cepat. "Tetap pada fokus kita. Jelaskan mengenai laptop itu."
"Tadi saya menggunakan batere, bukan listrik Anda," sangkal si pria muda dengan defensif.
"Ya, tentu saja itu satu-satunya hal yang jadi perhatianku," jawab JongWoon sinis. "Katakan apa yang kau lakukan di sini."
Rahang si pria muda mengatup. "Lebih baik tidak."
"Katakan," kata JongWoon berkeras.
"Sama sekali bukan kejahatan, Tuan Kim," jawab Kim muda itu yakin. "Saya mengikuti kursus jarak jauh."
"Baiklah, biasanya kau melakukan kegiatan itu di mana?"
"Di kamar saya. Namun sekarang agak sulit melakukannya. Sekarang ini agak sulit mendapatkan ketenangan di tempat tinggal saya. Karena itulah saya mengerjakan beberapa tugas di sini. Tapi hanya setelah saya selesai melakukan tugas membersihkan rumah Anda," jawabnya meyakinkan JongWoon.
"Sayangnya aku pulang lebih awal dan mengganggu kesenanganmu," JongWoon memulai, namun sisa kalimatnya hilang ditelan batuk. Tanpa diduga, dengan lembut ia dibimbing menuju meja sarapan."Duduklah sebentar, Tuan Kim," ujarnya simpatik. "Apakah Anda punya obat?"
JongWoon menggeleng, berusaha menarik napas saat bersandar di kursi tinggi. "Tidak, aku hanya butuh kopi. Buatkan segelas kopi, dan aku akan melipatgandakan bayaranmu.
Pria itu menatap tajam lalu berbalik, punggungnya kaku karena kecewa saat menghadap mesin pembuat kopi yang dapat menggiling biji kopi dalam waktu singkat. JongWoon duduk diam, bertopang dagu, perhatiannya teralihkan dari sakit kepala saat melihat RW. Kim menarik sweternya untuk menutupi bagian bahu yang sedikit terlihat saat dia mematikan laptop dan menutupnya sebelum menuangkan kopi.
"Waktu aku masuk, kupikir aku berhalusinasi," akhirnya JongWoon berkomentar, tepat saat aroma pengharum ruangan Blue Mountain memenuhi ruangan. "Sepertinya laptop bukan perangkat yang tepat untuk mendobrak rumah orang lain." Ia meneguk cairan hangat dan pekat yang ditaruh pria itu di hadapannya. "Terima kasih. Kurasa kau baru saja menyelamatkan nyawaku."
RW. Kim menggeleng, keningnya berkerut. "Tidak juga, Tuan Kim. Seharusnya Anda berbaring di tempat tidur."
"Aku akan melakukannya sebentar lagi," jawab JongWoon sambil mengangkat alis. "Kau tidak minum kopi?"
Senyum pria itu memunculkan lesung pipi di dekat ujung bibirnya. Itu ciri menarik, menurut JongWoon—bibirnya tidak diwarnai, penuh, dan sangat menggoda. Lekuk-lekuk tubuh yang dipertegas sweter itu juga menarik… dan demam ini jelas memengaruhi otakku, pikir JongWoon dengan sekelebat rasa jijik, berharap pria di depannya itu tidak bisa membaca pikirannya.
"Sepertinya lebih baik saya menunggu ditawari," jawab RW. Kim malu.
JongWoon mengangguk, lalu mengernyit ketika gerakan itu membuat sakit kepalanya semakin parah. "Mari temani aku minum kopi, Kim-shi." Ujar JongWoon formal. "Apa kepanjangan RW di namamu?"
"RyeoWook." Ia memandangi JongWoon sambil mengernyit. "Tuan Kim, Anda keberatan jika saya memegang dahi Anda?"
"Sama sekali tidak." JongWoon membiarkan tangan dingin pria itu menyentuh dahinya sejenak, lalu duduk menyandar. "Diagnosanya?"
"Suhu tinggi. Anda terserang flu, semoga."
"Semoga?"
"Maksud saya semoga hanya flu dan bukan penyakit lain yang lebih parah." Ia ragu, lalu membungkuk untuk mencari sesuatu di ranselnya dan menemukan Parasetamol. "Maukah Anda meminum ini? Dua tablet sekarang dan dua lagi nanti malam, serta minum yang banyak."
JongWoong menatap kaget pada pria itu. "Kau baik sekali, Ryeowook-ah, atau kau lebih suka dipanggil Ryeowook-shi?"
"Anda yang menggaji saya, Tuan Kim. Anda bisa memilih memanggil saya apa." Ia melirik jam tangan, lalu memasukkan laptop ke ransel. "Saya tidak bisa menemani Anda minum kopi, tapi terima kasih. Sudah waktunya saya pergi, saya harus mengajak si kembar menonton film."
Jongwoon menaikkan alis. "Si kembar?"
"Maksud saya, anak-anak. Ayah mereka adalah pemilik tempat tinggal saya, dan saya membantunya menjaga anak-anak itu selama beberapa jam," jelas Ryeowook. "Saya sudah berbelanja untuk Anda dalam perjalanan kemari, jadi ada banyak jeruk dan buah-buahan. Sampai jumpa, Tuan Kim. Saya akan masuk kembali pada hari Senin seperti biasa." Pria muda itu memandang Jongwoon dengan khawatir. "Apakah ada seseorang yang bisa menjaga Anda?"
"Aku bahkan takkan meminta musuh terbesarku mengambil resiko tertular virus menyebalkan ini. Dan mungkin sekali itulah yang kaulakukan saat ini," tambah Jongwoon tiba-tiba.
Gelengan kepala Ryeowook membuat rambutnya sedikit bergerak. "Aku sudah terserang flu musim dingin lalu."
"Apa yang kaulakukan agar sembuh?"
"Aku pulang ke rumah oarangtuaku untuk dirawat."
"Ibuku punya penyakit asma, jadi itu jelas tak bisa dilakukan." Jongwoon mengangkat bahu. "Lagi pula, lebih baik aku menikmati penderitaan ini sendirian."
Ryeowook mengenakan jaket dan memakai ranselnya. "Tentu saja tidak perlu memanggil dokter jika ini hanya flu. Kecuali jika Anda menderita penyakit lain, misalnya bronchitis. Tapi minumlah obatnya, maksimal delapan tablet sehari, dan minum yang banyak. Untung sekarang Jumat, Tuan Kim. Anda punya waktu sepanjang akhir pekan ini untuk sembuh."
"Ya, kalau aku bisa bertahan hidup selama itu," jawab Jongwoon murung, lalu mengantar Ryeowook ke luar apartemen.
"Tuan Kim," kata Ryeowook malu-malu saat membuka pintu.
"Ya?"
"Saya menyesal."
Mata Jongwoon yang merah menyipit. "Karena keadaanku buruk sekali atau karena kau tertangkap basah?"
Dagu Ryeowook terangkat. "Keduanya. Terimalah kopi buatan saya sebagai cara menebusnya," jawabnya, lalu memasuki lift.
.
.
Benaknya dipenuhi Kim Jongwoon, hingga sekali ini, saat melewati Jembatan, Ryeowook tidak tertarik pada pemandangan Sungai Han. Sampai saat ini, pria itu hanyalah salah satu dari empat orang yang mempekerjakannya. Setiap minggu pria itu meninggalkan cek gaji untuknya, dan dia memiliki apartemen yang sangat bagus hingga Ryeowook rela memberikan apapun demi bisa tinggal di sana. Tapi setelah sekarang benar-benar mengenal pria itu, situasinya berubah. Ryeowook memang benar-benar terkejut karena tertangkap basah saat bekerja dengan laptop, namun pertemuan pertamanya dengan Kim Jongwoon tadi terpatri dalam benaknya, sebagian mungkin karena Jongwoon tampak begitu lemah sehingga Ryeowook khawatir pria itu akan pingsan.
Tanpa memperhatikan kebisingan jalan dan orang-orang yang melewatinya, Ryeowook bergegas kembali ke apartemen tempatnya tinggal, benaknya disibukkan oleh detail-detail fisik pria yang mempekerjakannya, yang baru kali ini ia temui.
Di apartemen Kim Jongwoon tak ada satu pun fotonya, tapi karena pria itu bekerja di dunia perbankan, Ryeowook membayangkan pria itu memiliki otak cerdasdan tubuh berotot. Sesungguhnya, tinggi Jongwoon kurang lebih 180 sentimeter, rambutnya yang berantakan karena tertiup angin berwarna hitam sangat berbeda dengan rambut Ryeowook, mungkin begitu pula kedua matanya seandainya tidak semerah tadi. Kecerdasan pria itu langsung terlihat, disertai dengan ketampanan gelap dan tajam yang bahkan tak bisa ditutupi oleh sakit yang dideritanya. Dan setelan baju kerjanya tak dapat menyembunyikan tubuh berotot pria itu, ciri yang sudah diperkirakan Ryeowook, karena salah satu tugasnya adalah membersihkan debu di sepeda statis dan treadmill di galeri apartemen pria itu. Ryeowook menghela napas dengan sedikit iri. Jika Ryeowook tinggal di sana, ia dapat bekerja sepuasnya dengan laptop di galeri beratap kaca, yang tirainya bukan hanya dikontrol secara elektronik berdasarkan temperatur, namun tersambung ke teras atap yang menghadap Sungai Han. Sempurna. Dan jelas bertolak belakang dengan kamar Ryeowook di lantai tiga rumah milik teman kakaknya.
Tapi kamarku cukup bagus, dan aku beruntung memilikinya, Ryeowook berkata pada diri sendiri ketika sampai di jalanan batu yang sudah sangat dikenalnya. Awalnya rumah-rumah di sana dibangun untuk para pengungsi ketika dulu sering adanya ancaman perang dari negara tetangga, namun sebagian besar sudah direnovasi, termasuk rumah yang sekarang ditempati Ryeowook. Choi Seunghyun, pemilik rumah itu, merupakan arsitek di sebuah perusahaan di Seoul dan sebenarnya tinggal di Mokpo. Awalnya Seunghyun membeli rumah di Seoul agar memiliki tempat tinggal di kota. Namun sekarang dia menetap di sana, hanya ditemani dua penyewa, karena anak-anak Seunghyun tinggal dengan istrinya—yang sudah lama tidak berhubungan dengannya—di desa.
Saat Ryeowook sampai di anak tangga pintu depan, pintu itu langsung terayun membuka dan menampakkan dua anak berusia enam tahun yang penuh semangat, sudah menunggunya di lorong, siap pergi.
"Mereka sudah siap sejak tadi," jelas ayah mereka, tersenyum meminta maaf, "Aku sudah mengingatkan bahwa mungkin kau perlu minum teh dulu sebelum pergi, tapi sepertinya mereka sama sekali tidak mendengarkan.
"Aku hanya akan menaruh barang-barang dan kami siap berangkat," Ryeowook meyakinkan mereka, dan langsung dihadiahi dua wajah yang bersinar ceria. Wajah kedua anak itu begitu berbeda hinggal sulit dipercaya Zhoumi dan Henry adalah kakak-beradik, apalagi kembar.
"Makan malam akan menanti begitu kalian kembali," kata Seunghyun ketika melihat Ryeowook dan anak-anak masuk ke taksi. "Kalian berdua tidak boleh nakal, dan mungkin kita bisa merayu Ryeowook untuk makan malam bersama kita."
.
.
Saat Ryeowook membawa kembali si kembar yang gembira ke apartemen, Choi Seunghyun sudah menyiapkan makan malam, sesuai janjinya, dan Ryeowook tidak hanya menikmati makan malam keluarga, tapi juga menyerah kepada bujukan si kembar untuk menemani mereka sampai waktu tidur.
"Gomawo, Wookie," ujar Seunghyun ketika Ryeowook menaiki tangga. "Kau menyelamatkanku."
Ryeowook terkekeh, "Ini kedua kalinya aku mendengar kalimat itu hari ini."
Seunghyun menuntut cerita detailnya, dan tercengang ketika mendengar Ryeowook tertangkap basah sedang bekerja dengan laptop. "Aku menyesal kau harus mencari tempat tenang di luar rumah untuk bekerja. Seharusnya sejak awal aku tidak membolehkan si kembar medekati kamarmu. Sebagai tawaran perdamaian, maukah kau minum bersamaku malam ini?"
.
.
Dalam keheningan kamarnya, Ryeowook menghempaskan diri di kursi, tiba-tiba merasa kelelahan. Pergi bersama si kembar benar-benar menyenangkan, namun setelah menghabiskan sepanjang pagi untuk membersihkan dua apartemen, bekerja keras di depan laptop selama beberapa jam, dan menghadapi Kim Jongwoon, energi Ryeowook benar-benar terkuras. Pria itu jelas berhak memecatnya, dan itu akan menimbulkan kesulitan keuangan untuknya. Untungnya Jongwoon sedang tidak enak badan, jika tidak, kemungkinan besar pria itu takkan menerima perilaku Ryeowook. Ia merasa seperti Goldilocks yang tertangkap basah oleh beruang. Ryeowook tertawa kecil. Rambutnya jelas bukan pirang, dongengnya juga jelas salah. Walaupun tidak ada perapian di apartemen Kim Jongwoon, tetap saja peran Ryeowok sama seperti Cinderella. Tapi Ryeowook tidak merugikan Jongwoon, ia hanya berada di dapur pria itu pada Jumat sore, padahal seharusnya ia tidak berada di sana.
Mulai sekarang, aktivitasku di apartemen Kim Jongwoon hanya akan terbatas pada tugas membersihkan rumah, pikir Ryeowook. Ia mengernyit, membayangkan kondisi pria itu. Jongwoon tampak begitu lemah sehingga Ryeowook ragu pria itu bisa merawat diri sendiri. Itu tak masuk akal. Kalau saja ia tidak tinggal satu-dua jam lebih lama daripada seharusnya, Ryeowook takkan bertemu pria itu, dan jelas takkan tahu pria itu terserang flu.
Ryeowook mandi untuk menyegarkan diri, mengeringkan rambut, dan memberikan perawatan ekstra kepeda tangannya dan wajahnya, merasa berterima kasih pada Seunghyun karena mengundangnya minum bersama. Meskipun Ryeowook benci mengakuinya, Jumat malam masih terasa sulit dilalui sendirian. Dan ketika sampai di ruang duduk Seunghyun yang kecil, Ryeowook makin muram saat teman serumahnya, Lee Donghae, membimbingnya menuju sofa untuk bergabung bersama kekasih Donghae, Lee Eunhyuk.
"Hai, Ryeowook." Eunhyuk menepuk-nepuk sofa di sebelahnya agar Ryeowook duduk di sana. "Kau capek? Tadi Seunghyun hyung bercerita kau menemani si kembar berjalan-jalan."
"Dan sangat menikmatinya. Sepanjang sore. Bagaimana kabarmu, Hae?" tanya Ryeowook. "Demamnya sudah sembuh?"
Donghae mengangguk, bangga. "Eunhyuk menciumku sampai sembuh."
Seunghyun menggeleng saat menyerahkan segelas anggur kepada Ryeowook. "Eunhyuk jadi perawat pribadinya, dasar beruntung."
"Tapi perawatan medisku tidak murah," sahut Eunhyuk cepat. "Hae akan mengajakku makan malam yang sangat mahal besok."
Ryeowook tertawa kecil. "Minta agar dia mengajakmu makan malam di Jung Sik Dang, setidaknya."
Hae mengedip padanya. "Tunjukkan lagi lesung pipimu padaku seperti tadi, Ryeowook, dan aku akan membawakan sisa makanan kami di Jung Sik Dang," lalu dia tertawa keras.
"Wah, terima kasih!" jawab Ryeowook memutar bola matanya.
"Walaupun memang banyak virus aneh di tempatku bekerja," komentar Donghae, lalu duduk di antara kekasihnya dan Ryeowook di sofa. "Ayo bergeserlah, kalian berdua."
"Tak bisakah kau duduk di kursi saja?" keluh Eunhyuk dengan nada sayang.
"Lebih menyenangkan begini, Sayang."
Tiba-tiba Ryeowook merasa khawatir saat Donghae menyebut tentang virus. Namun Kim Jongwoon jelas cukup besar dan dewasa untuk merawat diri sendiri. Dia juga bisa memanggil pertolongan medis profesional jika sakitnya semakin parah; pikiran itu membuat Ryeowook lebih rileks menghabiskan waktu bersama teman-teman yang disukainya. Donghae menyewa lantai di bawah lantai yang disewa Ryeowook di rumah Seunghyun. Donghae dan Eunhyuk sudah bersahabat dengan Ryeowook sejak lama. Ketika Ryeowook membutuhkan tempat tinggal di Seoul, ia mengambil tawaran Seunghyun untuk tinggal di rumahnya. Karena harus mebiayai perawatan dua rumah, Seunghyun berkeras uang tambahan berapa pun bisa membantunya. Ryeowook sama sekali tak setuju dengan harga sewa yang ditawarkan Seunghyun, itu terlalu rendah untuk ukuran Seoul. Namun Seunghyun—yang berteman baik dengan kakak Ryeowook, Kangin—berkeras. Akhirnya Ryeowook terpaksa menelan sebagian harga dirinya, sangat berterima kasih atas bantuan dan kemurahan hati Seunghyun.
Setelah mendapatkan tempat tinggal, pekerjaan baru menjadi prioritas dalam agenda Ryeowook. Ketika Ryeowook pindah dan tinggal di kamar di rumah Seunghyun, pria itu sedang mencari pembersih rumah yang baru, karena yang lama ingin berhenti. Karena rumah elegan itu sudah sangat tua sehingga sedikit rapuh, Seunghyun butuh seseorang yang bisa merawat rumahnya dengan perhatian dan rasa hormat yang layak didapatkan rumah itu. Ketika Ryeowook menawarkan diri sebagai pengganti dengan bayaran sama seperti pembersih sebelumnya, Seunghyun menyangka Ryeowook hanya bercanda. Akhirnya, saat sadar bahwa Ryeowook tidak bercanda, Seunghyun menyetujui dengan bersemangat. Dan saat Donghae mendengar berita tersebut, ia membujuk Ryeowook agar mau membersihkan ruangannya juga. Ketika jelas terlihat bahwa Ryeowook benar-benar menikmati kegiatan membersihkan rumah, Seunghyun meminta izin untuk merekomendasikan Ryeowook kepada rekannya—Kim Heechul, yang sudah menikah, yang baru saja menempati apartemen baru di daerah Gangnam. Pekerjaan tambahan ini ternyata memuaskan dan membuat Kim Heechul menyarankan Ryeowook untuk membersihkan apartemen loft temannya di gudang yang diubah menjadi tempat tinggal di seberang jalan. Akhirnya, pekerjaan yang awalnya hanya direncanakan sebagai selingan sebelum mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris lagi, berubah menjadi karier baru.
Orangtua Ryeowook sangat tidak menyetujui tindakannya, teman-temannya bahkan menganggapnya gila. Namun diam-diam Ryeowook merencanakan sesuatu. Pekerjaan barunya membuat benaknya bebas berimajinasi meskipun tangannya sibuk sekali, sekaligus bisa dijadikan dukungan finansial sementara ia mencoba menulis novel. Saat tertangkap basah tadi, Ryeowook terpaksa berbohong kepada Kim Jongwoon karena bahkan orang terdekat dan tersayangnya tidak tahu apa yang sebenarnya dikerjakan Ryeowook pada waktu luang.
Alur cerita untuk novelnya sudah tergambar, beberapa karakter utamanya juga sudah tercipta otomatis: sama sekali tidak sulit menciptakan karakter jahat dan licik. Namun Ryeowook sulit memunculkan tokoh utama pria yang karismatik. Seunghyun sangat tampan sedangkan wajah Donghae sangat lucu dan menarik, khas anak kecil. Meskipun ia bisa melakukan observasi terang-terangan kepada kedua pria itu untuk dijadikan karakter peran utamanya, dengan sangat keras kepala karakter tersebut tetap menolak muncul. Lalu Kim Jongwoon menangkap basah Ryeowook saat bekerja di laptop hari ini, dan tiba-tiba saja, tokoh utama itu menjadi nyata tepat di hadapan Ryeowook yang kaget dan merasa bersalah.
Setelah beberapa jam, meskipun sangat menikmati kenersamaan sahabat-sahabatnya, Ryeowook menolak bujukan mereka untuk tinggal lebih lama dan naik ke kamarnya. Ryeowook duduk di depan meja, menghidupkan laptop, siap mengerjakan novelnya. Saat akhirnya bersiap-siap tidur, ia merasa lelah namun puas pada diri sendiri. Menambahkan ciri-ciri fisik Kim Jongwoon pada tokoh utama pria karismatik yang sesuai untuk alur ceritanya.
.
.
Keesokan harinya, saat Ryeowook berpakaian, si kembar mengetuk pintu kamarnya. "Hai," sapa Ryeowook penuh sayang.
"Dad bilang kami tidak boleh mengganggumu jika kau sedang sibuk," kata Zhoumi dalam satu tarikan napas, lalu tersenyum membujuk. "Tapi, kumohon turunlah untuk minum kopi. Kami harus pergi setelah makan siang."
"Kami akan merindukanmu," kata Henry sambil memeluk Ryeowook.
"Tapi kalian akan bertemu Mommy hari ini, manis. Jadi kalian tidak butuh aku lagi. Berani taruhan, ibu kalian pasti sangat merindukan kalian," kata Ryeowook ceria. "Sampaikan salamku padanya."
Mata hitam Henry basah karena air mata. "Hyung, maukah kau bilang pada Mommy agar berteman lagi dengan Dad?"
"Kau tidak bisa meminta Ryeowook hyung melakukan itu!" kata Zhoumi, kembarannya, dengan kesal.
Ryeowook turun bersama kedua anak itu, berharap bisa melakukan sesuatu untuk membantu mereka. Namun masalah pribadi pasangan Seunghyun-Jiyoung sama sekali bukan urusannya. Ryeowook memangsudah cukup lama mengenal keduanya, namun sampai sekarang Ryeowook tak pernah tahu kesalahan apa yang telah dilakukan oleh Seunghyun hingga Jiyoung tak mau memaafkan pria itu. Menyelesaikan masalah pribadinya saja sudah cukup merepotkan untuk Ryeowook.
Ryeowook menikmati setengah jam yang ceria bersama si kembar, tapi ketika mereka duduk bersama untuk menonton acara televisi Sabtu pagi, Seunghyun memanggilnya ke dapur dan menutup pintu.
"Kenapa tadi Henry menangis?"
Ryeowook menatap Seunghyun lurus-lurus. "Henry memintaku bicara pada Jiyoung agar dia mau berteman denganmu lagi, lalu Zhoumi mengatakan pada Henry bahwa itu takkan terjadi."
Ekspresi wajah Seunghyun yang tampan tiba-tiba berubah menjdi kosong. "Apakah kau akan melakukan permintaan Henry?"
"Kau mau aku melakukannya?"
Seunghyun diam sesaat lalu tersenyum, mirip senyuman Zhoumi. "Jika kupikir itu bisa memperbaiki keadaan, aku akan memintamu melakukannya. Tapi itu takkan mengubah apa-apa." Seunghyun sedikit gemetar. "Lupakan itu, Sayang. Kau tak perlu terlibat masalah ini."
Ryeowook menatap Seunghyun dengan curiga. "Kau baik-baik saja, hyung? Kau tidak terserang sesuatu juga, kan?"
"Juga?"
"Sakit, seperti Donghae waktu itu," kata Ryeowook cepat.
Seunghyun menggeleng. "Aku baik-baik saja, selain fakta bahwa aku akan mengantar anak-anakku kembali kepada cinta sejatiku yang bahkan tidak membolehkan aku melewati pintu rumahnya." Ia memaksa diri tersenyum. "Kau sendiri punya cukup banyak masalah akhir-akhir ini tanpa perlu memikirkan masalahku, Ryeowook. Nikmati akhir pekan ini."
.
.
Namun, sebelum bersiap-siap pergi Ryeowook menyerah pada bujukan hati nuraninya untuk menelepon Kim Jongwoon. Pria itu menjawab teleponnya dengan geraman serak, menunjukkan dengan jelas bahwa kondisinya kini lebih parah daripada kemarin.
"Selamat pagi," kata Ryeowook cepat. "Aku Kim Ryeowook."
"Siapa?"
Ryeowook menjawab dengan agak kesal, "Orang yang membersihkan apartemenmu, Tuan Kim. Aku bertanya-tanya bagaimana kabarmu hari ini."
"Oh, ya." Jeda sejenak. "Sebenarnya, aku merasa sangat tidak enak badan."
"Apakah kau sudah makan?"
Serangkaian suara batuk tiba-tiba menyerang telinga Ryeowook sebelum Jongwoon bicara lagi. "Tidak," sahut Jongwoon serak. "Tidak lapar."
"Apakah kau masih demam?"
"Mungkin." Jongwoon menelan ludah dengan suara keras. Oh, sialan—"
Ryeowook masih kesal beberapa saat setelah pria itu menutup telepon, lalu mengingatkan diri sendiri bahwa ia bodoh sekali jika merasa tersinggung karena kejadian itu. Lebih bodoh lagi jika dirinya mengkhawatirkan orang asing. Khususnya seseorang yang tak ingat siapa dirinya.
Karena memikirkan Sungmin, yang selalu tampil sempurna, Ryeowook menghabiskan beberapa waktu untuk memperbaiki penampilan, lalu menuju lantai bawah untuk memeluk si kembar sebelum pergi ke Caffe untuk menemui temannya.
"Menurut pendapatku, Sayang, kau kelihatan sangat manis hari ini," Lee Sungmin berkomentar ketika Ryeowook bergabung dengannya di Caffe "Mouse Rabbit".
"Aku suka bagian 'hari ini' dalam pujianmu," kata Ryeowook sambil tertawa kecil, meletakkan jaket berwarna coklat tua yang dibelinya ketika masih memiliki gaji tinggi. "Padahal aku berusaha sebaik mungkin setiap hari."
"Jaket itu cocok sekali—senada dengan warna matamu.," komentar Sungmin, sambil memperhatikan kaos berkerah warna hitam yang dikenakan Ryeowook dengan pandangan setuju. "Jangan bilang kau memakai baju sebagus itu untuk menggosok lantai!"
"Aku tidak menggosok lantai. Klien-klienku menyediakan alat untuk menghemat energi, misalnya alat pel."
Sungmin mendengus. "Tiran yang membantu kami membersihkan rumah justru menuntut barang-barang super aneh. Kuas ukuran 7,5 sentimeter untuk membersihkan pinggiran. Keterlaluan, bukan?"
Ketika dulu mereka berbagi apartemen, minum kopi bersama pada Sabtu pagi merupakan kegiata bersama yang menyenangkan, dan kegiatan itu tetap menjadi ritual setiap kali mereka punya kesempatan, walaupun kini Sungmin sudah menikah dan Ryeowook pernah memiliki hubungan yang tidak terlalu mengikat.
"Baiklah, apa berita barunya?" tanya Sungmin setelah pesanan mereka datang.
"Akhirnya aku bertemu juga dengan pemilik rumah tempatku bekerja," jawab Ryeowook, sedikit mengeraskan suara.
"Pria misterius yang tinggal di lantai teratas itu?" ujar Sungmin sambil mencondongkan kepalanya yang berambut blonde lebih dekat ke arah Ryeowook. "Orangnya seperti apa? Tinggi, berkulit putih, dan tampan?"
"Ya," jawab Ryeowook, tertawa kecil saat melihat Sungmin menganga.
"Sungguh? Kalau begitu dia bukan pria sinis. Sejujurnya, tadinya kupikir aneh sekali dia bersedia mempekerjakanmu tanpa wawancara."
"Kau tahu betul pria itu mempekerjakanku hanya berdasarkan rasa percaya karena Kim Heechul memberiku referensi yang sangat bagus."
"Sebaiknya memang begitu," kata Sungmin sambil mengernyit. "Tapi tentunya kau takkan terus melakukan pekerjaan itu, kan?"
"Jelas tidak. Tapi, untuk sementara ini aku menikmatinya. Aku bekerja sesuai dengan kecepatanku sendiri, di lingkungan kerja yang menyenangkan. Khususnya di apartemen Kim Jongwoon." Ryeowook menatap Sungmin lurus-lurus. "Sekarang ini, pekerjaan itu bisa sekaligus jadi terapi untukku."
Sungmin menarik napas dengan keras. "Dan setidaknya kau dibayar untuk melakukan itu, tidak seperti—" ia mengangkat tangan. "Baiklah, aku takkan bilang apa-apa lagi. Kalau begitu ceritakan soal bankir sekdi ini, setelah akhirnya kau bertemu dengannya."
Ryeowook menceritakan pertemuannya dengan Jongwoon dengan sangat mendeteil hingga Sungmin tertawa terbahak-bahak. "Sebenarnya, menurutku reaksinya sangat baik, Min. Jujur, aku tak bisa melupakan pria itu."
"Karena dia tampan?"
"Bukan—karena pria malang itu benar-benar sakit dan tak seorang pun menjaganya."
Sungmin memesan kopi lagi, lalu berbalik menghadap Ryeowook dengan sorot mata menantang. "Kau bilang penampilan pria ini sama sekali tidak buruk, dia mungkin menghasilkan banyak sekali uang, dan tinggal di apartemen yang menghadap ke Sungai Han. Ayolah, Wookie! Pasti banyak sekali wanita dan pria yang mengantre untuk mengelao dahinya yang berkeringat karena demam."
"Kemungkinan besar. Tetapi sepertinya dia lebih suka berkubang sendirian dalam penderitaanya." Ryeowook mengaduk kopinya sambil mengernyit. "Dan dia memang akan sendirian selama akhir pekan ini. Aku baru akan kembali ke sana Senin pagi."
"Bagus. Pastikan itu." Sungmin meraih tangan Ryeowook. "Kau baru mulai menata hidupmu lagi, jadi berhentilah mengkhawatirkan pria yang tidak kau kenal baik."
Untuk mengganti topik perbincangan, Ryeowook menyarankan mereka berjalan-jalan dan melihat-lihat daripada menghabiskan sepanjang sore di bioskop, dan seperti biasa waktu cepat berlalu saat bersama Sungmin, tak ada kesempatan untuk berpikir. Tetapi, setelahnya, dalam perjalanan di kereta bawah tanah dan perjalanan kembali ke rumah Seunghyun, tak peduli sekuat apa Ryeowook berusaha mengusir Jongwoon dari benaknya, ia tak bisa berhenti mengkhawatirkan pria itu.
Perasaan itu tetap mengganggunya sampai malam hari. Beberapa saat Ryeowook bekerja di laptop, namun upayanya untuk berhenti memikirkan pria itu gagal total karena ia mendasarkan tokoh utamanya pada Kim Jongwoon. Pada satu titik, Ryeowook bahkan mengangkat gagang telepon untuk menelepon Jongwoon. Tetapi ia meletakkannya kembali tanpa menekan nomor telepon pria itu dan kembali bekerja. Dan akhirnya Ryeowook berhasil berkonsentrasi penuh hingga baru menutup laptop dan tertidur jauh setelah tengah malam.
.
.
Keesokan paginya Ryeowook bangun dengan segar, berharap semalam sakit Kim Jongwoon tidak bertambah parah menjadi pneumonia hanya karena ia memutuskan tidak mengecek keadaan pria itu. Ketika akhirnya mengangkar telepon, Ryeowook mengira kekhawatirannya terbukti, karena pria itu terdengar lebih parah daripada sebelumnya. Sebelum Ryeowook bisa menanyakan kabarnya, pria itu seperti tersedak dan menutup telepon.
Beberapa jam kemudian, merasa dirinya seperti si Topi Merah yang akan mengunjungi serigala, Ryeowook menyusuri jalanan batu menuju gedung apartemen Kim Jongwoon sambil membawa sekantong bahan makanan. Sambil memarahi hati nuraninya yang telah mendorongnya ke depan pintu apartemen Kim Jongwoon, Ryeowook memencet bel lalu membuka pintu.
"Aku Kim Ryeowook, Tuan Kim," seru Ryeowook. "Orang yang membersihkan rumahmu. Boleh aku masuk?"
Ryeowook disambut keheningan cukup lama hingga ia yakin Kim Jongwoon mungkin terbaring pingsan di suatu tempat. Namun akhirnya pria itu muncul di ambang pintu kamarnya. Saat mereka pertama kali bertemu pria itu sudah tampak sakit, tapi sekarang wajahnya benar-benar pucat dan mengerikan. Wajah pucatnya makin diperjelas dengan garis gelap di sepanjang tulang pipi. Matanya yang memerah masih diperparah dengan munculnya tanda-tanda mirip lebam di wajah, rahangnya dihiasi janggut-janggut halus, dan rambutnya lepek karena keringat.
"Sedang apa kau di sini?" geram Jongwoon lewat gigi yang gemetar sambil menarik jubahnya semakin rapat menutupi tubuh.
Wajah Ryeowook memerah. "Kau terdengar sangat sakit, dan aku khawatir. Kupikir kau butuh—"
"Semi Tuhan, pergilah! Aku tak butuh apa-apa—" Jongwoon tersedak keras dan beelari ke dalam, menendang pintu kamar tidurnya sampai tertutup.
Ryeowook memelototi pintu itu, sangat marah. Ternyata perbuatan baiknya tidak diterima. Dengan geram, Ryeowook membanting surat kabar ke atas laci, meletakkan karton susu, dan sudah setengan jalan menuju pintu dengan belanjaan yang sepertinya tidak dibutuhkan Jongwoon ketika suara serak dengan nada bersalah menghentikan langkahnya.
"Kim—Ryeowook-ah. Tadi aku kasar sekali. Aku minta maaf."
Ryeowook berbalik dan menatap Jongwoon. "Diterima," jawabnya dingin. "Selamat tinggal."
"Jangan pergi dulu. Kumohon." Jongwoon bersandar di pintu kamar tidurnya, tubuhnya gemetar. "Walaupun seharusnya kau memang segera meninggalkan apartemenku, agar tidak tertular penyakit menyebalkan ini. Maaf tadi aku membentakmu." Mulutnya cemberut, kesal pada diri sendiri. "Tadi aku langsung pergi karena harus muntah lagi."
Ryeowook sedikit luluh dan menutup pintu di belakangnya. "Kalau begitu, kau harus kembali ke tempat tidur."
"Itu bukan hal yang menarik untuk dilakukan sekarang ini."
"Apakah kau banyak berkeringat sepanjang malam?"
Bibir Jongwoon bergerak karena merasa tidak enak. "Bisakah kita membicarakan hal lain saja?"
Ryeowook ragu, lalu memberanikan diri. "Begini, Tuan Kim, bagaimana jika kau mandi air hangat sekarang sementara aku mengganti seprai?"
Jongwoon tampak terkejut. "Tidak mungkin aku memintamu melakukan itu."
"Kenapa tidak? Besok aku tetap akan melakukannya, kan? Itu salah satu tugasku." Ryeowook tersenyum meyakinkan. "Kau pasti akan merasa lebih baik setelahnya—tapi jangan sampai rambutmu basah."
Sesaat Jongwoon menatap Ryeowook ragu, mengangkat bahu, masuk ke kamar, mengambil T-shirt serta celana pendek dari lemari pakaian, lalu masuk ke kamar mandi. Ryeowook melepaskan seprai kusut dari tempat tidur, menggantinya dengan yang bersih, mengambil bantal tambahan dari kamar tidur tamu, dan merapikan semuanya dengan cepat. Ketika Jongwoon muncul kembali, wajahnya masih tampak sakit dan lelah, tapi setidaknya lebih bersih karena sudah bercukur dan menyisir rambut.
Ketika Ryeowook membuka selimut dari tempat tidur, Jongwoon melepas jubahnya dan masuk ke balik selimut sambil menyandarkan punggung pada tumpukan bantal dengan lega.
"Terima kasih banyak," ujar Jongwoon formal.
Ryeowook tersenyum, menerima rasa terima kasih Jongwoon. "Aku akan menaruh kain-kain kotor ini ke mesin cuci, lalu aku akan kembali untuk menyiapkan makanan."
"Kumohon—jangan makanan!" jawab Jongwoon dengan bahu terguncang dan mata terpejam.
"Hanya roti bakar," bujuk Ryeowook dengan nada yang biasa ia gunakan saat bicara dengan si kembar. "Berapa tablet obat yang sudah kau minum hari ini?"
Jongwoon membuka matanya yang tampak sayu. "Tidak satu pun. Dengan kondisiku sekarang ini, tampaknya tablet-tablet itu takkan berpengaruh."
"Kalau kau makan sesuatu, kau pasti tidak akan memuntahkannya."
"Sepertinya tidak," sahut Jongwoon putus asa.
.
.
Di dapur, Ryeowook membuat teh, memanggang roti yang tadi dibelinya, mengoleskan sedikit mentega, lalu memotongnya menjadi segitiga.
Ia meletakkan piring dan gelas besar di nampan, lalu membawanya ke kamar tidur utama.
"Kalau kau bisa memakan roti panggang ini, aku akan membuatkan telur orak-arik," tawar Ryeowook.
"Aku belum siap untuk itu," kata Jongwoon dengan bahu gemetar. Jongwoon menggigit roti dan mengunyahnya pelan, mengambil potongan kedua lalu mengunyahnya dengan lebih cepat.
"Pelan-pelan," Ryeowook mengingatkan. "Jangan terlalu cepat."
"Ini makanan pertamaku setelah berhari-hari!" Namun Jongwoon memakan sisanya dengan lebih berhati-hati. "Roti panggang tidak pernah terasa seenak ini," katanya pada Ryeowook, lalu memeriksa isi gelas yang masih mengepul dengan ingin tahu. "Ini apa?"
"Teh encer—lebih baik untuk perutmu dibandingkan kopi," kata Ryeowook tegas, lalu mengambil dua tablet Parasetamol dari kotak di sebelah tempat tidur. "Minum ini dengan teh, dan akan kubuatkan kopi untukmu nanti."
Jongwoon menelan tabletnya dengan patuh, lalu menyesap teh, mengernyit, dan menatap Ryeowook dari balik gelas. "Kau tahu, Kim Ryeowook, perbuatanmu ini benar-benar baik, tapi kenapa kau kesini? Tentunya ada kegiatan lain yang lebih penting untukmu pada hari Minggu seperti ini, bukan?"
Ryeowook mengangkat bahu. "Baru-baru ini aku juga terserang flu, aku tahu berapa tidak enak rasanya sakit flu. Tapi waktu itu ibuku merawatku. Aku tidak bisa berhenti mengkhawatirkanmu karena kau sendirian di sini."
Jongwoon menggeleng-geleng dengan terkejut. "Mengagunkan sekali kau mengkhawatirkan orang asing. Tapi karena kau sudah di sini, memang ada sesuatu yang bisa kaulakukan untukku."
"Tentu saja. Apa yang bisa kubantu?"
"Memuaskan rasa ingin tahuku. (Author: Jangan ngarep yang jorok! xD) Kenapa pria sepertimu mau membersihkan rumah?"
"Pria sepertiku?" sahut Ryeowook sambil mengangkat alis.
"Aku sangat yakin dulu kau tidak bekerja jadi pembersih rumah, jadi kenapa melakukannya sekarang?"
"Aku menikmatinya," jawab Ryeowook singkat.
"Oke." Jongwoon meletakkan gelasnya yang sudah kosong dan masuk lebih dalam ke balik selimut. "Tapi apa pekerjaanmu sebelum ini?"
"Pekerjaan kantoran." Ryeowook berdiri. "Baiklah. Biar kubereskan piring da gelasmu. Cobalah tidur. Aku akan tinggal beberapa saat, tapi setelah itu aku harus pergi."
"Tidak ada laptop hari ini?"
"Tentu saja tidak. Itu hanya terjadi Jumat kemarin, Tuan Kim." Ryeowook mengangkat nampan. "Cobalah tidur."
"Gomawo, akan kucoba," gumam Jongwoon, mengantuk. "Apa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu?"
"Segeralah sembuh, jebal."
.
.
Di dapur, Ryeowook menuangkan karton sup yang dibelinya ke mangkuk dan memasukkannya ke microwave. Ia meletakkan roti di tempat yang mudah di jangkau, meletakkan pisau roti dan mentega di sebelahnya. Lalu ia membuat secangkir teh untuk diri sendiri dan duduk di kursi tinggi di samping bar, menguap. Menulis sampai larut malam mulai membuatnya mengantuk. Mulai sekarang, jelas tak ada lagi menulis sampai lewat tengah malam.
Ryeowook menulis beberapa instruksi mengenai makanan yang ia siapkan di memo, dan setelah ragu beberapa saat, menambahkan nomor teleponnya yang belum terdaftar. Sambil membawa catatan kecil itu, perlahan-lahan Ryeowook masuk ke kamar Kim Jongwoon. Pria itu, jelas akibat tidur malamnya terganggu kemarin, sudah tertidur pulas. Tetapi dia tampak jauh lebih baik daripada tadi.
.
.
Lantai bawah rumah di apartemen yang ditinggalinya diterangi lampu-lampu ketika Ryeowook kembali. Ryeowook tak punya cukup keberanian untuk menanyakan bagaimana perjalanan ke Mokpo, jadi ia masuk dan melompati dua anak tangga sekaligus menuju kamarnya, mempercepat langkah ketika mendengar teleponnya berbunyi. Ryeowook membuka kunci pintu kamar dan bergegas melewati ruangan, khawatir Jongwoon yang menelepon karena sakit pria itu semakin parah. Lalu ia berhenti, setiap sarafnya waspada, ketika suara yang berbeda namun sangat ia kenal meninggalkan pesan di mesin penjawab telepon.
"Angkat teleponnya, Ryeowook. Aku tahu kau ada. Kita harus bicara. Angkat teleponnya." Lalu jeda sesaat diikuti tawa pelan. "Jangan bersikap kekanakan. Telepon aku."
~TBC~
NB : Author membuat FF ini dengan rate-M. Mungkin ada sebagian yang akan berkomentar karena di sini bahkan tidak ada sentuhan fisiknhya. Jadi, author hanya ingin memberi 'bocoran', bagian 'panas'nya baru akan muncul di chapter –entah ke berapa nanti. Dan jangan terlalu berharap adegan panasnya akan detail.
At the last I wanna say a big thank for all readers..
And see ya all at the next chapter.. But I can't promise that I'll update soon.. I have so many activities, and I suddently miss YeWook FF, miss ya all too, and I really bored about my daily activity this time.
Oh iya.. Udah terlambat sih.. Tapi, HAPPY BIRTHDAY TO OUR BELOVED DADDY –KIM YESUNG—THE KING OF SELCA.. WE LOVE YOU SO MUCH.. BUT I CAN BE A HATER IF YOU HURT MY MOM—KIM RYEOWOOK.. UNDERSTAND YOU DAD? ㅋㅋㅋㅋ‼!^^ 3:D *evil smirk*
For the last, thank you so much and sorry for all the typos..
Dan ada perubahan di akhir chapter I ini.. Maaf.. -,- Harusnya TBC-nya di sini. Bukan yang kemaren.. -,- *Yang sudah baca pasti tahu bedanya* xD
August 29/31th, 2015 00:00 WIB
