Brokenheart
Naruto © Masashi Kishimoto.
.
.
.
Warning : AU, OOC, Typo(s), dll.
Don't like don't read.
.
.
.
Chapter 1
Hai, kenalkan, aku Hyuuga Hinata. Panggil saja aku Hinata. Musim semi tahun ini aku naik tingkat ke kelas sebelas di Konoha High School. Aku adalah putri dari keluarga konglomerat di kota ini, Konoha. Meski begitu aku tidak besar kepala, aku cukup baik hati dan ramah. Aku juga seorang gadis yang lugu dan polos. Tidak, tidak, jangan berpikir kalau aku terlalu percaya diri. Aku hanya menyampaikan apa yang mereka katakan padaku. Mereka juga bilang kalau aku ini cantik, anggun dan lembut.
Hei, tahukah kalian kalau aku cukup tersiksa dengan semua penilaian yang diberikan orang-orang padaku? Aku sebenarnya adalah gadis ceria yang memiliki segudang impian. Jiwaku ini ingin bebas. Aku terkekang dengan semua penilaian itu sebenarnya. Aku lelah.
Tapi aku tak berdaya. Sedari dulu, hingga umurku yang sekarang ini aku diajarkan untuk tidak mengecewakan orang lain– hal yang kusesali sekarang ini. Ajaran itu sudah tertanam terlampau dalam di diriku, sampai-sampai aku tidak bisa menghancurkan harapan orang yang diletakkan padaku. Termasuk penilaian mereka bahwa aku adalah gadis lugu nan polos yang selalu ramah dan baik hati pada siapapun, gadis yang tidak akan mengecewakan siapapun, gadis pemalu yang tidak tahu apa-apa. Aku tidak tega melihat mereka merasa bersalah dalam menilaiku, karena itu aku bersikap seperti apa penilaian mereka. Aku berperan seperti tokoh dengan karakter sempurna ala mereka.
Naif. Aku tidak seperti itu dan tidak ingin jadi seperti itu. Aku ingin bebas. Ingin menjadi diriku yang sebenarnya. Seutuhnya. Ingin. Aku sangat ingin.
Hinata yang mereka kenal bukanlah Hinata yang sebenarnya. Hinata yang mereka kenal adalah Hinata-Hinata yang mereka ciptakan, yang mereka ciptakan sesuai karakter yang mereka inginkan. Hinata yang asli adalah aku. Aku yang ingin melakukan segala hal yang kuinginkan. Aku yang ingin tertawa keras seperti yang lain, aku yang ingin pergi karaoke dan bernyanyi hingga serak, aku yang ingin bicara banyak hal. Tapi semua itu tidak bisa kutampilkan karena terhalang dinding bernama 'penilaian orang'. Semua itu, semua hal itu hanya dapat kulakukan di kamarku saja. Aku bersikap seperti diriku hanya di dalam kamarku saja. Dengan aku sebagai tokoh utama dan cermin kamar sebagai saksi semuanya.
Kuberitahu saja, aku lelah. Aku sudah sangat lelah dengan sikapku ini. Tidak jarang aku membenci diriku yang tidak bisa menolak orang lain. Aku terlalu baik, kupikir. Berkat aku yang selalu bertingkah sempurna seperti yang orang lain harapkan dariku aku menjadi kesepian. Tidak ada satu pun yang benar-benar berteman denganku. Mereka merasa sungkan denganku karena bagi mereka aku adalah karakter sempurna dari sesosok putri bangsawan, padahal merekalah yang menciptakan aku yang seperti ini.
Karena itu aku tidak memiliki teman. Mereka mengabaikanku meski aku ada, mereka berpaling padaku kalau mereka membutuhkanku. Lelah. Aku sungguh lelah dengan semua penilaian orang terhadapku. Mereka menaruh beban terlalu besar di pundakku.
Jangan, jangan. Jangan seenaknya kalian men-judge-ku seenaknya. Jangan kalian pikir aku tidak berusaha mengubah diriku. Aku sudah berusaha memperbaiki diriku. Aku sudah sering berusaha menunjukkan sosokku yang sebenarnya. Hinata yang sebenarnya. Tapi mereka kembali menghancurkan kepercayaan diriku dengan penilaian yang lagi-lagi meruntuhkan keberanian yang susah payah kubangun. Pernah sekali aku ingin ikut serta teman-temanku pergi karaoke, namun belum sempat aku menyampaikan niatanku mereka menyelaku.
"Tidak mungkin kan Hinata akan ikut dengan kita. Dia tidak mungkin akan berteriak-teriak seperti kita. Benar kan Hinata?"
Saat itu aku hanya tertegun. Aku tahu mereka berniat baik dengan tidak ingin merusak image-ku, tapi entah kenapa aku merasa kalau aku ini dianggap mengganggu. Aku merasa kalau aku dikucilkan. Sejak kejadian itu aku mulai menarik diri dan menjadi sedikit antisosial.
Apa kalian tahu? Aku juga seorang gadis remaja biasa. Aku ingin kehidupan sekolah yang menyenangkan seperti remaja lain. Aku ingin berteman, bersahabat, jatuh cinta, aku ingin merasakan semuanya. Perasaan suka duka, aku ingin mengalaminya. Tapi, kenapa takdir memaksaku untuk bersikap yang bukan aku? Kenapa aku tidak diijinkan menjadi diriku yang sebenarnya? Kenapa aku harus selalu memenuhi harapan orang padaku? Kenapa aku tidak memiliki hak untuk diriku sendiri? Kenapa? Kenapa?
Kami-sama...
Kumohon padamu, bantu aku. Biarkan aku jadi diriku sendiri. Aku yang sebenarnya. Sebenarnya yang kuinginkan. Sebenarnya yang ingin kulakukan. Sebenear-benarnya yang aku ingin.
Aku ingin...
Ingin...
...jadi diriku sendiri.
Kami-sama...bantu aku. Kumohon...
"Hinata-nee, sarapan sudah siap, turunlah." Suara Hanabi dari bawah membuyarkan lamunanku.
"Iya Hanabi, aku akan segera turun."
Kupandangi pantulan diriku di cermin, aku menatap lekat tepat ke manik lavender milikku. Kukepalkan tanganku di samping kedua kepalaku.
"Oke Hinata-chan, ganbatte! Ini hari pertamamu sekolah. Fighting!" ucapku pada diriku di cermin.
.
Pagi ini begitu cerah. Matahari memancarkan sinarnya yang hangat, burung-burung berkicau riang mengajak semua orang bernyanyi, angin musim semi yang menyejukkan juga berhembus sepoi-sepoi menerbangkan kelopak-kelopak sakura yang berguguran. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Pemandangan yang akan dirindukan semua orang yang merasakan hangatnya cuaca di musim semi.
Kupandangi semua murid yang sudah ada di halaman sekolah. Mereka begitu riang bertemu temannya setelah lama libur panjang. Aku merasa bahagia melihat mereka saling bertukar cerita dan pamer mengenai oleh-oleh yang mereka bawa dari liburan. Aku juga menginginkan hal itu– bercerita usai liburan sekolah, tapi aku hanya sendirian. Tidak ada teman di sampingku yang memberi senyum hangat dan mengucap, 'Hai apa kabar? Apakah liburanmu menyenangkan?'.
Sebenarnya aku ingin. Sangat.
"Ah," pekikku pelan. Ada seseorang yang menabrakku dari belakang dan aku sedikit terhuyung.
"Oh, Hyuuga-san. Maafkan aku," ucap gadis dengan rambut hitam sebahu. Ia melempar senyum bersalah padaku.
"Tak apa, aku baik-baik saja."
"Kau tidak berubah ya, kau tetap cantik dan anggun seperti biasanya. Benarkan Sumida?"
"Iya," jawab teman si gadis yang bersurai ungu tua ikal.
"Kami duluan Hyuuga-san."
Aku mengangguk. Aku masih menatap kedua punggung gadis itu yang sudah menjauh. "Aku tidak berubah ya..."
Kugigit bibirku pelan. "Padahal aku tidak ingin seperti ini. Aku ingin jadi diriku sendiri."
Berbeda dengan pemandangan ceria di halaman sekolah tadi, di kelasku ada pemandangan yang sedikit suram. Salah satu teman sekelasku menangis sesenggukan. Dia baru saja patah hati. Aku mendengar sekilas saat aku melewati meja gadis itu.
Aku duduk di kursiku yang ada di baris kedua samping jendela dan menatap ke luar jendela. Mengamati orang-orang adalah salah satu rutinitas yang entah sejak kapan mulai kusukai. Aku suka mengamati perubahan ekspresi mereka dan menerka-nerka kira-kira apa yang sedang mereka rasakan atau pikirkan.
"Huua...huua...!"
Gadis itu kembali histeris dan itu cukup menggangguku. Aku melihat gadis itu dengan pandangan sedikit iba.
Ngomong-ngomong soal patah hati, sebenarnya aku ingin merasakan seperti apa patah hati itu. Aku ingin tahu bagaimana rasanya? Sakitkah? Mungkin mereka akan berpikir diriku aneh karena ingin merasakan perasaan yang sangat dihindari itu. Tapi aku hanya ingin merasakannya, aku ingin mengetahui seberapa sakitnya itu.
Aku hanya ingin dengan bisa merasakan sakitnya patah hati aku bisa memahami orang-orang yang sudah merasakannya. Aku ingin memahami perasaan orang yang patah hati karena aku belum pernah merasakannya. Bukan berarti aku selalu mendapatkan kelancaran dalam segala hal. Hanya saja aku belum pernah jatuh cinta. Aku penarasaran akan cinta. Seperti apa rasanya? Menyenangkankah? Sakitkah? Bagaimana itu cemburu? Seperti apa rasanya patah hati? Aku hanya ingin memahami itu.
Mungkin aku juga merasa diriku aneh. Karena hal yang paling ingin kurasakan dari semua rasanya jatuh cinta adalah bagaimana sakitnya patah hati.
Selama ini aku mengenal semua rasa itu dari novel maupun manga yang kubaca. Aku sama sekali belum pernah merasakan perasaan yang menyangkut hati dua insan yang saling mengikat itu. Perasaan sakral itu, aku ingin merasakannya. Sakit hati, aku penasaran akan apa yang mungkin terjadi jika aku mengalaminya.
.
Aku begitu terkejut pagi ini. Aku tidak tahu pikiran apa yang membuat kepala sekolah memutuskan untuk mengacak kelas. Padahal aku begitu lega kemarin. Ah, sepertinya hidupku akan mulai berubah sejak pagi ini. Sedikit demi sedikit, aku yakin. Aku hanya berharap semua bisa jadi lebih baik untukku.
Aku orang pertama yang yang tiba dikelas baruku. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan aku langsung memilih bangku favoritku. Baris kedua dari depan samping jendela. Aku tidak tahu, yang jelas aku merasa kalau itu adalah tempat yang paling cocok untukku. Tempat yang nyaman yang bisa membuatku tentram. Space-ku.
Hanya sendiri maka aku mengamati setiap orang yang masuk ke kelas ini, mengamati teman-teman baruku. Beberapa dari mereka ada yang senang karena bertemu temannya, namun tidak sedikit juga yang kesal dengan perubahan mendadak yang dilakukan kepala sekolah– sama sepertiku. Aku terus mengamati mereka. Sampai tiga orang terakhir memasuki kelas, tiga orang yang kukenal. Yang pertama adalah Haruno Sakura, gadis yang tahun ini jadi ketua klub kesehatan sekolah. Uzumaki Naruto, seorang anggota klub basket. Ia sangat terkenal seantero sekolah karena ia adalah biang onar, ia juga baik hati. Dan yang terakhir yaitu Uchiha Sasuke, bungsu dari keluarga Uchiha yang begitu tersohor di kota Konoha. Keluarganya pemilik bisnis property Uchiha Corp. Aku dengar mereka adalah sahabat sejak kecil dan mereka selalu bersama. Ketiganya juga sangat terkenal di sekolah. Banyak yang menyukai mereka.
Mereka melihat sekeliling dan mendaratkan pandangannya di dekatku. Aku langsung sadar kalau beberapa kursi di dekatku kosong. Jangan bilang mereka mau duduk di sana. Oh, tidak. Padahal aku mencari tempat duduk yang membuatku tidak mencolok, tapi dengan adanya mereka di dekatku sepertinya itu tidak akan terkabul. Kami-sama...
Benar saja. Haruno duduk di depanku, bocah Uzumaki di sampingku dan si jenius Uchiha duduk di belakangku. Sekarang aku dikepung oleh tiga sahabat itu. Padahal aku sudah susah beradaptasi dengan kelas baruku ini, sekarang mereka malah duduk di sekelilingku. Aku merasa semakin asing di anatara mereka. Kami-sama, bantu aku.
"Ne, Sakura-chan. Kenapa kau selalu duduk di depan?" kata Uzumaki yang mendekati meja Haruno.
"Jangan bodoh Naruto. Hanya meja ini yang tersisa," jawab gadis gulali itu.
Kuedarkan pandanganku untuk memastikan apa yang dikatakan gadis itu. Memang hanya ketiga meja itu yang tersisa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, aku pasrah berada di antara mereka.
"Baka." Suara dari belakangku ikut menyahut pembicaraan Uzumaki dan Haruno. Suara milik Uchiha itu terdengar jelas di telingaku, suaranya sangat datar tapi sarat sindiran untuk Uzumaki.
"Apa kau bilang Teme?" Rupanya pemuda itu tidak terima.
"Kalian berdua, hentikan. Kenapa kalian selalu bertengkar? Sasuke-kun, jangan menyulut kemarahan Naruto."
Uzumaki itu mejulurkan lidahnya meledek Uchiha. Aku yang dari tadi memperhatikan mengulas senyum kecil dengan tingkah mereka. Mereka sangat akrab satu sama lainnya, andai aku juga bisa seperti itu.
"Naruto kembalilah duduk." Gadis Haruno itu menoleh padaku. "Hyuuga-san, maafkan kedua temanku ini."
"Tak apa Haruno-san."
"Apa kau sendirian di kelas ini?"
Pertanyaan basa-basi. "Dua temanku juga di kelas ini, mereka laki-laki dan aku tidak begitu akrab."
"Oh."
Setelah itu wali kelasku, Kakashi-sensei masuk. Aku memperhatikan gadis merah jambu di depanku ini. Aku sama sekali tidak tahu apa tujuannya mengajakku bicara, apakah ia memang ingin akrab denganku atau hanya formalitas semata. Apapun itu aku tetap harus bersikap ramah kan? Karena saat ini aku adalah Hinata yang mereka kenal, bukan Hinata yang aku kenal. Seperti apa nanti hidupku di kelas sebelas ini ya? Aku penasaran.
