Kayaknya cuma Frau yang telat buat upload event #Opposite Party. Orzzzzzz… Maafkan Author dan salahkan jaringan inet yang tiba-tiba ilang… Silahkan dinikmatiiii… Happy OP~

.

.

Tak ada lagi tawa yang terdengar dari bibirnya. Tak ada ekspresi bahagia lagi saat dia melihat cahaya kerlap-kerlip cantik. Seorang anak lelaki duduk terisak di pinggir danau berair jernih. Wajahnya dia sembunyikan di antara kedua belah lututnya, air mata membanjiri wajahnya. Gelapnya malam serta udara dingin pegunungan tak dihiraukannya.

Sebuah cahaya kecil berwarna kuning keluar dari balik dedaunan. Terbang rendah menghampiri sang bocah, mendarat tepat di bahunya. Kepalanya yang kecil bergerak-gerak, mengamati bocah yang biasanya selalu bermain dengannya. Suara tangis menggema pilu, mengiris hati setiap makhluk yang mendengarnya, tak terkecuali oleh makhluk kecil itu.

Serangga kecil bercahaya kembali terbang, mengitari tubuh sang bocah. Memanggil teman-temannya yang juga tak kalah cantik mengeluarkan cahaya sepertinya. Mereka menari di ayun semilir angin, bergerak halus, menciptakan gelombang cahaya yang sanggup membuat siapa saja terpesona melihat mereka.

Tapi bocah itu tak menghiraukan mereka. Tangis si bocah berhenti, dia berdiri lalu memunggungi mereka. Bergerak menjauhi tempat itu, meninggalkan sebuah cahaya kuning berkelap-kelip yang tak lepas memandang punggungnya. Berharap kesedihan anak itu hilang. Berharap dia dapat bermain lagi dengan sang bocah. Seribu satu harapan dipanjatkan pada bintang di atas sana, tapi bocah itu tak pernah muncul kembali.

.

.

.

.

Janji di Padang Kunang-Kunang

Author : Frau .F

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Rating : M

Genre : Romance, Poetry, Tragedy, and Fantasy

Pairing : NaruSasu

Warning : M/M Slash, Alternate Universe and Animal Abuse.

.

Special Dedication : Untuk event Opposite Party dan mereka semua yang ikut berpartisipasi

.

Cerita ini tidak untuk dikomersilkan dan tak bermaksud untuk menyinggung pihak mana pun. Jika ada kesamaan tempat kejadian atau pun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Tidak ada hewan yang mati/terluka dalam pembuatan cerita ini semua hanya rekayasa demi berjalannya cerita ini.

.

.

.

.

Ini bukan tentang diriku

Juga bukan tentang dirimu

Ini tentang kita yang bertemu dimalam itu

Di padang kunang-kunang bersama denganmu

.

.

.

Deru halus dari mesin mobil SUV berwarna hitam bergerak pelan di jalan tanah sebuah pedesaan yang terkenal dengan wisata gunung dan hutan, Konoha nama desa itu. Sejak memasuki gerbang selamat datang, sang pengendara mobil tak melihat satupun warga setempat maupun rumah-rumah. Sepanjang mata memandang hanya ada hutan serta sungai kecil yang mengalir jernih.

Selepas sepuluh kilometer sejak masuk ke gerbang desa, barulah dia melihat beberapa rumah bergaya Jepang dengan halaman luas. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain sangat jauh. Suasananya sama seperti dahulu, kecuali ada sebuah toko kelontong kecil di persimpangan desa berarsitektur modern.

Sang pengemudi―yang hampir berkepala empat―menurunkan kaca jendela. Membuat udara segar khas pedesaan masuk ke dalam mobil―menikmatinya. Wajahnya yang kaku mengangguk ramah saat tak sengaja berpapasan dengan warga setempat yang sedang berjalan kaki menuju pematang sawah. Diliriknya seseorang yang duduk di sebelahnya, seorang pemuda sedang asik memainkan PS Pita.

"Ingat Sasuke, Kamu tidak boleh merepotkan kakakmu," peringat ayahnya, kembali fokus ke jalan di depan sana.

Pemuda yang disebut namanya hanya melirik sekilas, lalu kembali asik memainkan handheld game console di tangannya. "Bukan salahku kalau nanti kakak jadi kerepotan. Bukankah ini rencana Ayah untuk 'membuangku' ketempat terpencil?" jawabnya sinis.

"Aku tidak pernah membuangmu!" suara sang ayah meninggi, "Aku hanya ingin kau introspeksi diri."

Sasuke menurunkan PS Pita di tangannya menatap sang ayah yang tetap fokus mengemudi, "Introspeksi buat apa?" kernyitnya.

"Tidak bisakah kamu sedikit menghormati ayahmu ini dan mendengarkan semua ucapanku tanpa membantah, Uchiha Sasuke!" sang ayah dapat melihat dari ujung matanya kalau anak bungsunya itu diam dengan bibir ditekuk ke bawah. "Demi Tuhan! Sampai saat ini apa kamu tidak merasa melakukan kesalahan? Kamu pikir sudah berapa kali ayah dan ibu mendapat surat panggilan dari sekolah?" Sasuke tetap diam, pura-pura asik memperhatikan petak sawah di balik kaca mobil. "Kalau kamu tidak bisa introspeksi. Ucapkan selamat tinggal pada Tokyo, aku akan menyekolahkanmu di tempat ini," tegas sang ayah, sedikit mengancam.

Sasuke balik menatap ayahnya dengan tatapan tajam. Menghabiskan liburan musim panas di desa terpencil yang tidak ada apa-apanya saja sudah seperti di neraka. Tidak ada game center―tempat dia biasanya menghabiskan sebagian waktu, tidak ada pusat perbelanjaan―tempatnya biasa membolos, dan tidak ada orang yang dikenalnya―yang kira-kira bisa dijadikan anak buah.

Mobil SUV itu menanjak pada jalan di ujung desa, berbelok masuk ke dalam sebuah pintu gerbang yang sengaja dibuka. Masuk ke dalam halaman rumah bergaya Jepang yang dikelilingi tembok tinggi, lalu berhenti tepat di depan rumah. Sang ayah langsung keluar dari dalam mobil, seorang lelaki keluar dari genkan. Menghampiri kedua orang yang baru saja datang.

"Selamat datang, Ayah dan Sasuke," ucapnya senang. Dia menghampiri sang ayah, membantunya mengeluarkan koper dan tas dari dalam bagasi. "Bagaimana perjalanan ke sini? Lancar?"

"Membosankan," celetuk Sasuke yang langsung mendapat pelototan sang ayah.

"Hn, lancar saja. Bagaimana kabarmu, Itachi?" tanyanya pada sang anak sulung. Dia terlihat khawatir, begitu melihat penampilan sang anak yang tampak kacau dengan pakaian yang tak dikancing rapi.

Itachi tersenyum tipis, menarik koper berwarna biru. "Aku baik-baik saja Ayah. Ayo silahkan masuk, kalian pasti lelah," ajaknya.

Ketiganya memasuki bangunan berumur tua yang terlihat sangat terawat. Tiga pasang sendal rumah sudah disiapkan Itachi, mereka memakainya masing-masing. Sasuke menatap berkeliling saat mereka melewati koridor panjang yang terhubung dengan sebuah taman di tengah rumah. Setiap ruangan hanya dibatasi oleh shoji―dinding kertas.

Beberapa kaligrafi yang ditulis artistik menjadi pajangan dinding, bersama dengan pedang-pedang samurai dengan sarung pedang yang digosok mengkilat. Vas-vas cantik yang dibuat dari gerabah mengisi ruang-ruang kosong. Berjalan di antara lorong rumah sudah seperti masuk dalam sebuah galeri karya seni.

"Tidak usah menyiapkanku kamar. Aku hanya mengantar Sasuke lalu langsung kembali," celetuk ayah mereka.

Itachi membuka pintu geser, masuk ke dalam washitsu―ruang serba guna yang dapat digunakan sebagai ruang tamu, kamar tidur, dan ruang keluarga―sebuah televisi keluaran lama ada di ujung ruangan―dekat pintu kaca geser―yang langsung menghadap ke beranda. "Ayah serius akan langsung pulang?" tanyanya tidak percaya, menaruh koper biru di dekat sebuah lemari pajangan. "Menginaplah semalam," mintanya, terdengar nada khawatir dari suaranya.

Lelaki yang sudah tidak muda itu menghempaskan pantatnya di bantal duduk, "Tidak bisa. Besok ada rapat, aku harus menyiapkan semuanya," dia menggerakkan kepalanya―membuat gerakan berputar―dan memukul-mukul bahunya pelan, tampak lelah. "Antarkan adikmu ke kamarnya."

Itachi mengangguk patuh, adiknya terlihat tidak terlalu antusias. "Ayo Sasuke, aku antar ke kamarmu."

"Biarkan Sasuke membawa semua barangnya sendiri, Itachi!" perintah ayahnya nyaring, "Kalau kamu memanjakannya, dia akan lupa tujuannya datang kemari," desisnya, menatap anak bungsunya yang memasang wajah masam.

Sasuke menarik kopernya dengan kasar, mengikuti Itachi yang sudah ke luar ruangan terlebih dahulu. Sang raven sedikit kesusahan karena harus menjinjing beberapa tas berukuran besar, Itachi mengambil salah satu tas yang dibawa Sasuke. Lelaki itu melirik ke arah belakang, memastikan ayahnya tidak melihat kalau dia sedang membantu Sasuke.

"Kau pasti kesusahan, sini kakak bawakan," baru saja dia akan melepas pegangan tas di tangan Sasuke, tangannya tiba-tiba di tepis.

"Aku bisa sendiri!" jawabnya dengan suara tinggi, "Cepat antarkan aku ke kamar. Aku sudah lelah dan ingin beristirahat."

Itachi mengangkat sebelah alisnya, mendengar adiknya yang seenaknya menyuruhnya-nyuruhnya, membuatnya sedikit sedih. Adiknya yang dulu manis sudah benar-benar tidak ada dalam diri Sasuke saat ini. "Sebelah sini," Itachi membuka pintu geser di ruangan paling ujung. "Bereskan barangmu, aku mau menemui ayah. Nyamankan dirimu, anggap saja ini rumah keduamu," jelasnya dengan senyum hangat. Lalu menutup pintu geser, membiarkan adiknya ada di dalam kamar bertatami itu.

"Rumah? Tempat seperti ini mana bisa dikatakan rumah," gerutu Sasuke dengan suara kecil, mulai membereskan pakaiannya dari dalam koper dan tas.

Satu persatu dia menaruh pakainnya ke dalam laci lemari pakaian yang terlihat antik. Semua barang yang dibutuhkannya sudah disiapkan ibunya, jadi dia tak perlu takut untuk ketinggalan satu barangpun yang kira-kira dibutuhkan olehnya. Ibunya sendiri tidak setuju membiarkan anak bungsunya pergi ke tempat ini, butuh beberapa hari akhirnya sang ibu menyetujui keputusan ayahnya dengan pertimbangan anak sulungnya akan mengawasi.

Sepertinya karena surat dari kepala sekolah yang mengabarkan dia berkelahi dengan anak sekolah lain dan membuat beberapa murid sekolah itu cidera berat, membuat kesabaran ayahnya habis dan mengirimnya ke Konoha, ke rumah warisan kakeknya. Dulu sekali, saat dia masih kecil pernah tinggal di tempat ini, sebelum akhirnya harus pindah ke kota karena pekerjaan ayahnya. Tapi dia sudah tak terlalu mengingat masa-masa kecilnya di tempat ini. Kata ibunya, itu karena tak lama setelah pindah dia pernah terjatuh, kepalanya memar dan membuat ingatan masa kecilnya sedikit kacau.

Ayahnya mengatakan kalau dia harus introspeksi selama liburan musim panas ini. Tapi sepertinya, ayahnya itu hanya tak ingin bertemu dengannya sementara waktu. Sampai kemarahannya mereda, karena ulahnya selama ini sudah membuat kepala keluarga Uchiha itu memiliki tekanan darah tinggi. Liburan musim panas di rumahnya―yang ada di Tokyo―sama saja menjadi pemicu penyakit ayahnya semakin kambuh.

Keputusan kepala keluarga Uchiha itu tampaknya tepat. Membawa sang anak bungsu ke tempat yang tak ada apa-apanya seperti ini, dengan harapan dia dapat menjadi dewasa dan memikirkan kesalahannya selama ini yang sudah banyak merepotkan orang tuanya juga orang-orang yang ada di dekatnya. Jika memikirkan harus menghabiskan liburan di tempat ini dengan seorang kakak yang akan selalu cerewet dan mengawasinya, membuat Sasuke serasa hidup di penjara.

Dia mengeluarkan ponsel berwarna biru dari kantung celananya, memperhatikan pada layar ponsel, tak ada satupun sinyal yang masuk ke dalam ponselnya. Dibantingnya keras benda elektronik itu, tak menghiraukan isinya yang berceceran. Dilangkahkan kakinya ke jendela yang ada di dekat tempat tidur, membukanya lebar.

Tak ada gedung-gedung bertingkat dan tak ada atap-atap rumah. Sepanjang mata memandang hanya ada pepohonan, rumput ilalang, dan bunga-bunga liar. Jangan lupakan suara semi―serangga musim panas―yang sejak tadi berbunyi berisik.

"Bagus sekali," gerutunya sarkastik. Sama sekali tak menyukai tempat ini. Dia kembali untuk membereskan barang-barangnya yang ada di tas satunya lagi, memunggungi jendela yang ada di belakangnya.

Tanpa dia ketahui, seekor serangga mengintipnya dari balik daun pohon apel. Cahaya yang dikeluarkan serangga itu tampak samar, karena di luar masih terang. Sang serangga terbang rendah menjauhi rumah dimana dia melihat sosok yang dikenalnya. Terbang tinggi, menari di angkasa.

.

.

Itachi menaruh segelas oolong dingin di depan ayahnya. "Diminum dulu, Ayah. Istirahat saja dulu, kalau perlu besok baru pulang," dia ikut duduk di sebelah ayahnya.

Sang ayah mengambil gelas dan meneguk isinya sampai habis. Benar-benar kehausan. "Sudah aku bilang, tidak bisa. Besok benar-benar ada rapat penting."

"Kenapa Ayah tidak memintaku untuk datang menjemput Sasuke? Atau biarkan saja Sasuke berangkat sendiri, aku bisa menjemputnya di stasiun. Dia bukan anak-anak lagi, apa Ayah tidak mempercayainya?"

Sang ayah mendengus mendengarnya, menaruh gelas dengan hati-hati di atas meja. "Membiarkan Sasuke berangkat sendiri? Kalau sampai terjadi, dia tak akan sampai ke sini dan membuatku harus pusing mencarinya," jawabnya. "Dia tidak bisa dipercaya Itachi. Kau sudah dengar sendiri bagaimana tingkahnya selama ini."

"Mungkin dia sedang dalam masa-masa pemberontakan, Ayah," Itachi membela sang adik. "Seperti aku dulu."

Ayahnya menatap Itachi tajam, "Apa masa-masa pemberontakan itu termasuk memecahkan kaca jendela, tawuran dengan sekolah lain, membolos, merokok saat jam bebas, mem-bully teman satu sekolahnya, menantang kakak kelas―"

"Sasuke melakukan itu semua pasti ada sebabnya, Ayah!" ucapnya memotong ucapan sang ayah. "Dia begitu pasti pengaruh sahabat-sahabatnya."

"Jangan menyalahkan orang lain! Dia bukan lagi anak kecil yang harus dibimbing mana yang salah dan benar," sang ayah menyamankan duduknya. "Dia tahu kalau itu salah, tapi dia seperti menikmatinya," ayahnya menatap Itachi tajam. "Makanya aku butuh bantuanmu untuk membuat dia tidak separah ini. Sejak dulu anak itu selalu mengikuti ucapanmu."

Itachi menghela napas lelah, "Seperti dia akan mendengarkanku saja," dia pesimis saat mengetahui adik manisnya sudah berubah. Tepukan lembut ke bahunya membuat Itachi tersenyum lemah pada sang ayah. "Tapi bukan berarti aku tidak akan berusaha. Sebagai kakaknya aku juga ingin dia berubah ke arah yang lebih baik."

Kepala sang ayah mengangguk-angguk menyetujuinya. "Maafkan ayah karena sudah membawa masalah di tengah kesibukanmu dalam penelitian. Bagaimana kabar penelitianmu tentang rubah api?"

"Tidak apa-apa Ayah, Sasuke bukan sebuah masalah. Lagi pula penelitianku hampir selesai, berkat seorang asisten," sebuah senyum lebar tercetak di wajahnya.

Sang ayah bangkit dari duduknya, "Lain kali perkenalkan asistenmu pada kami."

"Tentu saja. Hn, Ayah sudah ingin pergi?" tanyanya melihat sang ayah mengambil kunci mobil yang sebelumnya di taruh di atas meja.

"Kalau lebih lama, aku akan sampai kemalaman. Aku titip Sasuke. Ingat! Jangan manjakan dia, di sini dia sedang dihukun untuk introspeksi," ayahnya memperingatinya lagi, mengingat sang sulung sama seperti ibunya, suka memanjakan sang bungsu. "Aku izinkan kamu bertindak keras padanya. Kalau perlu berikan dia latihan militer."

Lelaki tampan itu tertawa kering, mengikuti ayahnya ke arah genkan. "Kalau niat Ayah ingin melakukan latihan militer pada Sasuke, sebaiknya antar saja kerumah paman Obito," mengingat sang paman adalah seorang petinggi di sebuah badan keamaan pemerintah. "Aku ini seorang peneliti, Ayah."

"Rencana awalnya, aku ingin mengantarkannya ke sana. Tapi, dia sedang tugas ke luar kota," lelaki yang hampir berkepala empat masuk ke dalam mobil. Duduk di belakang kemudi, memakai seat belt. "Apa tidak ada zat dari tanaman atau hewan yang bisa membuat adikmu jadi anak manis?"

Itachi tertawa mendengar pertanyaan sang ayah. "Akan kucoba untuk mencarinya. Hati-hati di jalan, Ayah."

Sang ayah mengangguk, menutup kaca mobil, lalu menyalakan mesin mobil. Membawa kendaraannya keluar dari halaman rumah, kembali pulang ke Tokyo. Itachi menutup pintu gerbang, melirik adiknya yang berwajah kesal di depan pintu. Sang bungsu cepat-cepat masuk kembali, tak mengucapkan sepatah katapun padanya.

.

.

Suara jangkrik, juga dengungan nyamuk yang masuk ke kamar membuat Sasuke sama sekali tidak bisa memejamkan kedua matanya. Sudah sejak satu jam yang lalu kakaknya menggelar futon di atas tatami untuknya, tapi di tengah udara yang gerah dan ditambah dengan nyamuk yang selalu menghinggapi tubuhnya, siapa yang bisa tidur nyenyak? Sejak tadi sudah tak terhitung berapa banyak nyamuk yang sudah menjadi korban pukulannya.

Jari tangannya menggaruk lengan yang terasa gatal, bekasnya membuat kulitnya memerah. Awalnya dia ingin menutup jendela kamar, tapi setelah menutupnya dia serasa ada di dalam oven. Jadi, dibukanya lagi jendela itu, membiarkan angin masuk ke dalam kamarnya bersama serangga penghisap darah yang seolah berpesta pora, mendapati tubuhnya bagai jus siap saji. Sasuke bangkit dari tempat pembaringannya, jika saja tatapan dapat membunuh, sudah sejak tadi semua nyamuk yang ada di dalam kamarnya mati.

Dia bangkit dan berdiri di dekat jendela, menghirup udara malam yang segar. Menatap di kejauan cahaya kuning terang berkelap-kelip, kunang-kunang. Matanya tak lepas menatap serangga dengan sinar cantik yang semakin lama cahaya itu semakin mendekatinya. Sebuah kunang-kunang hinggap di hidungnya. Terasa geli begitu kunang-kunang berjalan di batang hidungnya, lalu berhenti di pucuk hidung bangirnya. Memamerkan pada sang manusia betapa indah cahayanya. Bukannya mengusir serangga itu, Sasuke tampak fokus menatap cahaya berkelap-kelip di ujung hidungnya.

Suara tawa nyaring menyadarkannya, dari jendela kamar dia melihat dua orang bocah sedang bermain. Berkejar-kejaran dan tertawa geli setiap mereka saling berbisik. Sasuke tak habis pikir, kenapa orang tua di desa membiarkan anak kecil seperti mereka, masih bermain sampai larut malam. Dia memperhatikan kedua bocah itu lagi, keduanya saling menautkan jari kelingking.

Salah satu bocah dengan rambut blonde beralih menatapnya, Sasuke tak bisa melihat jelas wajah sang bocah karena suasana di luar cukup gelap. Bocah blonde itu tersenyum padanya. 'Kau sudah janji bermain denganku,' ucapnya lirih, masih menatap itu menarik tangan bocah satunya lagi, bocah dengan rambut raven. Mereka tertawa-tawa lagi, berlari ke arah tempatnya berdiri. Sasuke membelalak begitu tubuh kedua bocah berubah transparan, dan menghilang dalam gelap.

KRIIINNNGGGG!

Sasuke mengerjab mendengar suara alarm ponselnya, di luar sana sudah pagi. Dia terduduk di bawah jendela. Sedikit bingung dengan apa yang baru saja dialaminya. "Mimpi?" gumamnya tak yakin, lalu berdiri. Ucapan bocah blonde terngiang-ngiang, membuat kepalanya sedikit sakit.

.

.

.

Frau Freude

.

.

Kerlap-kerlip dalam gelap

Sosok tampan bertubuh tegap

Beralas geta melangkah sigap

Menari dan masuk dalam dekap

.

.

Sasuke menggosok matanya dengan jari-jarinya, entah dia masih bermimpi atau memang apa yang sedang dia lihat saat ini memang sebuah kenyataan. Begitu dia memasuki dapur, yang pertama dilihatnya adalah seorang lelaki dewasa yang sedang sibuk dengan penggorengan di tangannya. Bukan karena lelaki itu terlihat pandai memainkan alat-alat di dapur, tapi karena celemek yang dipakainya. Uchiha Itachi memakai celemek putih―berenda dengan motif awan merah―sedang membalik sebuah telur mata sapi beraroma gurih.

"Apa?" tanya Itachi, mengangkat sebelah alisnya saat adiknya tak henti menatapnya sedari tadi. "Duduklah, sebentar lagi sarapan akan siap."

Sasuke tetap tak bergeming, menyenderkan tubuhnya di pintu masuk dapur dengan kedua tangan yang dia lipat di dada. "Uchiha Itachi dan apron renda," seringainya, melangkah ke salah satu kursi di meja makan. "Pagi yang benar-benar indah," lanjutnya sarkastik.

Itachi tak berniat membalas ucapan adiknya, lebih memilih untuk menyibukkan diri di balik penggorengan. Lelaki itu dengan lihai menyusun sarapan pagi dalam piring besar porselen berwarna putih. Dia menaruh telur mata sapi setengah matang di dalamnya, menuangkan shoyu di atasnya, lalu menambahkan daging ham dan sosis, tak lupa juga dia menaruh roti tawar dengan mentega yang sudah dia panggang ke dalam piring porselen yang lain―menaruhnya di hadapan sang adik.

"Tak ada waktu untuk membuat sarapan a la Jepang. Kau bisa makan sarapan a la Barat, kan?" Itachi mengambil tempat duduk yang berhadapan dengan sang adik.

Sasuke mengambil sebuah roti tawar yang pinggirnya tak dibuang, "Kalau aku bilang tidak bisa, apa kamu akan membuatkan sarapan sesuai keinginanku?" dia menggigit ujung roti yang terasa renyah.

"―Tidak," jawab Itachi tegas. Apa dia pikir kakaknya itu juru masak? Lelaki itu memotong telur dipiringnya dengan pisau makan, membelahnya menjadi dua, membuat kuning telur meleleh keluar. "Bagaimana tidurmu semalam, nyenyak?"

"Nyenyak sekali, sampai aku harus repot membunuh nyamuk yang tidak ada habisnya menggigiti tubuhku," mengingat apa yang terjadi semalam membuatnya kesal, "Aku ingin kamu pasang AC dalam kamarku, gerah sekali saat malam," gerutunya, menggigit sepotong besar sosis yang dimasak dengan sedikit merica dan garam.

Itachi memutar kedua bola matanya saat mendengar permintaan sang adik, "Tidak ada AC dan aku tidak mau memasangnya hanya untukmu. Hn, di gudang belakang ada sebuah kipas angin pakai itu saja itu."

"Pelit," celetuk Sasuke jengkel. "Hei, apa anak-anak di desa ini selalu bermain sampai malam?"

"Anak-anak?" tanya Itachi heran, mengangkat sebelah alisnya. "Maksudmu?" sang lelaki menyuap sepotong daging asap ke dalam mulutnya, potongan terakhir yang ada di dalam piringnya.

"Anak-anak, bocah kecil―sekitar umur lima tahun―semalam bermain di halaman belakang dekat kamarku. Suara mereka menggangu orang beristirahat," jelasnya, tak terlalu yakin dengan apa yang dilihatnya semalam.

Sang kakak membawa piring yang sudah kosong ke tempat bak untuk mencucui piring, "Sebagian besar penduduk desa ini adalah manula, Sasuke. Penduduk usia produktif sudah lama meninggalkan tempat ini dan pindah ke kota," Itachi menjelaskan sambil mencucui piring. "Tidak mungkin ada anak-anak, apalagi jarak antara desa Konoha dan desa lain sangat jauh."

"Tapi aku bena-benar melihatnya tadi malam!" bentak Sasuke bersikeras. "Anak-anak itu bermain dengan suara berisik, berkejaran lalu―," Sasuke terdiam, menaruk peralatan makannya, "―Lalu menghilang," desahnya.

Itachi mengangkat kedua alisnya, menaruh piring yang sudah bersih ke dalam rak. "Kamu bermimpi, Sasuke," sang kakak menghela napas panjang. "Aku harus kembali ke hutan untuk melanjutkan penelitianku dan akan pulang menjelang sore." Dia meliriknya adiknya yang hanya diam dan tampak muram, "Selama aku pergi tolong jaga rumah. Kerjakan PR-mu, nanti aku akan mengoreksinya."

"Aku tidak punya PR," Sasuke beranjak ke bak cuci piring, membersihkan piringnya sendiri.

"Ayah memberitahuku, kalau kamu punya banyak PR musim panas dan tambahan tugas yang perlu diselesaikan. Ibu memasukkan semuanya ke dalam tas milikmu," sang kakak membuka pintu kulkas, mengambil dua botol air mineral dingin. "Untuk makan siang kamu buat sendiri, pakai saja bahan yang ada dalam kulkas," suara debaman kecil dari pintu kulkas yang tertutup membuat Sasuke mengalihkan perhatiannya pada sang kakak. "Selama aku tidak ada, tolong jangan buat keributan di desa yang tenang ini," peringatnya lalu berlalu pergi.

Sebuah seringai panjang tercetak di wajah Sasuke, tangannya mematikan keran air, membiarkan piring yang sudah bersih terendam di dalam bak. "Kalau dibilang 'jangan', malah jadi ingin melakukan yang sebaliknya."

.

Pemuda dengan rambut raven bukannya mengerjakan tugas yang menumpuk, melainkan mengelilingi rumah. Dia membuka satu persatu kamar yang ada dalam rumah, sudah lama sekali dia tak ketempat ini, terakhir kali dia tinggal di rumah ini saat akan masuk ke sekolah dasar. Saat itu orang tuanya membawa dia dan kakaknya ke kota, selain untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, juga demi pekerjaan sang ayah yang mengharuskan mereka pindah ke sana.

Tak banyak yang diingatnya selama tinggal di sini. Jadi dia tak terlalu menganggap spesial rumah warisan ini. Kalaupun libur, orang tuanya memilih untuk pergi ke villa mereka sendiri, sementara rumah ini diurus oleh kakaknya begitu lelaki itu lulus S1 jurusan biologi. Kakaknya sangat tergila-gila dengan dunia binatang dan tumbuhan, sudah tak terhitung banyaknya penghargaan yang diraihnya dari berbagai penelitian yang dikerjakannya. Tempat ini sangat mendukung kegemarannya, karena dekat hutan dan gunung. Oleh karenanya, dia lebih senang tinggal di tempat terpencil ini seorang diri.

Terakhir kali dari pembicaraan yang tak sengaja di dengar dari kedua orang tuanya, kakaknya yang sudah hampir menyelesaikan program S2, sedang melakukan penelitian untuk tesisnya. Rubah api adalah hewan yang menjadi objeknya, hewan langka itu hanya dapat ditemui di hutan desa Konoha. Lelaki itu akan hilang kendali kalau sudah menjelaskan tentang rubah objek penelitiannya, Sasuke selalu menyamakan kakaknya itu seperti om-om hidung belang yang sedang menceritakan gadis incarannya setiap topik itu dimulai. Padahal hanya rubah yang dibicarakan, tapi kakaknya akan sangat amat bersemangat menjelaskannya.

Sasuke membuang foto seekor rubah berbulu merah dari ruang kerja kakaknya, membuangnya di lantai begitu saja. Dia menatap berkeliling, ruang kerja kakaknya menjadi satu dengan kamar tidur, tidak mirip seperti kamar untuk manusia tidur. Berbagai buku bertumpuk dan kertas-kertas berhamburan, isinya kebanyakan bahan penelitian. Terkadang dia menemukan beberapa lembar foto serangga atau tanaman.

Sang raven memilih untuk keluar kamar berbau apek, setelah dirasa tak ada yang menarik dalam kamar Itachi, kakinya melangkah menuju belakang rumah. Dia memakai geta sebagai alas kakinyat, menuju ke sebuah bangunan yang tak terlalu besar dibelakang rumah. Bangunan yang terbuat dari batu bata dengan sebuah pintu dan jendela kecil ditiap sisinya. Gudang rumah. Dia ingat untuk mencari kipas angin yang dikatakan sang kakak tersimpan di gudang.

Tangannya menyentuh gagang pintu, digerak-gerakkannya sedikit dan pintu terbuka. "Hn, tidak dikunci?" Sasuke mendorong daun pintu, debu di dalam sana keluar dan menyelimuti tubuhnya. Tangannya dengan sigap menutup hidung serta mulut dengan telapak tangan. Suasana di dalam pengap dan hanya sedikit cahaya yang masuk ke dalam.

Sasuke masih ada di pintu gudang, dari tempatnya dia meneliti satu persatu barang yang tertumpuk di sana. Dia akhirnya melihat sebuah kipas angin berwarna biru yang ditaruh di atas lemari tua. Sasuke cepat-cepat mengambilnya, lalu keluar dari gudang, tak lupa menutup pintunya lagi. Debu yang menyelimuti kipas angin lumayan tebal, kalau dia melepaskan pegangan di tubuh kipas itu, maka akan tampak bekas jari tangannya menempel di sana.

Dengan sedikit malas, pemuda itu membawa kipas angin kembali ke rumah, ditaruhnya di teras samping. Tidak mungkin akan langsung dia pakai, bisa-bisa debu di baling-balingnya akan membuatnya terjangkit flu. Dia membersihkan setiap inci kipas angin tua, agar layak nantinya saat dipakai. Kipas angin tua masih berfungsi sangat baik saat dia nyalakan, hanya saja karena tak pernah dipakai dan tak terawat, ada suara bising saat benda itu bergerak berputar.

Sasuke duduk di depan kipas angin, sejuknya udara yang dikeluarkan benda itu membuatnya nyaman. Hari-hari bagai neraka di musim panas kali ini setidaknya akan sedikit berkurang. Karena sejak awal tak ada niatan untuk mengerjakan PR, sang raven lebih memilih bersantai sambil menonton televisi. Hanya ada program televisi yang membahas tentang pertanian atau tentang hewan-hewan liar. Sasuke sampai bosan dan memindah channel televisi beberapa kali.

Dia beranjak dari tempatnya dan pindha untuk duduk di beranda samping. Melihat barisan semut yang berjalan beriring di tanah, membuat Sasuke penasaran untuk mengikuti kemana arah serangga berwarna hitam itu pergi. Dia mengikuti semut-semut yang mengarah ke taman di belakang rumah. Sebuah gundukan tanah setinggi pinggangnya tersembunyi dari balik semak-semak, rumah semut berdiri kokoh di sana.

Sasuke mencabut tanaman yang ada di sekitar gundukan tanah, membuat tanaman-tanaman itu layu begitu saja. Lalu kembali ke dalam rumah, mencari sebotol minyak tanah yang dilihatnya ada di antara kulkas dan lemari. Sasuke menuang semua isi minyak tanah ke dalam sarang semut, lalu menyalakan korek api, membakar satu koloni semut. Api berkobar hebat di atas tanah, asap hitam membumbung tinggi ke angkasa, semut-semut berlarian menghindari jilatan api.

"Sasuke! Apa yang kamu lakukan?" teriak Itachi, lelaki itu datang dari balik semak-semak di dekat tempat Sasuke membakar sarang semut. Menerobos semak-semak yang terhubung langsung ke dalam hutan dan rumah Uchiha. "Kenapa kamu membakar mereka? Ah! Tanamannya juga kamu cabuti!" Itachi mengambil tanaman yang berserakan, mencoba menanamnya lagi.

"Aku bosan."

Itachi menganga, tidak percaya sang adik akan menjawab dengan entengnya. "Bisa-bisanya kamu!" geramnya kesal. "Memangnya mereka salah apa padamu?"

Sasuke memutar kedua bola matanya, "Tidak salah apa-apa," dia kadang heran, kakaknya bisa semarah ini hanya untuk membela hewan dan tumbuhan, "Aku hanya bosan," ucapnya memperjelas lagi.

Memang rencananya Itachi akan pulang menjelang sore, tapi dia merasa tak tenang kalau tidak pulang terlebih dahulu dan memeriksa adiknya yang sedang di rumah sendiri. Dia takut kalau si bungsu membuat keributan dengan warga desa, tapi malah lebih buruk yang didapatinya.

Sasuke mendengus, dis melihat kobaran kemarahan sang kakak dari kedua mata malamnya. Dia memilih berbalik memunggungi sang kakak, berjalan kembali dan masuk ke dalam rumah. Kakaknya mengejarnya, mengikutinya sampai ke kamar sang raven.

Itachi menarik pergelangan tangan sang adik, "Sasuke, kamu tidak boleh seperti itu. Kamu harus menghargai tumbuhan dan hewan," melihat adiknya yang tak memiliki rasa belas kasihan terhadap makhluk disekitar membuatnya benar-benar sedih. "Kalau kamu melakukan hal itu, kamu bisa merusak ekositem yang sudah alami terbangun di tempat ini, lalu―"

"Cukup," putusnya menghentikan ucapan sang kakak. Dia menghempaskan tangan Itachi yang sedari tadi erat menggenggam tangannya. "Bisakah kamu bicara hal yang lain?" wajahnya terlihat kesal, "Aku benar-benar bosan dan hanya mencari hal yang bisa kulakukan."

"Kalau bosan, kerjakanlah PR-mu!" Itachi membalas dengan suara tinggi, "Membunuh rasa bosan bukan seperti ini caranya!" dia menggebrak meja tempat buku-buku PR milik Sasuke di tumpuk.

Sasuke menatap kakaknya dengan pandangan tak suka, "Kenapa kamu begitu mempermasalahan tentang hal ini? Tidak Kau! Tidak ayah, semua sama saja!"

"Sasuke, dengarkan aku―" bukannya mendengarkan ucapan sang kakak, Sasuke malah lari keluar dari kamarnya. Itachi mencoba mengejar pemuda itu, tapi sosok sang adik menghilang tepat saat pintu genkan depan tertutup. "Hei! Kamu mau kemana, Sasuke! Sasuke!"

.

Kalau ini di kota, dia akan mudah mencari tempat untuk pelariannya. Banyak tempat yang sering dia jadikan tempat bermalam kalau sedang bertengkar dengan ayahnya. Tapi, di tengah desa terpencil seperti ini, tidak ada tempat yang bisa dijadikannya untuk melarikan diri. Tidak ada satupun yang dia kenal di sini, tidak mungkin dia menggedor-gedor salah satu rumah para manula dan memaksa untuk menginap semalam. Bisa-bisa malah dia diantar pulang. Apa dia perlu mencari gua untuk tempat bermalam? Seperti acara televisi yang akhir-akhir dia lihat.

Sore saja belum menjelang, tapi dia sudah berandai-andai hal yang tak masuk akal. Akhirnya Sasuke lebih memilih untuk menuju jalan setapak ke arah hutan. Siapa tahu dia menemukan hal yang dapat menjadi pelampiasan kekesalannya. Dia bertemu dengan seorang nenek berwajah galak saat menuju ke sana, sang nenek membawa sekeranjang dedaunan beraroma wangi. Sasuke tidak menghiraukannya, walau sang nenek memperhatikannya sedari tadi.

"Kamu, salah satu anak dari keluarga Uchiha?" tanya sang nenek. Dia berhenti untuk melihat lebih jelas wajah sang pemuda. "Wah, kamu sudah besar. Bagaimana kabarmu?" wajah sang nenek yang galak berubah sedikit lembut, senyuman kecil terlihat di wajah keriputnya.

Sasuke hanya diam saja, lalu berlalu pergi meninggalkan sang nenek tanpa sepatah katapun. Sang nenek menatap dengan sedih punggung Sasuke yang semakin menjauh. "Kalau dia masih ada, mungkin seumur dengannya, ya?" gumamnya pada dirinya sendiri. "Sepertinya anak cengeng, sudah berubah jadi anak nakal," sang nenek tertawa kecil, kembali berjalan menuju ke arah desa.

.

Suara serangga musim panas berbunyi berisik begitu Sasuke melangkahkan kakinya masuk ke dalam hutan. Hanya ada barisan pepohonan sepanjang mata memandang, hijau dan hanya hijau. Mengingatkannya pada salah seorang anak yang sering dia bully bersama teman-temannya. Seorang anak dengan potongan rambut mirip mangkok terbalik, dengan mata bulat seperti ikan koi.

Sasuke terus melangkahkan kakinya, mengikuti jalan setapak. Lalu berhenti saat jalan setapak terputus, karena ditumbuhi ilalang tinggi. Sang raven menatap ke sekeliling, memikirkan harus melangkah ke arah mana. Dia memilih mengikuti arah ke sebelah kanan, terus berjalan menerjang semak-semak yang ditumbuhi pohon berry liar dan sampai di lahan terbuka dengan sebuah danau di tengahnya.

Air danau yang jernih mengkilat terkena sinar matahari, menimbulkan pantulan cahaya yang sedikit menyilaukan mata. Rumput yang ada di sekeliling danau tidak setinggi di tempat lain, pendek dan nyaman untuk bersantai di sana, pepohonan besar menaungi tempat itu, membuatnya tidak kepanasan.

Dia memilih duduk di pinggir danau, merasakan sejuknya air dengan ujung-ujung jarinya. Matanya menatap pergerakan yang ada di dekatnya. Seekor katak berwarna hijau kecokelatan meloncat di dekat kakinya, menuju kea rah danau. Tiba-tiba Sasuke melempar sang katak dengan sebuah batu kecil. Katak malang mencoba menghindari lemparan batu yang tak ada habisnya, sang katak meloncat dari satu tempat ke tempat yang lain.

Saat ingin menghindari batu terakhir untuk masuk ke dalam danau, sang katak tidak bisa menghindarinya, tubuhnya terlempar terkena lemparan batu, padahal tinggal beberapa jengkal jaraknya menuju ke dalam danau. Katak malang jatuh ke tanah dan tidak bergerak lagi. Sasuke menyeringai lebar, tidak disangka dia bisa menemukan permainan yang mirip seperti di game center. Hanya saja yang dia lakukan menggunakan objek asli dan bukan tiruan yang terbuat dari plastik.

Kemarahannya pada sang kakak menguap setelah dia melampiaskannya pada sang katak malang. Tak ada buruknya tinggal di desa terpencil, saat dia menemukan keasikan yang sama seperti yang dia dapatkan di kota. Sasuke menghempaskan tubuhnya di atas rerumputan. Kedua matanya menatap sekumpulan awan yang berjalan berarak, memejamkan kedua matanya untuk menikmati semilir lembut angin.

Baru saja dia akan terlelap, Sasuke merasakan ada sesuatu yang berlendir dan basah yang berjatuhan di atas tubuhnya. Sang raven terkesiap saat melihat banyak katak yang menghujani tubuhnya, dilihatnya seorang lelaki seumuran dengan sang kakak menjadi pelakunya. Sasuke bangkit dari posisinya, mencoba menginjak katak-katak yang berloncatan menghindarinya, tapi tak ada satupun yang berhasil dia injak karena gesitnya hewan amfibi itu.

"Apa-apaan kamu!" bentaknya, menatap lelaki yang tak dikenalnya dengan kesal. Sasuke melepas T-shirt yang dipakainya. Dia tak ingin memakai pakaian yang sudah kotor penuh lendir, menjijikkan pikirnya.

"Kamu yang apa-apaan! Melempari katak tidak berdosa dengan batu sampai mati!" balas lelaki dengan rambut red-orange spike―rambutnya mencuat ke atas dan sedikit acak-acakan―kedua mata dengan pupil seperti kucing berwarna green yellow menatap Sasuke murka, "Mereka itu sama-sama makhluk hidup, tolong hargai mereka seperti kamu menghargai dirimu sendiri."

Mendengar ocehan lelaki itu mengingatkannya pada sang kakak. Dia tidak mengerti, kenapa semua orang di tempat ini bersikap menyebalkan. "Buat apa? Mereka hanya binatang bodoh," Sasuke mendengus, meremehkan.

"Mereka tidak bodoh. Mereka punya perasaan," sang lelaki sepertinya tak ingin kalah dan terus menjawab setiap ucapan sang raven.

Sasuke mengernyit, dia memilih pergi meninggalkan lelaki itu. Sudah cukup energinya dia keluarkan untuk berdebat dengan kakaknya, buat apa dia berdebat dengan orang yang tidak dikenalnya. Lagi pula, dia sudah bersenang-senang, dia tak mau orang aneh itu menghujaninya dengan hewan berlendir lagi.

Tanpa di ketahui oleh sang raven, lelaki dengan rambut red-orange itu terus menatap punggungnya, sampai sosoknya menghilang di antara pepohonan. Tak lama, sebuah cahaya kecil berpendar lemah terbang, lalu hinggap di bahu sang lelaki. Mata green yellow-nya menatap serangga kecil itu dari ujung matanya, menatap dengan penuh makna yang hanya dimengerti oleh sang lelaki berambut red-orange.

.

.

Akhirnya kemarin dia memutuskan untuk pulang dan lagi-lagi harus mendapat ceramah dari sang kakak, apalagi saat melihatnya pulang dengan bertelanjang dada dan mendapati T-shirt miliknya penuh lendir menjijikkan. Sasuke tak menjelaskan apapun pada kakaknya, dia memilih makan malam dalam diam, walau kakaknya selalu mendesaknya bicara.

Dan hari ini dia kembali ke danau ini. Sasuke menatap berkeliling dengan awas, jaga-jaga jika lelaki red-orange itu ada di sana. Tapi tidak ada seorangpun di sana kecuali dia. Sang raven memperhatikan sekitar, beberapa serangga yang melihat dirinya langsung bersembunyi, seolah kedatangannya adalah sebuah teror. Suara gemerisik dari semak-semak di belakangnya membuat perhatian Sasuke teralih.

Sasuke memperhatikan tanaman berry liar itu, ada beberapa buah berwarna hitam-kebiruan yang menggantung banyak di dahannya. Buah berry liar tumbuh subur di tempat itu, sedikit terhalang oleh semak-semak. Sasuke melangkahkan kakinya ke sana, lalu menarik sebuah berry yang tampak siap dipetik. Saat ingin menarik buah itu, segerombolan serangga dengan cahaya redup keluar dari balik daunnya, beterbangan.

Seekor serangga yang terbang pelan dan paling akhir keluar ditangkap oleh Sasuke. Serangga itu terkungkung di antara kedua telapak tangan miliknya. Sebelah matanya menyipit, mengintip celah di antara sepasang ibu jari yang saling berhimpitan. Ternyata seekor kunang-kunang yang ditangkapnya.

"Sasuke, kamu sedang apa?" sebuah suara yang dikenal sang raven sedikit membuatnya kaget. Uchiha Sasuke mumcul dari balik pepohonan, membawa berbagai macam kertas, sebuah kamera menggantung di lehernya.

Sasuke melirik kakaknya sekilas. Sulung Uchiha benar-benar suka datang di saat dan waktu yang tak terduga. Seperti saat ini, "Tidak sedang apa-apa," jawabnya tak banyak bicara, tetap memunggungi sang kakak. Dia tak mau dapat omelan lagi hanya karena menangkap seekor serangga kecil.

Itachi mengangkat kedua alisnya. Sejak awal dia memang melihat sang adik yang berjalan ke arah danau, lalu dia ikuti. Siapa tahu sang adik akan melakukan keisengan pada hewan atau tumbuhan yang tak berdosa, jika sampai terjadi setidaknya dia bisa menyelamatkan hewan dan tanaman itu. Namun tampaknya adiknya benar-benar tak melakukan sesuatu yang buruk, selain memandangi sekumpulan pohon berry liar yang tumbuh subur.

"Pulanglah dan kerjakan PR-mu, daripada kamu berkeliaran," katanya, lagi-lagi mengingatkan adiknya untuk mengerjakan PR yang sama sekali belum disentuh adiknya.

Sasuke tak mengangguk maupun menjawab sang kakak. Sang raven memilih melangkahkan kakinya menjauhi Itachi, ke arah jalan setapak menuju ke luar hutan. Sampai sosok Sasuke tak terlihat, Itachi tetap memandang ke arah sang adik pergi, tetap mengawasi.

"Tadi itu siapa?" tanya seseorang yang muncul dari balik semak di belakang Itachi. Lelaki dengan rambut red-orange membawa beberapa lembar kertas yang banyaknya hampir sama dengan yang di bawa oleh Itachi.

"Itu adikku, yang pernah aku ceritakan, Kyuubi," jawabnya dengan senyum tipis. "Kapan-kapan akan kuperkenalkan padamu."

"Kemarin dia melempari seekor katak sampai mati," celetuk sang pemuda tampan, raut wajah Itachi berubah begitu mendengarnya, merah menahan kesal mendengar kenakalan adiknya. "Tapi aku sudah membalasnya, dengan memberinya hujan katak saat dia sedang beristirahat di sini," tambahnya lagi, membuat Itachi tertawa mendengarnya.

Ternyata alasan kenapa kemarin adiknya pulang dengan bertelanjang dada dan ada noda menjijikkan dipakaiannya, karena ulah sang asisten. "Bagus sekali, Kyuu," Itachi memberikan sebuah acungan jempol padanya. "Ayo, kita kembali ke tempat pengamatan," ajaknya yang langsung dipatuhi Kyuubi.

.

Sesampainya di rumah, Sasuke cepat-cepat menuju dapur. Dia mengabil sebuh tempat bekas selai kacang yang sudah di cuci bersih, lalu sebuah kantung plastik, dan karet gelang. Sasuke memasukkan serangga yang sedari tadi ada dalam tangannya, memindahkan kunang-kunang ke dalam toples kaca, lalu menutupnya dengan plastik yang sekelilingnya diikat menggunakan karet gelang. Tak lupa dia memberikan udara di dalamnya dengan membuat lubang-lubang sangat kecil, menggunakan jarum yang dia temukan dari dalam laci.

Begitu selesai, dia membawa toples berisi kunang-kunang ke dalam kamarnya. Sasuke menaruhnya di atas meja, di dekat tumpukan buku PR miliknya. "Gara-gara kamu aku jadi bermimpi buruk," tudingnya pada sang kunang-kunang yang tak berdosa.

Sasuke masih ingat benar, saat kedatangannya pertama kali ke rumah ini, dia bertemu kunang-kunang. Setelah kunang-kunang itu menyentuhnya, dia malah bermimpi buruk. Membuatnya seperti orang bodoh, karena menceritakannya pada sang kakak.

"Aku tidak akan membebaskanmu," gumamnya, menatap sengit serangga di dalam toples kaca.

Kunang-kunang di dalam toples hanya berdiam diri, menempel pada dinding kaca, menghadap tepat ke arah Sasuke. Dia tak berusaha berontak untuk keluar, maupun beterbangan dengan panik. Sasuke menjauhkan wajahnya dari depan toples kaca, melirik isinya sekilas lalu keluar kamar. Suara debaman dari pintu geser membuat sang serangga terbang dan hinggap di dasar botol kaca, meninggalkan serangga itu dalam kungkungan penjara kaca.

.

Tidak seperti biasanya, malam ini Sasuke tidur nyenyak. Pemuda itu bergelung dalam selimut tipis. Sebuah kipas angin tua bergerak lambat, menghembuskan udara sejuk untuknya di malam musim panas. Walau jendela kamarnya di buka, serangga penghisap darah tak berani mendekatinya, karena hembusan kipas angin yang lumayan kuat.

Setitik cahaya terang dari dalam toples kaca terbang naik-turun, cahayanya menjadikan penerang kamar yang gelap. Berkelap-kelip dengan cantik. Tak lama sesosok lelaki dengan rambut red-orange menghampiri jendela kamar milik Sasuke. Wajahnya tampan, kedua kelereng miliknya berwarna green yellow, tampak bercahaya dalam gelap.

Lelaki misterius itu mengulurkan tangannya ke arah toples kaca berisi kunang-kunang, lengan kimononya menyentuh lembut sisi jendela, membawa toples kaca itu ke dalam telapak tangannya. Kuku jarinya yang panjang menggenggam erat, matanya fokus menatap cahaya terang itu.

'Inari-sama! Saya menemukannya, saya mohon kabulkan permintaan saya,' sebuah suara terdengar dari arah toples kaca, memanggil lelaki misterius dengan telinga rubah mencuat di sisi kepalanya. Suaranya cukup jelas di dengar oleh sang Inari-sama, tapi tak terdengar oleh sang raven yang sedang tertidur.

Inari-sama menatap sang serangga tajam, "Walau sudah dikurung oleh manusia itu, kamu masih bersikeras memintaku untuk mengabulkan permohonanmu?" tanyanya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar olehnya.

'Saya mohon, Inari-sama,' minta suara itu lagi, suaranya terdengar sangat sedih. 'Saya ingin sekali lagi bertemu denganya.'

"Manusia yang sudah mati, tidak akan bisa dihidupkan kembali bahkan oleh seorang dewa sekalipun. Kecuali dengan jalan reinkarnasi," ucapnya, menaruh kembali toples kaca ke atas meja. Sang rubah penjaga gunung memunggungi kunang-kunang dalam toples kaca yang bisa bicara dengannya. "Kamu selalu menolak saat 'jembatan' dari 'atas' menjemputmu," keluhnya, menatap langit malam penuh bintang.

'Karena saya masih memiliki janji dengannya,' jawab suara itu dengan tegas, 'Kalau saya pergi tanpa menepati janji, percuma saja saya dilahirkan kembali.'

Inari-sama menghela napas panjang mendengar kekeras kepalaan serangga itu, dia berbalik menatap toples kaca itu lagi. Sang dewa dengan mudahnya masuk ke dalam rumah, melewati dinding kamar milik sang raven. "Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi dengan syarat―"

'Apapun syaratnya, saya pasti akan memenuhinya,' suara dari dalam toples kaca memotong ucapan sang dewa. Suaranya lantang, mengambil keputusan apapun resikonya, asal dapat bertemu sekali lagi dan memenuhi janji yang tak sempat dipenuhi.

Sang dewa rubah tersenyum ganjil, tanpa banyak kata dia mengarahkan ujung jarinya pada toples kaca berisi kunang-kunang. Toples kaca mengambang di udara, sebuah sinar keemasan melesat dari ujung telunjuk Inari-sama. Cahayanya menyelubungi isi dalam toples kaca, membuat sebuah cahaya keemasan yang semakin lama semakin besar, menyilaukan mata.

Toples kaca bergetar kencang, seolah menahan cahaya yang terkumpul di dalamnya agar tidak keluar. Tapi percuma, kekuatan sang dewa yang meluap membuat toples kaca pecah menjadi serpihan kecil, pecahannya jatuh di atas tatami. Sinar berwarna keemasan itu berubah menjadi sesosok tubuh manusia. Sosok itu mengambang di udara sesaat lalu pelan-pelan turun ke atas tatami.

Tubuh berwarna tan dengan rambut spike yang warnanya mengingatkan siapa saja yang melihatnya pada sekumpulan bunga matahari di musim panas, kelereng miliknya mengerjab memperlihatkan luasnya langit pada siapa saja yang melihatnya. Tubuh tinggi besar itu menapak di tatami, cahaya keemasan menghilang. Sosok kecil dalam toples kaca bertransformasi dalam sekejab mata menjadi seorang pemuda tampan.

Sang blonde menatap tubuh telanjangnya dengan tatapan takjub, memperhatikan otot-otot tubuhnya―yang tidak terlalu besar―menyelimuti tubuh eksotisnya. Jari-jari tangan dan kakinya dia gerakkan, merasakan sensasi dari tiap tubuhnya yang sudah lama sekali tak dia rasakan.

Sang blonde beralih menatap Inari-sama dengan tatapan mengharu biru, "Terima kasih banyak, Inari-sama," ucapnya penuh ketulusan, dia bersimpuh menghormati sang dewa. "Apa syarat yang harus saya penuhi?" tanyanya, mengingat harga yang harus dia bayar pastilah tidak akan mudah.

Sembilan ekor milik Inari-sama menghempas udara dengan lembut, dengan angkuh sang dewa kembali menunjuk pemuda itu, "Kamu harus bisa mengubah sifat buruk anak manusia yang sedang tertidur itu," dia mengalihkan arah ujung jarinya pada sang raven yang masih tertidur nyenyak. Tidak mengetahui kejadian luar biasa yang baru saja terjadi di dalam kamarnya. "Kamu juga tidak boleh membocorkan tentang jati dirimu padanya," peringatnya dengan nada suara yang keras, "Kalau sampai anak itu tidak bisa berubah dan jati dirimu diketahui, maka aku akan langsung mengirimu ke 'sana'," Inari-sama menunjuk ke atas lagi.

"Bagaimana kalau saya berhasil mengubah sifatnya menjadi lebih baik?" tanyanya penuh harap. "Bagaimana kalau jati diri saya tidak akan ketahuan? Apa yang akan saya peroleh sebagai imbalannya?" kembali sang pemuda bertanya beruntun, secercah harapan tersirat dari kedua matanya yang berkilat-kilat.

Sang dewa mengernyit, "Aku akan memikirkan imbalannya jika itu benar-benar terjadi," segaris senyum meremehkan tercetak di wajahnya. "Yang penting, sekarang kerjakan dulu tugasmu. Semoga kamu beruntung," lalu sosok sang dewa menghilang.

"Saya mengerti," jawabnya pelan yang pasti akan di dengar oleh sang dewa―dimanapun sosok yang agung itu berada―sebagai kepatuhannya untuk melakukan tugas.

Matanya menatap sosok yang sedang tertidur pulas, ujung jarinya menjangkau pipi porselen sang raven, membuat pemuda itu melenguh kecil, sedikit merasa terganggu. Pandangan rindu tercetak di wajahnya. Tubuh telanjangnya dia dekatkan pada sang raven, ikut masuk ke dalam selimut. Kedua tangannya memeluk sang raven dengan lembut, membawa pemuda yang sangat dirindukannya dalam pelukannya. Ikut memejamkan kedua matanya, mengayun mimpi di ladang bunga, bersama sentuhan hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

.

.

.

Frau Freude

.

.

Kelingking saling tertaut

Janji sampai datang maut

Hatipun jadi tertaut

Ditinggalpun jadi takut

.

.

Jauh dalam mimpinya, Sasuke melihat dirinya sendiri. Dirinya yang masih bocah yang sedang bermain dengan seseorang. Dia tak bisa melihat siapa yang sedang bermain dengannya. Hanya saja Sasuke kecil dalam mimpinya tampak bahagia, tertawa-tawa dan mengejar sosok kasat mata yang sepertinya bersembunyi di balik pohon.

Sasuke kecil tergelak, wajahnya bersemu merah jambu karena terlalu banyak tertawa. Lalu sang raven tiba-tiba berlari, terus berlari di antara pepohonan, dengan wajah senang berlari terus ke depan. Seolah sedang mengejar sesuatu. Dia terus berlari dan berlari, tanpa ada tujuan, hanya terus menyongsong ke depan, dengan wajah bahagia melangkah lebar tanpa akhir tujuan.

.

.

Matahari sudah hampir membumbung tinggi di atas langit, tapi tak ada satupun tanda-tanda dari Sasuke untuk keluar dari kamarnya. Terlalu nyenyak tidur sepertinya alasan yang bisa Itachi tangkap. Lelaki dengan rambut panjang yang diikat satu, melangkahkan kakinya di lorong rumah, menuju kamar paling ujung tempat sang adiknya menghabiskan waktu.

Jari-jari miliknya menarik pintu geser, "Sasuke! Ayo bangun, sudah pa―" Itachi terdiam melihat sang adik yang masih asik tidur.

Kedua matanya membola, bukan karena kaget mendapati adiknya masih tidur di jam seperti ini. Melainkan karena ada pemuda lain―yang sama sekali tak dikenalnya―sedang memeluk adiknya dari belakang. Terlebih pemuda yang tak dikenal Itachi itu memeluk adiknya tanpa sehelai pakaian. Selimut yang menutupi keduanya melorot begitu saja ke bawah, menampilkan sosok tanpa busana sedang memeluk adiknya yang lengkap memakai piyama berwarna navy. Reflek, Itachi cepat-cepat menutup pintu, berdiam diri di luar kamar Sasuke. Meyakinkan pada dirinya telah salah lihat.

Suara pintu geser yang ditutup kasar, mengusik tidur sang raven. Dia menggosok sebelah matanya, mencoba membuka mata. Tubuhnya terasa tak nyaman, serasa ada yang sedang menindih tubuhnya. Menolehkan kepala ke sebelah kanan, dia melihat jelas, wajah pemuda asing yang sedang tertidur pulas. Rambut blonde milik pemuda itu mencuat, mirip dengan model rambut lelaki aneh yang pernah menghujaninya dengan sekumpulan katak.

Kedua alisnya mengernyit, tak mengenal pemuda yang dengan seenaknya tidur bersama dirinya. Baru saja dia akan bangkit, betapa kagetnya dia menyadari kalau pemuda asing yang sedang tidur sambil memeluknya sama sekali tidak menggunakan pakaian. Tanpa busana alias bugil. Refleks, Sasuke menendang pemuda itu sampai terjengkang kebelakang. Suara debaman yang nyaring dan sakit yang terasa di tubuhnya, membuat pemuda blonde sadar dari tidurnya, lalu terduduk di lantai.

Pintu geser kembali terbuka, Itachi menatap adiknya dan pemuda misterius itu bergantian. Memberikan tatapan horor pada keduanya, "Sasuke, aku tidak tahu ternyata kamu―"

"Dia siapa?" Sasuke memutuskan ucapan sang kakak, menunjuk pemuda itu, menatap berang pemuda misterius dari tempatnya―masih di atas futon―sedangkan pemuda blonde itu sepertinya masih setengah sadar, tidak mengerti dengan keadaan ini.

Itachi mengangkat sebelah alisnya, "Harusnya aku yang bertanya padamu. Dia siapa, Sasuke? Temanmu?" herannya sambil menyandarkan sebelah tubuhnya pada pintu geser.

"Aku tidak tahu dia siapa!" Sasuke membentak Itachi dengan keras. Dia tak mau menatap pemuda misterius itu lama-lama, tak ingin mengotori matanya dengan pemandangan pagi yang menyakitkan mata.

"Ada apa? Pagi-pagi sekali kalian sudah ribut," lelaki dengan rambut red-orange tiba-tiba muncul di belakang tubuh Itachi, mencoba melongok ke dalam. Penasaran dengan hal yang diributkan dua bersaudara Uchiha.

"Kyuubi!"

"Orang aneh!"

Ucap Itachi dan Sasuke secara bersamaan, kaget dengan kehadiran sang lelaki tampan. Sasuke sendiri tak menyangka kalau lelaki yang sudah membuatnya kesal di hari lalu adalah kenalan kakaknya. Sedangkan Kyuubi hanya melirik adik dari sahabatnya itu dengan sinis.

"Kalian kenapa sih?" Kyuubi menerobos masuk ke dalam kamar Sasuke. Kedua matanya melebar menyaksikan seorang pemuda blonde duduk bersimpuh tanpa sehelai pakaian. Rasa keterkejutannya hanya sesaat, lalu dia berjongkok sebentar untuk menyelimuti tubuh pemuda itu―dengan selimut yang tak jauh dari tempatnya berjongkok saat ini. Kedua tangannya mencoba membantu pemuda itu untuk berdiri. "Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyanya pada sang pemuda asing.

Pemuda itu tampaknya baru sadar setelah kedatangan Kyuubi. Sang blonde menatap berkeliling dan memperhatikan wajah-wajah yang menatapnya dengan penuh rasa penasaran. Baru saja dia akan membuka mulutnya, sepasang mata green yellow menatapnya sangat tajam, membuat rahangnya terkatup, tak jadi bersuara.

"Dia siapa, Kyuu?" tanya Itachi, dari nada suaranya dia menuntut penjelasan yang logis dari sang red-orange.

Kyuubi menoleh ke belakang, menatap Itachi dengan santai, "Dia sepupuku, namanya Naruto," akunya pada Itachi.

Itachi mengangkat sebelah alisnya, lalu melangkahkan kakinya ke sebelah sang red-orange. Menatap sang pemuda―dari ujung kaki sampai ujung kepala―yang diakui oleh sang asisten sebagai sepupunya. "Aku tidak tahu kamu punya sepupu, kenapa dia bisa sampai ada di sini?" herannya, menatap Kyuubi penuh tanda tanya.

Sang asisten menatap Itachi tajam, jengah mendapat pandangan seperti itu, "Penjelasannya bisa nanti saja," dengusnya, jari-jarinya mengeratkan selimut yang menutupi tubuh Naruto. "Apa tidak ada yang bisa kamu pinjamkan untuk dia pakai?" minta Kyuubi dengan nada suara tinggi, "Tega sekali kamu dengan sepupuku."

Melihat wajah cemberut sang red-orange membuat Itachi panik. Cepat-cepat Itachi menarik pergelangan tangan sang blonde, keduanya keluar dari kamar Sasuke diikuti dibelakang sana oleh Kyuubi. Sebelum keluar dari kamar, Kyuubi sempat memberikannya seulas senyum sinis yang membuat Sasuke balas menatapnya dengan kesal.

Selepas kepergian manusia-manusia tidak jelas itu, sang raven segera bangkit dari ranjang. Kedua matanya melihat toples kaca yang sebelumnya berisi kunang-kunang sudah pecah berserakan di atas tatami. Jari-jarinya mengambil satu persatu pecahan kaca, membuangnya ke dalam tong sampah kecil yang memang di sediakan di dalam kamar.

"Tch! Bagaimana bisa," gumamnya heran, memasukkan potongan terakhir pecahan kaca yang paling besar ke dalam tong sampah. "Kalau kabur, tinggal ditangkap lagi," seringainya lebar, memikirkan cara untuk menangkap kunang-kunang lebih banyak, agar bisa dia kurung dalam toples kaca.

.

Tiga orang laki-laki duduk di kursi, piring dan sepasang sumpit yang ada di atas meja makan sama sekali belum terjamah oleh ketiganya. Sedangkan seorang lelaki sedang sibuk mengolah makanan di balik penggorengan, tak lupa celemek kesayangan melingkar di pinggangnya. Pemuda blonde duduk di sebelah kanan Kyuubi, sedang Sasuke duduk berhadapan dengannya.

Naruto tak henti-hentinya tersenyum pada Sasuke, sedang yang mendapat senyuman hanya mengalihkan pandangan, jijik dengan Naruto karena masih teringat kejadian beberapa menit yang lalu. Bisa-bisanya dia tak sadar ada manusia misterius yang tidur dengannya, ditambah memeluknya tanpa busana.

"Apa kamu yakin memakai itu?" Itachi menaruh setangkup nasi goreng dengan salmon ke atas piring sang blonde, menatap pakaian yang dipinjamkannya untuk Naruto.

Pemuda itu mengangguk bersemangat, "Iya, tidak apa-apa, saya lebih nyaman memakai ini," Naruto menarik sedikit kerah yukata berwarna midnigt blue dengan motif kunang-kunang yang sedang dipakainya. Sebenarnya banyak pilihan yang bisa dia pakai, tapi Naruto meminta sang Uchiha sulung meminjamkan yukata ini. "Maaf sudah banyak merepotkan dan membuat gaduh, Uchiha-san," Naruto menunduk dalam, meminta maaf sebesar-besarnya.

"Santai saja, tidak masalah kok. Bukankah begitu, Sasuke?" ucapnya meminta persetujuan, walau pada akhirnya hanya mendapat tatapan kesal dari sang adik, "Lalu, tidak usah memakai bahasa yang terlalu kaku, biar kita bisa lebih akrab. Apalagi kamu ternyata sepupu Kyuubi," kata Itachi sambil membagikan setangkup nasi goreng buatannya pada piring-piring yang lain.

Sasuke tiba-tiba menggebrak meja, matanya menatap nyalang pada Naruto yang tak henti tersenyum padanya, "Kita? Kamu saja sana yang akrab dengannya," desisnya tajam, melirik Naruto dengan pandangan tak suka, "Aku tidak sudi akrab dengan maniak sepertinya."

"Sasuke!" bentak Itachi mendengar makian sang adik untuk kenalan baru mereka, "Maafkan adikku ya, Naruto?" minta Itachi yang ditanggapi anggukkan dari sang pemuda. "Sekali lagi, aku Uchiha Itachi dan dia adikku, Uchiha Sasuke," ucapnya memperkenalkan dirinya dan adiknya setelah ikut duduk dikursi, bersebelahan dengan sang raven.

"Perkenalkan, aku Naruto, sepupu In―" Naruto menutup mulutnya cepat-cepat begitu mendapat lirikan tajam dari sang red-orange yang asik mengunyah sarapan pagi buatan Itachi. "Sepupu Kyuubi," lanjutnya sedikit gugup.

"Ah, Sasuke kamu pasti sudah bertemu dengan Kyuubi," Itachi melirik lelaki yang duduk dihadapannya sekilas, lalu menyendok besar nasi goreng yang ada dalam piringnya, "Dia asisten yang pernah aku bicarakan. Dia banyak membantuku untuk melakukan penelitian." Sasuke sama sekali tak menggubris kakaknya, dia malah asik mengunyah sarapannya. "Maafkan sikap adikku, ya?" ucapnya melirik sang asisten dan Naruto bergantian, memasang wajah kecut.

Kyuubi yang sudah sering mendengar sifat buruk Sasuke sama sekali tidak memperdulikannya, sedangkan Naruto lagi-lagi menganggukkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Itachi-san," jawabnya, wajahnya tetap terlihat senang, seolah benar-benar tak merasa keberatan.

Sasuke tiba-tiba bangkit dari duduknya, tanpa sepatah kata dia keluar dari ruang makan yang hari ini terlihat ramai. "Sasuke, kamu mau kemana?" panggil Itachi yang tak dihiraukan sang adik, "Sasuke?" panggilnya lagi, tetap bersikeras memanggil pemuda itu, berharap adiknya akan kembali.

Melihat kepergian Sasuke, Naruto juga cepat-cepat bangkit dari duduknya, hendak mengejar pemuda itu. "Terima kasih untuk sarapan dan pakaiannya. Nanti akan aku kembalikan pakaiannya jika sudah di cuci," ucap Naruto pada Itachi, "Kyuubi-san, Itachi-san, saya permisi dulu," Naruto menunduk hormat, lalu cepat-cepat ikut keluar dari ruang makan.

Setelah kepergian keduanya, Itachi melirik Kyuubi, "Aku tidak tahu kamu punya sepupu? Kapan dia datang?" selidiknya merasa curiga, memang selama ini lelaki itu jarang menceritakan tentang keluarganya, Itachi juga tak pernah menanyakannya.

"Baru beberapa hari, aku lupa untuk mengenalkannya padamu," jawabnya sambil meneguk air putih dalam gelas yang ada di dalam genggamannya.

"Kenapa dia bisa―"

"Dia punya riwayat penyakit sleepwalking," jelas Kyuubi memberikan alasan.

Itachi lagi-lagi mengernyit saat mendengarnya, seolah tak percaya, "Dia memang biasa tidur bugil?"

Kyuubi senewen menatap Itachi yang terus saja memberikannya berbagai macam pertanyaan, seolah dia adaah seorang terdakwa, "Kenapa? Bukankah hal itu biasa, aku juga tidur seperti itu."

Mendengar jawaban seperti itu membuat Itachi kaget, "Kamu tidak tidur seranjang dengannya, kan?" tanyanya dengan wajah serius.

Kyuubi menyeringai, senang dengan reaksi sang sulung Uchiha, "Menurutmu?" jawabnya tak jelas, membawa piring miliknya sendiri yang sudah kosong ke dalam bak untuk mencuci piring, lalu berlalu pergi.

"Kyuu, tolong jangan permainkan aku!" seru Itachi tegas, bangkit dari duduknya tanpa membereskan meja. Mengejar sang asisten yang tampak terkekeh senang, "Hei, Kyuubi!"

.

Pemuda dengan rambut raven berjalan santai, kedua telapak tangannya dia masukkan ke dalam kantung celana, sedang di belakangnya ada seorang pemuda yang berjalan mengekor padanya. Keduanya sudah terlihat keluar bersama sejak meninggalkan pekarangan milik keluarga Uchiha, walau tidak berjalan beriringan.

Setiap kali sang raven menghentikan langkah kakinya, maka di belakang sana sang blonde juga akan ikut berhenti. Jika sang raven melirik ke arahnya, maka sang blonde akan pura-pura menatap ke arah lain, sambil bersiul kecil sesekali. Suasana hati Sasuke sudah jelek sedari pagi, ditambah karena kehadiran pemuda blonde―yang sekarang mengekor padanya―semakin membuat suasana hatinya semakin jelek.

Sasuke menghentikan langkah kakinya lagi, menatap sengit ke arah belakang, "Bisakah kamu tidak menguntitku?" sinisnya membuat Naruto mengerjab.

"Hng? Kamu bertanya padaku?" tanyanya, menunjuk dirinya sendiri, membuat Sasuke memutar kedua bola matanya, "Ah, maaf tapi kita searah. Jadi aku tidak menguntitmu," akunya memberikan alasan, kedua matanya melirik-lirik Sasuke, tiba-tiba saja dia jadi sedikit grogi, "Apa kamu ingin aku berjalan di sampingmu? Ya kau tahu, kita bisa jalan bersama―"

"Tidak," Sasuke menjawab tegas, kembali melangkahkan kakinya. Meninggalkan Naruto dibelakangnya yang memasang wajah kecewa, tapi pemuda itu lagi-lagi tetap mengekor padanya.

Keduanya berjalan masuk ke dalam hutan, melewati jalan setapak kecil. Naruto terlihat tidak kesulitan berjalan dalam hutan dengan yukata yang dipakainya, dia meloncati beberapa akar pohon yang menonjol ke luar. Dalam hati Sasuke berharap pemuda itu akan tersandung, sehingga tak lagi mengekor padanya.

Suara anak burung terdengar oleh keduanya, kepala Sasuke menatap ke atas pepohonan, memeriksa dari mana datangnya suara berisik itu. Dia menghampiri sebuah pohon dengan batang kokoh, suara berisik itu semakin jelas terdengar. Kedua mata midnigt blue miliknya memicing, meilhat ke salah satu dahan pohon. Sebuah sarang burung ada di dahan, beberapa kepala anak burung yang masih gundul menjulur ke luar, paruh mereka terbuka mengeluarkan suara memanggil sang induk―meminta makanan―suaranya keras mengalahkansuara serangga semi.

Sasuke melihat ke sekeliling, di dekat kakinya ada sebuah kerikil kecil. Dia mengambil kerikil itu, bersiap untuk melemparkan batu ke arah dimana sarang anak burung berada. Dia menggerakkan tangannya ke belakang, bersiap untuk melemparkan kerikil. Baru saja dia akan menggerakkan tangannya ke arah depan―bersiap melempar kerikil―sebuah telapak tangan berwarna tan mencengkeram lengannya, menghentikan gerakannya.

"Jangan, Sasuke," Naruto menarik tangan Sasuke dengan erat, sampai sang pemilik tangan mengeryit, merasakan sakit dari pergelangan tangannya. Sang blonde mengambil paksa batu yang ada di tangan Sasuke lalu melemparnya jauh ke arah rerumputan.

"Bukan urusanmu!" Sasuke menghempas cengkeraman tangan Naruto yang mengendor, dia mengusap pergelangan tangannya yang terlihat memerah. "Minggir atau kamu yang akan kulempar batu!" ancamnya, mengambil kerikil yang lainnya―yang juga dia temukan tak jauh dari kakinya ―bersiap melempar lagi.

"Kalau memang itu bisa membuatmu puas, kamu bisa melempar batu itu ke arahku," Naruto membalas ucapan Sasuke dengan sengit, berdiri menantang di hadapan sang raven.

Melihat wajah Naruto yang tampak serius dengan ucapannya, membuat Sasuke mengurungkan niatnya. Dia membuang kerikil ke tanah, siapa yang mau kena tambahan omelan dari kakaknya karena sudah melukai orang yang baru dikenalnya. Dia masih ingat kedatangannya di sini untuk introspeksi diri, dia tak ingin kalau harus tinggal di tempat terpencil ini selamanya. Pertimbang lainnya, karena pemuda itu sepupu dari si laki-laki aneh yang sudah menghujaninya dengan katak, entah hal ekstrim apa yang bisa dilakukan lelaki dengan rambut red-orange padanya jika ketahuan melukai saudaranya.

Kalau saat ini dia tidak sedang dihukum, Sasuke tak akan memikirkannya dua kali hanya untuk menyerang pemuda di hadapnnya. Track list miliknya sudah panjang, berderet-deret nama orang yang sudah merasakan keberingasannya. Tinjunya sudah beradu ratusan kali dengan orang-orang lemah yang menjadi targetnya.

Mendengus kecil, Sasuke berbalik, kembali melangkahkan kakinya, terus berjalan masuk ke dalam hutan, menuju kea rah danau. Angin segar menghembus ke seluruh tubuhnya begitu dia menjejakkan kaki di atas rumput, ujung-ujung rambutnya bergoyang mengikuti arah angin.

Suara katak yang pasti terdengar setiap kali dia ke danau, membuat Sasuke menyeringai kecil. Belum sempat tangannya menjangkau kerikil yang ada di dekatnya, sebuah kaki menendang kerikil itu sampai melesat ke dalam danau. Sasuke memberikan tatapan tajam pada sang pelaku, yang dia kira sudah tak mengekor padanya. Kesenangannya lagi-lagi harus dikacaukan oleh sang blonde.

"Kenapa kamu selalu ingin menyakiti mereka?" heran Naruto, dia memilih duduk di dekat Sasuke yang masih berdiri, tak lupa dia membuang kerikil-kerikil kecil di sekitar Sasuke―dia buang agar sang pemuda tak bisa menggunakannya untuk melempar hewan-hewan yang dilihatnya. "Biarkan mereka hidup bebas, tanpa takut teror yang terus kamu lakukan terhadap mereka."

Dengan wajah masam Sasuke melipat kedua tangannya di dada, "Kenapa kalian selalu cerewet, tidak boleh ini dan itu."

Naruto menghela napas, memandang sang raven yang berdiri tegak, "Karena itu salah, Sasuke."

"Aku tidak peduli," desis sang raven, "Kalau kamu juga ingin ceramah tentang penyelamatan hewan dan lingkungan, bicara saja sana dengan Itachi," ucapnya dengan sinis.

Naruto bangkit dari duduknya, menepuk-nepuk pelan bokongnya yang sedikit kotor, "Mereka diciptakan bukan untuk dianiaya. Apa kamu tidak kasihan dengan mereka?" tanyanya, menatap datar pada sang raven, "Sikapmu yang seperti itu, tak ada bedanya dengan bocah, ingatlah kamu ini bukan anak-anak lagi, bersikaplah layaknya orang dewasa. Jangan menjadikan hewan sebagai pelepasan kekesalanmu, memalukan."

Wajah Sasuke tampak merah padam, menahan kesal pada sang blonde. Sang raven mendorong tubuh Naruto dengan keras, sampai membuat pemuda itu jatuh terduduk ke belakang. "Jangan sok mengguruiku, Maniak!" bentaknya lalu berlalu pegi, meninggalkan Naruto yang masih terdiam di sana sendirian.

.

.

Keesokannya Naruto kembali datang ke rumah Uchiha. Membawa sebuah kantung kertas berisi pakaian milik Itachi yang kemarin dipinjamnya. Itachi sudah bersikeras agar pakaian itu tak perlu dikembalikan, tapi Naruto mendesaknya, tak enak pada lelaki itu karena sudah banyak merepotkannya.

"Apa Sasuke ada?" tanyanya, sejak tadi dia menatap berkeliling tapi sama sekali tak menemukan pemuda itu.

"Hn, dia ada di kamarnya. Entah apa yang dia lakukan," gerutu Itachi.

Naruto tersenyum senang mendengar jawaban yang diberikan oleh suluh Uchiha, "Apa saya boleh menemuinya?"

Pertanyaan dari Naruto membuat Itachi melebarkan kedua matanya―kaget―tidak menyangka pemuda itu masih mau menemui adiknya. "Oh, tentu saja. Kamu masih ingat dimana kamarnya, kan? Langsung saja masuk ke kamarnya," Itachi mempersilahkan sang blonde dengan senang hati.

Naruto mengangguk―tanda dia mengerti ―lalu segera menuju kamar Sasuke. Dia berdiri di depan sebuah kamar yang sangat dihapalnya, kamar dimana malam itu dia bertemu dengan Sasuke, "Sasuke, ini aku. Naruto," ucapnya nyaring dari luar pintu. Karena tak ada tanda-tanda dari sang pemilik kamar untuk membuka suara, Naruto langsung menggeser pintunya, "Permisi," dia mengintip kecil dari celah yang sudah terbuka, menelisik ke dalam kamar, mencari-cari sosok pemilik kamar.

"Siapa yang mengizinkanmu masuk?" ketus sang pemilik kamar begitu melihat sosok yang tak diharapkannya. Tampaknya dia masih sangat kesal dengan pemuda itu.

Naruto dengan santai melenggang masuk, mengambil tempat di kursi dekat jendela. "Itachi-san. Dia bilang aku boleh langsung masuk," jawabnya dengan cengiran lebar, Sasuke memicingkan matanya. Memilih untuk tak menghiraukan pemuda itu dan berbaring di atas tatami, memainkan PS Pita. "Ini PR-mu? Tidak kamu kerjakan?" tanya sang blonde, membuka-buka tumpukan buku di atas meja, "Hei, Sasuke," panggilnya kesal karena merasa tak dihiraukan pemuda itu.

Sasuke hanya melirik sang pemuda dari ujung matanya sekilas, kembali asik memainkan game dalam dalam genggamannya, "Berisik!" lagi-lagi Sasuke menjawab ketus, dia benar-benar sedang tak ingin bertemu dengan pemuda yang sudah membuatnya jengkel sejak kemarin. "Jangan sok kenal denganku!"

Bukannya menuruti ucapan Sasuke, sang blonde memilih mengambil salah satu buku PR milik sang raven, "Aku pinjam pensilmu, Sasuke," Naruto berpindah duduk, sekarang dia duduk di atas tatami, bersender di dinding dekat Sasuke berbaring. Mengambil pensil di atas meja dengan seenaknya, "Ng..., ini bagaimana cara mengerjakannya?" sang blonde menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal dengan ujung tumpul pensil.

Setengah bangkit dari posisinya, Sasuke dapat melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Naruto. "Siapa yang menyuruhmu untuk mengejakan PR-ku?" dia kembali menghempaskan tubuhnya ke atas tatami.

"Habis kamu tidak menghiraukanku, aku hanya sedang mencari kesibukan," jelasnya, matanya tetap fokus melihat kumpulan soal yang tidak dimengertinya. Pensil di tangannya sama sekali belum ditorehkan di atas kertas. "Tidak sepertimu, yang memang tidak memiliki kesibukan lalu menyiksa hewan," cibir Naruto disengaja.

"Tutup mulutmu, Dobe!" kesal sang raven.

Naruto melirik Sasuke dengan tatapan sengit, "Memangnya kamu siapa? Sampai-sampai aku harus mendengarkan ucapanmu, dasar Teme," balasnya membuat Sasuke membanting PS Pita dengan keras ke atas tatami, untung tidak rusak.

"Kamu―" kemarahan Sasuke sudah sampai di ubun-ubun, wajahnya memerah menahan kesal. Dia menghela napas panjang, saling beradu pandang sengit dengan pemuda itu, "Kamu pulang saja sana!" usirnya.

"Tidak mau," jawab Naruto keras kepala, dia kembali memandang kumpulan soal di tangannya. Tak menghiraukan ucapan Sasuke, "Hei, Sasuke, ini bagaimana cara mengerjakannya?" Naruto menunjukkan halaman pertama soal yang tidak selesai-selesai dikerjakannya pada Sasuke.

"Kamu berisik sekali!" Sasuke membentak lagi, lalu merebut buku PR dan pensil yang ada di genggaman Naruto, ikut duduk di sebelah Naruto. "Ini soal yang sangat mudah, kamu hanya tinggal melakukan pembagian dengan ini, lalu kamu pangkatkan lagi dengan ini, dan memakai rumus ini maka selesai. Ini pelajaran paling mudah dan kamu tidak bisa mengerjakannya, dasar Dobe. Badanmu saja yang besar tapi otakmu sekecil kacang kenari," omelnya sambil memaki sang blonde. Jari-jari porselennya mencengkeram pensil dengan erat, mulai menjawab soal demi soal.

"Ternyata kamu pintar ya, Teme," puji Naruto tampak takjub melihat bagaimana sang raven mengerjakan tiap soal tidak sampai lima menit. "Aku juga tidak tahu kalau kamu bisa banyak bicara," kekehnya yang mendapat hadiah berupa tatapan tajam―yang sudah tak mempan―dari Sasuke.

"Diam kamu!" bentaknya nyaring, kembali mengejakan PR. "Itu gara-gara kamu terus saja berisik dan tidak bisa mengerjakan PR semudah ini," gerutunya, mengerjakan soal terakhir dari PR matematika.

Naruto menyerahkan buku PR yang lain, setelah melihat sang raven selesai mengerjakan soal matematika. Menyodorkan buku PR bahasa Inggris, "Mau bagaimana lagi? Aku tidak sekolah, jadi tidak mengerti yang seperti ini."

Ucapan dari sang blonde membuat Sasuke memicingkan sebelah matanya, sedikit tak percaya mengenai ucapan Naruto tentang 'tidak sekolah'. Sasuke mendengus melihat bagaimana buku PR miliknya satu persatu di sodorkan oleh sang blonde, membuatnya terpaksa mengerjakannya.

Tanpa diketahui keduanya, seorang lelaki mengintip dari celah pintu geser yang tidak tertutup rapat. Senyum tipis mengembang di wajahnya, melihat adiknya tekun―lebih tepatnya terpaksa―mengerjakan PR dibantu―direcoki―oleh sang blonde. Itachi membawa kudapan yang terbuat dari tepung beras, berbentuk bola-bola kecil berwarna putih, dan ditusuk menjadi satu dengan sebuah tusukan bambu―dango―dengan saus berwarna cokelat terang melumurinya dan dua gelas teh oolong dingin, lalu menaruhnya dengan hati-hati tepat di depan pintu geser. Tak ingin mengganggu keduanya, Itachi meninggalkan mereka dengan sebuah senyum puas.

.

Malam sudah meraja, saat Sasuke selesai mengerjakan semua PR. Sebuah keajaiban semua PR miliknya―yang niatnya tidak akan dikerjakannya―benar-benar selesai semua. Kalau ayah dan ibunya melihatnya, mungkin mereka akan menangis bahagia. Sasuke melirik pemuda yang tertidur di kamarnya dengan tatapan tidak percaya. Bisa-bisanya pemuda yang sudah membuatnya jadi mengerjakan PR malah asik mengorok.

Sasuke bangkit dari duduknya dan menendang perut Naruto pelan, membuat pemuda itu terjaga dari tidurnya. Seperti biasa, pemuda itu sedikit linglung karena tiba-tiba dibangunkan dengan kasar. Jarinya menggosok matanya, menatap berkeliling dan sadar saat melihat ke luar sudah malam.

"Sampai kapan kamu mau di sini? Pulang sana," ucap Sasuke, mengusir Naruto. Dia membereskan semua buku PR, menaruhnya kembali ke atas meja.

"Sudah selesai?" tanya Naruto yang tak mendapat jawaban. Dia bangkit dari duduknya lalu meregangkan seluruh otot tubuhnya yang terasa kaku. "Kalau begitu aku pulang dulu, sampai jumpa besok," cengirnya lebar, keluar dari kamar Sasuke.

"Besok juga tidak usah datang!" bentak Sasuke nyaring sampai ke luar kamar.

Naruto terkekeh mendengarnya, dia menggaruk pipinya yang tidak gatal. Saat melewati lorong dekat dapur, dia mencium aroma wangi daging yang digoreng, suara desisan dari wajan membuatnya masuk ke dalam dapur. Itachi sedang berkutat menyiapkan makan malam, dia melirik sosok sang pemuda yang berdiri di depan pintu dapur.

"Sudah selesai?" tanya Itachi yang mendapat anggukan dari sang blonde, "Duduklah, makan malam sekalian di sini," tawarnya dengan ramah.

Naruto menggelengkan kepalanya, "Terima kasih, tapi tidak usah Itachi-san, saya masih kenyang. Dango tadi rasanya enak sekali," ucapnya sopan, "Aku harus cepat pulang kasihan Kyuubi-san sendirian di rumah," jelasnya memberikan alasan.

"Kamu yakin tidak ingin makan dulu?" tanya Itachi lagi, sang lelaki dengan cekatan meniriskan potongan-potongan besar tonkatsu―daging babi yang di goreng dengan baluran tepung roti―ke atas mangkuk berisikan tisu untuk menyerap minyak. "Padahal aku sudah memasak banyak hari ini," desahnya kecewa, mematikan kompor lalu mengelap tangannya dengan celemek yang dipakainya.

Naruto menangkupkan kedua telapak tangannya lalu menunduk kecil, "Aku minta maaf, tapi tidak bisa. Kalau kemalaman bisa-bisa aku dimarahi Kyuubi-san."

Itachi menghela napas panjang, lalu mengeluarkan kotak makan berwarna hitam dari dalam lemari piring, "Kalau begitu kau bawa saja tonkatsu ini sebagian, makanlah dengan Kyuubi," Itachi memasukkan beberapa potong ke dalam kotak makan, menutupnya lalu membungkusnya dengan kantung plastik. "Aku tidak akan menerima penolakan, jadi bawa ini," desaknya menyodorkan kantung plastik itu.

Naruto tertawa kecil dan mengambil kantung plastik berisi makanan lezat yang pasti akan sangat di sukai Kyuubi, "Maaf, lagi-lagi merepotkan Itachi-san."

Itachi mengantarkan pemuda itu ke genkan, membukakannya pintu, "Tidak masalah, aku malah senang Sasuke berteman denganmu," ucapnya dengan tulus. Dia memandang sepupu dari asistennya itu dengan pandangan teduh, "Kamu juga sudah membantunya mengerjakan PR, harusnya akulah yang berterima kasih."

"Aku tidak membantu apa-apa," jawab Naruto malu, menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, "Kalau begitu, aku permisi dulu," pamitnya sambil menunduk hormat.

"Sampaikan salamku pada Kyuubi," minta Itachi yang dibalas lambaian oleh sang blonde.

.

.

Selama beberapa hari, tensi darah Sasuke bisa dikatakan naik. Masalahnya saat dia ingin 'bermain-main' dengan para hewan di hutan, sang blonde selalu tiba-tiba saja datang dan mengacaukan rencananya. Seolah pemuda itu tahu pasti dimana dan sedang apa dirinya. Beberapa kali Sasuke memeriksa tubuhnya, memastikan tidak ada alat pelacak―seperti yang ada di film-film―yang menempel di tubuhnya.

Naruto bisa tiba-tiba keluar dari semak-semak, di atas pohon, di belakang batu besar, terkadang dari dalam air di danau. Entah pemuda itu manusia biasa atau ninja jadi-jadian. Begitu muncul, sang blonde tak akan segan mengomelinya sambil membubuhi dengan kalimat-kalimat pedas menyindirnya, membuat mereka harus bertengkar seharian. Seperti hari ini, lagi-lagi Naruto mencegah Sasuke untuk mencabut tanaman tempat para kunang-kunang bersarang, membuat Sasuke harus mendapat ceramah.

Setelah beberapa jam, keduanya lelah bertengkar dan memilih untuk berbaring di atas rerumputan. Menikmati sapuan lembut angin musim panas, memandangi langit cerah dengan awan berarak pelan. Sasuke tiba-tiba melirik ke arah Naruto, dimana ada sang blonde berbaring memejamkan mata, memandang setiap jengkal wajah Naruto dengan seksama.

"Apa ada sesuatu di wajahku?" celetuk Naruto, tiba-tiba menoleh ke arah Sasuke, "Sejak tadi kamu memperhatikanku terus," lanjutnya dengan sebuah senyum terpoles di wajahnya.

Sasuke mengalihkan pandangannya pada Naruto, jantungya tiba-tiba berdebar kencang, seolah sudah ketahuan basah melihat yang tidak-tidak. Dia melengos ke arah lain, menghindari bertatapan mata dengannya, "Percaya diri sekali kamu bicara seperti itu, Dobe," ucapnya yang hanya ditanggapi kekeh kecil dari sang pemuda. Sasuke kembali melirik Naruto dari ujung matanya, memperhatikan tiap detil wajah pemuda itu, "Hei, apa kamu dulu pernah ke desa ini? Apa saat kamu kecil pernah tinggal di tempat ini?" tanyanya beruntun, tiba-tiba penasaran dengan Naruto. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Naruto melebarkan kedua matanya, berbaring menyamping menatap sang raven. "Pertanyaan yang terakhir, kedengarannya seperti orang yang sedang merayu."

"Jawab saja pertanyaanku!" bentak Sasuke kesal, bangkit dari posisinya. Dia duduk menyelonjorkan kedua kakinya, menatap air danau yang tenang.

Naruto ikut bangkit, duduk di sebelah Sasuke. "Tidak, ini pertama kalinya aku ke sini. Kenapa?" sang blonde melirik sang raven penuh tanya.

"Tidak..., lupakan saja pertanyaanku," jawab Sasuke cepat.

Naruto tersenyum kecil, lalu berdiri dari duduknya. Dia menatap sang raven, pandangan mereka beradu. Bedanya, jika Naru menatap Sasuke dengan lembut, sang raven menatapnya dengan bengis, seakan ingin mengeluarkan bola mata berwarna langit dari rongganya. Tiba-tiba ujung jari sang blonde terjulur, menyentuh lembut pipi milik Sasuke, membuat sang pemilik wajah membelalak kaget. Refleks Sasuke menepis tangan sang blonde, membuatnya terhempas.

"Apa yang kamu lakukan? Menjijikkan," sungut Sasuke menggosok bekas sentuhan sang blonde dengan kerah T–shirt yang dipakainya, memperlakukan sentuhan sekejab mata itu seperti sebuah bakteri.

"Maaf-maaf, habis pipimu terlihat lembut sekali," ucap Naruto enteng, memasukkan jari-jarinya ke dalam kantung celana, "Apa nanti malam kamu ada acara?"

"Ya, aku ada kencan dengan PS Pita," dengusnya, menjawab seenaknya ucapan sang blonde.

"Nanti malam aku akan menjemputmu," putus Naruto, "Aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat yang menakjubkan," ucapnya misterius, membuat sebelah alis Sasuke terangkat, penasaran.

.

Selepas makan malam, Naruto sudah datang ke rumah Sasuke, memakai pakaian kasual seperti biasanya, sebuah senter digenggamnya. Lalu meminta izin pada Itachi, 'meminjam' adiknya sebentar. Awalnya Sasuke tak ingin ikut, tapi sang kakak mendorong-dorongnya terus. Dengan terpaksa sang raven mengikuti sang blonde. Naruto tak membiarkan Sasuke kabur, dia menggenggam erat pergelangan tangan pemuda itu, membuat Sasuke berjalan terseok di belakang sang blonde.

Sasuke kaget saat menyadari kemana arah yang mereka tuju, Naruto membawa Sasuke ke arah jalan masuk menuju hutan. Entah apa yang ingin diperlihatkan sang blonde padanya. Begitu keduanya masuk ke dalam hutan, Naruto menyalakan senter sebagai satu-satunya penerang ditiap langkah mereka.

Suasana hutan saat malam hari begitu berbeda, tampak mencekam. Suara hewan-hewan yang sama sekal belum pernah di dengar saling bersahutan di seluruh hutan, kelebat-kelebat aneh mengintai dari balik pohon serta rerumputan, mata-mata bercahaya terang menatap mereka dari kejauhan, siap siaga kapan saja untuk menyergap mereka.

Sasuke tak masalah dengan semua itu, dia tak merasa takut dengan sosok-sosok hewan tak kasat mata. Hanya satu yang dipermasalahkannya, yaitu nyamuk. Dengingan nyamuk mengusik indera pendengarannya, dengan tangannya dia mengibas serangga penghisap darah, agar tak mendekat padanya. Kalau tahu Naruto mengajaknya ke hutan, sebelumnya dia pasti akan menyemprotkan cairan anti serangga ke seluruh tubuhnya. Akibatnya sekarang dia sibuk mengusir nyamuk-nyamuk yang mencoba mengerubunginya.

"Sampai kapan kita berjalan?" protes Sasuke, mengusir seekor nyamuk yang hinggap di tangannya. Dia sudah tak tahan kalau harus lebih lama lagi.

"Sebentar lagi," Naruto menjawab singkat, menarik sang raven ke balik semak. "Nah, sudah sampai~"

Keduanya menjejakkan kaki di dekat danau, tempat biasa mereka menghabiska hari di hutan ini. Sasuke menatap Naruto dengan pandangan tak percaya, dia mengajaknya keluar malam-malam hanya untuk ke tempat mereka biasa bertemu. Lucu sekali, tahu begini dia memilih pura-pura tidur, daripada harus diserang sekumpulan nyamuk hanya untuk ke tempat ini saat malam hari.

Melihat wajah Sasuke yang berubah masam membuat Naruto sedikit panik, sepertinya pemuda itu tak senang. "Coba lihat ke sekeliling, Sasuke. Bukankan tempat ini jadi berbeda?" Naruto merentangkan kedua tangannya, sebuah keringat dingin menggantung di pelipisnya.

Ekspresi wajah Naruto saat ini, mengingatkan Sasuke pada manusia salju berhidung wortel yang mengajak dua orang manusia bermain lempar bola salju, dalam film yang judulnya mengingatkan sang raven pada mesin pendingin, yang tak sengaja dilihatnya saat melewati ruang keluarga―di rumahnya yang ada di Tokyo―ingin rasanya menonjok makhluk itu.

Sasuke dengan malas memutar bola matanya, menatap ke sekeliling karena tak ingin menatap wajah Naruto. Memang benar tempat ini jadi sangat berbeda saat malam hari. Sinar matahari yang biasanya menyinari, berganti dengan sinar lembut dari bulan berwarna pucat di atas sana, kerlingan jutaan bintang juga terpantul indah di atas danau yang tenang, menjadikan permukaannya seperti sebuah canvas raksasa, melukis indahnya alam. Menyedot semua jiwa yang mengintip ke dalamnya, membawa mereka seolah masuk ke alam semesta.

Sasuke mengagkat wajahnya, bersedekap dengan ekspresi datar, "Ya, lumayan berbeda," suaranya sedatar wajahnya, tampak tak terlalu berkesan.

Naruto tersenyum kecut sedetik, lalu berdiri memunggungi cahaya bulan, senyumnya berganti lebar dan pandangan matanya berkilat misterius. Dia mematikan senter yang ada di tangannya lalu melemarnya ke atas rerumputan. Tangan kanannya dinaikkan sejajar dengan bahunya, menjentikkan jarinya menimbulkan suara keras.

Tiba-tiba angin kencang menghempas mereka, membawa dedaunan beterbangan. Sasuke menyipitkan matanya, tak lama setelah angin kencang itu berhenti bertiup, dia membelalak lebar. Sekumpulan kunang-kunang dengan jumlah yang sangat banyak keluar dari seluruh tempat persembunyian, beterbangan ke langit, mengitari keduanya, menjadi penerang tempat ini.

"Ini...," gumam Sasuke takjub, tak menyangka serangga dengan bokong berpijar terang ada sebanyak ini. Salah satu dari mereka menghampiri sang raven, Sasuke menaikkan jarinya, menjadikan jari-jarinya sebagai tempat untuk kunang-kunang mendarat. Cahayanya berkelap-kelip, seirama dengan kunang-kunang yang lainnya, sama seperti bintang di atas langit.

"Bukankah ini hebat?" ucap Naruto, dia membiarkan seekor kunang-kunang mendarat di ujung hidungnya. "Apa kamu pernah mendengar tentang mitos kunang-kunang?" tanyanya, menolah pada sang raven, membuat kunang-kunang di ujung hidungnya terbang.

Sasuke meniup pelan kunang-kunang yang hinggap di jarinya, membuat serangga kecil itu terpaksa terbang tinggi. "Sepertinya dulu ibuku pernah menceritakannya waktu aku kecil. Tapi aku sudah lupa," kerlip cahaya kunang-kunang memantul di iris gelapnya.

Sang blonde menjulurkan tangannya ke atas, seolah ingin merengkuh semua cahaya itu dalam peluknya, "Kata orang-orang, roh anak baik yang sudah meninggal akan menjadi sesuatu yang bersinar di tengah malam," jelasnya tersenyum tipis, "Seperti benda-benda langit, bintang, bulan, planet―" dia menjeda ucapannya sesaat menunjuk benda langit di atas sana, lalu kembali menatap Sasuke dengan pandangan yang aneh, "―dan kunang-kunang," lanjutnya lagi.

"Kenapa mereka harus berubah menjadi sesuatu yang bersinar di tengah malam?" tanya Sasuke tak mengerti.

"Agar mereka bisa menjadi penerang jalan, untuk jiwa-jiwa yang masih hidup di dunia," ucap Naruto menjelaskan, wajahnya tampak sangat senang menatap ribuan kunang-kunang yang menari mengelilingi tubuhnya, "Mengarahkan mereka untuk terus menatap ke depan, menggiring mereka yang tersesat untuk kembali lagi."

"Itu hanya mitos, mereka hanya serangga dengan bokong berpijar," sinis Sasuke, "Kamu sendiri tadi bilang itu adalah mitos," dengusnya, mengingatkan ucapan sang blonde.

Naruto menghampiri sang raven, berdiri di hadapan pemuda itu dengan wajah yang sangat dekat dengannya, "Bagaimana kalau ternyata hal itu adalah sebuah kenyataan?"

Irisnya menatap tajam pemuda di hadapannya, cukup lama Sasuke terdiam sampai membuka suaranya lagi. "Aku ingin pulang, ini sudah malam," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Entah kenapa dia tak menyukai suasana di tempat ini lama-kelamaan.

Naruto mengangguk mengiyakan permintaan sang raven. Dia mengambil senter yang tadinya dia buang di rerumputan, kembali berjalan pulang diikuti Sasuke di belakangnya. Mereka terus berjalan tanpa satupun membuka suara, sampai mereka ke luar dari hutan.

Di ujung jalan menuju ke desa, mereka bertemu seorang nenek dengan yukata merah. Sasuke tahu nenek itu, mereka pernah bertemu saat berselisih jalan didekat hutan di waktu yang lalu. Nenek yang waktu itu menyapanya dengan ramah. Sang nenek membawa panci makanan, sepertinya habis mengantar makanan ke rumah tetangga.

Melihat Naruto mengangguk hormat pada nenek itu, Sasuke juga ikut mengangguk hormat. Sang nenek awalnya sedikit kaget melihat tingkah sopan Sasuke, tapi sedetik kemudia dia tersenyum ramah padanya. Mata sang nenek herannya terus mengarah pada sosok yang ada di sebelahnya Sasuke―ke arah Naruto―sampai mereka berbelok ke arah rumah Uchiha, sang nenek masih berdiri di tempatnya menatap keduanya sampai menghilang di belokan jalan.

.

.

Esoknya Sasuke hanya bersantai seperti biasa di rumah, dia sudah enggan mengusili hewan di hutan, malas untuk selalu bertemu sang blonde setiap kali dia ingin berniat jahat. Lagi pula, setelah melihat keindahan kunang-kunang itu, dia sedikit memikirkan perilakunya selama ini. Bisa dikatakan sekarang ini dia benar-benar sedang introspeksi diri.

Sasuke bangkit dari atas tatami, mengacak rambutnya dengan kasar, "Tidak! Tidak!" gumamnya pada dirinya sendiri, tak ingin mengakui kalau dia benar-benar sedang introspeksi diri. Terlalu sering bersama dengan sang blonde membuat sifatnya tanpa di sadari berubah sedikit-demi sedikit, walau mereka masing sering―selalu―bertengkar mulut setiap bertemu. Lucu rasanya, dia yang seorang pemberontak, ketua anak nakal di sekolahnya bisa semudah ini berubah karena seorang pemuda dengan rambut norak.

Lebih tepatnya, dia tak ingin mengusili hewan lagi karena tak mau di cap dan dihina sebagai bocah oleh Naruto. Hinaan semua orang memang ta pernah dihiraukannya, hanya hinaan dari mulut Naruto yang tidak bisa diterimanya. Sasuke memukul bantal dengan keras. Mengingat bagaimana wajah sang blonde menghinanya membuat darahnya mendidih.

"Sasuke, hari ini kamu tidak keluar?" tanya Itachi, kepalanya melongok ke dalam kamar adiknya.

"Tidak, kenapa?" tanyanya dengan malas, dia duduk di atas tatami, memunggungi sang kakak.

"Tolong belikan shoyu di toko serba ada yang ada di perempatan desa," mintanya, dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, dengan setangah membungkuk dia memperlihatkan selembar uang pada adiknya. "Shoyu kita habis, aku tidak bisa memasak makan malam tanpa itu."

Sasuke menoleh pada kakaknya dengan jengkel. "Kenapa tidak beli sendiri!" protesnya.

"Jangan banyak protes. Cepat pergi sana," Itachi membalas tak kalah sengit, "Sisa uangnya boleh kamu belikan apa saja," lanjutnya merayu sang adik.

Sasuke mendecih kecil lalu mengambil uang dengan pecahan besar yang ada di tangan Itachi, akhirnya tergiur dengan rayuan sang kakak. Itachi menyeringai lebar, puas karena adiknya mau membelikannya shoyu, walau dengan terpaksa.

Sasuke menyusuri jalan desa, tepat ke pusat desa. Banyak manula yang tidak dikenalnya menyapanya ramah, Sasuke hanya membalas mereka dengan anggukkan kecil. Tepat di perempatan desa, dia melihat bangunan semi modern berlantai dua yang dulu pernah dilihatnya. Kakinya melangkah masuk ke dalam toko, dinginnya AC langsung menghembus tubuhnya, memberikan rasa sejuk dari panasnya sengatan matahari di luar sana.

Sasuke berkeliling di antara rak-rak tinggi berisi cemilan yang sering ditemuinya di kota. Dia memilih untuk berhenti sebentar di tempat majalah, hanya ada majalah tentang pertanian yang di jual, membuat Sasuke mengurungkan niatnya untuk melihat-lihat. Dia kembali berkeliling di dalam toko, tak susah menemukan rak tempat dijualnya bumbu dapur. Jarinya menelusuri tiap botol shoyu, bingung harus memilih shoyu mana yang harus dibelinya. Salah kakaknya tak memintanya dengan spesifik, dia tak ingin salah beli dan harus kembali ke toko ini lagi.

"Shoyu yang enak yang merek ini," tangan keriput terjulur, mengambil sebuah shoyu dengan merek berwarna hijau, menyodorkannya pada Sasuke. "Aku memakainya juga di rumah," ujarnya dengan sebuah senyum untuk sang pemuda.

Sasuke membelalak kecil, nenek yang sering ditemuinya di jalan menyodorkannya sebuah botol shoyu padanya, "Hn, terima kasih," jawabnya kaku, dia mengambil botol shoyu itu.

Sang nenek mengangguk kecil, tak henti menatap sang pemuda. "Semalam kamu dari mana? Hutan di malam hari berbahaya sekali, lho," ucapnya memperingatkan, mengambil botol shoyu untuk dirinya sendiri, memasukkannya ke dalam keranjang.

"Tidak masalah, aku punya orang yang bisa dijadikan umpan kalau-kalau ada sesuatu yang berbahaya," seringainya, mengingat sang blonde.

"Wah jangan seperti itu," sang nenek tertawa kecil, berjalan bersama Sasuke menuju kasir. "Kasihan kakakmu, dia sudah cukup pusing dengan penelitiannya yang belum-belum selesai."

"Bukan kakakku yang kumaksud," Sasuke mengoreksi, mempersilahkan sang nenek duluan untuk membayar di meja kasir. "Pemuda dengan rambut blonde yang aku maksud, semalam juga nenek bertemu dengannya."

Sang nenek mengernyit, dia mengeluarkan dompet berbentuk bulat dari kantung kimono-nya, mengeluarkan beberapa lembar uang setelah semua belanjaannya selesai dihitung, "Semalam kamu hanya seorang diri," ucapnya, menatap Sasuke bingung, "Aku tidak melihatmu bersama orang lain," lanjutnya, menerima kantung plastik berisi belanjaan, berterima kasih sebentar pada sang penjaga kasir, lalu menghadap Sasuke lagi.

"Saya bersama teman tadi malam," Sasuke bersikeras, lalu menyerahkan shoyu pada sang kasir. "Apa nenek lupa? Nenek bertemu juga dengannya," sang pemuda menyerahkan uang dan menunggu kembaliannya.

"Apa kamu pikir aku sudah pikun? Atau rabun? Aku ini masih sehat, Nak. Aku tahu apa yang kulihat dan aku masih bisa mengingat dengan jelas," kata sang nenek penuh keyakinan, "Bahkan jika kamu menyuruhku untuk menceritakan masa mudaku, aku masih bisa menceritakannya dengan detail."

Sasuke mendengus, mengambil kantung plastik belanjaan yang disodorkan sang kasir, "Tapi aku benar-benar bersama seorang kenalanku, Nenek," dia mulai tak sabar bicara dengan nenek itu.

Keduanya keluar dari toko bersamaan, mereka berdiri di depan toko, sang nenek tampak berpikir keras, kedua alisnya mengernyit tajam. Sasuke hampir meninggalkan sang nenek begitu saja, tak ingin berdebat dengan orang yang sudah berumur.

"Malam itu aku benar-benar melihatmu berjalan keluar dari hutan seorang diri," sang nenek masih bersikeras, "Lalu, ada seekor kunang-kunang yang terbang di dekat tubuhmu, hanya itu saja, tidak ada orang lain."

"Ap―"

"Ah, aku harus cepat pulang. Aku harus menyiapkan makan siang," sang nenek memutus ucapan Sasuke, "Aku duluan, kapan-kapan mampirlah ke rumahku," ucapnya ramah. Sang nenek melambaikan tangannya di kejauhan, meninggalkan Sasuke yang masih belum bisa mencerna ucapan sang nenek dengan benar.

.

.

.

Next To Chapter 2

.

.

.

Karena kepanjangan kalo dijadiin 1 chapter, jadi Frau jadikan dua chapter biar yang baca gak capek… Silahkan next ke chapter 2…

Note :

PS Pita adalah plesetan dari sebuah console game terkenal.