.

.

-Dinasti Joseon, 1 September 1415, pukul 12.00 siang-

.

Drap—drap—suara debam langkah kaki terdengar begitu jelas di sepanjang lorong istana. Persetan dengan beribu pasang mata yang memperhatikan. Persetan dengan napas memburu lelah.

"Pangeran! Tunggu!"—atau suara para dayang wanita di belakang yang menyuruhnya untuk segera kembali. Persetan dengan semuanya.

Bagi Jeon Jungkook—putra pertama kaisar Jeon—tidak ada yang lebih penting ketimbang seonggok nyawa yang sedang menunggu ajal di tempat itu. Tidak ada waktu bersantai. Ia harus segera bergegas.

Jika tidak—tamatlah sudah.

"PANGLIMA KIM!" teriaknya, kalap. Tatkala onyxnya menemukan sosok yang ia cari tengah duduk bersipu di tengah lapangan luas di bawah sana dengan di kelilingi ratusan manusia. Sangat kacau.

Merasa terpanggil, sang panglima muda bermata hazel itu pun menoleh. Sebisa mungkin ia mengangkat senyum terbaik di hari terakhirnya. Menunjukkan bahwa dirinya tidak apa-apa.

Hari ini adalah hari penghukuman atas segala dosa yang telah ia torehkan. Hukuman karena telah berani mencoreng nama kerajaan. Pemuda Kim itu paham betul. Ia menerima segala konsekuensi atas dosa-dosanya tersebut dengan lapang dada.

Tapi tidak dengan Jungkook. Ia sangat tidak rela. Sudah pasti. Hatinya sakit melihat keadaan pemuda yang sangat ia cintai saat ini. Sangat menyedihkan hingga membuatnya tidak bisa menahan segala rasa sesak di dada.

Jungkook ingin berlari kesana. Memeluk dan mengobati lukanya. Namun para prajurit setia sang ayah segera menahan tubuhnya. Mencegahnya untuk tidak melangkah lebih jauh lagi.

"LEPASKAN AKU, BRENGSEK! LEPASKAN!" seberapa kerasnya Jungkook berteriak, meronta. Semuanya terasa sia-sia.

Kaisar Jeon merupakan kaisar paling kejam sepanjang sejarah. Dia keras kepala dan teguh pendirian. Keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Ia menghukum siapapun tanpa pandang bulu.

Tes!—air mata pun jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Perlahan tubuh Jungkook melemas. "Hiks!—Panglima Kim." Lirihnya, pilu. "Lepaskan dia. Hiks!—kumohon. Siapapun tolong lepaskan dia—hiks!"

Sang panglima muda menunduk dalam. Satu hal yang paling ia benci yaitu—air mata Jungkook. Ia tersenyum miris terlebih ketika mengingat bahwa sekarang adalah hari ulang tahun sang pangeran.

Harusnya ada pesta besar-besaran. Harusnya ada hadiah terbaik. Harusnya ia membuatnya tersenyum senang. Bukan membuatnya menangis seperti ini.

Ingin rasanya ia bangkit berlari dan menghapus liquid yang membasahi pipi mulus itu.

Tapi apa daya. Kini ia hanyalah seorang tahanan kerajaan. Panglima Kim merasa jika dirinya orang paling menyedihkan sejagat.

Baiklah, ini adalah yang terakhir—tarik napas dalam-dalam. Keluarkan lalu ucapkan—"SELAMAT ULANG TAHUN, JEON JUNGKOOK. AKU MENCINT—"

CRATS!—belum sempat menyelesaikan kalimat, pedang sang algojo langsung menebas kepala si pemuda Kim tanpa belas kasih setelah sebelumnya mendapat isyarat tangan dari sang raja.

Kedua mata Jungkook seperti hendak keluar ketika melihat pemandangan di depannya. Tubuhnya mematung kaku. Mulutnya mengangah, tidak percaya. Onyxnya bergetar menatap nanar tubuh bersimba darah dan kepala yang menggelinding di atas tanah secara bergantian.

"P—Panglima. P—Panglima Kim?"

.

.

"TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAK!"

Sejak saat itu, Jungkook bersumpah akan mengutuk semua manusia yang ada disini. Ia bersumpah.

.

.

.

.

2 Periode

Author: kurokuroninja

Disclaimer: Screenplays

Cast: VKook / TaeKook (Kim Taehyung x Jeon Jungkook BTS)

Rated: M-Muahahahaha *Plak

Genre: Romance, Drama

Warning! Yaoi, Boys x Boys, BL, Typo bertebaran, alur acak-acakan, gaje tingkat dewa, NC, Lemon, Frontal, No Sensor, Sexual Content, Dirty Language dan berbagai kesengklekan lainnya.

DLDR! Don't Like? Don't Read! No Flame, No Judge, No Protest! Fanfic saya, suka-suka saya! Rawan Balita! Masih maksa baca? Author gatanggung jawab ;p

Now Playing: Ali – Hurt (Ost. Rooftop Prince), Kyuhyun – Inoo (Ost. God of War)

.

.

.

Chapter 1: K.I.M

.

.

.

Enjoy!

.

.

.

.

-600 tahun kemudian-

.

-Seoul, pukul 11.50-

.

Selama era Joseon, seluruh negeri mengadopsi sistem kelas sosial yang ketat. Dengan raja (wang) di puncak. Bangsawan (yangban) dibawahnya. Chungin atau pegawai pemerintahan. Lalu populasi rakyat jelata atau sangmin yang umumnya bekerja sebagai petani, pekerja dan nelayan.

Sistem administrasi yang tersentralisasi dilaksanakan berdasarkan sistem konfusius oleh yangban.

Yangban sendiri dibagi dua kelompok kelas. Terdiri atas kelompok militer dan birokrat. Untuk menjadi yangban harus melewati serangkaian ujian. Namun kadang kala putra para bangsawan diberikan hak khusus.

.

.

Sejarah—salah satu pelajaran yang paling dihindari para murid setelah fisika dan matematika. Memusingkan, membosankan. Begitulah komentar segelintir murid—termasuk Kim Taehyung. Pemuda bersurai oranye terang yang bergaya layaknya preman pasar.

Hei, bung. Usianya kini sudah tujuh belas tahun, okay? Menurutnya cerita bualan tentang dinasti Joseon, dewa-dewi atau apalah itu—sama sekali bukan hal menarik yang perlu dipelajari.

Taehyung orang yang optimis. Dia lebih suka melihat masa depan ketimbang menengok ke belakang.

Ew!—bitch please! History is not my style, man!—batinnya.

Bukan hanya sejarah. Baginya seluruh pelajaran—semuanya memuakkan. Jika sudah seperti ini yang harus ia lakukan hanyalah tidur.

"Ehem!"

Tapi sepertinya kau melupakan satu fakta tentang—'siapa pengajar sejarah' yang sekarang berdiri di belakangmu dengan sebuah gulungan buku dan raut wajah bak raja neraka.

"Sudah cukup tidurnya, Kim Taehyung?" teguran kelewat halus namun meninggalkan kesan mistis mendalam itu akhirnya mampu membuat sepasang hazel Taehyung terbuka perlahan.

Dengan menguap santai, sesekali menggesek mata. Ia menatap wajah murka Shim Changmin dengan cengiran tanpa dosa.

"Hai, seonsangnim. Apa kabar?"—Taehyung bersumpah demi nenek moyangnya. Ini adalah pertanyataan paling tolol sepanjang zaman.

Changmin tersenyum miring, "Cukup baik sampai aku melihat wajah bodohmu yang diselimuti air liur menjijikan terpampang di hadapanku." Desisnya sadis. Membuat suasana kelas semakin mencekam. "Apa tidurmu lebih penting dari pada kelasku? Hum?"

Si surai oranye mengorek lubang telinganya, cuek lantas menjawab, "Sejujurnya—itu benar, seonsangnim. Aku benci sejarah. Pelajaranmu membuatku mengantuk."

How nice! Jika ada yang berani berbicara sejujur itu pada seorang guru, Taehyunglah orangnya. Para murid di kelas bingung mengkategorikan tindakan Taehyung sebagai keberanian atau kebodohan?

Apapun itu—sebisa mungkin—jangan ditiru! Jika kalian tidak ingin berakhir seperti—

"Oh ya?!" sarkas Changmin, "Kalau begitu—bagaimana jika kau merenungkan perbuatanmu di bawah terik matahari di luar sana."

—kalian lihat, 'kan?

.

.

.

.

Tiiing!—bel pulang berbunyi lebih nyaring dari biasanya. Tidak terasa, enam jam sudah Taehyung terjebak dalam penjara bernama sekolah. Setidaknya—sekarang ia bisa bernapas lega karena tidak ada pelajaran tambahan yang mengharuskannya pulang larut. Astaga. Itu mimpi buruk.

Belajar, belajar, belajar. Aaarrrggggt! Taehyung rasa orang-orang itu berniat meledakkan kepalanya dengan kata perkata dan deretan angka memuakkan.

Cukup!

.

"Kau tahu, rumor tentang kuil hantu diatas bukit belakang sekolah?"

"Ah ya—tentu saja. Banyak yang mengatakan jika kau pergi kesana saat sore hari terutama saat matahari mulai tenggelam kau akan mendengar suara kecapi dan menyaksikan penampakan hantu seorang wanita berrambut panjang."

"Kang Seulgi—murid kelas 3-4. Kudengar dia sakit beberapa hari ini setelah pergi kesana."

"Wuoaaah?! Jinjja?! Hiiiii~"

.

Cih! Dasar wanita. Tidak ada kegiatan lain selain bergosip. Dimana pun dan kapanpun. Tak terkecuali pada saat jam pulang sekolah. Refleks, Taehyung memutar bola mata malas.

Berlama-lama disini hanya akan membuatku gila, pikirnya.

Puk!—demi kerang ajaib. Taehyung akan menghajar siapapun yang membuat jantungnya hampir copot jika saja tangan yang bertengger indah di pundaknya bukan tangan milik Park Jimin. Pemuda idiot yang berstatus sebagai sahabat seperpopokan.

"Hai, man. Malam ini—bolehkah aku menginap di apartemenmu? Please." Bocah Park berkata tanpa basa-basi. Taehyung merutuki wajah memelas Jimin yang terlihat seperti zombie abad keenam belas.

Satu alis terangkat heran lantas menjawab, "Ada apa? Kenapa tiba-tiba kau ingin menginap di apartemenku?"

"Kakekku sedang sakit. Tadi siang, seluruh keluargaku pergi ke Busan untuk menjenguknya." Jimin menjeda kalimat sejenak sembari menggaruk pipi yang sama sekali tidak gatal. "Well—kau tahu, kan? Aku—"

"Cukup. Aku mengerti." potong Taehyung. "Rumahmu menyeramkan. Kau tidak suka ditinggal sendirian. Sehingga kau lebih memilih merepotkanku dari pada harus terjebak disana bersama kumpulan hantu sialan."

"Tepat sekali."

Sekilas, Jimin memang terlihat seperti pemuda keren bernyali baja. Dia sempurna dengan tampang yang jauh dari kata jelek, juga tubuh ber-abs-nya yang seksi. Namun saat kau mengenalnya lebih dalam; Taehyung yakin seluruh kesan bagus itu akan luntur begitu saja. Menggelikan.

Satu helaan napas lelah meluncur. "Baiklah, kau akan tinggal. Ayo."

.

.

.

.

-Apartemen Kim Taehyung, pukul 00.30 dini hari-

.

Snack dan game. Dua hal yang menjadi obat dikala insomnia melanda.

Kamar yang semula rapi kini telah bermetamorfosis menjadi sarang setan sejak pemuda bernama Park Jimin datang beberapa jam lalu dan mengacaukan kediamannya secara tidak manusiawi. Taehyung menganggap kedatangan pemuda itu sebagai sebuah malapetaka.

Lihat saja, bungkus makanan ringan bertebaran di mana-mana, lengkap dengan remah-remahnya. Bantal, guling, selimut dan berbagai macam kabel berceceran kesana kemari.

Untunglah, Taehyung tinggal sendirian, sehingga tidak perlu mempermasalahkan hal seperti itu. Separah apapun keadaan kamarnya saat ini, tidak ada yang mengomeli.

"Sial!" rutuk Jimin, kesal. Disusul pekik kemenangan Taehyung ketika tulisan 'Game Over' terpampang jelas di depan wajah keduanya. Yang tentunya dengan hasil yang sungguh sangat tidak adil bagi pihak si pemilik marga Park. Poor you.

"Aku menang lagi!"—sombong sekali dirimu, tuan Kim.

Jimin hanya bisa mendecih sebal. Ia menghempaskan tubuh atletisnya ke atas ranjang yang sudah tidak berbentuk. Tahanlah dirimu untuk tidak membakar televisi beserta seluruh perangkat game milik Taehyung.

"Ah—sudahlah. Aku bosan."

"Cih! Bilang saja kau kesal karena sejak tadi tidak pernah merasakan manisnya kemenangan." timpal Taehyung mengejek kemudian meneguk colanya hingga tetes terakhir.

Mendengar penuturan sahabatnya, Jimin kembali mendecih sembari memutar bola mata jengah. "Terserah."

Setelahnya, suasana hening melanda beberapa saat. Tidak ada satupun yang angkat bicara sampai—

"Ngomong-ngomong—kau terlihat keren saat berdebat dengan Shim seonsangnim."—Jimin menjadi orang pertama yang bersuara. Jujur saja, ia paling tidak tahan terjebak dalam keheningan meski hanya satu detik. "Maksudku—serius. Aku tidak tahu jika kau sebrengsek itu, bung."

"Tentu saja." Taehyung memain-mainkan kaleng cola yang sudah habis lantas melemparnya ke dalam tong sampah kecil di sudut ruangan dan—berhasil. "Dari dulu aku memang selalu terlihat keren dan—brengsek." Ia menjawab dengan satu kedipan nakal.

"Ewh!—hentikan kedipan menjijikan itu, jerk!" Jimin berlagak seperti orang sedang muntah. "Kau membuat perutku mual. Demi Tuhan. Itu mengerikan."

Tawa renyah si oranye menggelegar mengiringi perbincangan absurd mereka. Dan satu pukulan bantal dari Jimin pun mengakhiri semuanya. Kalau dilihat secara seksama, keduanya seperti sepasang kekasih yang sedang bercanda gurau.

Entah kenapa, membayangkan semua itu membuat Taehyung bergidik ngeri.

Dia? Dengan Park Jimin? Geez! Jika Tuhan mengutuknya menjadi seorang gay sekalipun, ia bersumpah tidak akan menjalin hubungan dengan lelaki sinting itu. Never!

"Kau sudah mengantuk?" tanya Jimin yang langsung dibalas gelengan malas.

"Aku juga." Sambungnya lagi. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita bermain Truth or Dare?"

Usul bodoh Jimin sontak mengundang tanda tanya besar di benak Taehyung, "Kau mengajakku memainkan permainan bodoh para gadis?" ia melolong tidak percaya. "Kurasa itu ide yang buruk, bung."

"Kenapa? Kau takut, eh?" seringai Jimin sembari menaik-turunkan alisnya, mengejek. Fuck!

Apa? Takut? Gah! Hell please! Tidak ada kata takut dalam kamus kehidupan seorang Kim Taehyung. "Ck! Baiklah baiklah."

.

.

.

.

-Bukit belakang sekolah, pukul 03.45 sore-

.

"Ingat! Yang perlu kau lakukan hanya pergi ke kuil mengerikan itu dan ber-selfie ria disana." Ujar Jimin menantang.

"Jika kau tidak berhasil melakukannya. Kau harus menyatakan perasaanmu pada Irene di depan seluruh murid-murid sambil bertelanjang dada dan menari hula-hula." Lanjutnya terkikik geli.

Sungguh konyol ketika membayangkan Taehyung menyatakan perasaan pada Irene—gadis kelas sebelah yang disukainya di depan umum. Terlebih sembari bertelanjang dada dan menari hula-hula. Astaga betapa gilanya.

Jimin berdoa, semoga sahabat tololnya tidak berhasil menjalankan tantangan yang ia berikan. Kejam.

Jika kalian bertanya, mengapa mereka berdua disini? Maka jawabannya adalah—ToD. Ya. Semua gara-gara permainan sialan itu. Dan permainan konyol mereka semalam menghasilkan tantangan yang sama konyol.

Taehyung bukannya takut. Jujur saja, ia sama sekali tidak takut pada rumor tentang hantu bukit belakang sekolah atau apalah itu. Ia salah satu dari ribuan orang yang menganut faham—'hantu itu tidak ada'. Otaknya cukup baik membedakan mana khayalan dan fakta.

Jadi—untuk apa takut?

Maaf-maaf saja. Tapi ia tidak seperti Jimin yang akan lari ketakutan sambil buang air ketika melihat bayangan hitam yang nyatanya hanya bayangan biasa. Memalukan. Tidak gentle sama sekali.

Taehyung hanya muak melihat senyum kemenangan si pendek. Sejenak ia merasa menyesal telah memilih 'Dare'.

Ah—tapi bukankah lelaki sejati hidup dengan tantangan? Dan sebagai lelaki sejati—tentu ia akan menyelesaikan tantangan dan membuat bocah bodoh itu bertekuk lutut menyesali perbuatan kejinya.

"Tidak perlu kau jelaskan berkali-kali, cebol." Timpal Taehyung, jengkel. "Aku mengerti."

Jimin terkikik geli, "Pergilah. Aku akan menunggumu dibawah sini. Selamat bersenang-senang." Katanya seraya melambaikan tangan. Obsidiannya menatap punggung lebar Taehyung yang semakin lama semakin menghilang.

Meski jengkel, jauh dalam hatinya; ia mendoakan keselamatan sang sahabat.

.

.

Semakin lama, matahari semakin turun dari peraduan. Suara burung gagak dan jangkrik bersatu padu layaknya orkestra. Jalanan bukit yang menanjak dan penuh bebatuan, mau tak mau membuat kedua tungkai kaki Taehyung terasa pegal bukan main.

Si busuk Jimin itu harus membayar semuanya lebih dari ini. Tunggu pembalasanku—sumpahnya.

Kalian tahu? Ini sudah lebih dari setengah jam dan Taehyung belum juga menemukan tempat yang dimaksud. Padahal kalau dilihat, bukit belakang sekolah tidak setinggi yang ia pikirkan.

Sial, tenaganya mulai terkuras sejak mengkuti latihan Basket beberapa jam lalu. Napasnya mulai memburu. Istirahat sebentar tidak ada salahnya, bukan?

Setuju dengan pemikirannya, Taehyung memutuskan untuk duduk di bawah sebuah pohon pinus. Namun belum sempat bokongnya menyentuh tanah, tiba-tiba gerakannya terhenti. Dahinya berkedut, ketika telinganya menangkap suara petikan demi petikan halus.

Suara ini—kecapi?

Ngomong-ngomong soal kecapi. Tiba-tiba ingatan Taehyung berlabuh pada perbincangan kumpulan gadis idiot saat jam pulang sekolah kemarin sore.

.

"Kau tahu, rumor tentang kuil hantu diatas bukit belakang sekolah?"

"Ah ya—tentu saja. Banyak yang mengatakan jika kau pergi kesana saat sore hari terutama saat matahari mulai tenggelam kau akan mendengar suara kecapi dan menyaksikan penampakan hantu seorang wanita berrambut panjang."

.

Jangan-jangan rumor itu—

Ash! Tidak—tidak. Itu pasti hanya fatamorgana. Ya. fatamorgana.

Ingat! Hantu itu tidak ada. Mungkin ini adalah efek kelelahan sehingga membuat otaknya bergeser sedikit. Atau mungkin—di dalam sana, hidup seorang pertapa tua yang hobi memainkan kecapi.

Ah—poin terakhir sepertinya terdengar cukup rasional.

Tengteng—suara kecapi kembali menyadarkannya. Semakin lama, suara itu semakin keras. Seolah mengundangnya untuk berjalan mendekat. Mungkin dengan mengikuti suara tersebut merupakan ide yang bagus.

Dengan mengikutinya, Taehyung yakin. Semuanya akan berjalan dengan baik.

Dan benar saja, setelah melewati beberapa rintangan pendakian. Jalanan licin akibat lumut, bebatuan yang bertebaran dan semak belukar di sana-sini. Suara kecapi itu membawanya ke sebuah kuil tua yang ia cari selama hampir satu jam lamanya.

Taehyung tersenyum lebar. "Akhirnya ketemu juga."

Bersamaan dengan menginjakkan kaki di tempat itu, suara kecapi pun menghilang tiba-tiba. Aneh sekali. Meski begitu Taehyung memilih untuk mendelikkan bahu, tidak peduli. Persetan.

Hawa dingin berhembus meniup tengkuk. Membuat bulu romanya berdiri begitu saja. Sensasi merinding pun tak terelakkan lagi. Refleks, ia menyentuh tengkuknya sendiri.

Sang hazel mengakui keangkeran tempat ini. Kayu tua yang hampir bobrok, lumut dan jamur yang hinggap disana-sini. Fabulous! Sejujurnya, ia lebih takut pada ular yang hidup dibalik rumput-rumput yang meninggi di sekitarnya. Astaga! Taehyung benci hewan tanpa tangan dan kaki itu. Ewh!

Okay! Lupakan tentang ular. Yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah berselfi ria disana lalu—

Kresek!—kresek!—suara apa itu?!

Tubuh Taehyung membeku seketika untuk yang kedua kali. Matanya terbelalak was-was. Jantungnya mulai berpacu. Keringat dingin pun bercucuran. Demi apapun. Ia tak ingin sesuatu yang ia pikirkan sebelumnya benar-benar muncul dari semak-semak.

Ya Tuhan, lindungi aku dari—

.

"Meow!"

—seekor kucing?

Plak!—kenyataan seolah menamparnya.

For the Fuck's sake! Taehyung merasa ingin sekali membenturkan kepalanya ke pohon terdekat detik itu juga. Ya Tuhan betapa konyolnya ia. Great! Dan sekarang ia juga merasa bahwa dirinya tidak jauh berbeda dengan si bajingan Jimin.

Napas lega berhembus, senyum teduh membingkai wajah. Disisi lain ia bersyukur, setidaknya bukan hewan bersisik itu yang muncul dari sana. Melainkan kucing manis dengan bulu hitam lebat, badan gempal dan mata bulat yang jernih.

"Meow!"—Taehyung semakin dibuat gemas ketika ia mulai merangkak mendekat dan menempel pada salah satu kaki. Sesekali menggesek wajah lucunya, meminta perhatian. Manja sekali. "Meow!"

"Owh—hentikan tatapan mata itu." sahut Taehyung, "Kau membuatku tidak tahan untuk menggendongmu."

Sesuai ucapannya, ia pun mengangkat kucing hitam itu kedalam dekapannya. Dan nampaknya sang kucing senang dengan perlakuannya. Terbukti dari tingkahnya yang mulai menjilati wajah tampan Taehyung. Menciptakan sensasi geli nan menggelitik.

God, bagaimana bisa hewan selucu ini hinggap di tempat menyeramkan?

Saking asiknya bergelut dengan si bulu hitam. Ia hampir saja melewatkan 'misinya'. Tanpa melepas kucing dari dekapannya, sebelah tangan bergerak mengambil smartphone dalam saku.

"Nah, kucing. Bagaimana jika kita berfoto bersama? Hum?"

"Meow." si kucing mengeong seolah menjawab pertanyaan Taehyung.

"Baiklah kalau begitu—cheese!" berselfie ria dan—Klik—misi pun selesai sesuai rencana.

.

.

.

Sementara di tempat lain, Jimin mulai khawatir pada keadaan sahabatnya. Sedari tadi yang ia lakukan hanyalah mengetuk-ngetukkan kaki ke tanah. Sesekali melihat arloji yang tersemat dengan ekspresi super khawatir.

Pukul 05.00 sore. Sudah lebih dari satu jam sejak tantangan terlaksana.

"Ya ampun, apa yang dilakukan si bodoh itu didalam sana." Rutuknya, kesal. "Kenapa lama sekali."

Jika terjadi sesuatu pada Taehyung apa yang harus ia perbuat? –sekilas ia merasa bersalah telah memberi tantangan itu pada Taehyung.

Sebentar lagi, matahari akan tenggelam. Dan segala hal menyeramkan dalam sana akan dimulai. Pemuda bermarga Kim itu harus kembali sebelum semuanya terlambat.

Bagaimana jika hantu itu membawanya ke tempat lain dan menjadikannya sebagai tumbal?—OH ASTAGA! Apa yang kau pikirkan, Park Jimin? Berhenti berpikiran macam-macam.

"Aku harus bagaimana?" ia bertanya dengan nada panik yang sangat kentara.

.

.

.

Taehyung menurunkan si kucing hitam ke atas tanah kemudian mengusap puncak kepalanya, lembut. "Dengar. Aku harus segera pergi. Hari sudah mulai gelap. Aku tidak mau membuat si cebol itu khawatir."

"Meow!"

"Aku tahu. Tapi aku harus segera kembali. Sampai jumpa." Balas Taehyung sembari bangkit dan mulai berbalik dari tempat itu. Tapi lagi-lagi, sesuatu yang aneh seolah menyeruak.

Pertama suara kecapi. Dan sekarang kepalanya terasa amat berat. Begitupun dengan kedua matanya.

"Ugh—ada apa denganku?" Semaki lama, tubuhnya semakin lemas bak jeli. Seberapa kerasnya Taehyung menguatkan diri untuk tetap melangkah. Rasa berat itu pun semakin terasa.

Hingga akhirnya, kesadarannya pun menghilang dan tubuhnya ambruk ke atas permukaan tanah.

Tak lama setelahnya, matahari pun benar-benar tenggelam. Sebuah sinar aneh muncul dari dalam tubuh si kucing hitam. Entah sihir apa—dalam sekejap, kucing lucu itu berubah menjadi sosok seorang pemuda cantik berbalut pakaian serba putih.

Rambut hitam panjang yang tergerai lembut. Sepasang mata onyx yang mengkilap bagai mutiara. Hidung bangir. Bibir semerah plum. Kulit sewarna susu. Bahu sempit dan tubuh mungil layaknya perempuan. Benar-benar menakjubkan.

Sosok itu menunduk. Ia melipat kedua kakinya di sebelah Taehyung yang tengah tergeletak indah di atas tanah. Jari-jari lentiknya perlahan menggapai pipi sang surai oranye dan membelainya penuh cinta.

"Sudah lama sekali, ya?" Seuntai senyum lembut perlahan membingkai wajah cantiknya. "Setelah sekian lama; akhirnya aku menemukanmu—"

.

.

.

"—Panglima Kim."

.

.

.

-Flashback-

.

-Dinasti Joseon, tahun 1408, pukul 08.00 pagi-

.

Pagi ini, tidak seperti biasanya. Bunga sakura bermekaran, menyambut musim semi pertama. Orang bilang, musim semi adalah musimnya cinta. Konyol sekali. Cinta hanya dirasakan oleh orang-orang bodoh. Seperti Julius Caesar, kaisar romawi kuno yang rela kehilangan segalanya demi cinta.

Tidak boleh ada cinta dalam hidup seorang Jeon Jungkook. Cinta hanya akan membuatnya lemah.

Setidaknya, itulah yang hinggap dipikiran ayahnya. Meski besar dilingkungan konglomerat. Seluruh keluarga—terutama sang ayah membesarkannya dengan ketegasan dan kekerasan.

Tapi taukah kalian? Jauh dalam hati, Jungkook tidak ingin menjadi diktator kejam dan tidak berperasaan seperti ayahnya. Ia ingin menjadi raja yang welas asih dan bijak. Kekerasan bukanlah gayanya.

"Berhenti! Jangan lari!"

Suara para prajurit membuat Jeon Jungkook yang sedang duduk santai dibawah pavilliun mengalihkan pandangan dari kumpulan bunga sakura yang berjejer indah di taman kerajaan.

Onyxnya secara tidak langsung menangkap pemandangan seorang pria berpakaian lusuh tengah berlari kencang menelusuri halaman istana. Menghindari kejaran prajurit bersenjata lengkap di belakangnya.

Tatapan Jungkook seolah tidak bisa lepas dari pemuda itu. Rambut hitam panjang yang tergerai tertiup angin. Matanya yang bulat dan tajam. Bibir merah berisi yang seksi. Tubuh tinggi proposional. Sekilas, ia merasa terpesona.

Refleks, Jungkook mengelus dadanya yang terasa berdenyut tidak karuan ketika membayangkan betapa gagahnya pemuda itu.

A—ada apa ini? Apakah ia terkena serangan jantung? T—tapi usianya baru empat belas tahun. Mana mungkin—aarrrgt! Tapi kenapa rasanya sangat—

—menyenangkan?

"Ash! Lepaskan aku! Aku ingin keluar!" pada akhirnya pemuda itu harus tertangkap. Dan Jungkook terus memperhatikannya tanpa bisa melakukan apapun di seberang sana hingga para prajurit membawa sosok mempesona itu menjauh dari jangkauan mata.

"Pangeran." Suara Yoona membuyarkan lamunan.

Jungkook menoleh sedikit terkejut. "Y—ya?"

Melihat wajah lucu sang pangeran, Yoona terkekeh geli. "Ada apa? Apa yang ada di dalam lamunan putra kesayanganku. Hum?"

Jungkook tertawa pelan ketika wanita yang sudah berjasa merawat dan membesarkannya selama empat belas tahun itu mencubit pipinya, gemas.

Meski hanya sebagai ibu pengasuh, demi dewa langit; ia sangat menyayangi Yoona melebihi apapun. Berkat Yoona-lah Jungkook tahu apa itu kasih sayang. Wanita cantik itu mengajarinya banyak hal yang tidak ia dapat dari seluruh keluarganya.

Ia yakin, ibunya di surga pasti senang ketika melihat dirinya tumbuh dengan baik dibawah pengasuhan Yoona.

"Ano, Yoona-ssi." Jungkook bergumam pelan sembari mengusap pipi. Kepalanya menoleh ke arah halaman kosong di seberang sana. "K—kau tahu siapa pemuda tadi?"

"Oh—pemuda itu. Dia tawanan kerajaan. Kudengar, usianya masih sangat muda tapi dia merupakan seorang pimpinan perompak terkenal di semenanjung Joseon. Ulahnya benar-benar sudah tak termaafkan. Ia akan mendapat hukuman penggal esok hari."

Jawaban Yoona membuat Jungkook menoleh cepat dengan tatapan tidak percaya, "P—penggal?"

.

.

.

.

Demi dewa langit. Jungkook tidak percaya atas apa yang dilakukannya malam ini. Berdiri di depan jeruji besi yang berisi seorang pimpinan bajak laut?! Ini benar-benar—gila.

Ia sendiri tidak mengerti—mengapa kedua kakinya bisa menuntun langkahnya kemari?

Sekarang hanya ada mereka berdua di tempat itu. Karena sebelumnya Jungkook telah mengusir semua penjaga. Ia ingin berbicara empat mata dengan sang pimpinan perompak.

"Hoooo—apa yang membuat putra mahkota Joseon berkunjung kemari, hum?" sarkas si pemuda, sadis. "Menghukumku? Cih! Kembalilah ke istana busukmu dan tidurlah untuk selamanya."

Astaga, Jungkook benar-benar tidak percaya. Apa yang dikatakan pemuda itu sungguh kasar sekali. Tapi untuk saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan selain tersenyum. "Kau tidak perlu khawatir. Aku kemari bukan untuk menghukummu."

"Hah?"

"Aku hanya ingin bertanya satu hal padamu." Lanjut sang pangeran.

Sebelah alis si pemuda terangkat, heran. "Bertanya? Hanya itu?" tanyanya yang langsung mendapat anggukan dari lawan bicara. "Baiklah. Kau boleh bertanya apapun."

"Siapa namamu?"

A—apa? Nama? Jadi—dia kemari hanya ingin bertanya soal—nama?

Sang kapten tertawa terbahak. "Apa kau bodoh, hah?" ejeknya, "Kau kemari hanya ingin mengetahui namaku? Demi dewa, lelucon macam apa ini?"

"Hei! Ini bukan lelucon!" erang Jungkook, tidak suka.

"Memang apa untungnya mengetahui nama orang yang sebentar lagi akan mati? Hum? Mengenangnya? Orang brengsek sepertiku?" si pemuda malah balik bertanya. Dan itu semakin membuat sang pangeran semakin geram. Menyebalkan.

"Oh ayolah. Kau hanya perlu memberitahu namam—"

"Taehyung."

"M—mwo?"

"Namaku Kim Taehyung."

.

.

-Flashback end-

.

.

.

.

-Apartemen Kim Taehyung, Tahun 2015. Pukul 03.45 pagi-

.

"Eunggh!" suara lengguhan halus terdengar dari mulut Taehyung. Kedua matanya terbuka perlahan. Hal pertama yang dilihatnya yaitu langit-langit apartemen.

Apartemen? Seingatnya—sore itu ia tergeletak pingsan di depan kuil kuno diatas bukit. Apakah Jimin sudah mulai berani melawan rasa takutnya hingga ia menerobos masuk kuil dan membopong dirinya kemari?

Rasanya terdengar tidak masuk akal. Jimin dan phobia bodohnya? Sungguh menggelikan.

Tapi siapa lagi selain manusia idiot itu. Bisa jadi ia meminta bantuan pada orang lain untuk menolong kawannya yang tergeletak indah.

Sebelah tangan terangkat, memijat pangkal hidung yang terasa pening luar binasa. Kalau boleh jujur, pandangannya pun sedikit kabur. Obat—ya. Obat. Taehyung membutuhkan obat sekarang juga.

Kau hanya perlu berjalan sebentar ke dapur. Soal rasa pusing, kau bisa menahannya. Ya setidaknya begitu sampai ia merasa bahwa tubuhnya pun mulai terasa amat berat seperti ditindih oleh tumbukan beras lima puluh kilogram.

Apa penyakitnya sudah merambah ke seluruh tubuh? Sial.

Taehyung menunduk sejenak dan detik itu juga ia sadar jika berat di tubuhnya bukanlah akibat dari penyakit melaikan—

"Hwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"—seorang lelaki cantik berrambut panjang yang tidur santai diatas tubuhnya tanpa sehelai benang—begitu pun dengan dirinya. Shock?! Tidak! Taehyung rasa dirinya sudah gila.

Tanpa memikirkan rasa pening, ia segera bangkit menyingkir dari ranjang dengan panik.

A—apa yang sudah kulakukan? Siapa lelaki ini? Mengapa dia tidur diatas tubuhku? Mengapa kami berdua sama-sama telanjang? Kenapa? Kenapa? KENAPA?—kumpulan pertanyaan itu melintas dalam benak.

Mendengar pekikan ala korban perkosaan dari mulut Taehyung, pemuda berparas cantik layaknya dewi itu pun perlahan ikut membuka kedua matanya kemudian bangkit sembari mengisik mata dengan tangan.

"Enggh! Ada apa?"

"HARUSNYA AKU YANG BERTANYA SEPERTI ITU PADAMU!" tunjuk Taehyung dengan wajah berang. Frustasi. "ADA APA DENGAN SEMUA INI?! SIAPA KAU?! DAN KENAPA KAU TIDUR DIATAS TUBUHKU DENGAN PENAMPILAN SEPERTI ITU!"

Si lelaki cantik tersenyum polos. Ia menyelipkan helai rambutnya ke telinga lalu berkata—"Apa kau lupa? Aku Jeon Jungkook putra pertama Kaisar Jeon. Dan kurasa aku tak perlu menjelaskan mengapa aku bisa tidur diatas tubumu."

Sebelah alis Taehyung terangkat, bingung. "Hah?! Apa maksudmu? J—Joseon? Kau gila!"

Pemuda bernama Jungkook berjalan mendekat. Sontak napas si surai oranye tercekat di tenggorokan. Jantungnya berdegup sangat kencang ketika jari-jari lentik itu mulai bermain di sekitar leher dan mengalungkan kedua tangannya di tengkuk.

Senyuman manis kembali terpatri. Tapi entah kenapa, di mata Taehyung itu terlihat seperti senyum picik yang sangat menakutkan.

"Kau adalah kekasihku. Dan aku adalah kekasihmu. Rasa cintaku tidak pudar seiring berkembangnya zaman. Sudah lama aku menunggu saat-saat ini. Aku sangat merindukanmu, Panglima Kim." Ucap sang pangeran seraya menginvasi jarak keduanya.

Bibir lembut keduanya pun bertemu. Awalnya hanya ciuman singkat tanpa tuntutan. Lama kelamaan—jilatan dan lumatan pun tak terelakkan.

Ciuman pertamanya direnggut oleh seorang—lelaki? Lalu kenapa tubuhnya diam seolah membiarkan aksi gila pemuda sinting itu? Taehyung rasa, ini adalah momen paling buruk di sepanjang sejarah hidupnya.

What the fuckin bad dream?!

.

.

Tuhan, jika ini benar-benar mimpi, kumohon sadarkan aku dari seluruh kegilaan ini.

.

.

.

.

.

-TBC-

.

.

.

.

.

Holla! Holla! Kuro kembali membawa cerita baru dengan cast yang baru juga XD hehe #plak

Kuro minta maaf sebelumnya, soal fanfic Kuro yang berjudul The Fireman (ChanBaek) belum sempet Kuro terusin. Mungkin hiatus dulu. Soalnya inspirasi Kuro lagi surut buat ff yang itu hehe *ditabok berjamaah* sekali lagi, maaf ya. Kuro harap kalian mau mengerti hehe

Entah kenapa? Kuro lagi pengen apdet VKook+beralur maju-mundur 'kimochi' (?)*do you know what i mean, wahai para yadongers* #Plak XD hehehe maaf kalo fanficnya mengecewakan hehe

Terimakasih sudah membaca. Riviewers, followers, likers, silent reader—semuanya makasih. Kuro cinta kalian muacch! :* *cium satu satu* terus pantengin ff abal Kuro yang gaje tingkah dewa yeth hehe

See you next chapter, guys ;*

Riview please..