Disclaimer : Masashi Kishimoto

(Fic ini adalah asli buatan Author Akecchin, mohon jangan plagiat. jika ingin mengcopy atau izin republish, pm aja.)

.

.

.

.

.

Inspired from Best Seller Mystery Novel

"Ten Little Niggers/Ten Little Indians/And Then There Were None"

By

Agatha Christie

(This fic is not the same one, there's some changed plot or chara / death chara)

Enjoy it

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di sudut kursi gerbong kereta kelas utama, tampak sesosok lelaki dengan jas hitam kelam yang tersampir di lengan kirinya. Menampakkan tubuh tegap yang terbalut kemeja putih tanpa dasi bersandar pada kursi dengan sebelah tangannya lagi yang menopang dagu lancipnya. Sepasang mata tajamnya yang tersembunyi di balik kacamata menerawang dari balik jendela transparan. Ia menoleh sebentar ke arah asbak yang terletak di depan siku yang menopang dagunya, lebih tepatnya ke arah sepuntung rokoknya yang hampir habis tergeletak di tepi asbak yang sedari tadi dibiarkannya menyala tanpa ada niat untuk menghisapnya.

Uchiha Sasuke, seorang lelaki jenius yang baru saja melepaskan jabatan elitenya sebagai hakim peradilan tinggi dengan gaji cukup melimpah, dan memulai kembali karirnya di bidang bisnis keluarga. Merasa andilnya sudah lebih dari cukup untuk menegakkan keadilan, Ia melepaskannya begitu saja dan memilih untuk bersantai sejenak. Alasan yang cukup logis untuk menyatakan keberadaannya di kereta ini dalam perjalanannya menuju Pulau Negro di Devon. Tempat wisata dengan sejuta misteri di dalamnya. Entah bagaimana orang itu mengundangnya begitu saja setelah bertahun-tahun tak bertemu.

Ia mengeluarkan secarik kertas yang tersembunyi di balik jas hitamnya dan membacanya, lagi. Sepucuk surat dari sang kakak yang telah berpisah selama kurang lebih 10 tahun, bahkan Ia tak lagi mengingat wajah Itachi dengan jelas sekarang.

"Hei, Uchiha Sasuke. Bahkan sekarang aku tak tahu harus memanggilmu dengan ucapan formal atau tidak. Bertahun-tahun aku tak mendengar berita darimu, Otouto. Kurasa kau harus datang ke Pulau Negro, pulau misteri yang banyak dibicarakan orang saat ini. Kurasa itu tempat yang menarik, kita akan banyak berbincang nanti dan sambil berjemur tentunya. Akan ada yang menjemputmu di Oakbridge, 12.40 dari Paddington.

Tertanda, Uchiha Itachi."

Memandang sendu ke arah kertas yang kembali Ia lipat dengan cepat, kemudian kembali mengedarkan pandangannya ke arah jendela transparan. Melepaskan sejenak kacamata yang sedari tadi bertengger di wajah tampannya yang tampak lelah sebelum Ia menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata perlahan. Menyembunyikan sepasang iris hitam kelamnya yang tajam. Tak lama kemudian, hembusan napasnya keluar dengan teratur. Ia mulai tertidur.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di gerbong kereta kelas tiga, di antara kelima orang lainnya yang berada di dalam sana. Tampak sesosok gadis dengan warna surai yang mencolok tengah menyandarkan tubuh mungilnya di kursi kereta dengan mata terkatup rapat-rapat. Udara panas di dalam kereta di musim panas saat ini membuat hati kecilnya terkadang sedikit memberontak. Bagaimana tidak? Seharusnya saat ini Ia pergi ke pantai, berenang dan menikmati pemandangan laut lepas berwarna biru yang sangat disukainya.

Tapi tawaran pekerjaan yang kini dilakukannya pasti tak akan datang 2 kali. Ia hanya tak ingin menyia-nyiakan kesempatannya. Tak ada yang bisa diharapkan dari pekerjaan utamanya sebagai sekretaris sekaligus guru taman kanak-kanak. Berpikir mengenai pekerjaannya, tiba-tiba Ia teringat akan kejadian itu beberapa hari yang lalu. Salah satu anak asuhnya, Mirai, berenang dengan kaki-kaki kecilnya. Timbul-tenggelam, timbul-tenggelam, timbul...dan tenggelam. Ia tahu Ia memiliki kemampuan lebih, menyibak air laut, menggerakkan kaki tangannya dengan cepat, tapi Ia sadar Ia tak akan sampai.

Polisi mengatakan bahwa Ia adalah seorang pemberani yang hebat. Ia tak merasa senang bahkan mungkin sedikit merasa jengkel dengan pujian itu. Ya, Ia tahu bahwa polisi tidak menyatakan bahwa Ia bersalah. Namun, ada perasaan yang mengatakan seperti Ialah satu-satunya yang bersalah di sini. Ini bukan kecelakaan.

Tiba-tiba, Ia teringat lagi dengan lelaki bersurai merah dengan wajah damainya layaknya seorang anak kecil. Sasori, lagi-lagi Ia memikirkannya. Sebelum itu terjadi Ia bahkan tak bisa berkata-kata lagi saat lelaki itu jelas-jelas mengatakan bahwa dia mencintainya. Namun, dengan segala kekalutannya, Ia mengenyahkan ingatannya ketika Ia tersadar hal yang terjadi sesudah kejadian itu. Hal yang merusak segalanya.

Ia mengalihkan perhatiannya pada surat yang terkirim 2 hari yang lalu, mungkin dengan pekerjaan ini Ia dapat melupakan segalanya.

"Nona Haruno Sakura, saya mendapatkan nama dan rekomendasi anda dari agen pekerja wanita yang terpercaya. Saya tahu bahwa agen tersebut benar-benar mengenal anda. Saya bersedia memberikan berapa pun yang anda inginkan dan anda dapat mulai bekerja pada 19 Juli. Anda bisa berangkat dari stasiun Paddington pukul 12.40 dan akan ada yang menjemput anda di stasiun Oakbridge. Saya sertakan uang sejumlah 500 Ryo sebagai uang perjalanan.

Hormat saya,

Uno Wancy Owen."

Bahkan di atas tulisan tersebut tertera alamat Pulau Negro, di Sticklehaven, Devon. Herannya, ada saja seseorang yang mau mempekerjakannya di pulau misterius yang kini banyak diperbincangkan orang awam. Dalam bayangannya pastilah penginapan yang Ia tempati di sana adalah sebuah rumah mewah. Karena menurut desas-desus yang ada, dalam pulau yang bisa dikatakan sebagai pulau pribadi tersebut, hanya terdapat sebuah rumah besar. Mungkin Ia dapat bersantai sejenak sembari melupakan bayang-bayang tentang Sasori.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Pria berambut pirang bernetra biru laut dengan rahang wajah yang tegas sedari tadi tengah memperhatikan sosok gadis unik yang duduk di depannya. Sesekali senyuman tipis tersungging di bibir tipisnya, menilai sosok gadis tersebut. Ia berpikir bahwa gadis itu cukup cantik, dan tampak seperti seorang guru sekolah yang baik. Gadis yang tampak tenang, mampu mengendalikan diri, baik dalam hal berperang maupun bercinta, mungkin? Dan Ia akan sangat beruntung jika gadis itu jadi teman bermainnya.

Dengan cepat Ia usir pikiran kotornya. Ia masih bersikeras, ini hanya tentang bisnis. Alasan itulah yang membawanya kemari, duduk di dalam kereta di hawa yang panas. Kembali Ia menerawang tentang bawahannya, Konohamaru. Si brengsek kecil itu.

"Anda boleh mengambilnya atau meninggalkannya, Uzumaki-senpai."

Dan Ia hanya menjawab sambil berpikir, "1 juta Ryo?"

Ia menjawab dengan nada meremehkan, seolah-olah 1 juta Ryo hanya nominal kecil baginya. Tapi, batinnya kembali bergejolak. Uang sejumlah itu akan dapat memenuhi kebutuhan perutnya ketika sewaktu-waktu tabungannya habis. Di sisi lain Ia berpikir, apakah brengsek kecil ini tak tertipu? Hei, Ia tahu tugas apa yang akan dikerjakannya dan menurutnya imbalannya terlalu berlebihan.

"Apa kau benar-benar tak bisa memberiku keterangan lain?", tanyanya dengan nada datar.

Dengan menggeleng pelan, Konohamaru memberikan jawaban, "Tidak, Uzumaki-senpai. Hanya itu yang kutahu. Klienku tahu bahwa Anda adalah orang yang bisa diandalkan bahkan dalam situasi yang buruk sekali pun. Aku hanya diberi kepercayaan untuk memberikan 1 juta Ryo kepada Senpai asalkan Senpai datang ke Sticklehaven, Devon. Stasiun terdekatnya adalah Oakbridge, akan ada yang menjemput dan mengantar Anda ke Pulau Negro. Di sanalah Anda akan bertemu kliennya."

"Berapa lama?", tanyanya singkat.

"Tak sampai seminggu kurasa."

Sepasang netra biru lautnya menatap Konohamaru dengan tajam sebelum memberikan ancaman kecil, "Kau tahu, Aku tak terbiasa melakukan tugas terlarang macam ini."

Hanya seringai kecil nan meremehkan yang Ia dapat dari bawahannya itu, "Jika Anda tak ingin melakukannya, mungkin Anda bisa menarik diri dari tadi."

Uzumaki Naruto hanya mendecih pelan. Batinnya mengatakan bahwa bawahannya itu sangat kurang ajar, berani menyeringai padanya. Namun, Ia pun ikut menyeringai setelahnya. Ia pernah menyerempet dua atau tiga kali. Kali ini Ia tak akan membeda-bedakan pekerjaannya, meskipun terlarang. Ia hanya akan membayangkan bagaimana Ia bersenang-senang di Pulau Negro nanti.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sementara di gerbong lainnya, Nona Hyuuga Hinata tengah duduk tegak seperti kebiasaannya sebagai hime, putri bangsawan Hyuuga yang menjunjung tinggi norma kesopanan. Ayahnya yang seorang kepala bangsawan Hyuuga terlampau kaku dalam mengajarkan sikap keluwesan tubuh. Tidak ditanamkan dalam keturunan Hyuuga sikap bersantai. Mereka memegang prinsip, jika santai tubuh mereka maka santai pula sikap mereka terhadap hal-hal yang lain.

Di dalam gerbong kereta kelas tiga ini pun, tampak penumpang lainnya mulai cerewet mengenai masalah cuaca panas dalam gerbong kelas rendah itu. Sementara sang putri Hyuuga hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Seolah tak mempedulikan sekitarnya, Ia hanya mencontohkan 'sikap bermartabat' yang harusnya dilakukan oleh penumpang di sekitarnya.

Kemudian Ia teringat pada liburan tahun lalu, tahun ini pun akan berbeda. Pergi ke Pulau Negro di Devon. Ia membayangkan kembali surat yang telah dibacanya berkali-kali.

"Nona Hyuuga Hinata yang Terhormat,

Saya berharap Anda masih mengingat saya. Kita bertemu di Bahama Guest Resort sekitar setahun yang lalu. Dan sepertinya kita memiliki kesenangan yang sama.

Saya memiliki sebuah rumah penginapan di seberang pantai Devon. Saya merasa masih memiliki sebuah tempat untuk mencicipi makanan sederhana dan acara minum teh untuk teman lama yang baik hati. Saya menjamin tidak akan ada orang-orang telanjang dan lagu-lagu brengsek yang diputar tengah malam. Saya akan senang sekali jika Anda mau menghabiskan liburan musim panas ini di Pulau Negro dengan gratis sebagai tamu saya. Apakah Anda bisa datang pada bulan Juli? Sekitar tanggal 19 mungkin?

Hormat saya,

U.N.O"

Hyuuga Hinata sedikit mendengus kesal ketika mengetahui Ia tak dapat mengingat kenalannya yang mengiriminya surat ini. Bahkan tanda tangannya sulit untuk dibaca. Memang seingatnya tahun lalu ada 2 liburan musim panas yang Ia lakukan. Tapi Ia tak mengenal jelas para kenalannya saat itu, hanya berbincang sejenak sembari menikmati acara minum teh sebelum langsung beranjak dari acara untuk pulang karena merasa terganggu oleh para muda-mudi yang bertelanjang dengan tanpa rasa malu. Ah, yang terpenting saat ini Ia akan benar-benar menikmati liburan gratisnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dengan memasang wajah bosan, Ia kembali melihat ke arah jendela. Sedikit lagi Ia akan sampai di Exelter dan itu artinya Ia harus siap-siap untuk pindah gerbong.

"Dasar kereta lambat! Perjalanan ke Devon seharusnya tak selama ini. Mendokusai.", gerutunya sembari memegangi ranselnya yang tak seberapa berat.

Nara Shikamaru tak bisa mengingat dengan jelas siapa si Owen yang mengundangnya kali ini. Meski pun jenius, Ia merasa ini terlalu janggal. Hanya berprasangka baik, Ia berpikir mungkin saja si Owen ini adalah teman lamanya bersama Akimichi Chouji dan juga Yamanaka Ino.

Agak aneh jika Ia merelakan diri untuk melakukan hal-hal yang merepotkan, berpergian ke Puluau Devon sesuai isi surat yang diterimanya. Ia hanya merasa tertarik, ada desas-desus yang mengatakan bahwa pulau penuh misteri tersebut tersimpan sesuatu yang disembunyikan oleh Angkatan Perang, ataun mungkin Angkatan Laut dan Udara, atau.. Ah, entahlah. Dan ada pula yang mengatakan bahwa pulau tersebut telah dibeli oleh seorang milyuner asal Amerika untuk dibangun sebuah penginapan mewah yang akan Ia tempati nantinya.

Ia menoleh lagi ke arah arlojinya. Kereta akan segera tiba di Oakbridge satu jam lagi. Ia hanya mendengus bosan, Ia tak ingin menunggu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di dataran Salisbury, tampak sebuah motor Harley Davidson melaju dengan kencangnya. Sabaku Gaara, dengan profeksi dokter bedah dan saraf yang sukses pada saat ini. Namun, kesuksesannya tak membuatnya senang, mungkin sebaliknya. Telah nampak pada wajah penatnya saat ini.

Ia teringat pada ruangan prakteknya di Harley Street, berpakaian rapi, dikelilingi oleh alat-alat kedokteran mutakhir serta perabotan yang serba mewah. Menunggu, terus menunggu apakah kesuksesan ataukah kegagalan yang akan menghampirinya.

Dan Ia berhasil, tidak. Tidak karena ketrampilannya menjadi seorang dokter, tapi juga butuh keberuntungan. Ya, karena dua orang wanita baik hati yang memiliki kedudukan dan uang, dengan menjual kata-kata, "Anda harus mencoba ke Sabaku, Ia memang masih muda tapi sangat jenius. Sam telah berobat ke dokter mana pun bertahun-tahun tapi Sabaku bisa langsung mendiagnosa penyebabnya!". Bola pun mulai berguling.

Dan akhirnya Ia tak punya waktu senggang sedikit pun. Ruang prakteknya selalu penuh tiap waktu, hingga 19 Juli itu tiba Ia mendapatkan waktu senggangnya. Sebenarnya, bukan sepenuhnya waktu senggang. Surat yang diterimanya mungkin tak menarik, namun isi cek yang ada di dalamnya menarik dokter muda Sabaku untuk segera berangkat ke Devon. Keluarga Owen pastilah sebuah keluarga yang kaya. Si suami yang kuatir menyuruhnya jauh-jauh dari London hanya untuk memberikan laporan kesehatan istrinya tanpa sepengetahuan sang istri. Wanita itu selalu sulit untuk mau bertemu dengan dokter. Yang Ia dengar, ada masalah dengan saraf...

Ya! Wanita dan saraf. Tiba-tiba Ia teringat sepuluh- bukan lima belas tahun yang lalu. Untung saja Ia masih bisa mengendalikan diri pada waktu yang tepat. Yang Ia butuhkan hanyalah kepercayaan, alibi. Hampir saja. Hampir saja Ia berantakan!

Kejadian itu membuatnya masih bisa mengendalikan diri dan meninggalkan kebiasaan minumnya. Namun, masih saja...

Tiba-tiba suara klakson sebuah motorsports memekakkan telinga, diikuti dengan laju motor yang mengangkut beberapa pemuda melaju dengan kecepatan hampir 90 mil per jam. Sungguh, pemuda-pemuda gila! Untungnya Dokter Sabaku Gaara masih bisa mengendalikan dirinya, menghindari tabrakan dengan pagar.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Melalui kaca transparan nan besar salah satu kamar hotel berbintang di Mere, tampak sesosok pria tengah mengamati kepadatan lalu lintas di Inggris. Dengan seringai meremehkan, Ia berpikir bahwa negara ini lebih buruk daripada di Prancis. Ah, Ia merindukan apartemennya di Paris. Jalanan yang lengang dan tawaran film yang menarik selalu menjadi kesenangan tersendiri bagi pria itu.

Sebelah tangannya memegang gelas berisi gin dan gingerbeer yang tinggal terisi setengahnya. Ia berpikir, apakah mungkin si Owen ini suka minum juga? Karena dari sederet orang kaya yang pernah Ia temui, tak satu pun dari mereka yang tak suka minum. Ia melirik ke arah arloji mahalnya, masih banyak waktu. Tinggal seratus mil lagi dan Ia akan sampai ke Devon dengan cepat menggunakan Dalmainnya.

Kemudian Ia menenggak habis minumannya sebelum berjalan keluar dari hotel sambil menggeliat, menguap dan melihat ke langit yang biru. Ia masuk ke dalam mobil Dalmainnya. Beberapa wanita muda yang sempat melihatnya menatap kagum pada postur tubuhnya yang tinggi tegap, hampir mencapai dua meter, rambut kecoklatannya yang segar, kedua matanya yang tajam dan tak lupa sepasang tato segitiga merah di masing-masing pipi tirusnya.

Ia menginjak kopling dengan suara keras, seakan-akan mobilnya akan melompat meninggalkan jalanan sempit. Beberapa lelaki tua dan anak-anak muda melompat menghindari bahaya. Anak-anak muda memandang mobilnya penuh rasa kagum.

Inuzuka Kiba melaju penuh rasa kemenangan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kereta api lambat dari Plymouth melaju dengan tenangnya, setenang kondisi di dalam gerbongnya dimana hanya ada dua orang duduk di atas kursi kereta. Seorang lelaki tua bersandar pada kursinya, mengistirahatkan tubuh ringkihnya sembari memejamkan matanya. Sementara lelaki muda di depannya sibuk menulis sesuatu di buku catatan kecilnya.

"Jadi, ini mereka.", gumamnya kecil. "Uchiha Sasuke, Haruno Sakura, Uzumaki Naruto, Hyuuga Hinata, Nara Shikamaru, Sabaku Gaara, Inuzuka Kiba, dan juga penjaga rumah itu : Tuan Tazuna dan Nyonya Ayame."

Kemudian, Ia menutup buku catatan kecilnya dan memasukkan secara hati-hati ke dalam saku jasnya. Setelahnya, Ia menatap pada bayangannya di atas cermin kecil di atas meja. Rambut hitamnya telah tertata rapi, wajah pucat dengan kedua bola mata senada dengan warna rambut. Tak lupa dengan raut wajah datar, raut wajah aslinya yang jarang diperlihatkan untuk orang lain.

"Mungkin Aku bisa menyamar sebagai mayor.", gumamnya pelan. Kemudian dengan cepat Ia menggelengkan kepalanya.

"Tidak, ada bekas tentara di antara mereka. Ia pasti akan mengenaliku nanti.", gumamnya lagi.

Melirik sekilas ke arah lelaki tua di depannya yang masih tertidur, Ia berpikir kembali. Tiba-tiba sebuah ide terlintas begitu saja.

"Afrika selatan.", gumamnya lagi seraya menyeringai. "Alasan yang bagus.", kali ini Ia tersenyum lebar, senyum penuh kepalsuan.

Masih teringat dalam otaknya tentang Pulau Negro. Ia pernah pergi ke sana beberapa tahun yang lalu, karang-karang yang berbau dan kumpulan burung camar yang berada satu mil dari pantai. Nama pulau itu diambil dari bentuk wilayahnya ang berbentuk seperti kepala seorang negro. Ide yang sangat lucu untuk membangun rumah di atasnya. Dalam cuaca buruk, tempat itu memang menakutkan. Tapi milyuner gila memang tak bisa ditebak.

Lelaki tua itu terbangun dan kemudian berkata, "Kau tak akan pernah bisa meramal laut. Tak akan pernah!"

Shimura Sai yang awalnya terkaget hanya memamerkan senyum palsunya dan menjawab dengan nada datar, "Memang tidak."

Lelaki tua itu tersedak dua kali dan kembali berkata dengan sedih, "Badai akan segera datang."

"Kurasa tidak, cuacanya cerah.", tentang Sai dengan tetap mempertahankan senyum palsunya.

Lelaki tua itu tetap bersikeras, "Badai akan benar-benar datang! Aku dapat menciumnya!"

Mengalah dengan perdebatan yang tak penting, Sai hanya membalas, "Ya, kurasa Anda benar."

Tiba-tiba kereta berhenti tepat di depan stasiun. Lelaki tua itu berdiri terhuyung-huyung menuju pintu. "Aku berhenti di sini.", ujarnya.

Sai ikut berdiri, bermaksud untuk menolongnya. Namun, lelaki tua itu mengangkat tangan, menolak pikirnya.

"Berjaga dan berdoalah.", ucap lelaki tua itu sembari menatap tajam ke arah Sai.

"Hari pengadilan sudah dekat.", lanjutnya lagi.

Ia terjatuh dari atas kereta ke atas peron. Dengan masih terbaring, Ia berkata dengan keras ke arah Sai sementara kereta bersiap untuk melaju lagi.

"Aku berkata padamu, Anak Muda! Hari pengadilan sudah dekat!"

Mendengus kecil, Sai kembali menuju tempat duduknya, "Kurasa Ia yang lebih dekat dengan hari pengadilan!"

Tapi, dia benar-benar keliru...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Chapter 1 completed, mungkin bisa dibilang ini baru bagian prolog dan clue masalah2 tersembunyi yg dimiliki oleh masing2 tokoh. Tiba-tiba saya menemukan referensi novel2 agatha christie saat hiatus, saya membaca beberapa dan tidak bisa berkata apa-apa setelahnya. Kenapa? Itu terlalu jenius untuk dijadikan sebuah novel/fiksi. Apalagi buku yg berjudul Ten little niggers yg katanya best sellernya agatha christie, dan memang bagi saya 'this is the best of the best book I've ever read'.

Untuk pemula mungkin bahasanya terlalu berat, apalagi setelah saya menyuntingnya lagi menjadi sebuah ff, terlalu sulit untuk mengubah plotnya. Jadi, readers nikmati saja plot yg ada. Fic ini masih sangat panjang.

Kritik dan saran yg membangun sangat ditunggu. Any question? Just pm.

.

.

.

.

.

Just one word : Review :)