Yuhuuu~
Aku kembali dengan Kenangan yang Terulang...
Our life story part 2~
Lanjut ya :3
Disclaimer : BBB dkk punya animonsta, cerita punyaku
Warning : Family, Hurt/Comfort, Typo(s), kata yang berbelit, OOC, disini sudah 1 tahun setelah kejadian OLS, dll
Happy reading guys ^^
Sudah 1 tahun sejak kejadian itu. Sekarang Halilintar sudah kelas 2 SMA dan Gempa kelas 3 SMP. Yah, mereka masih tinggal di rumah yang ditinggalkan Tok Aba.
Cahaya matahari bersinar menandakan hari sudah pagi. Suara ayam berkokok terdengar cukup kencang dari luar rumah.
Gempa terbangun. Ia meregangkan ototnya dan mengucek matanya. Anak SMP itu terdiam sejenak, lalu berdiri dan berjalan beranjak menuju lantai 1.
Gempa sudah berubah. Ia tidak lagi pemurung seperti waktu itu. Masa dimana Gempa selalu terdiam menangis dikamarnnya ini dan bahkan tidak mau keluar untuk makan. Yah, itu dulu. Dan sejak ia mencoba untuk bunuh diri itu, Gempa sadar, dirinya masih mempunyai seorang Kakak yang keras namun lembut didalam, juga teman-temannya yang siap membantu jika ada masalah. Gempa kembali ceria seperti dulu disaat Taufan masih hidup. Ia kembali menjalani kehidupan normalnya, baik di sekolah maupun di rumah. Ia tahu, tidak ada gunanya hanya menenggelamkan diri dalam masa lalu. Yang ia perlukan adalah berjuang untuk masa depan yang lebih baik lagi.
Anak itu kini sedang berjalan menuju dapur. Sudah jam 6 dan ia belum menyiapkan sarapan untuk dirinya juga kakaknya. Salahkan pada Gempa yang bangun larut sampai jam 12 lebih, karena itulah dia tertidur sehabis sholat Shubuh tadi.
Dan langkahnya terhenti diambang pintu begitu ia melihat Halilintar yang sedang menggoreng di dalam dapur.
Sadar akan kehadiran adiknya, Halilintar menoleh melihat Gempa dari atas sampai bawah. "Kau sangat berantakan. Baru bangun?"
Gempa yang masih setengah sadar hanya tersenyum kikuk. "Ah, tadi malam aku tidur jam 12 lebih karena belajar persiapan ujian nanti. Jadinya, aku ketiduran." Muka kikuk Gempa berganti menjadi muka bersalah. "Maaf," ujarnya sambil menundukkan kepalanya.
Halilintar yang menatapnya hanya mendesah pelan. Ia tahu kalau Gempa tidak mau menambah pekerjaan kakaknya yang sedang sibuk ini. Tapi, tidak ada salahnya kan kalau sekali-kali Halilintar yang memasak sarapan untuk berdua?
"Sudahlah. Lagi pula aku juga tidak mau merepotkanmu yang sedang belajar itu. Gempa duduk saja di meja makan. Nanti aku bawakan sarapannya." Halilintar kembali fokus pada masakannya. Jangan sampai gosong nantinya.
Gempa melangkahkan kakinya mendekati Halilintar. "Bi, biar aku bantu. Lagi pula, ini juga kan tugas a—"
Belum selesai Gempa berbicara, Halilintar sudah mengulurkan tangannya pada Gempa menyuruhnya berhenti. "Sudah, biar aku saja. Gempa tunggu saja di meja makan."
Yah, mau tidak mau, Gempa harus menuruti perintah kakak satu-satunya itu. Ia hanya mendesah pasrah dan berbalik berjalan menuju meja makan.
Meja makannya memang tidak terlalu jauh dari dapur. Hanya butuh beberapa langkah saja untuk mencapainya.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Empat langkah.
Lima lang—ah, tidak ada langkah kelima. Gempa sudah memberhentikan langkahnya, padahal belum sampai di ruang makan. Namun jaraknya itu, membuat Gempa dapat melihat ruang makan dengan jelas. Begitu juga meja makannya.
Anak itu memfokuskan penglihatannya pada suatu benda yang ada di dekat meja makan. Orang. Yap, itu orang. Mungkin bocah berumur 7 tahun-an. Sedang tertidur di atas kursi dengan mukanya yang menempel pada meja.
Gempa tidak jadi berjalan ke ruang makan. Ia malah berbalik menuju dapur tempat kakaknya itu berada.
"Kak," panggilnya begitu ia sampai di ambang pintu dapur.
Halilintar kembali menoleh ke arah Gempa. "Eh? Kenapa balik lagi? Kan aku udah bilang tunggu aja di—"
"Ssssst..." Gempa menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya menyuruh Halilintar untuk diam.
"Ada apa?"
"Sini, ikut aku." Gempa melambaikan tangannya menyuruh kakaknya itu untuk mengikutinya. Sementara Halilintar hanya mengernyitkan dahinya dan berjalan mengikuti adiknya.
Sesampainya, Gempa menunjuk anak yang tertidur di meja makan. Dan Halilintar terdiam tak bergerak melihat bocah yang ditunjuk Gempa.
"Tau—fan?" gumamnya pelan.
"Eh?" Gempa menatap Kakaknya heran. Lalu kembali menatap bocah itu dengan teliti.
"Taufan, kamu ketiduran ya?"
"Ah." Gempa mengerjapkan matanya. 'Apa itu barusan tadi? Sepertinya Aku mengingat sesuatu. Sesuatu yang, sudah sangat lama terjadi. Sesuatu yang...'
0oOOo0
"Taufan, kamu ketiduran ya?" tanya seorang bocah 3 SD pada adiknya yang sedang tertidur pulas di meja makan.
Bocah itu berjalan mendekati adiknya dan menggoyang-goyangkan tubuh adiknya itu untuk membangunkannya.
"Taufan... bangun... udah siang niih.."
Namun sia-sia. Bocah itu tak dapat membangunkan adiknya. Ia menggembungkan pipinya kesal. "Kalau begini, tidak ada cara lain selain itu..." gumamnya pelan.
Anak itu berjalan menjauhi adiknya dan berlari kecil menuju dapur. Tempat kakaknya berada.
"Kak Hali.."
"Hn." Kakaknya –Halilintar menoleh bertemu mata dengan adiknya itu. "Ada apa Gempa?" tanyanya pada Gempa.
"Itu, Taufan ketiduran. Ga bisa dibangunin. Gimana dong?" Tanyanya sembari menunjuk ke arah meja makan tempat adiknya tertidur pulas.
Bocah 5 SD itu berpikir sejenak sebelum ia akhirnya mengambil sebuah es batu dari dalam lemari es.
Gempa yang melihatnya hanya menaikan sebelah alisnya heran. "Itu, untuk apa?"
Halilintar tersenyum tipis pada Gempa. "Yah, ikut aku saja sini." Ia berjalan menuju meja makan dengan sebalok es batu kecil yang dibawanya. Gempa hanya terdiam dan mengikuti Kakaknya itu.
Sesampainya, Halilintar menyuruh Gempa untuk diam dan menyaksikan hal yang akan ia lakukan. Dan tentu saja, Gempa menurutinya. Ia terdiam di ambang pintu melihat yang akan dilakukan kakaknya dengan es batu itu.
Halilintar merunduk lalu merangkak ke bawah meja menuju tempat kaki adiknya itu berada. Dengan sigap, Halilintar menempelkan es batu itu pada kaki adiknya dan—
"DINGIIIN!" seru Taufan tiba-tiba.
Gempa hanya tertawa kegirangan melihat reaksi Taufan sekaligus senang karena adiknya itu sudah bangun. "Kak Hali hebat!" serunya.
Halilintar merangkak kembali ke luar bawah meja. Wajahnya penuh dengan kepuasan. Puas karena berhasil membangunkan adik kelas 1 SD nya itu, dan puas karena berhasil menjahili Taufan.
"Kak Hali mah... ga usah gitu juga kali..." rengek Taufan dengan wajah kesal.
"Siapa suruh tidur di meja makan? Sekarang tahu kan akibatnya." Sangkal Halilintar masih dengan wajah puasnya.
"Tapi setidaknya lah.. caranya yang laiiin..."
"Aku udah ngegoyang-goyangin tubuh Taufan kok. Tapi Taufannya nggak mau bangun. Ya udah aku minta bantuan Kak Hali." Sekarang Gempa yang menjawab.
"Yah, sekalian mau jahil sih sebenarnya..." jawab Halilintar jujur.
"Eh? Jahaaaaat..."
0oOOo0
"Tau—fan?"
Gempa menggeleng-gelengkan kepalanya. 'Kenapa dia, mengingatkanku pada Taufan ya?' Gempa memalingkan mukanya menghadap Halilintar. Dan yang dilihatnya, wajah lesu. Sepertinya, kesedihan sudah menyelimutinya. Mungkin, Halilintar berpikiran hal yang sama dengan yang Gempa pikirkan.
"Ah, kalian sudah bangun rupanya."
Sebuah suara yang cukup untuk membuat Gempa dan Halilintar tersadar dari lamunan mereka. Serempak, kakak adik ini membalikkan badan mereka menuju arah dari sumber suara. Tok Aba.
"Eh? Tok Aba? Kapan datang?" tanya Gempa spontan begitu melihat kakeknya yang berdiri di depan mereka.
"Ah, Atok baru pulang tadi malam."
"Lalu, anak itu?" sekarang Halilintar yang bertanya. Ia menunjuk bocah yang tertidur di belakangnya dengan jari jempolnya.
Tok Aba terdiam sejenak. Ia lalu memiringkan mukanya melihat orang yang Halilintar maksud. Dan senyuman kecil terbentuk dari bibirnya begitu melihat anak tersebut.
"Dia adalah ponakan Ibu kalian. Sekarang kelas 1 SD. Tunggu sebentar." Tok Aba berjalan mendekati anak tersebut dan membangunkannya. Ia menyuruh anak itu untuk berdiri dan berjalan mengikutinya.
"Ayo, kenalkan dirimu," suruh Tok Aba pada anak itu ketika mereka sudah sampai di depan Halilintar dan Gempa.
Dengan setengah sadar, anak itu mendongak mencoba menatap wajah kedua orang yang ada di depannya. "Assalamu'alaikum, pagi, namaku Api."
Hening. Ruangan itu hening sesaat. Sepertinya mereka sedang berpetualang dalam pemikiran masing-masing. Begitu juga dengan Gempa. Ia menatap anak di depannya dengan teliti. Anak kelas 1 SD dengan hoodie merah juga topinya yang dipakai kedepan sedikit keatas, dan dengan tas ransel biru kecil yang tergantung manis dipunggungnya. 'Sungguh, anak ini, sangat mirip dengan—'
"Taufan. Iya kan?"
"Eh?" Gempa menoleh pada kakaknya yang sekarang sedang meliriknya. Sepertinya Halilintar memang tahu yang sedang adiknya pikirkan ini.
"Ah, em.." Gempa menundukkan kepalanya.
Dan lagi, ruangan itu sunyi. Tak ada yang berani membuka percakapan. Tok Aba juga sedikit merasa canggung untuk berbicara karena suasana disekitarnya yang sedikit –muram?
Api mengucek-ucek matanya yang masih berat. Ia meregangkan ototnya yang masih lelah setelah melewati perjalanan jauh. Begitu penglihatannya sudah fokus, ia kembali mendongak menatap muka kedua kakak adik yang ada didepannya.
Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. "Aaaah!" serunya yang membuat Halilintar dan Gempa menunduk menatap wajah Api yang terlihat antusias. "Kalian Hali-nii sama Gempa-nii chan, kan?" serunya semangat.
Sedangkan kedua kakak adik itu hanya terdiam tak mengerti. Dari mana dia tahu nama mereka?
"Ah, i, iya. Salam kenal, aku Gempa. Itu kakakku, Halilintar." Gempa merunduk menyamakan tingginya dengan Api.
Tanpa peringatan, Api langsung memeluk Gempa yang sudah berjongkok dihadapannya. Dan tentu saja, Gempa yang sama sekali tidak mengerti sangat terkejut karena ini terlalu tiba-tiba.
"Akhirnya bisa ketemu sama Gempa-nii dan Hali-nii..."
"Eh?" Sungguh, Gempa sama sekali tidak mengerti. Kenapa anak ini tahu namanya juga Halilintar? Padahal mereka sendiripun sama sekali belum pernah melihat Api. Apalagi berkenalan. Lalu, kenapa anak ini terlihat sangat antusias dan bahagia begitu melihat Gempa juga Halilintar? Apa sebenarnya mereka bertiga mempunyai suatu hubungan? Kalau iya, hubungan apa? Gempa sama sekali tidak merasa kalau ia mempunya hubungan dengan anak ini. Lalu, kenapa?
Oke, Gempa sama sekali tidak megerti sekarang. Ia melirik melihat muka Halilintar yang tampak kebingungan juga. Yah, mungkin mereka sedang memikirkan banyak hal yang sama.
Api melepaskan pelukannya dari Gempa. "Mohon bantuannya," ujarnya sembari menundukkan tubuhnya ke arah Gempa juga Halilintar.
"Eh? Maksudnya?" Halilintar membuka suaranya.
Tok Aba berjalan menepuk kepala Api. "Begini, mulai sekarang, Api akan tinggal bersama kalian."
Gempa dan Halilintar terdiam sejenak. Apa ini asli? Mereka memalingkan mukanya menatap Api yang sudah mengembangkan senyum lebarnya pada mereka.
"Tu, tunggu, tinggal? Maksud Atok?" tanya Halilintar kembali.
"Yah, mulai sekarang, dia adalah anggota keluarga baru kalian. Kalian harus menjaganya ya.." jawab Tok Aba enteng. Ia membalikkan badannya dan mengambil helmnya yang ia taruh di atas meja.
Gempa segera berdiri dari jongkoknya dan mengepalkan kedua tangannya. "Tu, tunggu. Apa maksudnya ini? Atok menyuruh kita untuk menjaga bocah 1 SD sementara Atok pergi lagi dari rumah, begitu?"
Halilintar menatap Gempa serius. Ia tidak pernah melihat wajah adiknya yang kalang kabut dengan muka merah seperti itu. Yang ia tahu, Gempa adalah anak baik yang kalem juga tenang.
"Emm... begitulah," lagi-lagi, Tok Aba menjawabnya santai. "Yah, pekerjaanku disini selesai. Atok pergi dulu." Tok Aba berjalan menuju pintu dan memutar kenopnya, lalu membukanya. "Semangat ya.."
"A, Atok. Tunggu du—"
BLAM
Telat. Tok Aba sudah menutup pintunya duluan. Kalau sudah begini, mau tidak mau, mereka haris menjaga Api.
"Cih, dasar." Gempa mengumpat kesal. Ia masih mengepalkan kedua tangannya.
"Gempa, kamu kenapa?" tanya Halilintar tiba-tiba yang membuat Gempa tersentak dan menoleh ke arah Halilintar.
"Ti, tidak ada apa-apa." Gempa hanya menundukkan wajahnya mencoba untuk tidak membuat eye contact dengan Halilintar.
Namun, keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Disaat Gempa sudah berhasil memalingkan mukanya dari kakaknya, sekarang malah Api yang menatapnya heran.
"Mmm.. Gempa-nii nggak apa-apa?"
Argh. Muka itu. Justru muka itu yang tidak mau Gempa lihat sekarang. Muka polos anak kecil yang tidak bersalah. Kenapa justru sekarang ia harus melihatnya lagi?
Gempa menepuk jidatnya sendiri. Mencba untuk menghilangkan semua pemikiran anehnya.
Halilintar hanya menghela nafas perlahan melihat kelakuan adikna yang satu ini. "Sudahlah. Api, mau ikut sarapan?"
Api segera menoleh menatap Halilintar sumringah. "Mau, mau, mau!"
"Ya sudah, cepat duduk di salah satu kursi di ruang makan sana. Nanti aku akan membawakan makanannya."
"Siap!" Api berlari menuju meja makan. "Yeey! Sarapan!"
Sekarang Halilintar menatap Gempa yang masih menundukkan kepalanya. "Kau itu kenapa, Gempa? Tidak suka pada Api?"
"..." Gempa tidak menjawab. Ia masih menundukkan kepalanya tak mau melihat bertatap muka dengan kakaknya itu.
"Ayo sarapan."
"..." Gempa masih tak bergerak.
Halilintar hanya mendengus pasrah dan kembali berjalan menuju dapur. "Kalau kau sudah baikan, duduklah di kursi meja makan."
Dan saat itulah, Gempa diam-diam menatap punggung Halilintar menjauh. Sungguh, ia sama sekali tidak membenci Api. Sungguh. Tapi, entah kenapa...
Gempa menggigit bibir bawahnya.
Jika ia melihat Api, pasti kenanganya bersama Taufan selalu terulang kembali dalam pikirannya.
TBC atau DisC
Yo!
Yang ini memang belum jelas alurnya.. /iyatah?
Sudahlah, jadi gimana? Lanjut atau berhenti aja? Ayoo aku butuh saran kalian...
Jadi, gimana chap 1 ini? Aneh kah? Gaje kah? Bagus kah? /ngarep
Sudahlah, yang penting...
Reviewnya doong! Aku minta reviewnya! ^^
