Tenten X Hyuuga Neji

Characters belong to Kishimoto.

.

.

.

Heavenly Heaven

Purest feeling you can get from a family

.

.

.

Seorang wanita berusia 25 tahun melangkahkan kakinya yang beralaskan sepatu dalam ruangan bersol karet menelusuri lorong sekolah. Salah satu lengannya yang terbalut oleh cardigan rajut tipis ia gunakan untuk membawa beberapa buku materi bahan ajarnya hari ini. Di bagian atas sampul salah satu buku tersebut bertuliskan 'Matematika SMP'.

Tidak sampai 5 menit berjalan, ia sampai di depan kelas 2-3, yang hari ini mendapat giliran pertama untuk diajarnya. Tanpa membuang waktu, ia langsung meraih kenop pintu geser dan masuk ke dalam kelas untuk menemui murid-muridnya yang sudah duduk dengan rapi di bangku masing-masing.

Sebelum ketua kelas tersebut sempat memberi aba-aba untuk memberi salam, salah satu siswa berceletuk dengan santainya.

"Hee. Sensei potong rambut?"

Kalimat spontan dari siswa yang bernama Kasuga Kouhei itu sukses memancing teman-teman sekelas, yang awalnya tidak terlalu memperhatikan, memandang langsung ke arah guru matematika sekaligus wali kelas mereka. Mereka langsung bereaksi melihat rambut berwarna cokelat tergerai yang panjangnya hanya mencapai bahu sang guru.

"Wah, benar. Rambut Tenten-Sensei jadi pendek."

"Sensei jadi kelihatan lebih muda."

"Kenapa dipotong, Sensei? Lebih bagus rambut panjang seperti kemarin."

Guru matematika yang mereka kenal bernama Tenten itu hanya meringis. Ia sudah biasa disambut oleh murid-muridnya tanpa kalimat sapaan. Awalnya, Tenten merasa hal itu tidak boleh dibiarkan, karena tata krama adalah hal terpenting dalam pembelajaran di luar materi.

Hanya saja, entah karena sifatnya yang terlalu lunak atau mungkin hubungannya dengan para murid yang sudah terlanjur nyaman membuat pola rutin sebelum pelajaran jarang dilakukan. Mereka lebih sering langsung berbicara hal-hal tidak penting begitu melihat dirinya masuk kelas.

"Kalian ini, kenapa susah sekali sih memperdengarkan sapaan 'Selamat Pagi' dengan kompak? Sensei kan juga ingin dapat motivasi supaya semangat mengajar." Tegur Tenten menghela nafas. Buku bahan ajarnya ia letakkan di atas meja yang berada di depan kelas, berhadapan dengan siswa ajarnya.

Merasa bertanggungjawab atas tindakan sembrono teman-temannya, membuat seorang siswi berkacamata yang menjabat sebagai ketua kelas langsung bangkit dari bangkunya dan meminta maaf kepada wali kelas mereka.

"Mohon maaf, Sensei. Seharusnya saya langsung memberi aba-aba kepada yang lain saat melihat Sensei masuk." Ucapnya dengan nada menyesal.

Tenten yang tadinya hanya setengah bercanda untuk membuat murid didiknya sadar, jadi merasa bersalah membuat siswi manisnya menundukkan wajah. Meski orang lain mungkin menganggap murid-muridnya tidak hormat kepada Tenten, sesungguhnya mereka adalah anak-anak yang sangat baik dan rajin. Sebagai wali kelas, ia tahu betul rekam akademik siswa-siswinya. Mereka jarang datang terlambat, tidak pernah memiliki masalah dengan guru-guru lain, sebagian besar juga aktif mengikuti kegiatan klub di luar jam sekolah. Nilai ulangan mereka juga bagus-bagus.

Tidak semua sih, tapi mereka tidak segan-segan meminta kelas tambahan kepada Tenten untuk perbaikan nilai.

Mungkin karena usianya yang tergolong masih muda, semua murid yang pernah diajarnya pasti akan bersikap nyaman dengannya, seolah-olah Tenten teman sebaya mereka. Dan ia justru senang dengan hal itu.

Untuk memperbaiki suasana, dengan suara tawanya yang khas, lantang namun merdu, Tenten berusaha mengusir kegelisahan si ketua kelas.

"Sensei hanya iseng, Kojima-San. Sensei juga sudah banyak mendengar dan mengucapkan 'selamat pagi' sepanjang jalan ke kelas. Kan bosan juga. Lagipula mendengar suara kalian yang ramai saja sudah membuat Sensei bersemangat untuk memberikan kalian soal-soal tes."

Kalimat yang seharusnya jadi penenang justru disambut helaan nafas panjang dari seisi kelas. Tapi justru itu yang ia harapkan. Melihat wajah cemberut anak-anak badungnya ini memang menyenangkan.

"Tapi sebelum belajar, ceritakan dulu kenapa Sensei potong rambut." Ucap seorang murid perempuan yang duduk di dekat jendela.

Teman lelaki yang duduk tidak jauh darinya menjawab, "Jangan tanya begitu, Inoue. Seorang wanita potong rambut biasanya pasti karena patah hati. Jangan buat Sensei tambah sedih."

Tenten yang mendengar menaikkan sudut alisnya. Kedengarannya berusaha melindungi, tapi kenapa nadanya seperti mengejek ya?

"Loh? Memang Sensei sudah punya pacar?" Sahut murid yang lain.

"Sensei kan sudah usianya menikah, pasti punya dong."

"Tapi kalau sudah putus berarti tidak jadi menikah."

"Sensei yang sabar yaa. Nanti pasti ketemu jodoh yang lebih baik."

"Sebaiknya cepat cari pengganti, Sensei. Ibuku bilang kalau terlalu lama sendiri, nanti malah jadi trauma untuk berhubungan lagi."

"Teori darimana itu?"

"Ibuku kan sudah pengalaman, jadi pasti paham isi hati perempuan."

"Sensei kan pemilih, sudah pasti sulit menemukan yang cocok lagi."

"Kalau begitu Sensei mau kenalan sama guru les pianoku, tidak? Nggak cakep sih, tapi baik."

"Morita, guru pianomu kan sudah 40 tahun, masa belum menikah?"

"Beliau itu profesional, Abe-Kun. Banyak hal yang harus dipelajari dalam karirnya sebelum ia memutuskan menikah."

Semakin lama pembicaraan para remaja 14 tahunan itu makin mengakar luas. Malah Tenten bisa mendengar ada yang mulai berdebat untuk mengenalkan kenalan mereka pada wali kelasnya ini. Tanpa sadar, suara bising murid-muridnya ini menimbulkan urat di pelipis Tenten.

"HEI, KALIAN!"

.

.

.

Pukul 17.15, setelah memastikan semua siswa telah selesai dengan kegiatan klub dan kembali ke rumah masing-masing, Tenten juga memutuskan untuk pulang. Sesungguhnya hari ini Tenten tidak bertugas sebagai guru pengawas, namun dikarenakan guru yang mendapat giliran hari ini absen, ia dengan senang hati menggantikan tugas guru tersebut. Ia senang berkeliling klub dan melihat murid-murid dengan semangat menjalani kegiatan di klubnya masing-masing. Hal itu mengingatkan Tenten ketika ia masih sekolah dulu.

Tenten merapatkan mantel abu-abunya, meski baru memasuki minggu ketiga bulan Oktober, udara Tokyo sudah mulai dingin.

Sebelum kembali ke apartemennya, Tenten menyempatkan mampir ke supermarket langganannya yang berada di dekat kompleks perumahan untuk membeli persediaan bahan makanan. Karena ia tinggal sendiri, belanjaannya hanya beberapa sayuran, telur, dan pasta miso.

Pemilik supermarket yang juga merangkap sebagai kasir dengan asyiknya mengajak Tenten berbincang sembari memasukkan belanjaannya ke kantung kertas. Meski berwajah tegas, pria 60 tahunan itu sangat ramah. Ia sering memberi potongan harga atau bonus makanan ringan untuk Tenten sebagai pelanggan setianya.

Dengan satu tangan membawa kantung kertas berwarna cokelat, ia melanjutkan perjalanan menuju apartemen. Biasanya jika ia tidak tertangkap tetangga sekitar kompleks, ia hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai. Lain cerita jika ia bertemu dengan ibu-ibu sekitar, mereka bisa menghabiskan waktu hingga setengah jam hanya untuk mengobrol.

Syukurlah hari ini matahari terbenam lebih cepat dari biasanya. Jalanan sudah mulai sepi. Mungkin para ibu sudah disibukkan dengan tugas menyiapkan makan malam.

Kini ia sedang melewati pagar taman perumahan, dimana taman itu dilengkapi dengan kursi panjang dan air mancur. Ada juga wahana permainan anak seperti perosotan, ayunan dan kolam pasir. Tenten sering menghabiskan sore hari sekedar berjalan-jalan dan mengobrol dengan warga yang sedang berada di taman ketika hari libur.

Tanpa sadar, sambil berjalan ia menoleh ke arah dalam taman yang nampak sepi. Lampu-lampu taman pun sudah mulai dinyalakan.

Langkah Tenten perlahan berhenti kala ia menangkap seorang gadis berambut panjang sedang duduk sendirian di salah satu kursi taman. Gadis itu duduk tertunduk sambil memeluk tasnya. Ia mengenakan seragam dengan blazer berwarna gelap, entah abu atau hitam dan rok selutut dengan warna yang senada. Meski baru tiga tahun bekerja sebagai guru, Tenten yakin pakaian yang dikenakan gadis itu bukan seragam sekolah yang ada di daerah ini.

Naluri Tenten sebagai seorang guru tidak membiarkannya mengacuhkan seorang murid duduk murung dalam kesendirian. Tanpa pikir panjang, ia langsung melangkah masuk ke dalam taman dan menghampiri gadis itu.

Entah karena gadis itu terlalu larut dalam pikirannya atau apa, ia tidak menyadari Tenten yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya. Tenten sedikit membungkukkan badan sambil menumpukan salah satu lengan pada lutut agar dapat lebih jelas melihat wajah si gadis.

"Selamat sore."

Sapaan Tenten yang ramah tidak langsung mendapat respon. Ia menunggu beberapa detik namun gadis berambut panjang berwarna cokelat tua itu tetap diam.

"Boleh aku duduk di sebelahmu?" Tanya Tenten.

Kali ini si gadis sedikit mengangkat wajahnya, melirik kepada Tenten yang mengembangkan senyum seramah mungkin.

Tanpa bersuara, gadis itu hanya mengangguk sebagai pemberian izin untuk Tenten. Sambil berucap terima kasih, ia langsung mengambil posisi duduk di sebelah si gadis pada kursi yang sama.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, Tenten langsung mulai berbasa-basi untuk mencairkan suasana.

"Beberapa hari ini sudah mulai dingin ya. Nampaknya musim dingin akan tiba lebih cepat tahun ini."

Hening.

Meski tidak ditanggapi, Tenten maklum dengan sikap gadis di sampingnya. Mungkin ia merasa canggung atau malah curiga pada Tenten yang tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya. Hanya saja, selama beberapa tahun mengajar, gadis remaja yang ia temui hampir semuanya bersifat aktif, terutama terhadap orang baru. Banyak juga murid didiknya yang pendiam, namun mereka dapat menjawab dengan antusias jika ditanya oleh Tenten.

Masih semangat menjalankan misi, Tenten memiliki ide untuk menarik perhatian si gadis. Tangannya meraih dan merogoh kantung belanjaan yang ia letakkan di sampingnya. Ketika sudah menemukan barang yang ia cari, langsung saja ia tawarkan minuman kaleng hangat yang ada di tangannya kepada si gadis.

"Ini, cuaca dingin begini paling enak ditemani susu cokelat hangat."

Ketika di supermarket tadi, paman pemilik memberikan bonus susu cokelat kaleng hangat kepada Tenten, mengingat udara di luar yang mulai dingin. Sejujurnya ia tidak terlalu suka minum susu, namun tidak mungkin menolak pemberian paman yang baik hati itu.

Percobaan Tenten kali ini membuahkan hasil. Remaja itu melirik ke kaleng susu yang ada di tangan Tenten, kemudian menatap malu-malu kepada Tenten.

Dari balik poni yang menutupi sebagian kelopak matanya, Tenten bisa melihat iris Indigo yang dimiliki sang gadis. Warna yang cantik namun hampir tidak pernah ia temui ada orang yang memiliki warna iris seperti itu.

Karena remaja itu tidak bergerak untuk menyambut tawarannya, Tenten langsung saja menarik tangan mungil yang sejak tadi memeluk tas dan meletakkan kaleng hangat itu ke dalam genggaman si gadis. Ia lalu memberikan lagi senyum ramahnya.

"Tenang, susu itu tidak ada racunnya kok. Paman pemilik supermarket yang ada di ujung jalan itu memberikannya padaku sebagai bonus, tapi aku kurang begitu suka minum susu."

Mata unik gadis itu bergantian menatap Tenten, kemudian kembali ke kaleng susu yang ada di tangannya. Menatap Tenten lagi, lalu kaleng susu. Hingga kali ketiga, baru ia membuka suara.

"Terima kasih."

Senyum di wajah Tenten semakin mengembang. Membuat gadis di sampingnya jadi ikut tersenyum sedikit.

Jari mungil berkulit putih si gadis mengait dengan pembuka kaleng. Setelah kaleng terbuka, ia meminum susu cokelat itu sedikit demi sedikit.

"Aku paling suka susu cokelat."

Pengakuannya yang mendadak membuat Tenten menoleh, gadis ini mulai membuka pintu untuk Tenten.

"Berarti aku memberikannya pada orang yang tepat."

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum kecil. Pipi putihnya perlahan memancarkan warna merah muda.

Sambil memandangi si gadis yang lahap dengan minumannya, Tenten kembali memulai obrolan.

"Kamu pelajar ya? Kelas berapa?"

Gadis itu menyeka jejak susu cokelat di bibirnya dengan punggung tangan. Sepertinya setengah kaleng susu sudah masuk ke perutnya.

"Iya. Aku kelas 2 SMP."

Wajah Tenten cerah setelah mendengar informasi itu, "Benarkah? Wah, kebetulan sekali. Aku mengajar matematika di SMP. Kamu sekolah di SMP mana? Aku belum pernah melihat seragammu sebelumnya."

"Aku baru dua hari pindah dari Kyoto. Dulu aku sekolah di SMP Getsu."

SMP Getsu, Kyoto? Sekolah perguruan elit yang memiliki akreditasi internasional itu?

"Ooh, pantas aku tidak familiar dengan seragammu. Aku baru tiga tahun bekerja sebagai pengajar, tapi aku hafal seragam-seragam sekolah yang ada di sekitar sini."

Gadis itu menatap Tenten dengan senyum manis, membuat Tenten gemas melihat wajahnya yang persis seperti boneka.

"Lalu sekarang di sekolah mana kamu mendaftar?"

Senyum yang menghias wajah gadis itu sedikit memudar. Ia kembali menundukkan kepala dan menatap sepatu kulit hitamnya.

Apa… pertanyaanku salah ya?

"...Nii-San bilang aku boleh pilih antara SMP Musashi atau SMP Hibiya…"

Tenten mengerjap sekali. Kedua SMP tersebut merupakan sekolah publik terbaik di Tokyo. Selain terkenal dengan prestasi-prestasi yang diraih oleh siswanya serta fasilitas belajar yang sangat memadai, sekolah itu juga terkenal dengan biayanya yang tinggi.

Sebagai seorang guru pembimbing, Tenten biasa mengatasi problematika pemilihan sekolah untuk muridnya. Tidak sedikit ia menemui kasus gap antara keinginan orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang terbaik, toh biaya tidak menjadi masalah demi pendidikan. Namun di satu sisi sang anak lebih condong kepada sekolah yang membuat perasaan mereka lebih nyaman bersekolah, dengan alasan jarak, ada teman yang sekolah di sana, ataupun tes masuk yang tidak terlalu sulit.

Keduanya memiliki alasan yang tidak bisa dianggap salah atau benar. Hanya saja, harus dipastikan apakah sang anak sanggup menyesuaikan diri dengan sekolah pilihan orang tuanya atau justru malah semakin menurunkan prestasi belajar akibat stres. Begitu pun dengan pilihan anak, sekolah pilihannya sanggup membimbing dan meningkatkan semangat belajar anak atau sebaliknya.

Untuk kasus kali ini, Tenten harus mendengar dulu alasan remaja di sampingnya, yang terlihat memiliki sedikit penolakan terhadap tawaran sang kakak.

"Pilihan Nii-San bagus. Kedua SMP itu sekolah terbaik di Tokyo, fasilitasnya juga lengkap. Aku rasa proses belajarmu pasti akan meningkat pesat di sekolah manapun yang kamu pilih di antara kedua sekolah itu."

Kalimat positif Tenten dibalas dengan anggukan singkat. Wajahnya kembali tertutup oleh sebagian rambut panjangnya yang terurai. Tenten tahu apa yang harus ia lakukan.

"Tapi jarak tempuh dari sini ke kedua sekolah itu lumayan jauh sih. Apalagi sekolah itu ada di daerah yang ramai kendaraan, jadi kurasa kamu harus bersiap untuk bangun pagi-pagi agar tidak berdesakan dalam kereta atau terjebak macet."

Pertama, pancing dulu ketidaktertarikan siswa dengan alasan jarak.

"Benarkah?"

Tenten tidak menyangka tebakan pertamanya langsung kena sasaran.

"Begitulah. Aku pernah datang ke sekolah itu beberapa kali untuk mengantar muridku studi banding dan lomba juga. Mungkin karena hari itu masih hari kerja, jadi kami sering terjebak macet."

Gadis itu sedikit mencelos mendengar penjelasan Tenten.

"Kalau begitu Nii-San pasti tidak akan bisa mengantarku ke sekolah. Ia bisa terlambat ke kantor nanti."

Jawaban itu membuat Tenten menaikkan satu alis. Murid perempuan itu memberikan sinyal untuk ditelusuri.

"Aku rasa meski macet, kakakmu masih sempat ke kantor jika kalian berangkat pagi."

Gadis itu menggeleng.

"Aku lihat di peta arah kantor Nii-San berlawanan dengan sekolah."

Tenten semakin penasaran dengan alasan penolakan gadis itu. Segitu inginnyakah ia diantar oleh sang kakak, hingga menelusuri letak kantor kakaknya dengan sekolah?

"Nampaknya kakakmu sibuk sekali ya?"

Ia mengangguk.

"Sejak Tou-San pensiun karena sakit, Nii-San harus menggantikan ayah mengurus semua pekerjaannya. Itu juga alasan mengapa aku dan Nee-San harus tinggal di rumah Kyoto, bersama kerabat yang berasal dari sana, agar ada yang bisa mengawasi kami. Habis di rumah sini yang ada hanya pelayan sih, Nii-San jarang ada di rumah. Kalau pun ada, paling hanya sesekali makan malam bareng."

Tenten mendengarkan dengan seksama curahan hati remaja di sebelahnya. Sedikit demi sedikit ia paham arah permasalahan yang sedang mendera gadis ini.

"Bagaimana dengan ibu? Mungkin ibu bisa mengantarmu ke sekolah."

Seketika gadis itu terdiam. Kepalanya kembali tertunduk, membuat rambut panjangnya terjatuh melewati pundak dan menutupi sebagian sisi wajahnya.

"…Kaa-San tidak mungkin bisa mengantarku. Ia meninggal beberapa hari setelah aku lahir."

Kelopak mata Tenten melebar. Kali ini guru muda itu benar-benar salah bertanya.

Ia tidak tahu harus beralasan apa, seharusnya ia lebih hati-hati, "…Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih."

Remaja itu kembali menggelengkan kepalanya pelan. Memberikan sedikit senyuman kepada Tenten.

"Tidak apa. Memang sedikit sedih sih, tapi karena saat itu aku masih bayi jadi aku tidak ingat bagaimana wajah Kaa-San yang asli, aku cuma lihat dari foto. Aku juga tidak ingat bagaimana sifatnya. Lagipula aku punya Tou-San, Nii-San, sama Nee-San, jadi aku tidak kesepian. Chiyo Baa-San yang merawatku dari kecil juga baik sekali, ia sering membuatkan ohagi untukku dan membacakan dongeng sebelum tidur."

Meski senyumnya sendu, Tenten tahu siswi di hadapannya berkata jujur. Ia terdengar sangat menyayangi keluarganya.

Membuat dada Tenten terasa sedikit nyeri.

Seharusnya ia merasa lega karena gadis itu tidak merasa tersinggung atas ucapan Tenten, namun entah kenapa malah timbul perasaan iri dalam diri Tenten.

Perasaan hangat yang gadis itu dapatkan dari keluarganya… belum pernah ia rasakan. Meski terlihat kesepian, keluarganya masih ada. Kapanpun ia bisa menemui mereka.

Secepat pikiran itu muncul, seketika itu juga Tenten langsung mengubur dalam-dalam perasaan yang menurutnya, sudah tidak pantas ia renungkan.

Ia sudah dewasa, ia harus mandiri.

Bukan masalah jika ia tidak memiliki keluarga, toh ia punya banyak teman dan murid-murid yang menyayanginya.

Tenten mengalihkan pikiran negatifnya dengan kembali mengembangkan senyum. Jangan lupa kalau sekarang ia punya calon teman baru.

"Keluargamu pasti sangat sayang dan bangga padamu. Kamu anak yang baik dan kuat, manis pula."

Pipi putih anak itu menampilkan sedikit rona merah muda, lalu ia terkekeh ringan.

Tuhan, anak ini begitu manis.

Tenten langsung teringat hari pertama ia mengajar. Ia yang memang penyayang anak-anak langsung jatuh cinta pada tingkah laku usil namun menggemaskan murid-muridnya. Memang ada kalanya mereka menghabiskan kesabaran Tenten, namun dengan kehadiran mereka, keseharian Tenten tidak pernah membosankan.

Seandainya gadis ini juga bisa bergabung dengan mereka. Tenten ingin melihat keusilan apa yang akan muridnya ajarkan kepada gadis ini.

Tunggu-

"Hei, aku punya ide. Bagaimana kalau-"

Dering telepon menghentikan pembicaraan Tenten.

Dering itu bukan berasal dari telepon genggam miliknya, tapi milik gadis di hadapannya.

Gadis itu langsung menjawab telepon setelah meminta izin kepada Tenten. Dengan sekali anggukan sambil tersenyum, Tenten mempersilakannya.

Ia menunggu beberapa menit hingga gadis itu selesai menelepon. Rasanya tidak sabar untuk mengajukan ide yang tiba-tiba muncul untuk ia tawarkan.

Tak lama kemudian, ia selesai. Menoleh kepada Tenten, wajahnya sedikit lebih bersinar dibandingkan tadi. Sepertinya ia dapat kabar baik.

"Nee-San bilang Nii-San pulang cepat hari ini. Ia menyuruhku pulang sekarang karena Nii-San mengajak kami makan malam di luar sebagai sambutan selamat datang."

"Benarkah? Wah, senang sekali. Ayo, akan kuantar sampai rumah. Bahaya kalau kamu pulang sendiri."

Ia kembali menggeleng, menolak tawaran Tenten dengan halus, "Tidak apa, sudah ada yang jemput kok. Ia sudah menunggu di dekat supermarket ujung jalan sana."

Tenten mengangguk, "Baiklah, kalau begitu. Hati-hati pulangnya. Aku senang sekali berbincang denganmu. Sampaikan salamku pada keluargamu ya." Ucapnya riang.

Gadis itu balas mengangguk, "Tentu. Aku juga senang bisa ngobrol denganmu. Oh, terima kasih juga susu cokelatnya. Enak sekali."

Sembari beranjak untuk berdiri, ia ingat ada hal yang tadi hendak disampaikan oleh wanita yang lebih tua darinya itu.

"Oh, iya. Tadi sepertinya ada yang mau kau katakan sebelum aku mengangkat telepon. Apa ya?"

Sesaat Tenten lupa akan tawarannya.

"Hampir saja aku lupa. Begini, aku punya saran, bagaimana kalau kamu sekolah di tempatku mengajar? Aku mengajar matematika dan juga wali kelas 2-3 di SMP Konoha. Tempatnya tidak jauh dari sini kok. Memang tidak sehebat SMP Musashi dan Hibiya sih, tapi sekolah itu termasuk yang terbaik di daerah sini. Klubnya juga banyak dan hampir semua punya prestasi."

Tanpa hentinya dan dengan antusias, Tenten mengungkapkan seluruh keunggulan sekolah tempatnya mengajar selayaknya agen asuransi menawarkan jasa perusahaan.

"Ditambah, aku rasa kamu harus bertemu dengan murid-murid ajarku, kamu pasti menyukai mereka."

Seperti halnya aku menyayangi mereka.

Gadis yang ada dihadapannya mengerjap seketika Tenten selesai berbicara.

Sadar ia tidak mendapat respon, Tenten jadi merasa malu sendiri.

Tapi kemudian, remaja itu tersenyum.

"Sepertinya tidak akan jadi hari yang membosankan jika ada guru yang meyenangkan sepertimu. Aku akan coba bicara dengan Nii-San."

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya.

"Namaku Hyuuga Hanabi."

Tenten menyambut uluran tangan gadis itu dan menjabatnya.

"Namaku Tenten. Senang berkenalan denganmu."

Untuk kesekian kalinya, gadis bernama Hanabi itu memperlihatkan senyuman yang cerah.

"Mohon bimbingannya, Tenten-Sensei."

.

.

.

Keesokan paginya, kepala staf pengajar memberi kabar bahwa akan ada murid baru di kelas Tenten.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

With love,

Dinda308