Aku takkan bisa bertahan.

Napasnya tercekat. Pria itu merasakan sekujur tubuhnya menegang. Perhatiannya terpaku pada rasa sakit yang menghujam pusat dadanya. Namun, syarafnya masih bekerja dengan cukup baik karena ia masih bisa merasakan cairan hangat yang perlahan merembes keluar dari lukanya. Mulutnya setengah terbuka, mengais sisa-sisa udara untuk mengisi paru-parunya. Pandangannya mengabur.

Aku akan mati disini.

Udara malam yang begitu dinginnya tiba-tiba saja tak terasa di kulitnya. Seolah hampa, tak merasakan apa-apa. Tangan kirinya yang sedari tadi memegang pena di meja bergerak lemah. Ia seperti menuliskan sesuatu disana. Ia menulis secepat yang ia bisa.

Seorang penembak berpakaian serba hitam di hadapannya terbelalak melihat tindakan korbannya. Tangannya yang masih mengacungkan pistol itu kembali menarik pelatuknya dan kembali memuntahkan peluru yang super cepatnya menembus kepala pria di depannya itu. Suara tembakan menggema di tengah malam yang sunyi. Hening.

Tak lama, samar terdengar alunan nyaring sirene mobil polisi dari kejauhan. Sial, umpatnya. Mungkin polisi sudah mengambil langkah menuju kemari ketika mendengar suara tembakan yang pertama sebelumnya. Ia harus cepat-cepat pergi dari sini.

Sang pelaku langsung menghilang dari tempat itu, tak memeriksa apakah targetnya sudah benar-benar mati atau belum. Ia pikir, sebuah tembakan di kepala takkan memungkinkan bagi seseorang untuk tetap hidup.

Tapi ia salah. Setidaknya ia tidak sepenuhnya benar.

Pria itu tahu kepalanya tak lagi utuh. Ada lubang kecil di dahinya yang menimbulkan rasa sakit yang sangat berarti. Ia masih bernapas, untuk saat ini. Sekuat daya ia melanjutkan tulisannya di meja itu. Ia harus melakukannya walau kini ia berada di ujung kematiannya. Ia tahu ia takkan bertahan lebih dari 2 menit.

Maaf, tuan, saya tidak sanggup lagi.

Matanya menutup perlahan. Semuanya kembali ke esensi alam. Tapi ia tak bisa tenang di alam sana sebelum Tuan memaafkannya.


.

.

Katekyo Hitman Reborn! All property and characters belongs to Amano Akira

Fanfiction named Decode absolutely belongs to Kanra Cozart

Warning. This fanfiction contains typos, bit Shounen-Ai, some Out-of-Character-ness, Alternative Universe, Mature Crime, bit conspiracy, etc. Because just readers who know exactly about it.

If you don't wanna read, I'm sure that you know where the 'back button' is.

ENJOY

.

.

1st Chapter: Starting Night


Hibari Kyouya baru saja terlelap di sofanya ketika ia mendengar bel di pintunya berbunyi. Ia mengerjap dan baru sadar kalau TV-nya belum dimatikan. Buku tebal yang sebelumnya ia baca juga tergeletak begitu saja di lantai marmer kamarnya. Tangannya meraih ponselnya yang dengan malangnya juga terjatuh ke lantai dan melihat penunjuk waktu yang tertera disana, pukul 12.40.

Lagi, bel kembali berbunyi mengusiknya. Ia belum juga beringsut bangun dari sofa hitamnya yang empuk itu. Tamu macam apa yang berkunjung tengah malam begini? Sudah begitu, suara bel terdengar mendesak seolah yang memencet tak sabaran dan ingin segera menemuinya. Inilah yang membuat Hibari jengkel plus geram.

Enggan, pria berusia 25 tahun itu menyeret kaki-kakinya menuju pintu. Sesekali ia menguap dan menggosok-gosok matanya. Kepalanya terasa semakin pusing, bukan hanya karena flu yang sedang dialaminya tetapi juga karena tingkah-tingkah tolol manusia disekitarnya yang terus saja mengganggunya.

Kenapa pintu itu terasa jauh sekali?

Tangan Hibari sudah menggenggam daun pintu, nyaris tanpa suara. Lelaki yang tengah bertelanjang dada itu memposisikan dirinya sedemikian rupa di balik pintu, dengan punggung menempel pada dinding di salah satu sisi pintu. Indera pendengarannya turut pula dipertajam, seolah berusaha mengetahui gerak-gerik orang di luar sana dengan mengais-ngais bunyi pelan. Sikap waspadanya ini harus dimaklumi karena ia memanglah seorang agen sebuah organisasi rahasia. Seseorang di balik pintu ini bisa saja langsung menyerangnya. Hidupnya dengan pekerjaan seperti itu memang tidak pernah menemui kata tenang.

Ada 2 orang?

Setelah Hibari mengasumsikan bahwa tak ada gerakan mencurigakan dari 'tamu-tamu'-nya ini, ia membuka pintu perlahan. Ekspresi waspadanya lenyap tergantikan kembali oleh air mukanya yang datar.

Kini, dihadapannya berdiri dua orang lelaki dengan seragam polisi lengkap. Namun, sepertinya tanpa senjata. Hibari masih saja belum berucap apa-apa. Wajahnya bahkan belum melunak walau kini ia tengah berhadapan dengan polisi. Tatapannya masih menginterupsi, seolah tak suka dengan kehadiran polisi-polisi ini. Toh, karena ia memang benar-benar tidak suka.

"Anda Hibari Kyouya?" tanya salah seorang dari mereka. Hibari tak menjawab, ia yakin para polisi ini sudah tahu pasti ke rumah siapa mereka sedang bertamu malam ini.

"Kami dari kepolisian. Kami ditugaskan untuk membawa anda." kata seorang polisi yang satunya lagi sambil menunjukkan kartu pengenal dan surat perintah tanpa diminta Hibari.

"…membawaku?" gumam Hibari. Ia sedikit terkejut karena menurut sepengetahuannya, ia belum melakukan tindakan kriminal apa-apa hari ini. Polisi muda itu mengangguk sopan.

Oke, dari caranya bicara dan mengangguk barusan, jelas-jelas Hibari tidak dibawa ke kantor polisi dengan status sebagai 'yang tidak terhormat'. Biasanya polisi akan cenderung lebih kasar jika hendak menggiring tersangka ke kantornya. Atau mungkin, ini tipuan?

"…ke kantor polisi?" tanya Hibari, memicingkan matanya yang memang sudah sipit. Kali ini polisi muda itu tak mengangguk. Inilah point yang ingin dipastikan Hibari. Saat polisi itu mengatakan bahwa ia ditugaskan untuk membawanya, polisi itu tak mengatakan dengan tepat kemana ia akan membawanya.

"Maaf, tapi kami tak punya banyak waktu. Ini sangat mendesak." Sahut polisi itu.

"Aku takkan ikut jika kau tak memberi tahu alasanmu." Kata Hibari. Benar, bisa saja ini jebakan, bukan?

"Percayalah. Kami takkan membawa anda ke dalam masalah." Kata polisi itu sedikit gugup.

Namun, nyatanya aku akan berada dalam masalah jika kau mengatakannya seperti itu, herbivore. Hibari semakin curiga.

Hening. Tak lama, Hibari mundur dan menutup pintu apartemennya dan menguncinya. Ia lelah dan ingin tidur, tapi kenapa muncul polisi menyebalkan yang tiba-tiba mengatakan bahwa ia harus ikut dengannya? Hibari tak lagi peduli, lebih tepatnya, ia tak pernah peduli.

"Saya akan menceritakan inti permasalahannya, Hibari-san. Tolonglah anda buka pintunya." Kata polisi itu, rupanya ia masih berdiri disana.

Hibari membuka pintu dan kepalanya menyembul sedikit dari dalam. "Oke,"

Polisi itu berdeham samar, dan sedikit menunduk. "Bukankah anda salah satu pasien seorang dokter bernama Shamal? Dia baru saja dibunuh tepat tengah malam tadi."

Dibunuh? Lantas apa peduliku?, batin Hibari yang masih jengkel.

Tak mendengar sahutan apapun dari Hibari, polisi muda itu mulai tampak lelah, "Kami membutuhkan pemikiran anda, Hibari-san. Ada sesuatu yang ditinggalkan korban dan kami yakin itu berhubungan dengan anda."

Berhubungan denganku?

"Secara langsung?" tanya Hibari, lagi-lagi berusaha memastikan.

"Sebaiknya anda ikut kami saja. Mungkin anda akan mengerti jika sudah berada di TKP."

.

.

.

Dan, disinilah ia sekarang. Di sebuah klinik praktek dokter Shamal yang sering ia datangi itu. Ada tiga mobil polisi terparkir di depannya. Suasananya cukup mencekam karena penerangan disini sangat minim, cahaya hanya bersumber dari senter-senter polisi, dan pecahan-pecahan kaca berserakan dimana-mana. Jika dilihat dari situasinya, pasti baru saja terjadi insiden penembakan di tempat ini.

Yang mengejutkan adalah, tak ada orang-orang berkerumun di sekitar TKP. Mungkin polisi-polisi ini tak bergerak terlalu mencolok.

"Silahkan masuk," polisi muda yang tadi segera menunjukkan jalan pada Hibari menuju ke ruangan dokter itu.

"Selamat malam, Hibari-san."

Belum ada tiga detik Hibari berada di ruangan ini, sudah ada suara yang menyapanya. Ia menoleh dan mendapati sesosok pria yang kira-kira sebaya dengannya mengenakan seragam polisi lengkap. Pria itu terlihat ramah dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Hibari.

"Hn, selamat malam." Jawab Hibari datar sambil menyambut jabatan tangan polisi itu.

"Saya Yamamoto Takeshi, wakil Kapten kepolisian sektor Tokyo." Kata polisi itu tersenyum ramah. Hibari mengangguk kecil.

"Ah.. langsung saja. Maaf jika kami sedikit mengganggu Anda." Kata Yamamoto.

Sangat mengganggu, batin Hibari.

"Dr. Shamal dibunuh malam ini sekitar pukul 11.58. Dan setelah diperiksa kami mendapati beberapa kejanggalan pada kasus kali ini." Kata wakil Kapten polisi itu.

"…Dan berkaitan denganku?" tanya Hibari.

"Sebenarnya itu baru kemungkinan. Kami tidak menuduh anda. Kami memanggil anda kemari karena kami mendapat informasi bahwa pukul 7 malam sebelumnya anda sempat kesini."

"Ya, lalu?"

"Interpol memberi tahu kami bahwa sebelum datang kesini anda sempat menelepon Dr. Shamal."

"Interpol, ya?" Tentu saja.

Interpol, organisasi internasional yang punya mata dimana-mana. Dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, Interpol bisa saja mengetahui setiap tamu yang sedang check-in di seluruh hotel di dunia saat ini. Kekuasaannya juga termasuk kategori fantastis karena mampu memblokir berbagai akses kabur bagi para kriminal. Kendaraan, uang, tempat menginap, dan yang terpenting, komunikasi. Bahkan tak butuh waktu lima detik bagi Interpol untuk mengetahui percakapan Hibari dengan Shamal sore tadi. Tinggal hubungi Interpol, masukkan beberapa data relevan, dan semua terungkap.

Hebat, batin Hibari mengejek, privasi sudah hilang dari muka bumi.

Hibari beralih memandang mayat yang tampaknya belum disentuh sama sekali di hadapannya. Jasad dokter itu masih terduduk di kursinya di balik meja kerjanya. Sepertinya sesuai dengan perkataan polisi bernama Yamamoto itu tadi, memang ada kejanggalan disini. Posisi mayat dokter itu tak lazim, seolah direkayasa. Tangan dokter itu masih kukuh di atas meja, memegang pena. Sepertinya ia mati kaku.

"Anda menemukan sesuatu?" tanya Yamamoto, melirik ke arah Hibari yang kini berjalan mendekati korban.

"Ya. Posisinya aneh." Jawab Hibari masih sedatar sebelumnya. Ia melangkah mendekati mayat sang dokter.

Yamamoto mengangguk, "Kami juga berpikir begitu."

"Selain tangannya.." kata Hibari, nada bicaranya seolah menerka-nerka, "… posisi kepalanya juga aneh. Lihat.." Hibari menunjuk ke kepala dokter Shamal itu. "Luka tembaknya ada tepat di depan kepalanya, tapi kenapa ia menoleh ke kanan? Seharusnya jika ia benar-benar ditembak dari arah depan berarti posisinya tidak seperti ini, melainkan mendongak ke atas."

Lagi-lagi Yamamoto mengangguk, dalam hatinya ia benar-benar kagum pada Hibari yang baru beberapa menit berada disini dan langsung menyadari kejanggalan kasus ini. "Tepat sekali. Jadi kami berasumsi bahwa ada seseuatu yang ingin disampaikan dokter Shamal menjelang detik-detik kematiannya. Bisa saja posisi anehnya ini merupakan sebuah petunjuk."

Hibari memicingkan matanya. Petunjuk? Petunjuk apa?

Memang aneh jika seorang dokter biasa dibunuh dengan cara seperti di film-film begini. Ia ditembak mati. Tak hanya di kepalanya, sepertinya peluru juga menembus pusat dadanya. Pembunuhnya pasti benar-benar menginginkan kematian dokter yang satu ini. Tak wajar. Pasti dokter ini punya sesuatu yang sebegitu-pentingnya. Atau, dokter ini tahu sesuatu yang dapat mengancam sang pembunuh itu sendiri.

Hibari menyeringai sunyi, Sangat klasik.

Alih-alih memikirkan hal itu, perhatian Hibari kini tertuju pada tangan kiri sang dokter yang masih menggenggam pena. Ia mendekatkan wajahnya pada secarik kertas di bawah tangan sang dokter tanpa menyentuhnya. Tulisannya berantakan, nyaris tak terbaca. Hanya berupa guratan-guratan hampir putus yang tak lurus satu sama lainnya. Namun, Hibari merasa setiap lekuk garis-garis itu mengandung maknanya tersendiri. Jika dilihat dari situasi, dokter Shamal ini pastilah bukan orang bodoh yang masih sempat-sempatnya menulis tulisan—yang terlihat—tak penting begini ketika ia nyaris meregang nyawa. Selain itu, walau guratan-guratan itu tak sama, penulisannya sangat tertata. Barisannya jelas rapi terlihat. Ini sebuah kode.

Tapi lagi-lagi hal yang membuat Hibari merasa ragu untuk membantu polisi-polisi ini adalah: Apa kaitan antara dirinya dengan kasus ini?

Polisi itu hanya menyebut telepon, datang kesini dan Interpol. Hibari merasa dirinya dan dokter itu tak melakukan percakapan telepon yang melampaui batas kewajaran yang dapat melanggar hukum. Lantas? Jika Hibari boleh berburuk sangka, ia pikir mereka tak punya alasan kuat untuk memaksanya membantu dengan suka rela. Mungkin lebih tepatnya, mereka tak punya cukup 'kekuatan' untuk memberitahukan alasan mereka yang sebenarnya pada Hibari. Konyol.

Hanya menelepon seorang dokter ketika sedang ia flu bisa menyeretnya ke dalam kasus pembunuhan semacam ini? Sekali lagi, konyol.

Ada sesuatu disini, batin Hibari penuh selidik. Aku merasa seperti sedang dicurigai.

Lamunan Hibari buyar ketika ia melihat salah seorang polisi turut mendekati mayat sang dokter dan mengambil secarik kertas itu dengan menggunakan sarung tangan medis, "Ini salah satu bukti, pak. Kita harus memeriksanya." Ujarnya sambil menoleh pada wakil Kapten Yamamoto.

Yamamoto mengangguk dan mulai mencermati apa yang tertera di atas kertas tersebut. Alisnya mengeryit, seolah agak kesulitan menelaah makna guratan-guratan abnormal itu. Hibari menghampirinya dan ikut memerhatikan kertas berbercak darah di tangan sang wakil Kapten.

"Ini seperti.. kode." Gumam Yamamoto. Sekilas Hibari meliriknya.

"Ini memang sebuah kode." Tukas Hibari datar. Dan sedetik kemudian matanya terbelalak.

"Tapi ini terlihat seperti huruf-huruf asing.." lagi-lagi Yamamoto bergumam. Sementara Hibari masih sibuk dengan sekelebat pikirannya yang baru saja terlintas.

Jika dilihat dari sudut pandang Yamamoto, mungkin tulisan-tulisan ini hanya berupa sekumpulan huruf asing. Tapi tidak begitu jika dilihat dari sudut pandang Hibari yang berposisi di hadapan Yamamoto. Hibari jadi melihat kebalikan dari yang Yamamoto lihat. Dari sini, menurut penglihatan Hibari, guratan-guratan itu terlihat jelas seperti susunan huruf yang dikombinasikan dengan angka dan membentuk suatu kode yang utuh terbaca.

Secepat kilat Hibari mengeluarkan sepotong kertas kecil dan sebuah pulpen yang selalu ia bawa dari balik jas hitamnya. Kemudian pria berambut hitam pekat itu menuliskan apa yang ia lihat. Sebuah kode acak yang tak terdaftar.

A2EFGH2I2N2O4PS3T2W

Kode macam apa ini?

Hibari segera menunjukkan apa yang ia tulis pada Yamamoto. Wakil Kapten muda itu malah semakin mengeryit.

"A-apa ini?" tanya Yamamoto ragu. Lalu ia mengamankan bukti itu ke dalam sebuah plastik bening khusus untuk menyimpan bukti.

Hibari hanya mengedikkan bahunya singkat. Matanya terpicing saat memerhatikan kode itu. Asing. Aneh.

Iseng, ia mencoba mengutak-atik kode itu sendiri. Sementara akhirnya Yamamoto dan polisi-polisi lainnya sibuk mencari barang bukti pelaku di sekitar TKP.

Setelah beberapa menit berlalu, Yamamoto kembali menghampiri Hibari. Sebuah senyum tenang masih menghiasi wajahnya. Lensa kembar matanya menatap apa yang sedang digeluti Hibari, "Apa yang anda dapatkan, Hibari-san?"

Hibari menyeringai puas, "Kau bisa lihat ini." Katanya kemudian seraya memberikan potongan kertasnya pada Yamamoto. Jelas, Hibari dapat menangkap keterkejutan di wajah Yamamoto ketika wakil Kapten polisi itu melihat apa yang ia tuliskan di atas kertas tersebut.

A 2 E F G H 2 I 2 N 2 O 4 P S 3 T 2 W

AAEFGHHIINNOOOOPSSSTTW

APOTHEOSIS OF WASHINGTON

Yamamoto terperangah tak percaya. Kertas kecil yang penuh dengan coretan terkaan Hibari itu sanggup membuatnya tak tahu harus mengatakan apa. Ternyata, untuk menjadikan sederet huruf dan angka itu menjadi sebuah kata yang padu tidaklah butuh waktu lama bagi seorang Hibari Kyouya.

Dari sederet kode berupa huruf dan angka itu hanya ditulis ulang. Dengan cara angka di belakang huruf menandakan bahwa huruf itu dutulis sesuai dengan nominal angka di belakangnya. Misalnya huruf A, diikuti angka 2, berarti ditulis menjadi AA, begitu seterusnya. Dan setelah kode terbebas dari angka, akan terlihat jelas bahwa huruf-huruf itu diurut secara alfabetik. Dari huruf-huruf tersebut dapat tersusun berbagai kata baru. Kita akrab menyebutnya sebagai anagram.

Sang wakil Kapten polisi menggeleng tak percaya, kemudian menatap Hibari yang masih saja berekspresi datar, "Lalu apa maksudnya 'Apotheosis of Washington' ini? Apa kita harus pergi ke Amerika untuk mencari pelakunya?" tanya Yamamoto.

Apotheosis of Washington. Salah satu contoh gaya lukisan terbaik di Amerika dalam bidang akademis. Lukisan dinding besar ini terdapat di langit-langit Gedung Capitol yang berkubah agung hasil dari rancangan Dr. William Thornton, walau tidak sepenuhnya karena telah dimodifikasi dan disesuaikan. Gedung Capitol, selain menjadi pusat pemerintahan federal Amerika Serikat, juga menjadi museum bagi karya-karya seni yang tak ternilai harganya hingga kini.

Kedua kalinya Hibari mengedikkan bahu seolah ia tak peduli. Sekali lagi, ia memang tak peduli pada kasus ini sejak awal. Ia sudah membantu, itu pun kalau memecahkan satu kode saja bisa dibilang membantu. Hibari sadar, kode yang baru saja ia pecahkan merupakan awal dari kode-kode lain yang masih menunggu untuk diungkap dalam kasus ini.

"Permisi, tapi jujur, aku belum sepenuhnya bersedia membantu kalian. Aku bahkan bukan bagian dari kepolisian." Kata Hibari menyadarkan Yamamoto.

"… Maaf sebelumnya, Hibari-san.. kami tak meminta kesediaan anda untuk membantu kami dalam kasus ini, tapi kami mengharuskan anda untuk melakukannya.." ujar Yamamoto dengan nada tegas dan terkesan agak dingin.

Kini giliran Hibari mengeryit, "Cih, begitukah?"

Yamamoto mengangguk, "Kami sangat yakin, anda adalah orang yang banyak pengalaman tentang pekerjaan seperti ini, bukan?" lalu terlontarlah sebuah pertanyaan retoris dengan beberapa penekanan mencolok di beberapa kata.

Bagi Hibari, perkataan Yamamoto tadi seolah berarti: Kami sangat tahu, anda adalah orang yang banyak pengalaman memecahkan kode tentang pekerjaan-menjadi-agen-organisasi-rahasia-yang-sering-terlibat-kasus-pembunuhan seperti ini, bukan?

Sial, pekerjaan asliku telah diketahui, batin Hibari. Rupanya mereka menyadapku.

Dan kemudian, yang Hibari tahu, ia memang tak diberi pilihan lain, "Baiklah."

Yamamoto kembali tersenyum ramah, "Mohon bantuannya," katanya seraya membungkuk kecil. Hibari mendengus.

"Oh, ya.. bisa kita teruskan, pak?" kata seorang polisi muda yang sedari tadi menyimak pembicaraan atasannya dengan Hibari.

"Oh, tentu." Tukas Yamamoto, "Jadi, Hibari-san.. walau kode ini terpecahkan, kita masih belum tahu apa arti yang sesungguhnya. Belum lagi tentang posisi kepalanya yang tidak wajar ini.."

Pria bernama depan Kyouya itu terlihat termenung. Kanan. Arah kanan. Pasti ada maksud tertentu dari arah kanan yang ditunjukkan oleh mayat dokter Shamal ini. Hibari kembali mendekati jasad itu dan mengamati. Mungkin saja sang dokter menunjuk sesuatu di sisi kanannya. Ketika Hibari mengikuti arah yang dituju dokter Shamal, ia tak mendapati apapun yang berarti di sana. Hanya ada dinding putih yang ditempeli sebuah poster.. tunggu. Poster itu..

Mungkin Hibari tak sadar kalau selama beberapa detik ia menahan napas. Mata biru-kelabunya tak lepas dari poster yang tertempel di dinding itu. Ukurannya tak begitu besar, hanya seukuran poster biasa, bahkan terlihat lebih kecil. Poster itu berupa lukisan lingkaran sempurna dengan tubuh seorang lelaki bugil dengan kedua tangan dan kaki terentang di dalamnya. The Vitruvian Man.

"… Yamamoto-san.." panggil Hibari, nyaris menggumam, tanpa berbalik.

"Ya?" sahut Yamamoto antusias.

"Tentunya kau tahu Leonardo da Vinci, kan?" kata Hibari lagi. Masih belum memandang Yamamoto yang kini berjalan menghampirinya.

"Tentu. Memangnya ada apa?"

Hibari tak berkata-kata untuk menjawab. Pria itu hanya mengedikkan dagunya ke arah The Vitruvian Man yang terpampang di sana. Yamamoto mengikuti arah yang dimaksud Hibari dan ia mulai tahu apa yang menjadi jawaban atas pertanyaannya barusan.

Apa yang pertama kali terlintas di benak kita jika mendengar nama sang mahaguru, Leonardo da Vinci? Beberapa akan menjawab Mona Lisa. Ya, begitu pula dengan Hibari Kyouya. Sedetik ketika ia melihat lukisan Manusia Vitruvian karya da Vinci itu, ia langsung mengingat lukisan tersohor Mona Lisa yang juga merupakan karya tersohor da Vinci juga yang kini berada di Musee du Louvre, Perancis.

Setelah beberapa detik sunyi menguasai, Hibari akhirnya menoleh dan menatap Yamamoto, "Kurasa aku tahu siapa orang yang harus kita cari setelah ini."

.

.

.

End of Chapter

.

.

.

A/N: Hai, haloo.. *nyengir*

Maaf, fanfic ini panjang dan aneh sangat. Plothole, menurut saya. Dan, saya hanya ingin mengingatkan readers, beberapa informasi mengenai organisasi, tempat, tokoh dan lain-lain ada yang benar-benar berdasarkan fakta sesuai dari beberapa sumber yang saya baca sendiri. Beberapanya (?) lagi ada yang ngarang bebas. Hehe.. namanya juga fanfiksi, kan?

Sebenarnya, chapter 1 ini masih panjang lagi. Tapi saya memutuskan untuk mencukupinya sampai sini biar readers nggak bosan baca chapter ini karena kepanjangan.. lanjutannya chapter ini jelas saya pindahin ke chapter 2-nya :3 oh iya! Pairing (entah bisa disebut pairing atau nggak)-nya juga belum nampak disini, ya? Hehe xD

Yah, semoga fanfiksi ini bisa diterima dengan baik di fandom KHR Indo, yaa? Amiin.. Ah! Terima kasih sudah membaca, jangan lupa RnR, No Flame, yaa~~

Sampai jumpa di chapter selanjutnya~

27082012