Musim panas ini sangat menyengat dipandang. Langit-langit biru menghiasi kehidupan panas. Di kota penuh hirur pikuk, dan betul-betul sangat berisik, beda sekali dengan rumah mungil di sana. Tidak besar juga tidak kecil.
Halamannya juga tidak luas, hanya ditanami rumput kecil. Rumah mereka terlihat sama di mata, tetapi sakit jika dipandangi terus. Sejujurnya semua bangunan yang ada selalu sama, tetapi arsitektur betul-betul beda di luar maupun di dalam.
Sekarang pandangan kita terarahkan ke rumah perkarangan tidak luar, terlihat biasa-biasa saja dan rumahnya bertingkat dua. Di dalam rumah tersebut dihuni oleh tiga anggota keluarga, sebenarnya ada empat, tetapi satunya sedang berada di luar kota.
Di dalam rumah tersebut memang dihuni keluarga kecil, yaitu tiga. Siapa saja mereka? Apa yang mereka lakukan di sana?
Saat dibuka pintu utama yang kecil, keluarlah anak-anak kecil berambut blonde pendek dan anak kecil berambut merah pendek. Dua-duanya perempuan kecil yang masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar (SD).
Yang terakhir keluar adalah pria berambut kuning emas jabrik secerah sinar matahari. Awas silau! Setelah menutup pintu dan menguncinya, pria ini berjalan-jalan demi mengantar anak-anak perempuannya ke Sekolah Dasar yang tidak jauh dari rumah mereka.
Mereka adalah keluarga Uzumaki. Keluarga harmonis dan ingin sekali membutuhkan ibu. Ada-ada saja, deh.
..oOo..
Take Me With You
.
.
DISCLAIMER: NARUTO © KISHIMOTO MASASHI
WARNING: OOC, AU, miss typo, konyol, aneh, deskripsi seadanya tidak berbelit-belit.
.
.
..oOo..
.
.
"Ayo, Ino, Karin! Nanti kalian terlambat!" teriak pria bertinggi besar memanggil kedua anaknya yang sedari tadi membatu di tempat. Bingung pada tingkah mereka, pria yang dinamai Uzumaki Naruto menghampiri dan berjongkok agar sejajar dengan mereka.
"Ada apa dengan kalian? Kenapa belum beranjak dari tempat ini?" tanya Naruto khawatir pada anak-anaknya yang mulai diam membisu seperti hantu siap melahap siapa saja.
Demi mendahului sang kakak di dekatnya, gadis berambut pendek blonde menengok ke ayahnya, manyun. "Aku tidak mau sekolah sebelum ayah cari ibu baru."
"Aku juga," sahut gadis bernama Karin mengangkat tangan ke atas. Naruto mengernyit pada ulah anak-anaknya yang meminta ibu baru. Mencari di mana sang ibu baru?
"Hei, hei... biarpun ayah duda dan ditinggalkan pergi oleh ibu tidak bertanggung jawab, ayah masih bisa menghidupi kalian berdua, kok." Naruto tidak mau kalah pada permintaan kedua anaknya yang mulai aneh-aneh.
"Mana ada seorang ayah yang tidak bisa masak, kecuali masak mie dan masak air!" semprot Ino menggembungkan kedua pipinya. Memalingkan muka. Ugh! Naruto memang tidak bisa masak, jika dia masak palingan Cuma masak mie dan air.
"Dan juga, tidak bisa membuat kami senang!" teriak Karin juga seraya memalingkan muka, mengerucutkan bibir ke depan.
"Apa yang membuat kalian tidak senang, hm?" Tangan Naruto menggamit lengan mereka agar mereka bersedia menatapnya. "Ayah sudah merapikan baju kalian, membersihkan rumah, memandikan kalian, menidurkan kalian dan lain-lain. Lalu, apa lagi yang kurang?"
"Tidak ada," sahut mereka menggeleng bersamaan. Naruto lega karena mereka bisa mengerti. Tetapi, mereka masih berucap lagi, "tapi, sudah menyuruh nenek pergi merantai ke kota demi cari kakek baru. Padahal kami mau nenek bersama kami sampai dewasa."
Naruto lupa dengan ibunya, Uzumaki Kushina. Sama seperti dirinya, suaminya juga tidak bertanggung jawab. Melarikan diri begitu saja tanpa meninggalkan satu sepersen pun. Kushina meminta dicarikan suami, tetapi Naruto terlalu sibuk, akhirnya Naruto tidak sengaja menyuruh Kushina pergi sendiri. Hadeh... anak dan ibu sama saja.
"Mulai sekarang, detik ini!" sok mereka bertingkah dewasa melebihi Naruto. "Kami tidak mau sekolah! Titik!"
Ino dan Karin balik badan, berjalan menuju arah sekolah. Eh? Arah sekolah? Bukannya mereka tidak mau sekolah? Naruto heran pada tingkah anak-anaknya. Sebelum bertanya, mereka sudah berbicara duluan.
"Kami mau ke sekolah untuk minta izin selama seminggu." Itulah jawaban yang bikin Naruto kaget setengah mati. Mana ada yang mau minta mogok sekolah, meminta izin ke gurunya? Ini kejadian langka daripada kena imbas dapat nilai anjlok.
Inilah keluarga Uzumaki yang unik berlebih. Setiap ada masalah, bukan ayah yang marah-marah, tetapi anak-anak yang minta protes. Sekali permintaan dipenuhi, besok-besoknya tidak akan dilakukan lagi. Tetapi, jika ini berkaitan tentang seorang ibu, Naruto tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka 'kan lebih keras kepala dibanding dirinya.
Baru sepersekian langkah dilalui, Ino dan Karin menatap sebuah mobil pengangkut barang. Mereka terpesona melihat mobil itu sekaligus para pekerjanya. Jika mereka pindah, tentu saja para pekerja akan membawa barang-barangnya ke dalam rumah baru.
Karena tidak melihat ke depan, Ino dan Karin menabrak seorang wanita. Keduanya jatuh ke belakang sampai pantat mereka yang kecil terbentur aspal jalan. Mereka meringis kesakitan. Saat mau memarahi wanita itu sengaja menabraknya, kedua mata mereka terbelalak.
Rambut panjang berkibar-kibar sesuai arah angin, kulit putih terpancar oleh sinar matahari, gaun berwarna biru dan lengannya panjang menghiasi tubuhnya, membuat keduanya tidak bisa teralihkan. Uluran tangan tidak ditanggapinya sedari tadi karena terus melihat wajah cantik dan manis di depannya.
"Ka-kalian tidak apa-apa. Ma-maafkan aku ka-karena menabrak kalian, a-adik-adik kecil."
Seperti yang diduga, Ino dan Karin masih terpesona seperti bidadari baru lewat saja. Keduanya belum berdiri, beranjak dari sana, tetapi berubah jadi patung hias.
Ayah mereka yang lamban berjalan karena masih terkaget-kaget di tempat atas tingkah anak-anaknya yang aneh, kembali terkejut karena dia juga sama saja. Artinya, Naruto menatap seorang bidadari memiliki lekuk tubuh yang indah. Nafsu menggugah selera Naruto.
Ketiga anggota Uzumaki ini benar-benar seperti manusia yang terpesona pada suatu objek. Sekali dilihat, tidak bisa putus dan teralihkan. Ayah dan anak sama saja begitu pula dengan wanita berambut biru bingung, lalu meminta pertolongan dengan cara melirik, malah menemukan pria yang menatapnya. Jadi, dia juga ikut terpesona.
Keempat orang ini terus beradu tatapan. Tidak bisa lepas. Sekali dilihat, lupa segalanya. Susah juga memiliki mata yang siap menatap sesuatu yang tidak pantas.
Teman wanita itu heran pada temannya yang sedari tadi tidak kunjung-kunjung datang dan membantunya, melangkah menuju arahnya. Tentu saja dia kaget, karena melihat orang-orang saling menatap satu sama lain.
Temannya memandang pria berambut blonde, pria berambut blonde menatap temannya, dan kedua anak ini juga menatap temannya. Saat teman wanita berambut biru panjang menepuk pundaknya, tidak ada respon. Menjentikkan jari di depan wajahnya, juga tidak ada respon. Mengguncang-guncang bahunya, apalagi.
Karena menyerah pada sifat-sifat keempat orang yang terlihat aneh di mata orang, teman wanita ini mempunyai ide bagus untuk menghentikan semuanya. Dengan cara...
TUUUTT! TUUUTTT!
Bunyi klason mobil mengagetkan keempat orang ini. Berkali-kali klason mobil dibunyikan membuat mereka menutup telinga dengan kedua tangan. Mereka tidak tahan lagi sehingga salah satu di antara mereka harus berteriak, mencegah.
"Sakuraaa! Hentikan itu!"
Suara klason mobil terhenti dan turunlah teman wanita tersebut memiliki rambut merah muda berukuran pendek. Wanita ini yang dipanggil Sakura oleh wanita berambut panjang, menyilang kedua tangan di depan dada.
"Tadi aku memanggil dengan cara lain, kamu tidak menyahut..." kesal Sakura setengah mati. "... Hinata."
"Ma-maafkan aku, Sakura. Ta-tadi aku terus me-melihat seseorang," jawab wanita disebut Hinata menunduk menutupi wajahnya yang sedih, Sakura jadi mendesah.
"Tidak apa-apa, Hinata. Asal kamu jangan melakukannya lagi." Sontak Hinata angkat kepala dan tersenyum kemudian memeluk temannya. Karena terlalu menanggapi ucapan Hinata dan tidak melihat ke arah ketiga orang yang saling membantu. "Siapa mereka, Hinata? Apa kamu kenal?"
Hinata melepas pelukan Sakura, menengok ke belakang di mana Naruto membantu dua gadis kecil yang masih duduk di atas aspal. Karena tergoda, Hinata menghampiri mereka dan ikut membantu berdiri.
"Ka-kalian tidak apa-apa?"
Ketiga orang ini tentu saja terkejut. Wanita yang dipandangi oleh mereka, mendongak ke arah wanita tersebut. Ino, Karin, dan Naruto wajahnya tadi normal langsung merah merona seperti kepiting rebus.
Hinata jadi kaget dibuatnya. "Ka-kalian jadi me-memerah."
Salah satu di antara mereka memegang kening masing-masing. Tidak ada yang panas. Juga tidak demam. Entah kenapa wajah mereka seperti itu, setiap kali memandangi wanita di depan.
Supaya keluar dari kesengsaraan, Naruto menarik lengan Karin dan Ino untuk berjalan jauh dari tempat wanita bernama Hinata tersebut. Mereka menuju arah sekolah. Hinata dan Sakura justru kebingungan pada tingkah aneh keluarga tersebut.
"Kamu kenal, Hinata?" tanya Sakura kepada temannya. Hinata menggeleng.
"Aku tidak kenal, Sakura. Aku baru saja bertemu dengan mereka di sini."
.
.
Arah menuju sekolah, terhenti di depan gerbang depan sekolah Konoha. Ino dan Karin diturunkan dari gendongan sang ayah, akibatnya ayahnya jadi ngos-ngosan. Ino dan Karin memasang binaran di kedua bola mata yang warnanya beda-beda.
"Kamu lihat tadi, Ino? Wanita itu cocok jadi ibu kita!" Kedua tangan Karin ditautkan bersamaan, berharap angan-angan itu jadi kenyataan. Ino pun demikian.
"Iya, kak Karin. Wanita tadi cocok jadi ibu kita."
"Hei, hei. Ayah belum kenal, kenapa kalian mau menjodohkannya dengan ayah, sih?" kening Naruto berkerut, menyilang kedua tangan.
Tidak mau kalah, Ino mengacungkan jari telunjuk mengarah pada Naruto. "Ayah juga, terpesona pada cantiknya wanita tadi?! Hayoo, ngaku, deh!"
"I-itu..." Naruto gagap, susah menjawab pernyataan to the point Ino. Punya cara lain, langsung ditepisnya. "Itu karena ayah melihat kalian, dan tidak sengaja kaget dan menatap wanita tadi."
"Ngeles." Karin berkacak pinggang, menggeleng.
Mau bagaimana lagi, setiap kali mencari alternatif lain, keduanya pasti beranggap dia mengelak. Naruto, 'kan malu, tidak mungkin dirinya suka pada wanita yang pertama kali membuatnya jatuh cinta.
"Mulai sekarang, ayah harus mengajaknya datang ke rumah kita sebagai tanda selamat datang ke kota ini. Bagaimana?" tanya Karin seraya meminta permohonan. Naruto terlihat bingung pada keputusan ini.
"Kami janji, deh, kami tidak akan mogok sekolah lagi," kata Ino mengacungkan lima jari seperti mengucap sumpah.
Sebenarnya Naruto mau tetapi malu-malu. Tidak mungkin, 'kan, dirinya menyatakan hal sesungguhnya kepada kedua buah hatinya. Perasaan tidak karuan ini, tidak mungkin ditunjukkannya.
Tidak mau memutuskan seenaknya, Naruto melirik jam tangan. Kedua bola mata langitnya membulat hampir keluar dari rongganya. "Astaga, ayah terlambat masuk kantor!"
Mereka berdua juga melirik jarum jam milik sekolah mereka tempati, sama-sama kaget dan mata terbelalak lebar. "Kami juga terlambat. Tidaaaakk!"
Ketiga orang ini berlari ke arah berlawanan. Karin dan Ino menuju sekolah di depan mata, sedangkan Naruto menuju kantornya yang terletak tidak jauh dari sekolah, tetapi membutuhkan waktu lebih dari dua puluh menit jika berjalan kaki.
Waktu mereka direlakan demi seorang wanita pindahan dari kota lain, yang entahlah mereka tidak tahu. Jika benar begitu, sebentar lagi keunikan dan keutuhan keluarga mereka dipenuhi oleh anggota keluarga yang baru. Dialah wanita tadi sembari kebingungan pada tingkah kekonyolan ayah dari dua anak tersebut.
..oOo..
Waktu menunjukkan siang menjelang sore. Para penghuni sekolah telah berlarian keluar sekolah. Ada yang menetap untuk bermain bersama teman-temannya, tetapi ada juga pulang ke rumah untuk membantu orang tuanya demi menyiapkan makan malam.
Hanya kedua orang inilah yang berjalan pelan-pelan demi menunggu ayahnya datang dari arah berlawanan. Tentu saja mereka tahu kalau ayah mereka itu, sekali terlambat pasti diminta waktu lembur seperti kemarin-kemarin.
Jadi, di rumah me mereka pasti masak mie karena itulah yang mereka lakukan di rumah jika Naruto lembur. Habis... Narutolah yang mengajar mereka itu-itu saja. Tanpa ada kelebihan yang lain.
Sudah sore, karena langit senja yang menunjukkannya. Perut mereka keroncongan. Bunyi terus menerus sepanjang perjalanan. Mereka terlalu lapar, jadinya seperti ini.
Baru seperempat jalan, sudah ada seorang wanita menunggu mereka di depan rumahnya. Wanita itu tidak terlihat oleh keduanya, hanya tersenyum di tempat. Wanita itu menghampiri Ino dan Karin dan membungkuk perlahan di depan mereka.
"Halo, kalian berdua. Sudah lama tidak melihat kalian, ya." Suara itu terdengar familiar di telinga mereka. Sekali mendongak menatap pemilik suara itu, Ino dan Karin berjalan muncur dan saling berpegangan. "Kok kalian takut?"
"Ma-mau apa kamu ke sini?!" seru Karin menyelamatkan adiknya dari sergapan wanita licik dengan cara berdiri di depan Ino. "Bukankah kamu sudah pergi bareng laki-laki lain?"
"Kok kamu berteriak begitu pada ibumu, Karin?" tanya wanita berambut blonde panjang tersebut penuh sayu dan kesedihan.
"Tidak usah berbelit-belit, wanita gila! Kami tahu alasan kamu datang ke sini, karena minta uang lagi, 'kan?" teriak Ino di belakang Karin. Wanita yang dinamai Shion itu tersenyum kemudian tertawa lewat hidung.
"Hahaha... kalian kira apa? Kalian pikir aku mau bertemu kalian saja, hm?" Shion berjalan-jalan perlahan-laha mendekati mereka, tetapi mereka terus-terus mundur. "Ya! Aku mau minta uang pada ayah kalian. Karena rumah kalian terkunci, dan aku tahu ayah kalian sedang lembur, aku mesti minta pada kalian."
"Kami tidak akan memberikannya padamu!" Karin terus melindungi adiknya dari perbuatan mantan ibunya. Sebenarnya itu bukan ibu mereka, tetapi orang yang tiba-tiba saja meminta pertolongan pada ayah mereka makanya sering disebut ibu, itulah pemikiran orang-orang perumahan ini.
"Dasar anak kurang ajar!" Shion berlari dan melayangkan pukulan untuk mereka. Sebelum ditampar dan dipukul seperti yang dilakukannya dulu sejak ayahnya tidak ada di rumah, mereka menutup mata.
Hal itu tidak dirasakan oleh mereka, karena pukulan itu tidak terjadi. Mereka membuka mata, mendongak, dan melihat ada sebuah tangan menahan lengan Shion. Mereka melirik siapa lengan tersebut. Itu adalah wanita yang ditemuinya tadi pagi.
"Hentikan itu!" serunya kepada Shion. Hinata tidak tergagap seperti biasanya. Berkat dirinya yang dengar suara ribut-ribut di depan rumah, Hinata keluar dan kaget pada seorang wanita melayangkan pukulan kepada dua orang anak yang ketakutan. Hinata dengan sigap berlari dan menahan pukulan tersebut.
"Lepaskan aku!" Shion menarik tangannya dan berjalan ke samping. Hinata menghampiri Ino dan Karin yang gemetaran ketakutan dan melindunginya. "Hooo... sepertinya ayah kalian menemukan mangsa baru."
"Ti-tidak..." Ino yang hampir menangis karena ucapan pedih dilontarkan oleh Shion. "Ayah bukan orang seperti itu."
"Bukan seperti itu?" Shion mengacungkan jari telunjuk dan mengarah ke Hinata. "Lalu, kenapa wanita ini melindungi kalian? Apa dia benar-benar sengaja membantu kalian?"
"Kamu tidak perlu tahu!" bentak Karin menatap tajam pada Shion. "Jika kamu masih berada di sini untuk meminta uang, aku akan berteriak memanggil orang-orang agar kamu di bawa ke kantor polisi."
Takut pada ancaman Karin, seorang bocah berusia delapan tahun, Shion balik badan dan lari dari sana. Karin dan Ino yang terengah-engah, capek berteriak akhirnya menangis. Air mata yang ditahan-tahannya keluar dari kelopak matanya.
"Huaaaa!"
Hinata sedih melihat dua orang anak kecil terlihat kuat ternyata lemah setelah musuhnya menghilang. Hinata tentu kagum dan takjub pada keberanian mereka. Kedua lengan Hinata menarik Ino dan Karin ke pelukannya. Menenangkan keduanya agar berhenti menangis.
"Sudah, sudah. Jangan menangis. Ada bibi Hinata di sini."
Merasakan kelembutan tiada tara, Ino dan Karin sesenggukan dan tidur di pelukan Hinata. Sudah lama sekali, Ino dan Karin tidak dipeluk oleh seorang wanita kecuali neneknya. Mereka berharap seandainya wanita yang memeluk mereka menjadi ibu mereka yang sesungguhnya.
Tangis mereka berhenti dan tertidur lelap di bahu Hinata. Hinata bisa mendengar napas normal milik mereka berdua. Hinata tidak sanggup membawa mereka ke dalam rumah, karena ini lebih dari satu. Hinata hanya duduk berjongkok sambil memeluk mereka.
Hari sudah malam, Hinata belum beranjak dari sana. Kakinya pegal sekali. Baru bergerak sekali, dirinya mengernyit kesakitan. Tidak mau mereka bangun, Hinata hanya bersuara di dalam hati.
Ada seorang pria dari jalan sana menemukan mereka tertidur di bahu wanita tadi ditemuinya. Pria tersebut berlari mendekatinya dan membantu menggendong salah satu dari mereka.
"Maafkan saya karena merepotkan Anda," ucap pria tersebut ternyata adalah Naruto sembari menggendong Karin, sedangkan Hinata menggendong Ino.
"Ti-tidak apa-apa. Sa-saya senang bisa menolong," sahut Hinata kembali tergagap.
Kedua insan ini berjalan menuju rumah Naruto. Naruto mengambil kunci di saku celana dan membuka pintu tersebut lewat kunci. Naruto juga menyalakan lampu. Hinata membantu Naruto untuk menutup pintu.
Mereka berdua naik ke lantai dua untuk menaruh mereka ke tempat tidur. Kamarnya yang agak besar dengan dua tempat tidur, satu lemari pakaian, dan dua meja belajar. Hinata meletakkan tubuh Ino ke tempat tidur sebelah kanan, sedangkan Naruto menaruh tubuh Karin di tempat tidur sebelah kiri.
Mereka sama-sama menyelimuti tubuh mereka yang senada dengan rambut mereka miliki. Naruto mencium kening Karin kemudian mencium kening Ino, meminta Hinata keluar bersamanya dan menutup pintu pelan-pelan.
Senyum Ino dan Karin mengembang karena mereka bermimpi tentang orang tua yang menyayangi mereka berdua. Mereka adalah Hinata dan Naruto.
Di bawah, lantai satu, Naruto menyediakan teh hijau hangat untuk Hinata di ruang makan. Mereka duduk di kursi meja makan untuk mengetahui apa yang terjadi pada anak-anak Naruto.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada Karin dan Ino? Kenapa mereka bisa tertidur di bahu Anda?" tanya Naruto terus melayangkan pertanyaan. Hinata mendesah, baru pertama kali bicara berdua selain kakak dan sepupunya.
"Ta-tadi saya mendengar ada suara ribut-ribut di luar makanya saya keluar. Sa-saya melihat mereka berdua bertengkar dengan seorang wanita. Sa-saya bisa melirik warna rambutnya lewat lampu jalanan. Wa-warnanya seperti warna rambut Ino. Wa-wanita itu ingin memukul Ino dan Karin." Itulah jawaban membuat Naruto kaget alias terkejut. Dikepalkan kedua tangan di atas pangkuannya karena mengingat wanita itu sering memukuli Ino dan Karin selagi dirinya tidak ada di rumah.
"Ja-jadi saya mencegah wanita itu memukulnya. Untung saja Karin mengancamnya akan berteriak, akhirnya wanita itu pergi. Se-setelah itu, Karin dan Ino menangis. Tangisan yang mereka tadi ditahannya membuat saya tidak tega untuk menenangkannya." Hinata selesai pada penjelasannya, mengangkat kepala untuk melihat reaksi Naruto. Naruto hanya berwajah datar saja.
"Ma-maafkan saya." Hinata menunduk. Tetapi, suara Naruto yang berkata tidak apa-apa membuatnya kembali angkat kepala.
"Kamu tidak perlu minta maaf." Naruto mengacak rambut emasnya. "Ah, tidak usah berbicara bahasa formal. Bicara biasa saja selayaknya teman." Naruto mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Hinata. "Kenalkan namaku Uzumaki Naruto. Kamu?"
Hinata membalas uluran tangan tersebut. "Na-namaku Hyuuga Hinata."
"Hinata? Namanya yang manis sekali." Rona merah muncul di pipi Hinata. Tadi pagi Naruto merona, sekarang Hinata yang merona. Cocok dijadikan pasangan, nih.
Naruto mendesah di dalam ruangan seadanya ini. "Tadi itu adalah teman wanita yang aku temukan setahun lalu, merengek di depan rumah untuk minta tolong. Karena tidak tega, aku memasukkan ke dalam rumah. Orang-orang perumahan ini mengira dialah isteriku, tetapi bukan. Dia hanyalah seorang peminta tolong yang akhirnya membawa lari uangku."
Mata perak Hinata tidak kalah lebarnya. Sungguh, Hinata tidak sangka dirinya bertarung dengan seorang wanita pembawa lari uang orang lain. Heran, deh.
"Dan, aku tahu kenapa dia datang lagi ke sini. Dia pasti meminta uang dariku lewat anak-anakku." Naruto menyentuh keningnya yang berkerut. "Aku tidak pantas disebut ayah untuk mereka."
"I-itu tidak benar!" bantah Hinata mencondongkan tubuhnya. Dirinya sungguh malu mengatakan itu.
"Hahaha... baru kali ini ada seorang wanita yang membantah ucapanku selain kedua anak-anakku." Hinata tidak bisa melenyapkan rona merah pipinya. Naruto bangkit. "Nah, ini sudah malam, lebih baik aku mengantarmu kembali ke rumah."
Sebelum Hinata bangkit berdiri, Hinata pun berbicara. "Bo-bolehkah aku ke sini lagi untuk bermain dengan anak-anak?"
Itu ucapan tidak terduga yang dikeluarkan oleh Hinata. Naruto mengangkat alis. Naruto juga menunggu ucapan Hinata lainnya.
"Aku ingin mengenal kalian. Dan, a-aku..." Hinata tidak tahu harus bicara apa lagi. Kalimatnya terkunci oleh lidahnya dan air liurnya seperti tersedak.
"Aku apa, Hinata?"
Naruto terus menunggu kalimat Hinata, duduk kembali di kursi makan. Hinata menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Diangkat wajahnya penuh tekad dan siap melontarkan kalimat yang tertunda.
"Aku suka padamu lewat pandangan pertama tadi pagi, Naruto."
Oi, Naruto jadi pikun pada kalimat terakhir Hinata. Yang dia dengar hanyalah aku suka padamu. Ruangan tadi biasa saja, tidak bersuhu dingin maupun panas akhirnya menjadi panas banget. Suhu temperaturnya mencapai empat puluh derajat celcius. Hebat, hebat.
Naruto belum mengatakan apa-apa. Hinata juga sama. Setelah mengatakan itu, mereka diam membisu sambil Naruto mengantar Hinata pulang ke rumahnya. Di malam hari yang gelap, kedua-duanya tidak bisa tidur karena kalimat itu terus terngiang-ngiang sampai pagi. OMG!
To be continued...
..oOo..
A/N: Saya buat lagi fic NH! Maaf, agak GAJE. Saya sisipkan drama mengerikan dari Shion. Ini fic three shot. Saya tidak mau buat banyak-banyak. Satu chapter, saya buat 3000 words. Tidak mau buat panjang-panjang. Semoga saya bisa meramaikan archive NaruHina.
Terima kasih sudah mau membaca fic saya ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya yang sedikit agak panjang.
Sign,
Zecka S. B. Fujioka
Date: Makassar, 23 July 2013
