Let Me With You
.
.
.
.
Langit cerah, udara segar, tidak ada misi, tidak ada sakit kepala lagi. Pagi yang sempurna. Sakura melangkahkan kaki keluar apartemen dengan langkah ringan tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. Dia harus berterima kasih banyak pada Shizune yang bersedia membujuk Tsunade untuk memberikan gadis berambut pink itu liburan setelah berbulan-bulan bekerja di rumah sakit tanpa istirahat satu haripun! Betapa baiknya godaime hokage itu, yang membiarkan gadis sembilan belas tahun menyembuhkan orang-orang setelah hampir terbunuh di peperangan.
Perang yang menewaskan seluruh anggota akatsuki dan telah menyebabkan beberapa kerusakan fatal di beberapa tempat penting Konoha gakure, mungkin juga desa-desa lain yang dijadikan Kabuto dan Madara sebagai tempat untuk membuat huru-hara di dunia shinobi.
Sakura sama sekali tidak menyangka, dalam perang besar itu banyak sekali korban yang berjatuhan dari warga sipil hingga ninja-ninja dari dalam maupun luar desa. Mereka berkumpul di rumah sakit Konoha hingga membuat tempat pengobatan itu penuh dengan pasien. Tak ada hari bagi gadis musim semi itu untuk mengistirahatkan tubuhnya, hanya beberapa jam saja matanya bisa terpejam dan itu sangat berarti. Bagaimanapun juga, ia sebagai kunoichi andalan Konoha harus menyembuhkan rekan-rekan ninjanya yang terluka, bahkan beberapa kali ia harus melakukan operasi. Dan betapa menyesalnya gadis itu ketika ada diantara mereka yang harus memejamkan mata selamanya.
Bukan hanya kelelahan fisik saja, tapi juga psikis yang dialami gadis pink itu juga seluruh warga desa yang terlibat dalam peperangan. Selama kurang lebih sepuluh bulan semua kerusakan dapat diperbaiki berkat kekompakan warga yang dipimpin Yamato, yang bisa membangun rumah dalam beberapa menit dan warga bisa kembali ke kehidupan mereka yang damai, meskipun luka yang tak tampak masih meninggalkan bekas di hati mereka.
"Sakura-chan!"
Sebuah panggilan dari suara yang familiar membuat langkah gadis itu berhenti. Ia menemukan dua teman setimnya sedang berjalan santai ke arahnya. "Naruto, Sai!"
"Mau kemana Sakura-chan? Tidak ke rumah sakit?" tanya pemuda bermata biru langit tersebut.
Sakura menggelengkan kepalanya. "Tidak, hari ini aku libur. Aku mau jalan-jalan keliling desa."
"Apa aku boleh menemanimu?"
"TIDAK!" jawab Sakura dan Sai serempak.
"Heh, kau sudah menyetujui untuk berlatih denganku, Naruto," protes Sai, meskipun tanpa ekspresi.
"AHHH, selalu saja!" protes Naruto.
"Lebih baik kau berlatih saja, sebentar lagi ujian chunin dimulai, kau masih berniat menjadi hokage kan?" tanya Sakura pada putra Namikaze Minato tersebut.
"Tentu saja! Menjadi hokage adalah cita-citaku!"
"Lebih baik juga kalau kau menemui Hinata, Naruto. Sejak perang berakhir kau belum menemuinya sama sekali. Kemarin aku melihatnya duduk sendirian di kedai ramen, mungkin menunggumu."
Untuk sejenak hening menyapa mereka. Naruto tiba-tiba terdiam sebelum menghela nafas dan tersenyum.
Tatapan Sakura yang jatuh ke wajah tampan di depannya membuat helaan nafas keluar dari bibirnya juga. "Kau jantan kan Naruto?"
"A-apa maksudmu, Sakura-chan?"
"Kalau kau jantan kau bisa mengatasi masalah wanita. Jangan berpikir terlalu lama." Sakura segera mengalihkan pandangannya lagi. Kata-katanya justru mengingatkan dirinya akan pria pujaan, Uchiha Sasuke. Perasaan Sasuke padanya sudah pasti. Uchiha bungsu itu sudah memastikan perasaannya bahwa pria itu tidak pernah menyukai Sakura sedikitpun. Dan itu berarti memang penantian Sakura selama ini sia-sia belaka, tak mampu mengetuk pintu hati adik Itachi tersebut, dan parahnya lagi, sampai saat ini ia tidak bisa menyukai siapapun bahkan Sasuke sekalipun.
"Mm, baiklah, kalau begitu aku duluan ya, Sakura-chan. Berhati-hatilah! Ayo Sai! Jaa, Sakura-chan!" Kata Naruto sebelum berjalan meninggalkannya bersama Sai yang hanya bergumam 'hn'.
Senyuman tipis terbentuk manis di bibirnya sebelum menarik nafas dan kembali melanjutkan rencananya. Tidak begitu jauh dari tempatnya berhenti tadi, Sakura bisa melihat tiga anak sedang berlatih di lapangan tempatnya training bersama tim 7. 'Pasti murid baru Kakashi-sensei,' pikirnya lalu melangkahkan kaki ke arah mereka.
Seorang anak berambut pirang panjang menghentikan latihannya dan berjalan ke arah Sakura disusul kedua temannya. "Bibi, kau kenal Kakashi-sensei?" tanyanya tanpa basa-basi.
Sakura mengangguk dengan perempatan kecil di dahinya. "Tentu saja, dan jangan panggil aku bibi, umurku masih delapan belas tahun."
"Ah, kalau begitu carikan dia, dia punya janji untuk mentraining kami," Sakura baru akan membuka suara tapi anak itu menginterupsi lagi. "Lebih cepat lebih baik," kata gadis pirang itu sebelum kembali berlatih.
"Tolong ya, kak," ujar anak laki-laki berkacamata lalu mengajak anak laki-laki berambut merah di sebelahnya untuk berlatih kembali.
Sakura menghela nafas untuk kesekian kalinya. "Dia mirip sekali dengan Ino pig, apa dia anaknya?" gerutu gadis itu kesal. Tidak seharusnya ia mampir kesini tadi. Ia tidak bisa mengerti kebiasaan buruk gurunya itu masih terbawa sampai saat ini, selalu terlambat dengan alasan tidak masuk akal, di jalan bertemu wanita tua atau tersesat di jalan bernama kehidupan. Sebenarnya Sakura tahu jika itu hanya alasan seorang Hatake Kakashi untuk menghabiskan waktu membaca buku pervert karangan Jiraiya dengan damai.
Sakura berpikir, ia bisa saja tidak membantu mencari Kakashi dan melanjutkan kegiatannya, tapi karena ia juga pernah merasakan apa yang anak-anak itu rasakan, juga karena ia gadis yang baik hati, ia memutuskan untuk membantu, yah setidaknya sekali ini saja. Kenapa tidak?
.
.
.
Sangat susah untuk mencari dimana keberadaan sang copy ninja jika pria itu memang berniat menyembunyikan diri. Biasanya ia akan ditemukan di atas atap toko roti dengan berbaring nyaman dengan wajah yang tersembunyi di balik buku bersampul orange atau berada di atas pohon dengan posisi yang tidak jauh berbeda, tapi kali ini Sakura tidak menemukan gurunya itu berada di tempat biasa, dan disaat seperti inilah ia baru menyadari satu hal, Sakura tidak pernah tahu dimana tempat tinggal Copy-nin itu.
Ia hampir menghentikan pencariannya yang menghabiskan pagi damainya sebelum siluet silver masuk ke mata emeraldnya. Sakura menyipitkan mata ke arah orang yang membuat paginya hilang sia-sia kemudian berjalan cepat ke arahnya. Gurunya itu sedang berbaring dengan santainya di tengah lapangan dengan buku icha-icha yang menutupi wajahnya.
Sakura meletakkan kedua tangannya di pinggang dan menatap horor ke arah Kakashi. "Bangun, Kakashi-sensei," ujarnya seraya menendang kaki kanan pria itu pelan. "SENSEI!"
Kakashi mengerang, menurunkan sedikit bukunya, melirik Sakura sebentar, dan kembali tidur lagi.
"HEI!" Sakura mendudukkan diri di sebelah Kakashi dan menggoyangkan tubuh senseinya itu. "Kenapa kau seperti ini?!"
Dengan sangat cepat, tangan Kakashi menarik tubuh Sakura hingga terjatuh diatas tubuhnya. "Seperti apa, Sakura?" bisiknya, menggoda.
Sakura merasa telinganya terbakar dengan suara yang begitu dekat dengan indra pendengarnya itu. Ia mencoba bangun, tapi tangan Kakashi tidak membiarkan tubuhnya lepas. "PERVERT!" teriaknya yang membuat tubuhnya terlepas. Sakura mendudukkan dirinya dengan canggung dan pipi yang memerah, entah marah atau yang lain.
Kakashi terkekeh di balik maskernya seraya mendudukkan diri. "Itu panggilan yang buruk," gumamnya.
Sakura melihat ke arah Kakashi lagi. "Selalu membaca buku porno, artinya pervert. Tidak peduli kemanapun kau pergi, misi sepenting apapun, kau selalu membaca buku itu, aku tidak bisa menghitung berapa kali kau menamatkan buku itu dan membacanya ulang. Itu menjengkelkan, kau tahu?"
Kakashi memiringkan kepalanya dan menatap balik Sakura dengan malas. "Begitu?" gumamnya lalu menidurkan diri kembali dan membaca lagi.
"Murid barumu menunggumu untuk training. Bangun dan pergilah kesana," kata Sakura dengan nada sedikit kesal.
"Mereka pasti sudah pergi, Sakura," gumam Kakashi tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Sakura mendesah. "Jadi seperti ini..." gumamnya sebelum tertawa tidak percaya.
"Ada yang lucu?"
"Jadi ini alasannya mengapa kau sering terlambat? Menganggap tugasmu begitu mudah. Bersembunyi saat malas mengajar, kau guru yang aneh, sensei," ujar Sakura sambil menghentikan tawanya.
"Tidak, selama Gai masih hidup," gumam Kakashi seraya membalik halaman bukunya.
Sesaat hanya terdengar suara tawa Sakura yang lembut, namun seiring suara tawa gadis itu yang mereda dan tidak terdengar lagi, keheningan menyerang mereka lagi, membuat kecanggungan tersendiri. Kakashi. Senseinya itu mengalami masa-masa yang berat sepanjang hidupnya. Menjadi seorang kapten di tim 7 tidaklah semudah yang dipikirkan. Kakashi harus bisa mengendalikan murid-muridnya, murid-murid yang telah bertransisi menjadi ninja-ninja paling mengagumkan. Dia bertanggungjawab terhadap Sasuke sebagai nukenin, bertanggungjawab terhadap Naruto sebagai Jinchuriki dan sang penyelamat perang shinobi empat, bertanggungjawab juga sebagai guru yang menjaga perasaan Sakura sebagai seorang teman yang melihat kebencian diantara teman tersayangnya. Sakura tidak akan pernah melupakan jasa Kakashi dan Naruto yang selalu mencoba mengerti dan menunjukkan jalan yang benar disaat ia sedang berada di titik terbawah hidupnya.
Gadis bermata emerald itu tidak bisa terlalu banyak berinteraksi dengan Kakashi lagi setelah peperangan berakhir, hanya sesekali ia bisa melihat pria itu ada di rumah sakit mengantarkan muridnya yang terluka saat misi. Sangat berlawanan dengan keadaan Kakashi beberapa tahun lalu yang sering sekali masuk rumah sakit dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Dan sejak perang berakhir, Kakashi juga terlihat lebih pendiam, sering sendirian, dan mengambil misi-misi solo.
"Sakura..." panggil Kakashi memecah keheningan.
"Hm?"
"I'm not pervert."
Sakura mendesah kemudian melihat ke arah langit yang tidak terlihat berawan sedikitpun, mengabaikan ucapan Kakashi. Pandangannya kembali jatuh pada pria disampingnya saat pria itu berdiri. "Ada apa?" tanyanya bingung.
"Ada tempat yang harus kukunjungi hari ini," ujar Kakashi seraya berjalan.
"Kemana?"
Langkah Kakashi terhenti. Untuk beberapa saat Sakura hanya melihat pria itu berdiri dengan sebelah tangan berada di dalam saku celana sebelum melihatnya berjalan lagi. Tidak memberi jawaban pada gadis itu, tapi Sakura bisa tahu kemana Kakashi akan pergi dengan sikapnya yang seperti itu. Gadis itu hanya melihat punggung Kakashi yang semakin menjauh dengan tatapan iba.
Sakura tak pernah benar-benar tahu siapa sebenarnya Kakashi. Siapa sebenarnya pria berambut perak itu? Siapa pria yang menyelamatkannya dari Sasuke itu? Dimana rumahnya? Apakah dia punya hewan peliharaan? Apa warna favoritnya? Bagaimana masa lalunya? Seperti apa wajahnya? Apa dia memiliki pasangan dan sudah memiliki anak?
Ah, untuk pertanyaan terakhir...rasanya tidak mungkin Kakashi sudah berkeluarga, pria itu tidak pernah membahas wanita apalagi pernikahan dan melihat kesehariannya, semua orang pasti tahu jika Kakashi masih membujang. Dia hanya tahu jika ayah pria itu sudah meninggal. Saat di Suna, nenek Chiyo menyebutkan jika nama sebutan ayah Kakashi adalah White Fang dan Tsunade memberitahunya jika nama asli ayah Kakashi adalah Hatake Sakumo, legendaris Konoha yang jenius seperti anaknya, itu saja. Selebihnya ia hanya tahu jika ayah Naruto, Yondaime Hokage adalah gurunya. Tak ada kesempatan baginya untuk bertanya lebih lanjut sebab krisis yang terus menerus menimpa dunia shinobi waktu itu.
Pikiran Sakura kembali melayang di saat mereka melawan Tobi dari akatsuki. Waktu ia tiba bersama para ninja medis dan para ANBU serta yang lain untuk membantu, Kakashi sudah sangat lemah dan pingsan, cakranya benar-benar habis terkuras, fisik dan mentalnya benar-benar di uji dalam pertarungan hidup dan mati tersebut. Kenyataan jika musuhnya menggunakan tubuh sahabat terbaiknya untuk hidup dan berperang membuat kejutan tersendiri bagi Kakashi. Pria itu tak tahu dimana harus memposisikan diri jikalau Gai, Naruto dan yang lain tidak memberinya dorongan dan semangat. Disatu sisi ia harus melindungi Konoha dan orang-orang yang disayanginya, disisi lain, ia juga tidak bisa dengan mudah melawan seseorang yang kemungkinan besar telah membuatnya menjadi seorang Copy-nin terhebat sepanjang masa, seseorang yang kemungkinan besar adalah orang yang paling berjasa dalam hidup seorang Hatake Kakashi, sahabat tersayang, Obito Uchiha. Begitu kejamnya dunia hingga membuat Madara menggunakan kesempatan pada diri Obito dan mempertemukannya kembali dengan sahabat lamanya. Seperti kata-katanya, ninja yang melanggar aturan disebut sampah, tetapi ninja yang tidak memperdulikan temannya lebih rendah dari sampah.
Harapan. Hanya harapanlah yang menjadi kekuatan besar bagi para shinobi seperti halnya Naruto, Kakashi, juga Sakura. Harapan untuk melihat masa depan yang lebih baik, harapan melihat akhir yang bahagia untuk tim tujuh, jauh dari peperangan akibat kebencian dan kesalahpahaman. Tidak membiarkan banyak jiwa melayang dan meninggalkan luka mendalam, meskipun itu adalah resiko yang mereka terima sebelum menyatakan diri siap menjadi seorang ninja.
Sakura tidak melihat adanya ambisi di dalam diri Kakashi. Senseinya itu memang menyatakan diri siap menjadi seorang Hokage menggantikan Tsunade, tapi jika dilihat dari perilaku, ia tak seambisius Naruto ataupun Sasuke. Pria itu merasa cukup nyaman dengan kehidupannya yang seperti apapun. Ya, tinggal menghitung hari hingga Kakashi menjadi hokage ke enam. Sudah keputusan para dewan dan kesepakatan Tsunade yang dengan alasannya-menikmati masa sebagai wanita 'dewasa'-yang menginginkan Kakashi sebagai seorang yang paling cocok menjadi hokage saat ini selain Naruto yang masih harus menempuh ujian chunin dan jounin. Lagipula Naruto sendiri yang mengatakan kalau seseorang yang gagal menolong temannya tidak pantas menjadi Hokage, itu berarti Naruto tidak akan menjadi hokage sebelum membawa pulang Sasuke kembali ke Konoha.
"Apa dia masih sempat membaca buku pervert itu saat menjadi hokage nanti?" ujar Sakura seraya mendesah dan bangkit dari duduknya lalu memandang bukit tempat wajah para hokage terlukis indah. "Apa dia sudah memikirkan kemungkinan kalau wajahnya akan terlihat seluruh warga desa?" gumam Sakura membayangkan wajah Kakashi dibalik maskernya seraya terkekeh pelan. "Ah, aku tidak sabar menunggu hal itu!"
.
.
.
Senja telah datang menyelimuti Konoha baru. Burung-burung terbang kembali ke sangkar mereka masing-masing, langit mulai memerah dan anginpun mulai berhembus, suasana klasik di Konoha Gakure. Pemuda bermata biru itu memandang jalanan yang mulai gelap.
"Kita berpisah disini, besok pagi kita lanjutkan latihannya. Tadi Kiba bilang besok akan ikut latihan bersama kita," gumam pemuda berambut hitam.
"Baiklah, kau tidak mau makan ramen dulu, Sai? Biar aku yang traktir, sebentar..." Naruto merogoh saku celananya. "Dimana aku menaruhnya ya?"
Sai tersenyum. "Sudahlah, aku ada keperluan sekarang. Jangan habiskan kupon gratismu, Naruto. Sudah ya, aku pergi dulu," ujarnya sebelum berbelok arah dan meloncat ke atap lalu berlari menjauh.
"Ah, iyaa..sampai jumpa besok!" Ujar Naruto menghentikan kegiatannya mencari kupon. "Huh, kelihatannya kali ini aku harus bayar," gumamnya sebelum melangkah lagi.
Pandangannya tertuju pada dua anak yang masih latihan di lapangan. Sesaat tatapannya melembut melihat kedua anak itu yang kini saling melempar deathglare. Naruto kembali mengalihkan pandangannya ke jalan dan melanjutkan langkahnya lagi.
'Sasuke... dimana kau? Apa yang kau pikirkan? Tentang aku, tentang Sakura dan Kakashi-sensei, apakah kau memikirkan kami walaupun sedikit? Kau telah mengalahkan kakakmu,Itachi...kau sudah membalas dendam..."
"...Apa kau merasa lebih baik? Ataukah...malah lebih menderita? Sasuke... mengapa kau tak pulang ke Konoha? Apakah kau sudah dikuasai kebencian? Apakah kau telah benar-benar menjadi jahat? Tapi, bukankah kau telah membantu saat perang, lalu kenapa kau pergi begitu saja? Sekarang... aku tak mengerti kau lagi...'
Kembali terputar ingatan Naruto tentang kebersamaan tim tujuh. Sejak pertama pertemuannya dengan Sasuke, bagaimana obsesinya untuk mengalahkan Sasuke, bagaimana Sasuke yang mengulurkan tangan padanya, juga bagaimana Sasuke bertarung dan mengatakan seberapa kebenciannya pada Konoha.
Flashback
"Sasuke, apa kau ingat apa yang kau katakan padaku saat di lembah akhir? Tentang ninja kelas atas?"
"Ketika dua orang ninja kelas atas bertarung, mereka bisa saling membaca pikiran dengan mudah pada saat pukulan mereka bertemu. Kita tidak perlu mengucapkan sepatak katapun. Kau lemah, Naruto. Jadi katakan padaku, apakah kau melihat apa yang ada di dalam hatiku? Apa yang sebenarnya aku rasakan?" tanya Sasuke saat akan pergi keluar Konoha.
"Satu pukulan kita tadi membuatku mengerti lebih banyak. Kita berdua sudah menjadi ninja kelas atas, Sasuke. Jadi katakan padaku, apakah kau melihat apa yang ada di dalam hatiku? Apa yang sebenarnya kau rasakan? Apakah kau melihat apa yang akan terjadi kalau kita bertarung lagi? Kita berdua akan mati.."
"..."
"Kalau kau menyerang Konoha...Aku akan bertarung denganmu, jadi simpanlah kebencianmu dan bawa semua padaku. Akulah satu-satunya yang bisa mengobati kebencianmu dan mati bersamamu."
"Cih, kenapa? Apa maumu sebenarnya? Kenapa kau sangat peduli padaku?" tanya Sasuke heran.
"Karena aku adalah temanmu.." Ujar Naruto tenang.
Sasuke tersentak.
"Sasuke, kita mungkin tak bisa saling mengerti dengan kata-kata. Tapi, aku tahu dari awal kita bertemu. Satu-satunya jalan kita bisa saling mengerti dengan pukulan kita! Seperti yang aku katakan, itu berarti kita sudah menjadi ninja kelas atas." Naruto memandang tajam Sasuke. 'Mungkin kalau kita bisa saling mengerti satu sama lain aku bisa mengubah semua kebencian itu, seperti yang guru Iruka lakukan padaku,' pikirnya. "Aku belum menyerah tapi aku sudah menyerah bicara denganmu! Maksudku, aku tak pernah menjadi seorang penasehat yang baik. Jadi, untuk apa aku menasehatimu? Hm, kalaupun kita berdua nanti akhirnya mati bersama, setidaknya kita tak perlu lagi menjadi Uchiha atau Kyubi lagi, tak terbebani dengan semua hal itu akan membuat kita benar-benar saling mengerti di kehidupan selanjutnya."
"Aku takkan berubah! Aku tak mau kita saling mengerti! Aku takkan mati... kaulah yang akan mati!"
"Cukup, Naruto! Aku akan mengurus Sasuke," Kakashi mencoba menghentikan Naruto. "Kau masih memiliki impian untuk menjadi Hokage, kau tak perlu terjatuh bersama Sasuke."
"Bagaimana bisa aku menjadi hokage kalau aku tak bisa menyelamatkan temanku sendiri?!... aku akan melawan Sasuke..."
Flashback End
Seperti apa lagi Naruto harus mengerti sahabatnya itu? Luka sedalam apapun pernah dirasakannya. Takdir dan nasib telah mempertemukan mereka. Naruto bahkan tak menyangka jika ibunya dan ibu Sasuke adalah sahabat. Bukankah sebuah takdir yang mengagumkan jika akhirnya ia dan Sasuke yang sebelumnya tak saling mengenal bisa bertemu dan menciptakan sebuah ikatan. Tuhan, dengan caraNya sendiri membuat cerita yang indah meskipun airmata mengalir sebagai gantinya.
Jalanan Konoha malam ini tetap ramai seperti biasanya. Para shinobi dan warga sipil kembali ke rumah mereka masing-masing, beristirahat setelah seharian melakukan kegiatan. Naruto menghentikan langkahnya saat tiba di dekat kedai ramen. Bukan karena bau ramen yang mulai menggoda, tapi merasakan keberadaan cakra yang dikenalinya. Uzumaki itu mendongakkan kepala dan menemukan seorang gadis yang terlihat berdiri di jalanan dan melirik ke arah kedai, seperti mencari seseorang.
"Hinata-chan!" panggil Naruto.
Hinata yang mendengar namanya di panggil pemuda itu terkejut dan langsung menunduk. Seperti seseorang yang tertangkap basah. "Na-naruto-kun..."
Suasana yang tidak biasa terjadi di kedai ramen paman Teuchi. Pria itu melempar pandangan ke arah dua pengunjungnya yang sedang makan dengan tenang sebelum memandang bertanya pada putrinya yang dibalas Ayame dengan mengangkat bahu. Pandangan Teuchi kembali pada Naruto. "Heh, Naruto! Apa kau sudah bosan dengan ramenku? Kenapa diam saja? Tidak biasanya..."
Slruppp...Naruto menelan ramennya sebelum bicara. "Apa maksud paman? Ramen paman tidak ada yang menandingi, aku tidak akan pernah bosan memakannya!" ujarnya sebelum makan ramennya lagi.
Teuchi mengerutkan dahi. "Kalau begitu kenapa kau diam saja dari tadi? Kencan pertama apakah memang seperti itu?"
Wajah Hinata dan Naruto memerah. "A-apa maksud paman? Kami tidak kencan! Benar, kan Hinata?"
Hinata mengangguk. "I-iya."
"Jadi kau masih menyukai Sakura, Naruto? Kudengar kau sudah menolak Sakura." tanya Ayame tiba-tiba.
"Bu-bukan begitu." Naruto menggaruk belakang kepalanya lalu melirik sebentar ke arah gadis disampingnya.
"Jadi seperti apa? Cinta segitiga, ah segi banyak!"
"Kak Ayame bicara apa, sih?"
Ayame menyangga dagu. "Aku bicara mengenai percintaan dalam timmu, Naruto. Kau menyukai Sakura, lalu Sakura menyukai Sasuke. Kakashi-san...aku tidak tahu dia menyukai siapa, yang pasti Anko-san menyukainya. Lalu, Lee menyukai Sakura juga. Sakura sepertinya menyukaimu. Ino juga menyukai Sasuke, dan..." Ayame melirik ke arah Hinata. "Hinata-chan menyukaimu..."
Kali ini wajah Hinata benar-benar terbakar.
"Sudah, hentikan kak Ayame! Aku tidak akan bayar kalau begini!" protes Naruto.
"Bukankah kau memang gratis makan disini?" sahut Teuchi. Ya, semenjak invasi Pain, memang Naruto yang dielu-elukan sebagai pahlawan Konoha diberi lima puluh kupon gratis oleh Teuchi.
"Ah, kuponku ketinggalan, paman. Tapi, aku tetap tidak akan bayar!"
"Tidak bisa begitu dong, Naruto."
"Tapi kan yang mulai duluan itu kak Ayame!"
Teuchi menghela napas. "Sudah, sudah. Mau bagaimana lagi? Untuk kali ini saja Naruto. Nona Hinata, kau tidak perlu bayar. Hadiah untuk kencan dengan Naruto."
"Paman!"
Hinata tiba-tiba berdiri. "Baiklah, terima kasih, paman, kak Ayame, Naruto-kun. Ada yang harus kulakukan dirumah. Aku permisi dulu," ujarnya lalu berbalik dan berjalan pergi.
Naruto yang baru menyelesaikan makannya hanya menoleh dan melihat kepergian heiress klan Hyuuga tersebut.
"Hei, Naruto! Kenapa diam saja? Setidaknya antarlah dia pulang!" perintah Teuchi.
Naruto terdiam sebentar sebelum tersadar bangun dan mengejar Hinata.
Ayame menghela nafas. "Hahh, Naruto-kun, dia memang mempesona walaupun kadang terlihat bodoh..."
.
.
.
Sakura memandang langit malam yang berbintang. Gadis itu duduk di jendela kamarnya yang terbuka. Memandang kagum karya Tuhan malam itu. Tapi, justru saat seperti inilah kenangan yang membuka luka lama. Sampai kapan? Sampai kapan Sasuke harus mengambil alih pikirannya? Seberapa dalamkah perasaannya hingga tetap menyukai orang yang berkali-kali mencoba membunuhnya? Cinta memang membuat siapapun bisa menjadi sangat bodoh.
Pandangan gadis itu terjatuh ke bawah, ke jalanan yang mulai sepi itu seseorang yang familiar berjalan terhuyung-huyung. 'Kakashi-sensei?'
Sakura menangkap tubuh pria dihadapannya sebelum terjatuh dan menyentuh tanah. Aroma sake langsung tercium di tubuh senseinya itu. Jarang sekali Sakura melihat Kakashi benar-benar mabuk. "Berapa banyak yang kau minum sensei?"
Kakashi mendongak. "Ahh, Sakura-chan...selamat malam, hehehe." Kakashi terbatuk. "Huk, uhuk...mm, terima kasih, Sakura..." ujarnya lalu mencoba melepaskan diri dari Sakura dan berjalan terhuyung-huyung lagi.
Gadis bermata emerald yang melihat gurunya akan jatuh lagi itu segera mengejarnya. "Biar aku yang mengantarmu pulang, Kakashi-sensei. Bagaimana bisa kau mabuk seperti ini? Bagaimana kalau ada dewan yang melihatmu? Kau kan mau jadi Hokage..." ujar Sakura sebelum menaruh lengan senseinya di pundaknya. "Katakan dimana apartemenmu..."
"Mmm, terus ke kiri lalu ke kiri lagi, ke kanan dan yup! Disitu apartemenku. Lantai 3 dengan pintu terkunci..."
"Hahh, Kakashi-sensei, sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau tiba-tiba mabuk seperti ini?"
Kakashi hanya diam dan menyandarkan kepalanya ke bahu Sakura. Mulai memejamkan mata sambil terus berjalan seperti halnya orang mabuk pada umumnya.
Tak sampai sepuluh menit mereka berdua akhirnya sampai di depan pintu apartemen Kakashi. "Sensei, dimana kunci rumahmu?"
Kakashi menggeleng. "Aku tidak tahu..."
"Apa?" tanya Sakura tidak percaya. "Katakan dengan jelas dimana kunci rumahmu? Dengan begitu kau cepat sampai di tempat tidurmu."
Kakashi menggeleng lagi. "Aku tidak tahu, Sakuraaa...kemarin hilang saat aku pulang misi...huh, sebentar, aku buka segelnya..."
"Kau menyegelnya?" -_-' . "Kau memang pelit, sensei. Seharusnya uangmu yang banyak itu untuk beli kunci baru!" ujar Sakura tak habis pikir sebelum mendorong pintu Kakashi dengan kakinya setelah segel terbuka.
"Hehh, kau bisa menghancurkan pintuku, Sakura!" protes Kakashi dengan tatapan mengantuk.
"Kau bisa beli yang baru, sensei. Sekarang tunjukkan yang mana kamarmu." Terdapat dua pintu di apartemen Kakashi, sedangkan di bagian belakang ruang tamu terlihat sebuah dapur kecil dan ruang televisi.
"Ini..." jawab Kakashi sambil menunjuk pintu di sebelahnya.
Sakura langsung meletakkan dengan hati-hati tubuh Kakashi setelah menyalakan lampu kamar. Lalu melepaskan sepatunya dan jubah serta rompi yang dipakai pria itu. Kemudian menarik selimut hingga menutupi tubuh pria itu sampai di bahunya. Kakashi yang merasa gerah, segera melepas begitu saja masker dan hitai itei nya lalu tertawa.
Sakura tertegun. 'Kakashi sensei melepas maskernya! 0.0'.Terlihat lesung pipit di kedua pipi pria berambut perak itu saat tertawa. 'Astaga...apa aku bermimpi? Kukira wajahnya berkutil... Tunggu sampai aku ceritakan padamu, Naruto! Kakashi sensei sungguh tampan!'
Tawa Kakashi berhenti sejenak sebelum tiba-tiba wajahnya terlihat tersiksa dan keluar airmata di sudut matanya yang tertutup. "Maafkan aku, aku minta maaf..." lirih Kakashi tidak terlalu jelas karena efek mabuknya.
Tatapan Sakura melembut, dia kemudian duduk di tepi tempat tidur Kakashi, menyeka pelan keringat yang mengalir di dahi pria itu sebelum menggenggam tangan pria itu dan menepuk-nepuknya. 'Tidak peduli seberapa keras kau menyembunyikannya, kau akan terluka juga.'
Kakashi mulai tenang lalu mengerang dan tertidur lagi.
"Kakashi-sensei, cobalah berbagi padaku. Biarkan aku merasakannya juga, seperti halnya kau mengetahui perasaanku. Biarkan aku menghiburmu seperti halnya kau yang selalu menghiburku," lirih Sakura kemudian memperhatikan wajah damai senseinya yang kini tidak tertutup masker.
Hidung pria itu lurus dan mancung dan tidak terlalu besar atau kecil, pas untuk wajahnya. Rahangnya tegas namun disisi lain juga terlihat memperlembut wajahnya. Wajahnya bersih tanpa ada kumis atau janggut di dagunya, kecuali goresan pada mata kirinya. Bibirnya...? tidak tebal seperti pikiran Naruto. Dan siapapun yang melihat, tak akan percaya jika pria itu sudah berumur tiga puluh tahunan. Sesaat Sakura menyadari pipinya memanas.
Setelah menyadari keadaan sepenuhnya, ia segera melepaskan tangan yang sedang digenggamnya, kemudian berdiri. "Mm, Kakashi-sensei, aku pulang dulu," pamitnya.
Tapi tiba-tiba tangan Kakashi memegang pergelangan tangannya, mencegahnya pergi. "Sakura..." Mata pria itu tetap tertutup. "Aku menyayangimu..."
Gadis berambut merah muda itu terdiam dan berkedip sebelum tersenyum. "Aku tahu, sensei."
Kakashi menggeleng dan membuka sedikit matanya. "Bukan...bukan seperti itu. Ini lain..."
.
.
.
TBC
Hola, saya kembali buat fic baru. Padahal fic lama belum complete! -_-'
Kali ini, aku bawa konsep persahabatan dan cinta. Kakasaku pair favoritku, jadi gak tega pas buat Kakashi terluka di fic Rain And You gara-gara Neji. Huft, sulit memilih antara Neji-san sama Kakashi-sensei. Sama-sama kerennya! Dan soal Sasuke... kemana ya Sasuke-kun?
Ok, dech! Minta reviewnya! ^_^
