Lagi pengen buat yang asem-asem, eh malah beneran bikin fanfic rated M, crack pairing pula hehe. Lagi dalam mood roller coaster mikir tagihan fanfic yang lain, author ingin experimen Madara-Hinata. Entah kenapa kalau bikin crack pair ini bisa bikan author senyum2 sendiri, terasa greget kalau dibuat cerita. Yang satu udah tua #plak yang satunya masih darah muda. Mungkin ceritanya klise tapi author harap bisa menjadi bacaan menarik mengisi waktu luang. Author minta maaf jika nanti mata readers sepet lihat banyaknya typo yang berserakan, dan itu memang sepenuhnya kekurang telitian saya. Sebelum membaca tolong perhatikan warning yang author cantumkan.

Disclamer : Masashi Kisimoto

Author : Atharu

Crack Pairing : Madara-Hinata

Rated : M

Warning : Typo(S), AU, NC, Lemon, Implisit-Explisit, OOC, OC

NB: Bukan bacaan untuk anak-anak atau remaja, its for adult (mature) 18+. Segala efek yang readers rasakan jika membaca fanfic ini author angkat tangan^^ Lemonnya asemm (Menurut saya). Tidak berkenan dengan pair atau cerita silahkan tekan back, no flame! Satu lagi, untuk kata yang dicetak miring itu menunjukkan flash back atau kilasan cerita masa lalu. Ready to read? Happy reading minna.

.

.

.

Matahari sudah menanjak di langit sebiru lazure. Seseorang yang baru masuk ke dalam rumah hanya memandang jenuh pada kondisi dalam rumah. Sudah jam delapan lebih tapi semua ruang di rumah mewah ini masih diterangi lampu neon mentereng. Saklar lampu ditekan mati, gorden jendela digeret ke samping lalu diikat, tidak lupa membuka jendela agar udara bersirkulasi. Pindah ke ruang tengah terdapat televisi yang masih menyalah tanda dibiarkan hidup semalaman. Dasar orang kaya, mentang-mentang timbunan uang masih menggunung, menggunakan listrik seenaknya. Belum puas melihat betapa rumah ini tidak terurus, mata polos tanpa warna itu menyipit melihat dua piring kotor tergeletak di atas meja, bekas bungkus makanan cepat saji pun tak dibuang di tempat sampah. Apalagi dengan bungkus sisa jajanan yang tercecer di kolong meja.

Berantakan!

Hinata yang baru datang langsung menggulung lengan bajunya sampai siku. Sapu dan penyedot debu menjadi senjata pamungkas. Lantai disapu bersih, semua sampah dijadikan satu dalam kresek besar lalu diikat untuk ditaruh di tong sampah luar. Debu diusir dengan kibasan kemonceng, jiwa cinta bersih dan rapi meraung. Ia menyambar semua piring kotor, mencucinya di wastafel dan menaruhnya di rak piring.

Saat mengembalikan piring ke rak tanpa sengaja matanya melihat bekas lembaran kertas setengah terbakar di dalam tempat sampah. Ia menghela napas panjang, mengerti akan isi kertas yang dibakar itu. Merasa sudah selesai membersihkan rumah mewah ini, Hinata berinisiatif membuat makanan. Kulkas dua pintu dibukan, mulutnya melonga mendapati isi kulkas yang kosong melompong. Hanya air putih, buah pear, roti, keju dan beberapa botol bekas susu. Fix, yang punya kulkas punya gaya hidup serampangan.

Wanita itu menutup pintu kulkas kasar sampai berdebam. Langkah kaki menghentak lantai kayu dipercepat ke sebuah ruang kamar besar. Ia yakin pemilik rumah masih mendengkur dengan buntalan selimut penghangat tubuh. Tanpa gedoran pintu atau permisi Hinata membuka pintu yang nyatanya tak dikunci. Dugaannya akurat, ranjang besar nampak berantakan dengan guling dan bantal yang jatuh di kolong ranjang.

Manik lavendernya beralih pada gundukan tebal selimut di atas kasur yang seolah seperti kepompong membungkus larva. Hinata tak bisa mentolerir kemalasan meski di akhir pekan. Selimut hitam ditarik, dua sosok saling tindih terlihat masih mengatupkan mata nyenyak tidur seolah gempa pun tak bisa membangunkan mereka.

"Ya ampun!" Hinata mendesis setengah memekik, terkejut melihat posisi tidur anak kecil yang menindih dada pria dewasa dengan tangan yang menutupi wajah si pria yang ditindihnya. "Ken~ ayo bangun, sayang." Hinata menarik anak kecil yang dipanggi Ken. Menepuk halus pipi gembil dengan gambar bekas cap bantal lalu merapikan surai birunya yang mencuat ke segala arah. Tubuh ringan diguncang pelan, usaha Hinata berhasil karena tangan bocah kecil itu mulai mengucek matannya.

Efek bangun masih ngantuk, binar cahaya terlalu silau, mata hitamnya menyipit masih tak fokus. Beberapa saat beradaptasi dengan cahaya pagi, wajah samar di hadapannya mulai terbentuk. Seketika mata Ken melebar melihat sosok sang Ibu yang berwajah garang. Ups, jangan bilang kalau ia bangun kesiangan.

Pura-pura jadi anak baik, Ken menyapa sang bunda dengan senyuman manis. "Ohayou, Mommy." Bibir kecil itu mengecup pipi dan bibir Hinata lalu memberikan pelukan selamat pagi.

Surai biru hasil persilangan hitam dan indigo diacak gemas oleh Hinata. Pintar sekali putranya ini mengambil hati. "Modusmu tidak akan berhasil, nak. Sudah jam delapan dan kau harus segera mandi." Hinata memperlihatkan jam tangan yang menunjukkan angka delapan lebih. Akhir pekan memang waktunya bersantai, tapi tidak dengan bermalas-malasan bangun dan mandi pagi.

Bocah umur enam tahun itu mengerucutkan bibir. Bukannya ia malas mandi tapi sungguh, ia masih mengantuk. Lihat, matanya bahkan masih susah dibuka lebar. Oh ini semua salah Ayahnya yang membelikannya game terbaru dan mereka menghabiskan waktu untuk menuntuskan permainan game sampai lupa waktu.

"Tapi–" Tubuh kecilnya merangsek mendekat ke pria dewasa duplikat dirinya. "Lihat, Daddy saja masih tidur pulas." Jari mungilnya menunjuk-nunjuk hidung Ayahnya, seolah tak terima jika hanya dirinya yang disuruh bangun.

"Jangan tiru kelakukan buruk Ayahmu itu Ken." Selimut yang sudah berada di tangan ditata rapi oleh Hinata. "Mandi atau Mommy mandikan." Hinata mendekat ke wajah putranya, mencium telak bibir sang putra semata wayang. Kedua manik hitam itu melebar, segera turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Uchiha Kenichi bukan anak kecil lagi, ia bukan anak manja yang harus dimandikan oleh Ibunya terus. Dan Hinata sangat mengerti sifat anaknya mirip dengan suaminya. Dasar tsundere.

Kini hanya tinggal satu pria dewasa yang harus Hinata bangunkan. Jika membangunkan putranya adalah hal yang mudah, lain halnya jika sudah membangunkan sang suami yang nampak enak terbuai mimpi. "Jangan pura-pura tidur Madara. Apa pria tua sepertimu masih harus kubangunkan dengan guyuran air dingin, hm?" Dada tanpa pakaian itu dicubit, tak keras tapi cukup membuat Madara meringis.

Berlahan kelopak mata Madara membuka. Mata hitam serupa dengan milik Ken, namun lebih tajam dan mengintimidasi. Sudut otot pipi terangkat, bibirnya tersenyum-menyeringai. "Padahal aku menunggumu mengelus rambutku seperti Ken." Rambut hitam Madara memang sudah panjang, dan Hinata dengan telaten mengikatnya dengan kunciran rambut.

"Seperti biasa rumahmu selalu berantakan." Bantal dan guling yang terjatuh diambil dan ditaruh di tempat semula.

"Aku akan menyuruh seseorang membersihkannya nanti."

Hinata mendengus. "Terakhir kau bilang begitu aku menemukan ceceran celana dalam wanita. Kau tidak berbuat yang aneh-anehkan saat ada Ken." Jari telunjuk menodong di muka, Hinata tidak mau Ken yang kecil terkontaminasi mengingat anaknya cukup pintar menangkap apa yang ia lihat daripada anak seumurannya.

"Astaga Hinata, sudah aku bilang kan jika itu ulah Sasuke dan pacarnya. Dan aku sama sekali tidak melakukan hal senonoh selain pada istriku sendiri." Kedua tangan direntangan, dada bidang siap menampung jika Hinata memberikan pelukan sayang. Tapi, hanya ada tamparan angin dingin yang menggelitik dada telanjangnya. "Ho, tidak ingin memeluk suamimu ini, honey?"

"Tidak terima kasih. Aku malah ingin memberimu hadiah Jyuken."

Madara tertawa pelan khas pria bangsawan, tidak tersinggung ataupun marah. Malah istrinya ini terlihat seolah sedang menggodanya. "Aku tak keberatan, kau memberiku Jyuken dan aku memberimu genjotan pinggul."

Darah berkumpul di wajah, pipi Hinata mendadak merah merona mendengarnya. "Isshh, jangan membuat guyonan cabul di pagi hari Mada–"

'Grep'

Lengan kekar menarik pinggul Hinata ke depan, menyebabkan tubuh istrinya jatuh pada pelukannya. Sebelum protes, bibir merah yang setengah membuka sudah ia lumat dengan ciuman panas yang menggelora. Pagi hari di akhir pekan memang saat yang tepat untuk memadu kasih. Hanya saja ciuman biasa tidak akan memuaskan lelaki yang umurnya sudah mendekati setengah abad yang selalu nampak bergairah dan memonopoli. Lidahnya ikut bergerak menyusuri rongga hangat rasa Lemon. Seperti dansa angsa, lidah Hinata diajak ke sana ke mari.

"Ughnn. . ." Hinata kehabisan napas, serangan mendadak suaminya selalu membuat kaki dan tubuhnya selemas jelly. Mengerti kondisi istrinya, Madara dengan enggan melepas bibir Hinata meski saliva mereka masih saling bertaut. "Ja-jangan menggodaku," Dada Hinata kembang-kempis, nafasnya masih tersenggal butuh pasokan oksigen. "Jika Ken melihatnya aku tidak akan memaafkanmu."

Madara tak berkomentar apapun, ia menyandarkan kepalanya di leher Hinata. Memejamkan mata terbuai oleh kehangatan pasangan hidupnya, terlalu rindu dengan aroma tubuh Hinata. "Ken mandinya lama, dan kupikir ia tidak masalah tahu kita berencana membuatkan adik." Mata mendongak menatap dua manik putih yang ikut menatapnya sendu.

"Kurasa kita telah membicarakan hal ini Madara." Kali ini suara Hinata terdengar serius, sarat akan sebuah beban yang telah lama ia pikul. "Lihat dirimu sendiri Madara, kau masih tidak bisa mengurus dirimu sendiri. Ken sudah lama ingin menginap denganmu tapi apa, kau bahkan tidak menyiapkan makanan kesukaannya," Sisa makanan cepat saji dan isi kulkas kosong terlintas di benak Hinata. "Oh mungkin dokumen sialanmu itu terlalu berharga daripada kehadiran anak kandungmu sendiri." Cibiran menohok yang membuat hati Madara teriris. Ia tidak bisa menyalahkan istrinya karena nyatanya ia pernah berkelakuan seperti itu.

". . ."

"Kau tak mengajaknya jalan-jalan, hanya memberinya permainan game tanpa pernah menghabiskan waktu lebih."

"Hinata."

"Huh, tahu begini lebih baik kau nikahi saja pekerjaanmu. Mungkin kau tak akan kerepotan untuk mengurus anak."

"Uchiha Hinata!" Madara mulai gerah disudutkan sedemikian rupa oleh istrinya. "Demi Tuhan! Aku telah menghabiskan waktu dengan Ken. Aku menunda semua meetingku. Menyerahkan semua dokumen ke asistenku. Kumohon jangan berkata seperti itu honey." Di akhir kata suara Madara memelan, ia memang lelaki kuat namun tak cukup kuat untuk mendengar istrinya yang menuduhnya menelantarkan anak mereka. Madara sangat menyayangi Ken, bahkan di hari pertama kelahiran putranya itu ia sampai mengadakan sebuah pesta mewah di kapal pesiar bagi seluruh karyawannya.

Hinata menolak mendengar, tangannya hanya bersendekap tak mau peduli.

"Minggu di akhir pekan adalah waktu yang kau ijinkan aku bersama Ken, jadi bagaimana mungkin aku menyia-nyiakannya begitu saja. Dan untuk makanan, maaf aku memang tak bisa memasak. Tapi aku benar-benar akan melakukan apapun agar Ken bisa merasa senang di sini." Madara memang tak memperkejakan seorang maid rumah tangga sejak ia tinggal di rumah ini sendirian. Ia hanya berpikir secara klise bahwa ia bisa mengurus rumah seorang diri, sedikit niatan terselubung untuk membuat istrinya kagum bahwa ia bisa bertahan tanpa bantuan orang lain. Meskipun pada akhirnya ia sering kelupaan membersihkan rumah karena harus menyelesaikan berbagai pekerjaannya di perusahaan.

Bola mata seputih mutiara bergulir bosan. Sudah kenyang ia dengan segala alasan yang dilontarkan suaminya. Ia mendorong tubuh suaminya menjauh lalu mengambil posisi duduk di tepi ranjang. "Aku tahu kau berusaha untuk membuat Ken nyaman. Tapi, itu tidaklah yang paling ia butuhkan." Tangan yang lebih kecil itu terulur. Rahang tegas dibelai lembut. "Ken ingin Ayahnya." Dahi Hinata menyentuh kening Madara. Perut Madara berdesir, bulu kudunya meremang merasakan kulit mereka bersentuhan. "Kupikir kau akan sadar setelah kita pisah ranjang dan tempat tinggal. Bahwa aku dan Ken ingin dirimu, bukan uang atau kekayaanmu yang malah merampas waktu kebersamaan kita."

Sejujurnya Hinata masih sangat mencintai pria yang telah memberinya hidup sempurna. Tapi, Madara juga yang berlahan melepaskannya. "Aku telah mengirimimu surat cerai lima kali dan dirimu selalu membakarnya." Ia terkikik, lalu kembali melanjutkan. "Pikirkan lagi Madara tentang hubungan kita yang sudah retak. Jangan membuat Ken bingung dengan kedua orang tuanya yang tidak bercerai namun tidak tinggal bersama. Jika kita bercerai, Ken mungkin akan terluka tapi lambat laun ia akan sadar bahwa jalan kita sudah berbeda."

Mata Madara terpejam, sentuhan di wajahnya belum hilang. "Jangan paksa aku honey. Kau tahu kan sebesar apa cintaku untukmu dan Ken. Jika perlu akan akan melepas semua perusahaan Uchiha. Kita bisa berlibur kemanapun dan kapanpun." Lelaki dengan julukan Masterpice yang selalu nampak tanpa cela bisa menjadi lemah hanya di depan istrinya saja.

"Dan kau tahu benar bahwa kami mencintai juga. Jadi, inilah jalan terbaiknya."

Madara tak lagi mendengar kata-kata lembut istrinya, hanya bau lavender yang masih tertinggal ketika punggung Hinata menghilang di balik pintu. Ia mengacak rambut gusar, hidupnya semakin berantakan ketika harus jauh dari istri dan anaknya.

.

.

Uchiha Hinata mungkin masih berusia 25 tahun, namun ia telah sudah menjadi istri sah Madara, lelaki dewasa berusia hampir serupa Ayahnya. Bahkan ia sudah menjadi Ibu bagi Uchiha Ken. Seperti kisah cinta romanpicisan, awal bertemu antara Madara dan Hinata sudah saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Bisa dibilang Hinata dan Sasuke-keponakan Madara, itu teman seangkatan. Berawal dari kerja kelompok di rumah Sasuke yang di saat bersamaan ada Madara yang sedang berkunjung untuk berbicara bisnis dengan Fugaku (adiknya Madara). Cupid kadang tak mengenal waktu dan situasi dalam memanah, jantung Uchiha Madara tertembak panas asmara pada awal pandangan mata. Jantungnya berdegup keras melihat gadis polos yang lugu dan sedikit keras kepala ketika berdebat dengan Sasuke mengenai tema apa yang mereka pilih dalam festival kampus.

Madara bukan lelaki penyabar, ia agresif ketika bertemu mangsa incaran. Pucuk dicinta ulampun tiba. Hinata menerima pernyataan cinta dari paman Sasuke. Sedikit naïf, Hinata berpikir bahwa lelaki dewasa tentu juga berpola pikir sesuai umur. Tapi, pertama pacaran sudah susah akibat Hiashi yang punya pandangan kolot– menikah dulu baru pacaran. Namun jangan sebut Madara pria jenius cenderung licik kalau tidak bisa mendapat lampu hijau untuk mempersunting Hinata.

Restu sudah turun, maka kehidupan baru sebagai suami-istri mulai dijalankan dengan baik. Dimana Hinata dan Madara adalah dua pribadi yang saling mencintai dan menyayangi tak peduli dengan perbedaan umur yang mencolok. Madara yang sudah berumur lebih tua bisa mengimbangi sifat muda Hinata, bahkan mengayomi wanita yang dinikah pada awal masuk bangku kuliah itu. Keharmonisan rumah tangga mereka semakin terjalin erat ketika Uchiha Kenichi lahir di dunia membawa rasa baru sebagai orang tua.

Namun, konflik rumah tangga mulai tumbuh. Semenjak orang tua Madara meninggal dan menjadikan Madara sebagai pewaris utama (meski Fugaku yang merupakan adik Madara juga menerima warisan tapi sebagai anak sulung tentu Madara mendapat banyak hak waris). Alhasil induk perusahaan Uchiha corp diserahkan pada Madara. Lelaki itu menjadi lebih sibuk dari biasanya. Pergi subuh– pulang dini hari, pernah sampai tidak pulang sama sekali. Pria itu menjadi seorang super Workaholik, sampai tak ada waktu buat Hinata apalagi Ken kecil yang merengek bertanya kemana Ayahnya.

Pertama Hinata mafhum, berusaha berpikiran sedewasa suaminya. Perusahaan Uchiha memang besar dan banyak, tentu butuh perhatian ekstra. Hinata tak mau membebani suaminya yang sudah pusing mengurus ini itu dengan rasa kesepian yang masih bisa ditahannya. Hinata bersabar ketika masakannya sudah jarang Madara makan, bahkan kursi sang kepala rumah tanggapun tak pernah lagi diduduki. Madara sibuk bekerja sampai keliling dunia membuat insvestasi, dan Hinata sibuk membuat alasan untuk menjawab pertanyaan sang buah hati yang mulai merajuk ingin Daddy-nya kembali.

Tapi, badai itu tak kunjung mereda, malah semakin kencang menerpah. Uchiha Madara adalah pria prodigy, punya kejeniusan dan ketampanan serta kekayaan. Praktis hidupnya mulai dihujani skandal hubungan gelap yang membuat Hinata harus dikejar-kejar wartawan karena rumor perceraian mengalir deras. Hati Hinata sudah mulai goyah, melihat acara televisi penuh dengan kedekatan sang suami dengan wanita cantik berbodi montok nan seksi. Ia mulai melarang Ken untuk menonton televisi. Sadar sudah membuat istrinya khawatir, Madara datang hanya untuk meluruskan bahwa ia tidak mencintai siapapun selain Hinata, lalu pria itu pergi lagi. Hinata tersenyum miris, suaminya bahkan seolah tidak punya waktu bagi Ken untuk memberinya pelukan rindu.

Hati yang goyah mulai retak, sekali hantam bisa langsung hancur. Hinata sudah tak bisa bertahan, Madara terlalu jauh untuk diraih. Hidupnya yang selalu berdiri dengan sandaran Madara kini kehilangan topangannya. Ken jatuh sakit. Terus-terusan menangis menahan sakit perut– Types, Hinata bingung setengah mati. Banyak keluarga dan teman yang datang menjenguk namun hanya Madara yang dinanti. Tapi pria itu terlalu meremehkan, hanya mengirim seorang anak buah untuk memberikan Ken hadiah agar bocah berumur empat tahun itu kembali ceria lalu sembuh. Klise dan tak berperasaan! Semudah ia membeli saham perusahaan semudah itu pula ia menilai kerinduan keluarganya. Ken meraung keras ingin bertemu Madara, demam tinggi sampai harus masuk UGD lagi. Cinta dan realita seolah terbalik, hati Hinata terbakar api kemarahan.

Pagi cera di hari minggu, Madara pulang menenteng koper berisi oleh-oleh terkejut mendapati rumahnya kosong tanpa penghuni. Meski dipanggil sekeras apapun, Hinata dan Ken tidak menyahut. Hanya sebuah surat cerai beserta cicin nikah yang sama dengan cincin di jari manisnya tergeletak di atas meja. Hinata mantap bercerai, ia bahkan nekad minggat membawa Ken ke rumahnya dulu. Hinata mulai keras pada dirinya sendiri. Mulai mandiri tak mau menyentuh tranferan uang yang sengaja dikirmkan Madara. Memutus semua koneksi, dan membatasi interaksi apapun yang menyangkut Madara terutama dengan Ken. Ia tak peduli pada Madara lagi, mediasi sudah pernah dilakukan dan wanita berdarah Hyuuga itu tak sekalipun menatap mata sendu suaminya yang mengibah meminta maaf. Hinata menjadi keras kepala tak mempan dinasehati. Wanita itu menanamkan bahwa dirinya dan Madara sudah harus hidup terpisah, seperti minyak dan air. Anak semata wayangnya mulai mengerti bahwa ia tak lagi tinggal bersama orang tua yang lengkap.

.

.

"Mom, kau mau kemana?" Ken yang sudah selesai mandi mengernyit heran melihat Ibunya menenteng tas besar. "Daddy juga mau kemana?" Uchiha junior itu menghampiri kedua orang tuanya yang sepertinya hendak pergi. Apa mereka berdua masih bertengkar? Ingin pergi meninggalkan dirinya sendiri, begitu?!

Madara berjongkok sejajar dengan bocah duplikat dirinya selain warna rambut dan kulit yang turunan dari gen Hinata. "Kami ingin belanja, Mommy akan memasakkan Inarizushi kesukaan kita." Rambut jabrik halus itu dielus. Mata hitam berpendar gembira, air liurnya mendadak hampir menetes hanya karena membayangkan bagimana pulennya nasi dimasukkan ke Aburaage, apalagi jika Ibunya memberi tambahan isi berupa daging salmon yang dicincang. Yummy, itu adalah selerahnya.

"Yahooo!" kedua tangan Ken terkepal erat dengan bola mata berbinar senang. Meski darah kental Uchiha mengalir namun Ken tetaplah anak-anak yang jika dibuatkan makanan kesukaan akan berteriak kegirangan.

Hinata yang melihatnya hanya tersenyum. Jarang sekali melihat Ken bertingkah macam anak seusianya. Biasanya anaknya itu bersikap sok acuh, stoic dan berwajah tenang– Pffttt Uchiha sekali bukan. Sebenarnya Hinata berencana pergi ke swalayan sendiri, namun Madara bersikukuh ingin mengantar. Katanya sekalian jalan-jalan berdua. Duh, dasar pria tua, sudah masuk kepala empat masih ingin bergaya bak remaja.

"Jadi. . ." Wajah Ken menyorot curiga. "Apa kalian berkencan?" Madara tetap tenang sedikit berdehem, namun Hinata tersendak sampai terbatuk. Bisa dibilang hari ini Ken sangat bahagia bisa melihat kebersamaan kedua orang tuanya. "Pergilah, aku bisa menjaga rumah."

Tuh kan, Ken sudah masuk mode sok dewasa sok bijak, tsundere tingkat akut. Hinata ingin mencubiti pipi chubi anaknya yang setembem kue mochi. "Kami tak akan lama. Pastikan tidak membukakan pintu pada orang asing, kalau ada apa-apa segera telpon kami atau segera keluar lewat pintu belakang, paham?" Sebagai seorang Ibu tentu Hinata sedikit khawatir meninggalkan Ken sendiri. Meski rumah ini berada di kawasan perumahan elit dengan keamanan berlapis namun Hinata akan tetap menerapkan aturan ketat untuk waspada.

"Tenang, Mom. Jika ada hal yang aneh aku akan segera menghubungi Daddy dan Mommy."

"Anak pintar." Madara memberi acungan jempol dan Ken membalasnya dengan kedipan mata.

.

.

15 menit perjalanan dari komplek rumah mewah ke swalayan terdekat. Madara menyuruh Hinata menunggunya di dalam, ia akan memarkirkan mobilnya dulu. Setelah selesai memarkir mobil, Madara lantas menghampiri Hinata, membantu istrinya menarik keranjang dorong. Hinata membuka daftar belanjaan, kertas kecil itu penuh dengan bahan-bahan yang harus dibeli.

"Beras, nori, tofu, salmon, telur, minyak, mayones, susu, sereal. . ." Hinata bergumam sambil mengambil bahan-bahan yang tertulis. Madara ikut mengekor, membantu Hinata mengambilkan jika terlalu tinggi. "Madara, kau suka wasabi atau yang ori?"

"He?"

"Maksudku rasa Inarizushi. Ken jelas memilih yang ori dengan isi salmon."

Sejenak Madara berpikir. Sebenanya ia tak masalah dengan apapun masakan Hinata karena ia akan pasti akan menghabiskannya. "Wasabi dengan telur dadar kupikir menarik, sekalian beli bahan yang banyak dan masaklah semua makanan yang ingin kau masak. Aku rindu masakanmu."

"Jika masak banyak nanti ada yang tidak termakan." Gulungan tissue diambil dari rak penyimpanan dan ditaruh pada keranjang. "Aku membeli bahan makanan untuk persediaan empat hari, kulkasmu terlalu memprihatinkan. Berhentilah merokok dan membeli makanan cepat saji, roti panggang dan telur dadar atau sereal itu lebih baik."

Sudah sejak lama Madara tak mendengar istrinya cerewet mengenai gaya hidupnya. Dulu ia akan sering mendengar Hinata melarang ini itu, menasehati jika ketahuan merokok, dan akan marah jika ia kelupaan makan karena terlalu sibuk. Bibirnya tersenyum tipis "Terima kasih sayang." Lupa tempat dan lupa daratan, Madara keceplosan mencium bibir Hinata.

Dengan santai Madara mengambil kertas daftar belanjaan dari tangan istrinya yang masih diam di tempat. Madara merasa sedang senang luar biasa dan ia yang akan belanja kali ini. "Honey, apa kau mau kutinggal."

"Eh- I,iya." Duh kini siapa yang seperti remaja kasmaran? Hinata merutuki dalam hati.

Keduanya mulai jalan beriringan, sedikit bercerita mengenai keseharian masing-masing. Jujur Hinata rindu saat seperti ini. Ia jadi teringat sewaktu mengandung Ken, Madara selalu menemaninya kemanapun dan kapanpun, tak membiarkannya sendiri terlalu lama, suka menjauhkannya dari kerumunan dengan alasan takut tergencet lah, udara yang tidak sehat lah dan alasan paling konyol yang pernah dikatakan Madara adalah feromonnya terlalu menggoda ketika hamil serta masih banyak lagi. Suaminya itu memang posesif overdosis, sampai ke kamar mandipun ingin ikut.

"Ada yang lucu?" Madara bingung yang melihat istrinya senyum-senyum sendiri.

Hinata mengedikkan bahu "Ra-ha-sia." Lidahnya terjulur mengejek Madara. Lalu Hinata mengalungkan tangan di lengan Madara, bersandar manja di bahu suaminya. Hinata bersikap manis secara tiba-tiba membuat Madara bertambah heran tak mengerti. "Aku tak suka mereka melihatmu dengan tatapan terpesona." Mata putih melirik di beberapa perempuan yang menatap kagum suaminya..

"Siapa?"

Bibir Hinata manyun. "Ibu-ibu di sana dan semua wanita yang di sini." Hinata bisa merasakan bahwa selama belanja banyak wanita-wanita yang melirik-lirik pada suaminya. Tatapan memuja dan kerlingan nakal sengaja menggoda. Lelaki gagah, kulit putih, mata mengintimidasi, rambut panjang eksotis dan rupa sekelas selebiritis. Siapa yang tidak tertarik jika suaminya ini mempunyai hal itu semua! Umur boleh kepala empat, namun jangan meremehkan kekuatan Madara yang bisa jadi bringas jika di tempat tidur. Hinata tergelak, wajahnya kembali memerah mengingat betapa kuatnya sang suami jika berurusan dengan ranjang. Sudah-sudah, ia tak kuat jika mengingat semua lekuk tubuh Madara tanpa busana. Kau berubah jadi mesum hanya karena cemburu Hinata.

"Suamimu ini memang terkenal, jadi jangan ceraikan aku." Perkataan Madara membawa Hinata kembali ke alam nyata. Wanita itu merengut mendengar kepedean Madara yang selangit. "Yang bisa membangkitkan diriku hanya dirimu, honey." Bisikan seduktif itu meniup-niup telinga Hinata. Tempat aneka peralatan rumah tangga terlihat sepi, tak banyak orang di sini dan Madara tak menyia-nyiakan kesempatan untuk sedikit bermesraan dengan istri mungilnya ini.

"Jangan macam-macam Madara." Hinata mengancam namun Madara tak terancam. Kelinci di depan mata mana mungkin Madara mau melepas begitu saja.

Dua iris putih itu melihat mata hitam yang berkilat, ia meneguk ludah tahu bahwa Madara tidak sedang bercanda. Tubuh kecilnya ditarik pada sela sempit yang tertutup rak-rak tinggi, Madara pintar mencari tempat. Tubuh mereka terlalu merapat sampai Hinata bisa mendengar dentuman berisik di dada suaminya. Mereka saling berbagi udara, saling terdiam namun sarat akan keintiman.

Tangan Madara memegang tangan Hinata dan membimbingnya pada satu tempat yang membuat Hinata semakin panik namun tak bisa berbuat apa-apa. "Kau merasakannya?" Bisik Madara. Mata Hinata melebar, pipinya merah pekat sangking malu. Bohong kalau Hinata bilang tidak merasakan apapun. Meski tertutup fabrik celana namun Hinata bisa merasakan gundukan besar diantara paha yang mulai bangun– setengah ereksi!

"Ia bangun hanya karena bersentuhan denganmu saja." Bibir madara menjilat belah bibir Hinata lalu berpindah ke leher putih susu. Menyesap kulit beraroma buah campur susu. Memabukkan sekaligus menggairahkan, maka jangan salahkan Madara jika ia merasa kelaparan.

Secara otomatis tubuh Hinata menggeliat geli. Rambur Madara menggelitik ceruk lehernya. Kewarasaanya seolah sedang diobrak-abrik. "I-ini tempat umu– enngg. . ." Hisapan kuat di lehernya meninggalkan bekas kecupan merah, Hinata hampir memekik nyaring. "Madara. . ." Nama suaminya begitu syahdu saat diucapkan.

Madara tentu terpancing, sudah lama mereka tak berintim dan sekarang nampaknya baik ia dan Hinata sama-sama sedang ingin merasakan sentuhan satu sama lain. Semenjak pisah rumah mereka memang jarang bersama apalagi bersenggama. Sialnya ini tempat umum, bukan jok mobil, container dapur atau kasur busa. "Jadi, nanti malam menginaplah di rumahku." Ajakan dengan suara serak meremangkan setiap kulit Hinata. Mata Hinata bergerak gelisah, sensasi aneh seperti digelitik ribua kupu-kupu. Dan Hinata tak mampu menolak ketika Madara membawanya pada ciuman dalam yang penuh rasa ingin memiliki.

.

.

Ken tak bisa menyembunyikan perasaan aneh yang bergelayut. Semenjak kedua orang tuanya pulang mereka seolah sama-sama diam, saling menjaga jarak dan jika tak sengaja bersentuhan keduanya akan saling lirik lalu secara cepat menjauh satu sama lain. Uchiha Kenichi boleh dibilang jenius yang bisa menyelesaikan rumus aritmatika kelas SMP. Namun ia masih anak-anak yang masih terlalu awam mengenai perasaan para orang dewasa. Ken tidak tahu kenapa wajah Ibunya terus-terusan menunduk dan memerah, tidak mengerti kenapa Ayahnya mendadak diam dan terus mencuri pandang ke arah Ibunya, dan ia tidak paham kenapa suasana yang tadi ceria menjadi kaku dan canggung. Putra satu-satunya Madara-Hinata itu bersendekap dengan bibir mem-pout imut.

"Mom, kau memasukkan garam terlalu banyak."

"Eh-"

Madara hampir tertawa. Istrinya entah kenapa jadi salah tingkah, memasak makanan jadi serba berantakan.

"Dan– Daddy, minumanmu tumpah."

"Hm?" Ken menunjuk pada minuman kopi yang dipegang Madara tumpah mengenai bajunya sendiri. Gantian Hinata yang terkikik disusul Madaran yang ikutan tertawa bersama. "Eoh, Mom dan Daddy kenapa." Anak kecil punya sifat penasaran yang berlebih, terutama pada keganjalan yang ia lihat. Ken mengembungkan pipi tembemnya, kesal karena sedari tadi merasa diabaikan.

Tubuh Ken digendong Madara, lalu mereka berdua duduk di sofa. "Lihat, kau sangat mirip Ibumu jika merajuk seperti ini." Pipi sang putra lagi-lagi menjadi sasaran kecupan dan towelan.

"Aku memang anak Mommy."

"Lalu bagaimana dengan Daddy?"

"Aku lebih tampan dari Daddy."

"Hey nak, kau tampan gara-gara punya Ayah setampan Daddy."

Tangan mungil menonjok perut Madara, membuat Ayah satu anak ini pura-pura kesakitan akibat pukulan Ken yang nyatanya seperti hempasan udara.

Meski masih berkutat di dapur namun Hinata masih bisa mendengar celotehan dua lelaki yang keberadaannya sangat berarti baginya. Mungkin benar apa yang dikatakan suaminya jika ia telah berubah. Sudah tak lagi lembur malam atau gila kerja, namun Hinata masih merasa sedikit ragu. Dua tahun mereka pisah meski tetap terikat, apakah Madara juga masih tetap mencintainya sama seperti dia yang mencintai Madara begitu besar?

.

.

Inarizushi aneka isi dengan comelan saus tomat nampak menggoda untuk dimakan, belum lagi beberapa makanan tambahan yang tertata apik di atas meja makan. Hinata dan Ken sudah duduk di kursi masing-masing, tinggal menunggu Madara yang sedang ganti baju. Ken nampak sudah tidak sabar untuk mencomel Inarizushi yang aromanya tercium lezat, namun darah Uchiha dan Hyuuga yang mengalir dalam tubuhnya mengingatkan agar menjaga etiket sopan-santun.

"Mommy, apa setelah makan kita kembali pulang?" Bola mata Ken menatap pada Ibunya. Sudah menjadi jadwal rutin jika ia hanya punya waktu sabtu dan minggu untuk bersama Ayahnya. Ibunya akan membawa dirinya pulang jika sore telah menjelang. Agak tidak rela, Ken menundukkan wajahnya.

"Bergembiralah sayang, karena Mommy mu nampaknya ingin menginap di sini."

Wajah Ken mendadak terangkat ketika dirasakan sebuah tangan besar mengacak rambutnya. "Daddy! Nanti berantakan." Madara hanya terkekeh, malah semakin gemas ingin membuat rambut biru itu seperti sarang burung.

"Madara hentikan." Intrupsi satu-satunya wanita di sana. Ken memeluk Hinata yang berada di sampingnya, menenggelamkan wajah hampir menangisnya pada dada Hinata.

Madara terlihat tak rela, Ken terlalu menempel pada Hinata. Lelaki itu cemburu pada anaknya sendiri. "Dasar anak manja." Dengus Madara.

"Urusai, baka-oyaji!" Balas Ken yang membuat baik Madara dan Hinata melongo. Darimana putra mereka ini mendapat kata-kata umpatan seperti itu. Seingat Hinata, ia tak pernah berbicara kasar di depan anaknya. Sedangkan Madara sangat syok dikatai 'baka' oleh anaknya sendiri, hatinya tertohok.

"Ken sayang, kau tidak boleh berbicara kasar seperti itu pada Daddy." Kepala Ken dibelai halus oleh Hinata, kata-kata lembut adalah nasehat yang paling mujarab. "Darimana Ken dapat kata-kata itu?"

Ken melirik takut-takut pada kedua orang tuanya, terutama pada Madara. Ia takut jika Ayahnya marah lalu tidak mau lagi bermain dengannya. Membayangkannya saja sudah membuat mata hitam bulat itu berkaca-kaca. "Go-gomen, aku hanya pernah mendengar Sasuke-nii mengatakannya pada Daddy." Ken masih ingat pada saat diajak Madara berkunjung ke rumah Fugaku-jisan ia bertemu dengan paman Sasuke-nii. Ken tak tahu apa yang Ayahnya bicarakan dengan Sasuke-nii karena ia sedang diajak main Mikoto-basan. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara agak keras Sasuke-nii mengatakan 'baka oyaji' pada Ayahnya.

Gigi Madara gemelutuk. Ingin sekali menyeret keponakan tercintanya karena telah berani-beraninya mengajari Ken kata-kata tidak sopan. "Tunggu pembalasanku, Sasu-pyon." Hinata bergidik ngeri merasakan aura Madara yang menggelap. "Daddy memaafkanmu Ken, tapi jangan ulangi ya anak tampan."

Ken mengangguk antusias.

"Apa kau senang akan menginap di sini lagi bersama dengan Mommy?" Ucap Madara yang semakin membuat mata hitam Ken berbinar senang.

"Be-benarkah? Yeeee." Anak aktif itu segera melesat ke pelukan Ayahnya lalu gantian mencium pipi Hinata. "Arigato Mommy. Chu~" Hinata hanya tersenyum, mungkin tidak ada salahnya jika sesekali ia juga ikutan menginap di sini. Pekerjaannya sebagai manager di restoran bisa ia serahkan ke asistennya. Lagipula Ken juga pasti rindu tidur bersama kedua orangnya.

"Jadi ayo segera makan." Kursi paling utama yang menunjukkan kepala keluarga diduduki Madara. Hinata berada di samping kanannya dan Ken masih ingin duduk di samping Ibunya. Sudah lama mereka tidak makan bersama dalam satu meja. Sudah lama mereka tidak saling melempar canda satu sama lain, dan tiba-tiba Hinata tidak bisa menyembunyikan perasaan harunya karena berada dekat dengan dua orang yang sangat berharga baginya. Madara tentu bisa melihat raut wajah istrinya yang mengusap kedua mata menggunakan tissue. Ia sendiri juga sangat menantikan momen seperti ini. Memikirkan sebuah momen, Madara malah menyeringai. Ah, ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan trebuka lebar seperti ini untuk bisa bersama dengan Hinata.

.

.

Entah karena terlalu capek bermain seharian atau memang jam tidur Ken yang berubah lebih awal, anak itu sudah mendengkur di atas sofa bergelung manja pada sang Ayah. Wajarlah jika anak kecil itu sudah tidur pulas jam tujuh malam, sejak selesai makan pagi sampai sore menjelang ia terus meminta bermain dengan orang tuanya, terlebih pada Madara karena ayahnya itu libur di hari minggu disamping karena Mommy-nya, Hinata sedang sibuk beres-beres rumah.

"Ken sudah tidur ya?" Hinata mengelus lembut wajah Ken yang nampak sangat nyaman meski tidak tidur di kasur empuk. Hanya berbantalkan lengan Madara dan Ken sudah tidur pulas.

Madara melirik ke arah Hinata, sedikit tertegun mendapati istrinya yang baru mandi hanya dibalut dengan handuk besar. Rambut setengah kering yang menjuntai sampai pinggul, belahan dada yang tetap menyembul meski tertutup handuk, juga paha mulus yang masih menetaskan sisa air mandi. Menyadari tatapan intens dari suaminya, Hinata jadi glagapan. Mata hitam yang berkilat itu harus diwaspadai.

"A-aku tidak ada persiapan untuk menginap di sini, jadi tidak membawa baju mandi atau pakaian ganti." Ujung handuk di remat gugup. Jantungnya bertaluh mengetuk kulit dada.

Madara terkikik geli. Lucu sekali melihat istrinya bisa segugup ini padahal mereka masih berstatus sah suami-istri bahkan sudah jadi orang tua. Ah sebenarnya itu hanya alibi Madara menyembunyikan rasa sesak di bawah sana. Shit! Juniornya mendadak bangun seketika. Rasanya celananya sudah menyempit dan sakit. "Aku akan memindahkan Ken ke kamar." Suara serak parau disembunyikan, Madara tak ingin Hinata mendengar ada nada kegugupan juga di sana. Tubuh ringan anaknya digendong ke salah satu kamar berukuran sedang dengan banyak sekali mainan. Kamar itu dulu memang merupakan kamar Ken sebelum kedua orang tuanya berpisah.

Ketika hendak melewati Hinata, ia berhenti. Berbisik pelan di telingga yang memerah. "Tunggu aku di kamar kita, akau akan mandi."

'Pessssss'

Bisa dibayangkan bukan bagaimana reaksi Hinata menerima undangan sarat akan maksud itu. Meski bukan yang pertama namun mereka sudah tidak melakukannya lagi hampir selama dua tahun. Paling sering interaksi intim mereka cuma ciuman atau pelukan sejak pisah rumah. Namun kini berbeda, Madara menginginkannya dan dirinya begitu merindukan Madaranya.

Hinata jadi seperti perawan di malam pertama, bingung, gugup dan berdebar. Apalagi sewaktu ia tidak sengaja melihat titik tengah celana suaminya. Ya ampun, ia tidak sedang bermimpi kan? Kenapa bisa sampai mengembung sebesar itu! Dan itu hanya setengah bangun. Mampus kau Hinata. "Aw." Lengan dicubit sendiri, pikiran mesum enyahlah kau!

Hinata sudah berada di dalam kamar utama yang lebih luas dari kamar yang lain. Suara kran shower yang dinyalahkan terdengar seperti derapan kaki kuda yang melangkah mendekat. Handuk yang membalut tubuhnya sudah ia ganti dengan kaos milik Madara karena ia sama sekali tidak mempunyai baju ganti. Inginnya sekalian memakai celana pendek selutut suaminya karena kaos kebesaran ini hanya menutup sampai paha atas, nyatanya koloran karet celana tersebut terlalu longgar untuk tetap menempel di pinggang. Alhasil kini ia duduk di atas ranjang dengan tangan yang tak hentinya menarik-narik ujung kaos agar tidak semakin tersigap ke atas. Resah dan gelisa, entah kenapa mendadak Hinata merasakan perasaan layaknya pengantin baru di detik-detik malam pertama.

"Hinata tenanglah, kau sudah jadi ibu-ibu, jangan gugup seperti ini." Ia bermonolog sendiri. Tarikan napas teratur Hinata lakukan, ambil udara sebanyak mungkin lalu hembuskan secara berlahan. Melakukan seperti itu beberapa saat sampai akhirnya berhasil menenangkan detak jantungnya. Namun sayang, terlalu berkonsentrasi sampai membuatnya tidak sadar jika ada dua lengan kekar yang memeluk perutnya erat.

"Sedang apa sayang, hm?" Hidung mancung mencium leher dingin yang harumnya familiar. Tentu saja, sabun yang digunakan Madara sama dengan yang dipakai Hinata juga. "Tidak gugup kan?" Sisa air menetes ke ranjang namun Madara tak mau peduli. Toh nanti akan berubah jadi hangat lagi jika mereka melakukan kegiatan panas bercinta.

Bulu kudu Hinata meremang. Sensasi dingin dari Madara bertabrakan dengan kulitnya yang mendadak panas. "Aku tidak gugup, lihat aku sedang berkonsentrasi agar cepat mengantuk." Pembohong besar dan pembohong payah, Hinata tahu betapa konyolnya dirinya ketika berbohong. "Kenapa tak memakai baju atasan, kau bisa masuk angin." Pura-pura punya attensi selain dua mata elang yang menatap dengan tajam, Hinata malah beralih pada dinding kamar bercat kream. Sialnya ia secara tidak sengaja melihat ke area celana Madara yang di titik tengahnya masih nampak menonjol seolah ingin mencebol keluar.

"Hey, ini memang kebiasaanku bukan. Bertelanjang dada ketika akan tidur, apalagi jika tidur dengan istriku ini. Mungkin aku lebih memilih agar kita saling telanjang saja." Frontal dan tak peka suasana. Cara Madara mengoda memang berani, apalagi sekarang ia sudah mulai merebahkan tubuh Hinata hingga terjeblak ke atas tempat tidur– siap santap.

"Ma-madara, apa benar kau ingin melakukannya malam ini?"

"Kau keberatan?" Lagi, bibir Madara mencuri ciuman di telinga lalu turun ke tengkuk leher dan menggigitnya pelan. Kecupan warna merah bekas kecupan membuatnya membuat Madara menyunggingkan senyuman tipisnya.

"Aw, jangan menggigit di tempat terbuka." Hinata tidak ingin nanti Ken bertanya macam-macam perihal adanya tanda merah di lehernya.

"Lalu jawab pertanyaanku, apa kau keberatan jika kita melakukannya? Memasukkan juniorku ke dalam lubang hangatmu." Madara semakin menggoda istrinya yang jika dilihat baik-baik begitu seduktif malam ini. Entah Hinata sadar atau tidak namun kaos yang ia pakai tersigap terlalu ke atas. Tidak masalah sebenarnya, namun akan menjadi cambukan gairah jika istrinya ini tak memakai pakaian dalam. So damn hot! Hinata mampu membangunkan sisi tergelap dari dirinya.

"Bukan seperti itu, tapi. . ." Bagaimana jika nanti kau kecewa. Perutku tak selangsing dulu, pasti ada timbunan lemak di sana. Hinata ingin berkata seperti itu, namun semuanya hanya menggantung di tenggorokan ketika Madara sudah gelap mata tak sabar mencicipi istrinya yang menggemaskan ini.

Buru-buru Hinata bangun, ingin memberikan sebuah pernyataan agar tidak ada rasa kecewa satu sama lain. "B-banyak lemak di perutku, menjadi pemilik restoran membuatku harus berkutat dengan makanan." Madara diam mendengarkan, ia tidak mengerti kenapa hal sesepeleh itu bisa membuat Hinata begitu khawatir.

"Tidak masalah, bagiku kau sangat seksi."

Ciuman brutal Madara yang melumat bibir istrinya membuat Hinata tersedak ludahnya dan ludah Madara yang bercampur. Tengkuknya di tarik ke depan memperdalam ciuman lengket itu.

"Nnghhh. . ." Desahan pelan namun seduktif, Madara menggeram karena celananya terasa semakin sempit. Tangannya mulai bergerak, menyusup dalam balik kaos kedodoran dan voilaaa! Istrinya memang berniat menggodanya, payudara montok tanpa sokongan bra. Madara leluasa mengeksplore jarinya ke mana-mana.

"Ma-madara. . . ahhhh~" Paras sayu dengan mata sendu, Hinata sendiri pikirannya sudah blank ketika Madara mulai memilin memencet putingnya. Melupakan semua attitude, Hinata tak menampik jika dirinya terangsang dan begitu merindukan belaian suaminya. Sudah dua tahun mereka tak lagi mengecap rasa hangat dari masing-masing, cinta dan nasfu saling bercampur menggetarkan setiap raga untuk minta saling dipuaskan. Hinata tak ingin bersikap denial berpikiran naif, ia begitu menginginkan Madara bahkan jika harus tampil agresif maka ia sudah tak peduli lagi. Dua tangan Hinata terkalung pada leher Madara, sedikit meremas dan memijat. Madara menggeram, Hinata tahu tempat kesukaan Madara untuk di sentuh.

"Yeah, make me hot babe." Kaos pengganggu itu akhirnya dilucuti dari tubuh sintal Hinata. Ia bersiul, melihat betapa pahatan tubuh istrinya ini selalu bisa membuatnya semakin mendidih. Tanpa membuang waktu mulut Madara mengecup dada lalu menyesap sebuah puncak yang memerah. Hinata melengkuh nikmat, merasakan adanya kejut listrik di sarafnya yang membuat bagian bawahnya seolah basah. Seolah tak puas dengan itu saja, puncak merah yang satunya mendapat perhatian khusus dari jari-jari Madara yang lihai untuk bermain di sana.

"Sayang~" panggilang langkah yang tak pernah Madara dengar itu akhirnya terucap di bibir bengkak Hinata. Ia menyeringai, malam ini akan menjadi malam panjang bagi mereka. "Ugghh, jangan mengigitnya Madara." Hinata sedikit protes merasakan gigi-gigi Madara ikutan mengerjai putingnya. Mata putih yang berkabut nafsu itu melirik ke selangkangan Madara, tersenyum misterius melihat gembungan di tengahnya. Ia mulai ikut bermain, meraba punggung Madara lalu turun ke resleting celana. "Umm, apa tidak sempit?"

"Keh, jangan nakal sayang."

Bibir merah itu mengerucut imut. "Tapi lihat, adikmu nampaknya tersiksa." Elusan lembut namun sedikit meremas. Hinata senang melihat raut wajah suaminya dengan dahi mengkerut menahan nikmat. "Sini biar aku yang urus." Madara menahan nafas, sejak kapan Hinata-nya menjadi seagresif ini. Apalagi tangan kecil dengan jari bak penari gemulai mengelus gundukan besar dan meremasnya dari luar.

"Ssshhh. . ." Tak sadar Madara ikut mendesah dan Hinata tertawa senang melihat betapa suaminya ini bisa ia taklukan. "Kau benar-benar nakal sayang, sangat cabul serta binal, dan kalau boleh tahu siapa yang mengajarimu cara mengeraskan adikku seperti ini hm?" Madara menghujami perut rata Hinata dengan ciuman dan lijatan, beberapa bahkan sengaja ia buat memerah untuk menjadi tanda kepemilikan.

"Aku tidak nakal." Bibir mempout imut mirip Ken ketika merajuk "Dan yang mengajariku seperti ini adalah lelaki tampan yang kini sedang menindihku."

"Dasar masokis." Dahi Hinata disentil pelan,"Jadi, bisa kau puaskan adikku yang menegang di bawah sana?"

Resreting celana di tarik turun, hitam kelam celana dalam suaminya terlihat elegan. Koloran celana dalam diitari, bekas karet yang melingkai pinggang Madara diusap pelan oleh Hinata. Hinata terlalu lama menggoda, Madara bukan lelaki penyabar. Dengan cepat ia melepas dan melempar celananya ke lantai. "Jangan membuatku menunggu lama Hinata." Mata lavender itu menatap sebal pada dua manik hitam yang berkilat birahi. Secara langsung dua tangan Hinata menangkup benda panjang yang menjulang dan mengocoknya naik turun. "Teruskan Hinata, lebih cepat." Madara mulai bergumam, sensasi tegang membuatnya memejamkan mata.

Tak hanya service dengan tangan, kini Hinata mulai menjilat ujung kejantanan suaminya yang telah mengeluarkan cairan precum. Lidah basah itu mengcup semua tempat di kelelakian Madara hingga membuat lelaki bertubuh kekar itu langsung menarik wajah Hinata mendekat agar memperdalam kuluman di kejantanannya.

"Ma-ugggnn. . ." Tentu saja ring size kejantanan Madara yang tengah ereksi terasa terlalu besar bagi mulut mungil Hinata. Tenggorokannya bahkan mulai terasa sedikit sakit akibat sodokan benda besar yang dimaju-mundurkan oleh pinggul suaminya. Lain lagi dengan Madara yang semakin menggeram dan mendesah keenakan ketika kajantanannya berada di rongga hangat Hinata. Ugh, begitu kecil apalagi dengan gigi-gigi Hinata yang seolah menggesek secara halus permukaan kulit juniornya yang berurat.

"Hi-hinata tahan sebentar." Badan Madara seolah bergetar, perutnya geli ingin mengejan. Hinata sadar apa yang akan terjadi. Ukuran junior Madara bertambah besar dan keras, semburan cairan putih tak bisa dielakan lagi menyemprot ke dalam mulutnya hingga tertelan.

"Uhuk-uhuk," Hinata terbatuk, sebagian sperma Madara menetes dari sela bibirnya. "Kau mengeluarkannya begitu banyak." Gerutu Hinata. Madara hanya terkekeh, ia mengecup bibir Hinata dan sedikit menjilatnya.

Setelah Hinata yang memberi pelayanan pada Madara, kini giliran dirinya yang akan membuat istri submissive-nya ini menjerit meminta lebih. Kaki Madara ikut bermain, merenggakan dua kaki mulus untuk bisa melebarkan sebuah rimbah yang tertutup bulu-bulu hitam halus. "Wow, kau sudah basah di sini sayang." Tangan Madara merasakan cairan setengah lengket keluar dari lubang surga yang menjadi incaran terakhirnya nanti.

"Nyyaaahhh~" Hinata melengking terkejut, pinggulnya mendadak melengkung indah ketika jari panjang Madara menerobos kerapatan otot kewanitaannya. "Sakit Madara." Hinata tidak bohong, satu jari yang kini bersarang di lubang lembabnya memang terasa sakit. Madara mengelus lembut alis istrinya, ia sadar meskipun Hinata telah melahirkan satu anak namun selama kerapatan dari lubang kewanitaannya sangat sempit, bahkan ia bisa merasakan otot-otot berkedut yang mengapit jarinya.

'Ini gila! Istrinya tak bisa diremehkan.'

Dua jari ditambahkan Madara, mengobrak-abrik setiap saraf sensorik wanita di bawahnya sampai bergelinjang ke sana-sini. Gerakan menggunting dan merenggangkan membuat Hinata seolah melayang, ia terus mendesah, menyebut nama lelaki yang tengah memperisiapkannya untuk bersenggama. Spot kenikmatan Hinata tersentuh oleh salah satu jari, ia kembali melengkuh, kali ini dibarengi dengan semburan cairan kental beraroma mengundang yang manis.

Belum puas membuat Hinata orgasme dengan jari, Madara menjulurkan lidahnya ke pintu liang yang seolah siap untuk menghisapnya. "A-apa yang kau lakukan?" Jemari lemas Hinata meremas rambut madara yang mengesek-gesek area kewanitaannya. "Madara," Suara lirih ingin sekali segera menuju permainan puncak. "segera selesaikan." Napasnya setengah-setengah mengejar sisa-sisa kenikmatan yang sempat ia dapatkan. Namun Madara tak mengubris kemauan istrinya. Hidung mencungnya menusuk-nusuk sebuah daging sebesar biji kacang yang ia yakin bisa membuat Hinata kembali mengeluarkan cairan manis.

Dugaannya tepat, Hinata semakin meliar dengan tubuh yang meremang. "Jangan ditahan sayang." Madara sudah siap di depan pintu, siap untuk menampung cairan cinta yang keluar secara deras. Hinata memekik merasakan lidah Madara yang memasukinya, menyesap serta mengisap habis semua yang ada. Oh ya ammpun, Hinata sudah merasa lelah bahkan sebelum puncak permainan. Ia jadi tidak yakin apakah masih sanggup mengimbangi segala gairah suaminya yang seperti singa lapar.

Meski sudah lelah, namun kesadaran Hinata masihlah belum redup. Ia dapat merasakan Madara yang tengah membimbing ke dua kakinya untuk melingkari pinggul Madara. Mata putih itu sempat membeliak lebar. Sungguh! Kejantanan Madara yang tegak berdiri dengan gagah membuatnya menelan ludah gugup. Hey, ia tidak akan mundur, tapi ia hanya sedikit was-was bagaimana rasanya ketika benda besar dengan urat-urat yang menonjol itu akan masuk pada lubang sempitnya.

"Shhhh. . ." Hinata mendesah tertahan ketika ujung kepela junior Madara masuk sampai pintu gerbang. "Pelan-pelan, sayang." Pinta Hinata.

"Aku tak yakin." Dahi yang meski sudah berumur namun tidak terlihat guratan tua itu kini terlihat otot-otot yang menegang. "I-ini sangat sempit sayang." Sungguh, ini hanya masih ujung kepalanya tapi lubang kewanitaannya Hinata sudah menjepitnya keras seolah mendorong miliknya keluar. Tapi jangan sebut ia Uchiha jika tidak bisa menerobos segala bentuk halangan dan rintangan. Madara menarik napas panjang, ia tak ingin berbasa-basi, jika sekali hentak bisa langsung masuk kenapa tidak dicoba.

JLEB

"Aahhhh, nnggghhh. . ." Tubuh Hinata melengkung seperti busur panah yang dilepas. Tangannya dengan reflek memeluk erat punggung kokoh untuk menjadi pelampiasan akan rasa sakit dan nikmat yang menjalar dari lubangnya. Napasnya semakin tersenggal-senggal, tubuhnya berkeringat panas. Butuh waktu baginya untuk beradaptasi dengan benda asing yang seolah membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Tapi, sekali lagi Madara bukan tipe lelaki penyabar. Ia tak bisa diam merasakan rematan-rematan berkedut dari dinding kewanitaan istrinya, bisa-bisa ia klimaks sebelum goyang pinggul.

Madara mulai gerakan memompah, naik turun secara berkala agar pasangannya juga bisa mereguk nikmatnya persatuan mereka. "Feel me inside." Bisik parau Madara di cuping istrinya yang sontak bewarna merah. "Kau bisa merasakan bukan? Juniorku yang bersarang pada lubang hangatmu." Hinata tak bisa menjawab, tidak ada kata-kata yang berada di otaknya kecuali rasa hujaman kejantanan besar yang terus bergerak semakin dalam. Mencumbui setiap inci bagian terdalam dirinya.

"Ah, ah, ah, Madara teruskan. Ayo sayang semakin dalam." Bibir merah itu merancau nakal, bahkan pinggulnya ikut menari menyambut setiap hentakan yang bisa membuat dirinya kecanduan. Payudara yang ikut naik-turun itu terlihat menggoda di mata gelap Madara. Ia meraup puting merah itu dengan mulutnya, menyesap seperti anak bayi yang menyusu.

Gerakan menggenjot Madara semakin menggila, ranjang berdenyit menahan gerakan dua orang yang sedang saling menyatukan diri. Posisi Hinata yang terlentang diubah secara reflek, Madara mengangkat Hinata untuk mendudukinya. "Ride me honey." Wanitanya mengangguk mengerti. Pinggul Hinata timbul tenggelam menelan kejantanan Madara yang mengacung seperti pasak bumi. Bokong berisi Hinata diremas gemas, Madara begitu mencintai istrinya ini. Ia menyakinkan dirinya untuk tidak melepaskan wanitanya apapun yang terjadi.

Gerakan yang liar dan berputar, Madara tak lagi menjadi kuda jinak untuk penunggangnya. Cepat-cepat ia kembali mendorong Hinata terlentang, sudah waktunya untuk menumpahkan semua benihnya ke dalam rahim istrinya.

"Kau nikmat, lubangmu begitu sempit dan menjepit." Madara terus melakukan gerakan menyundul, menubruk titik-titik kenikmatan yang selalu ia ingat dimana letaknya. Kaki si wanita semakin direnggangkan, pinggulnya ditarik sedikit ke atas sampai ia bisa melihat lubang merah gelap yang kini mengulum bulat-bulat kejantanannya.

"Madara, aku hampir sampai." Bisik Hinata. "Aku juga Hinata." Balas Madara yang sama sekali tak memelankan laju sodokannya. Pria dewasa itu diujung batas, ia menggeram di ceruk leher Hinata. Sebuah ledakan terjadi di bawah sana, baik Madara maupun Hinata sama-sama meraup klimaks.

Hinata mendesah ketika rasa hangat mengalir masuk ke dalam rahimnya. Begitu banyak sampai ada yang menetes lewat sela persatuannya dengan Madara. Ya, Hinata telah sampai diujung kenikmatan bersetubuh dengan orang yang ia cintai. Rasa lelah memenuhi tubuhnya, mata meredup ingin beristirahat.

"Jangan tidur sayang, aku masih ingin beberapa ronde lagi."

"Eh?"

.

.

Baru kali ini Hinata bangun kesiangan, meski am dinding masih menjukkan pukul enam pagi namun baginya ini sudah terlambat untuk membangunkan Ken serta menyiapkan makanan.

"Isshhh. . ." Tanpa sadar ia mendesis merasakan ada yang mengganjal di bawah sana. "Astaga." Ia menahan suaranya agar tidak melengking membangunkan seisi rumah. Pipinya merona hebat melihat kejantanan Madara masih bersarang di dalam lubangnya. Meskipun tidak dalam keadaan ereksi tapi tetap saja ukuran normal kepunyaan Madara tetap terasa besar dan penuh.

Dengan halus Hinata membelai wajah damai pria dewasa yang masih tertidur pulas. "Madara, bangun." Ia berujar pelan, "Sudah pagi dan kau harus mengeluarkan adikmu itu." Dada bidang digelitik pelan lalu dicubit supaya pria itu segera bangun.

Kelopak mata Madara berlahan bergerak terbuka, hal yang pertama ia lihat adalah wajah cantik istrinya yang tengah bersandar di atas dadanya. Ini bukan mimpi, Hinata nyata berada dalam dekapannya. "Biarkan saja, ia masih rindu rumahnya." Ah senang sekali di pagi ini Madara bisa melihat betapa meronanya wajah yang semalam penuh dengan ekspresi syahdu kenikmatan.

"Jangan mesum Madara, ingat ini hari senin. Kau dan aku harus bekerja, dan Ken harus sekolah." Mau tak mau Hinata melepaskan dirinya dari dekapan Madara. Ia mulai beranjak dari ranjang, sedikit meringis kala rasa ngilu menjalar dari bagian bawah tubuhnya. Hinata tentu sangat ingat kenapa hal itu bisa terjadi ditambah dengan banyaknya bercak merah di seluruh tubuhnya. Memang permainan Madara pada awalnya sangat lembut namun semakin lama pria itu seolah tak kehabisan stamina dan semakin liar tak terkendali. Meskipun Hinata tak menampik ia juga menikmatinya tapi tetap saja ia sedikit marah dengan suaminya yang membuat kakinya susah digerakkan pagi ini.

Madara melirik sekilas istrinya yang sedikit terhuyung ketika berjalan ke kamar mandi. Sebenarnya ia sendiri tidak tega sampai harus bermain kasar, namun itu semua tentu ada alasannya. Bibirnya menyeringai, ah mungkin Hinata tidak tahu jika secara diam-diam suaminya ini menilik masa kesuburannya. Bercinta di waktu yang tepat agar bisa mengikat Hinata kembali pada dirinya. "Aku tidak akan melepaskanmu, Uchiha Hinata." Katakanlah Madara mulai gila atau otaknya sudah bergeser. Apa yang sudah menjadi miliknya tidak akan bisa ia lepas begitu saja apalagi jika menyangkut orang yang berhasil menguasai hatinya. Cara apapun akan ia lakukan untuk tetap bisa memilikinya.

"Berdo'alah Ken semoga kau cepat menjadi kakak."

.

.

Mobil Audi hitam itu berhenti di salah satu sekolah dasar. Sebagai orang tua yang baik maka sudah sewajarnya jika Madara maupun Hinata mengantarkan Ken ke sekolahnya. Raut bocah enam tahun itu lebih ceria dari biasanya, semakin lucu dan juga tampan. Mungkin ini efek karena ia bisa melihat kedua orang tuanya mulai nampak akur. Apalagi ketika tadi pagi Ayah dan Ibunya kembali makan bersama dalam satu meja. Ken benar-benar merindukan suasana kebersamaan Ibu dan Ayahnya meski ia sedikit sebal karena ternyata semalam ia tidur sendirian.

"Ayo jagoan kau harus sekolah." Madara membuka pintu mobil lalu membantu Hinata melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di tubuh mungkin putranya.

"Baik kapten." Sikap Ken mirip seorang prajurit yang memberi hormat pada atasannya. "Ken akan belajar dengan giat."

"Bagus sayang. Kau harus menjadi nomer satu, kalahkan setiap pesaingmu, darah Uchiha tidak boleh kalah."

"Yosh!" Keduanya saling melayangkan tinju tangan. Ayah dan anak yang berparas tampan itu sontak menjadi perhatian para orang tua yang sedang mengantarkan putra-putri mereka.

Hinata tersenyum sekilas melihat kelakuan dua lelaki itu dari balik jendela mobil. Melihat betapa senangnya Ken ia jadi berpikir apakah Madara memang serius telah berubah? Nyatanya Hinata memang banyak melihat perubahan besar dari hidup suaminya itu. Andai Madara dulu tidak membalikkan punggung pasti mereka bertiga masih bisa bersama, namun Hinata menekan perasaannya. Untuk saat ini ia sudah merasa sangat bersyukur.

Cup, tanpa Hinata sadari Madara telah menciumnya lagi. "Sayang jangan melamun, kau mau kuantar ke apartemenmu atau langsung ke restoran?"

Hinata memandang wajah suaminya. Rupa yang seolah tak berubah itu selalu bisa membuat jantungnya berdegup. Meski terkesan dingin dan datar namun Hinata bisa melihat pancaran kehangatan dari dua mata hitam itu. Inilah yang dulu membuat dirinya jatuh cinta pada Madara, sosok dingin yang selalu bisa memberikan rasa hangat. Semua benteng yang ia bangun untuk bisa mengenyahkan segala bentuk perasaanya pada pria yang telah memberinya satu putra itu selalu bisa runtuh tanpa sebab.

"Aku akan langsung ke restoran."

Jauh di dalam lubuk hati Hinata mulai berharap.

Agar suaminya, Uchiha Madara berjuang sedikit lagi untuk bisa menyakinkannya.

.

.

.

TBC or END?

Hehehe itu semua tergantung readers dan mood author/kaburrrr. Rencananya memang bakal saya buat multichapter, tapi saya sadar kalau sering kena penyakit stuck ide-blank imajinasi. Apalagi saya ini tipe author yang sering update karet jarang on time, padahal udah saya bikin jadwal tapi tetep aja tak berefek. Well, apapun itu jangan lupa tinggalkan jejak review.

11/02/16

Atharu_u