.

Banyak yang bilang bahwa ia adalah orang yang beruntung. Ia berasal dari sebuah keluarga kaya pemilik perusahaan raksasa yang bergerak di bidang fashion. Sejak belia, ia sudah dipersiapkan untuk memegang kuasa sebagai pemimpin perusahaan generasi ketiga.

Para pengelana malam berkata bahwa ia penjudi ulung dengan sejuta pesona yang mampu menjerat jalang manapun hanya dengan tatapan matanya.

Menurut sepupunya, ia adalah seorang bajingan.

Kata ayahnya, ia boleh menjadi bajingan semaunya, asalkan di kantor ia bersikap profesional.

Menurut dirinya sendiri, ia adalah potongan-potongan puzzle yang tertata rapi, namun kehilangan satu bagian. Lebih tepatnya, sejak awal ia memang tidak memiliki potongan terakhir dari dirinya.

Menurut potongan terakhir-nya, Kim Taehyung adalah orang yang diberkati.

Diberkati?

Tegaskan itu lagi. Setelah empat tahun terakhir tidak bertemu dengan seseorang yang kerap menemani malamnya, hari ini ia melihatnya tanpa sengaja. Namja yang dulu selalu mendesah di bawahnya terlihat begitu mempesona dengan balutan sweater coklat susu dan celana panjang hitam. Canvas slip-on berwarna abu-abu gelap membalut kedua kakinya dan ia terlihat begitu sempurna.

Menggairahkan seperti biasanya.

Jeon Jungkook, satu-satunya yang benar-benar membuat Taehyung begitu terpana selama ia bertualang di dunia malam. Baby face manisnya, senyum gigi kelinci menawannya, kulit seputih susunya, dan desahan merdu yang melantunkan namanya, semua bagai dosa yang begitu sempurna. Mereka lama tak bersua hingga pewaris keluarga Kim tersenyum lebar seperti otang gila saat melihat Jungkook berbincang dengan barista di sebuah kedai kopi sederhana di kawasan pertokoan dekat pantai di Busan, berjarak sekitar satu blok dari hotel mewah tempatnya menginap.

Katakanlah Kim Taehyung benar-benar diberkati, begitu ia masuk ke kedai itu, Jungkook berdiri dari duduknya, memamerkan sebuah senyuman yang begitu ia damba, lalu saat melihat wajah tamu yang datang, senyum itu hilang seketika.

Mungkin Kim Taehyung memang diberkati, mungkin juga ia dihujani ketidakberuntungan dari dewa kesengsaraan karena sedetik setelah senyum manis itu terhapus dari bibir Jeon Jungkook, sesosok balita setengah berlari menubruk kaki jenjang pemuda yang dirindukannya.

Dengan senyum lebar dan panggilan yang ditujukan kepada sosok yang kini menghisap seluruh atensinya, bocah itu sukses menghancurkan dunia Kim Taehyung hanya dalam satu tarikan nafas.

"Momma!" pekiknya saat memeluk kaki Jungkook.

Detik itu juga, Taehyung mengutuk siapapun ayah dari setan kecil itu.

.

.

A fanfiction inspired by The Fourth Lesson on "Sweet Lesson":

"If you came as an unfinished piece of puzzle, I'd be the one to complete. So are you, the last piece of my puzzle."

Disclaimer: I own nothing except the story line and unrequited-love feelings toward Kim Taehyung and the Lesson

Genre: Romance, Hurt/ Comfort

Pair : Kim Taehyung x Jeon Jungkook

Rated: Not sure about the genre, but let's say it's M for the language and theme

Warning: OC for the setan kecil. Ambigu, typo tak tertahankan, m-preg (?)

.

.

"Puzzled"

Part I

"Sudah lama sekali ya." Taehyung mencoba membuka pembicaraan. Terlanjur senang karena bertemu kembali dengan Jungkook setelah sekian lama, ia tidak akan membiarkan apapun merusak harinya, termasuk setan kecil yang kini bergerak-gerak heboh di pangkuan pemuda bersurai madu yang duduk di hadapannya.

"Kwonnie… makan yang tenang." gumam Jungkook mengabaikan Taehyung. Ia malah sibuk mengusap bibir bocah bermata bulat yang tengah mengunyah cheese cake-nya berantakan. Setelah mendapat angukan dan pout dari setan kecil yang dicurigai sebagai putranya, barulah pemuda Jeon menatap namja yang lebih tua. "Ahh, maaf. Dia terlalu bersemangat memakan camilannya."

Taehyung mengangguk kaku. Ia menyisir helaian hitamnya ke belakang setelah meletakkan cangkir cortado yang barusan ia sesap di atas meja. Penyandang marga Kim itu meminta Jungkook untuk menemaninya begitu tahu bahwa yang lebih muda adalah pemilik dari kedai kopi yang ia kunjungi. Tidak tahu malu, memang. Tapi, siapa yang peduli?

"Jadi… dia?" Taehyung menunjuk bocah yang sibuk mengunyah di hadapannya dengan dagu.

"Dia putraku."

Senyum lebar di bibir Jungkook benar-benar meruntuhkan pijakan seorang Kim Taehyung.

Hanya itu.

"Kwonnie, perkenalkan dirimu."

Balita di pangkuan Jungkook menggeleng, ia malah mengusekkan kepalanya ke dada pemudabersurai madu, lalu menenggelamkan wajahnya disana, membuat sweater coklat Jungkook kotor terkena cake yang tadi menempel di pipi Kwonnie. Bukannya marah, Jeon muda malah terkekeh, kemudian menyelipkan kedua tangannya di bawah ketiak putranya, mengangkatnya perlahan sebelum mencium pipi gembilnya satu per satu.

"Apa yang momma bilang tentang anak yang baik?" tanyanya dengan sabar.

"Uhh… memberi salam." kedua mata bulat Kwonnie berkedip lucu, bibirnya masih mengerucut.

Jungkook tersenyum bangga, ia membalik tubuh putranya agar menghadap Taehyung, lalu kembali mendudukkannya. Tangan kirinya memegang perut Kwonnie sementara yang kanan kengusap kepalanya. "Jadi, apa yang harus Kwonnie lakukan sekarang?"

"Uhh, halo Paman. Namaku Kwonnie, umurku tiga." masih mengerucutkan bibirnya, balita itu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu menoleh ke sang ibunda untuk memastikan apakah ia menunjukkan jumlah yang pas.

Jungkook tersenyum, dengan telaten ia membantu putranya untuk mengangkat jari manisnya juga, agar jemari yang diacungkannya berjumlah tiga. Setelahnya, Kwonnie tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi susu bagian depannya yang sudah tumbuh rapi. Senyumnya begitu manis sampai-sampai Taehyung melupakan pijakannya yang telah remuk.

"Oh, hai. Aku Taehyung."

Kwonnie mengangguk beberapa kali, terlihat lucu dan menggemaskan. Setelah itu dia kembali sibuk dengan cheese cake yang masih tersisa setengah.

"Dia kidal?" tanya Kim muda saat tanpa sengaja memperhatikan kegiatan makan bocah berantakan yang memegang sendok dengan tangan kirinya.

Jungkook mengangguk. Sebelah tangannya memainkan pipi Kwonnie yang bergerak-gerak karena sedang mengunyah.

Tanpa sadar, Kim Taehyung tersenyum. Jungkook dengan sweater coklatnya, dan si setan kecil dengan kaos lengan panjang berwarna baby blue bergambar mickey mouse di bagian depan benar-benar terlihat seperti duplikat. Bedanya, hidung mungil Kwonnie agak meruncing di bagian ujung, sementara milik momma-nya sedikit membulat. Taehyung berani bertaruh, kalau sudah besar nanti, hidung si setan akan lebih mancung ketimbang sang momma. Bentuk bibirnya tidak begitu mirip dengan bentuk bibir Jungkook. Pemuda Kim tidak yakin, tapi ia bersumpah pernah melihatnya di suatu tempat.

"Kau tidak ingin mencoba cake di kedaiku?" tanya yang lebih muda membuyarkan lamunan calon pewaris perusahaan Kim Enterprise. Senyum masih terpatri di bibirnya, entah mengapa yang diajak bicara merasa ada yang berbeda.

"Tidak, terima kasih."

"Cake-nya momma sangat enak. Paman Tae harus makan."

Jungkook terkekeh mendengarkan celotehan putra semata wayangnya yang sudah menghabiskan suapan terakhirnya.

"Kwonnie mau lagi, boleh?"

Jeon Jungkook menggeleng ringan lalu menarik hidung mungil Kwonnie. "Tidak. Kau sudah menghabiskan sepotong besar cheese cake, tidak ada kue lagi hari ini."

Si balita mencebikkan bibirnya seraya melancarkan tatapan anak anjing yang terlihat begitu melas. Rasanya Taehyung ingin menarik kedua pipinya gemas.

"Kook, berikan saja sepotong lagi. Kurasa dia masih lapar."

Kwonnie berbinar mendengar ucapan teman barunya. Ia tersenyum lebar ke arah Paman Tae, lalu mengacungkan kedua jempolnya susah payah. Taehyung terbahak sementara Jungkook tetap dengan pendiriannya. Si balita mengerang protes.

Di sore yang terkutuk itu, Kim Taehyung benar-benar tidak memiliki kesempatan sedetikpun untuk mengutarakan kerinduannya kepada pemuda Jeon. Kwonnie sangat menggemaskan, sungguh. Namun Taehyung mengumpatinya karena terus-terusan berceloteh mengenai kegemarannya menggambar, keahliannya menghabiskan kue tanpa sisa, juga kehebatan dirinya yang sudah berhenti mengompol, ditambah betapa fasihnya ia mengucapkan huruf r di usianya yang baru tiga. Kalau boleh jujur, bocah itu memang pandai. Karenanya, Jungkook terus-terusan tersenyum, Taehyung suka bagian itu.

Sialnya, ia tersenyum karena ulah makhluk menyebalkan yang menjadi sumber dari berjuta pertanyaan yang gagal Taehyung lontarkan.

Kau sudah menikah?

Dengan siapa?

Siapa ayah setan kecil ini?

Kenapa kau seenaknya berhenti waktu itu?

Apa yang kau lakukan selama tiga tahun ini?

"Brengsek!" umpatan Taehyung akhirnya terlontar bebas begitu ia kembali ke kamar di hotel mewahnya. Perangainya kembali menjadi seperti biasanya. Ia membanting pintu sekuat tenaga, tangannya langsung merogoh saku untuk mengambil ponsel.

Taehyung menghubungi sepupu yang juga merupakan orang kepercayaannya.

"Ya?" gumam sauara di seberang malas.

"Kau lama sekali, aku hampir mati."

Telinga Taehyung hampir tuli mendengar tawa keras sepupunya yang menggema.

"Kau mau aku menghabiskan waktu dengan menjelaskan, atau kau mau to the point mengatakan apa tujuanmu menghubungiku?"

Pemuda bersurai jelaga membuang nafasnya kasar. Ia memutuskan untuk mengabaikan egonya sesaat. Percuma juga buang-buang waktu untuk menghujam telinga sepupu malasnya dengan berbagai umpatan.

"Aku butuh bantuan, hyung."

Kali ini kekehan ringan yang menyapa gendang telinga Taehyung. Ia sadar betul bahwa dirinya memanggil Min Yoongi dengan sebutan hyung hanya jika dalam situasi tertentu, seperti saat pertemuan keluarga besar atau saat yang lebih muda butuh bantuan.

"Katakan." gumam Yoongi singkat. Sejujurnya ia juga tipe yang malas basa-basi.

"Kau ingat Jungkook? Jeon Jungkook."

Selama beberapa saat, hanya keheningan yang menemani Taehyung, sampai akhirnya penyandang marga Min yang sedang berada di Seoul kembali membuka suara. "Jalangmu? Yang bekerja sebagai pelacur pribadimu selama setahun? Yang tiba-tiba menghentikan kontrak secara sepihak dan menghilang begitu saja? Ada apa dengannya?"

Taehyung menghela nafas setelah menjatuhkan dirinya di atas ranjang king size di kamar pribadinya. Tangan kanannya terulur untuk memijit pelipisnya yang terasa pusing. "Hari ini aku bertemu dengannya."

"Serius?" Yoongi terdengar antusias. Taehyung tahu itu. Bagaimanapun juga, si jalang adalah satu dari sedikit yang bisa menghadapi kemarahan seorang Min Yoongi hanya dengan sebuah senyuman.

Dulu, Jungkook datang pada Tuan Muda Kim, menjual dirinya yang saat itu masih belum terjamah dengan harga selangit, menggunakan alasan untuk pengobatan kakaknya. Dan siapa yang bisa menolak wajah polos dengan tubuh sempurna seorang Jeon Jungkook? Orang itu pasti bukan Kim Taehyung, karena malam setelah Taehyung menandatangani nota pembelian atas Jeon Jungkook, ia langsung menggagahinya tanpa ampun.

Awalnya, sang Tuan Muda memang hanya tertarik menjadikannya sex partner, namun ternyata Jungkook lumayan berguna untuk meredam sisi liar seorang Kim Taehyung. Menurut Min Yoongi, Kim junior tidak pernah bermain wanita semenjak ia memiliki Jungkook. Pergi ke club pun ia jarang, apa lagi berjudi dan minum-minum. Kim muda jadi lebih suka meneguk alkohol di rumah dengan Jungkook yang melayai, dalam berbagai artian.

Setahun itu waktu yang cepat, dan Jungkook memutuskan untuk menyudahi kegiatannya menjual diri, satu bulan setelah sang kakakyang mati-matian coba disembuhkannya akhirnya meninggal dunia.

Pemuda Jeon begitu pandai. Sangat. Sehingga ia berpamitan saat mengantarkan Taehyung ke bandara. Seenaknya ia mengucapkan selamat tinggal kepada sang Tuan Muda, membalikkan badan begitu saja, dan berjalan menjauh dengan langkah tegas tanpa sekalipun menoleh.

Berteriak? Kim Taehyung tidak segila itu untuk membuat keributan di bandara.

Mengejarnya? Omong kosong. Ia harus segera berangkat ke Dubai untuk mengunjungi proyeknya yang akan segera dibuka di sana.

Dan satu-satunya yang dapat ia lakukan hanya memandang kepergiannya, sedang dirinya juga harus segera pergi meninggalkan Korea.

"Tae?" gumam pemuda berkulit pucat mengacaukan lamunan sepupunya.

Sial, mengingat saat itu membuat Taehyung kesal saja.

"Aku tidak yakin, tapi kau banyak berubah saat bersamanya. Aku suka itu. Dan sejujurnya kau terlihat kacau begitu kita kembali dari Dubai dan kau benar-benar tidak mendapati Jungkook di rumahmu." suara di seberang sana menjeda selama beberapa saat. "Katakan padaku, apa yang bisa kulakukan untukmu."

Taehyung terdiam selama beberapa saat. Yoongi tahu benar apa yang dilakukannya selama empat tahun ini tanpa Jungkook, dan memang hanya padanya Taehyung bisa bergantung di saat-saat seperti ini.

"Aku ingin kau mencari tahu dengan siapa Jungkook menjalin hubungan setelah dia berhenti bekerja padaku. Hyung…" Taehyung menutup matanya sejenak, mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan. "Aku tidak sengaja mengunjungi kedai kopi miliknya, coffee shop kecil dengan suasana hangat dan nyaman. Kau tahu dia bersama siapa?"

Yang ditanya hanya diam saja. Ia tahu sepupunya mangajukan pertanyaan retorik yang benar-benar tidak membutuhkan jawaban.

"Kwonnie. Setan kecil. Jungkook bilang itu putranya. Aku tidak percaya ini. Setahun penuh bersamaku, dan dia bisa begitu saja melupakanku? Brengsek! Aku akan menghajar siapapun ayah dari setan itu. Berani-beraninya dia mengambil milikku. Jeon Jungkook itu propertiku, asal kau tahu."

Penyandang marga Min terdengar mendengus. Ia menyaguhi untuk mencarikan informasi yang sepupunya inginkan. Ia juga mewanti-wanti agar namja bermata tajam itu tidak bertindak gegabah. Kalau memang Jungkook sudah bersama orang lain, tidak seharusnya Kim Taehyung mengusiknya. Dan Taehyung tidak bisa menjawab walau hanya mengatakan 'ya'.

Malam itu Taehyung tidak bisa tidur, padahal paginya ia harus menemui salah satu investor di perusahaannya. Ia harus bersikap profesional untuk menyambut kedatangannya, menemaninya seharian untuk melihat proyek mereka yang akan dilaksanakan di Busan.

Sejujurnya Taehyung benci kegiatan yang satu ini.

.

.

Selama seminggu kemudian, Kim Taehyung disibukkan dengan proyeknya. Ia turun tangan untuk mengawasi, sekaligus menemani model-model untuk majalah edisi musim panas yang rencananya akan beredar tidak hanya di Korea Selatan, namun juga di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Karenanya, sang pewaris benar-benar ingin memastikan semuanya sempurna.

Beberapa kali ia menyempatkan diri untuk membeli kopi di kedai Jungkook sebelum atau usai dari lokasi pemotretan. Taehyung benar-benar mewajibkan diri untuk melakukan pendekatan kepada pemuda manis-nya itu. Sejujurnya ia tahu Jungkook merasa sedikit risih. Sayangnya, Kim muda terlalu berambisi untuk mempedulikan reaksi defensif yang dilayangkan pemilik surai madu.

Lagipula bocah gendut cerewet penunggu kedai suka sekali setiap Taehyung berkunjung, jadi ia bisa menggunakan itu sebagai alasan. Mereka telah menjadi teman sejak usaha Paman Kim membujuk sang momma untuk memberi Kwonnie kue ekstra, walau berakhir gagal. Setidaknya, mereka adalah teman menurut si bocah.

Hari berikutnya, Taehyung langsung mengunjungi kedai kopi milik mantan pelacurnya begitu kegiatan menyiksanya selesai. Ia baru saja makan siang sekaligus menghadiri pesta kecil-kecilan yang dihadiri seluruh kru dan mereka yang terlibat untuk proyek majalah edisi musim panas. Majalahnya belum selesai digarap, namun ia memutuskan untuk mengadakan pesta itu sesaat sebelum beberapa model dari US kembali ke negaranya. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih dan menunjukkan ramah tamahnya sebagai tuan rumah.

Ia masih mengenakan pakaian formal, lengkap dengan jas dan sepatu pantofel saat pergi ke kedai. Jungkook pernah bilang bahwa pria yang berusia enam tahun lebih tua darinya itu terlihat seribu kali lebih tampan dengan pakaian kerja. Ia mengatakannya sambil menahan senyum dengan pipi yang merona.

Mengingatnya saja sukses membuat pewaris Kim membayangkan reaksi Jeon muda saat melihatnya nanti.

Sialnya, kedai sedang sangat ramai, dan Jeon Jungkook terlihat sangat sibuk bersama seorang barista untuk menyiapkan pesanan, sementara dua orang pelayan mondar-mandir melayani pelanggan. Semua meja penuh dan Taehyung tidak suka ini.

"Ahh, kau datang lagi." sapa Jungkook begitu Taehyung melangkah mendekati meja tempatnya bekerja. Ia bahkan tidak menyadari betapa berbedanya penampilan Taehyung hari ini. Atau lebih tepatnya, Jungkook tidak peduli.

"Aku tidak bisa menemanimu hari ini."

"Tidak masalah. Aku hanya ingin berkunjung. Kwonnie tidak bersamamu?"

Jika Taehyung menyebut balita itu sebagai setan kecil, maka dirinya pastilah iblis. Ia mendeklarasikan bahwa bocah menggemaskan itu menyebalkan, namun malah menggunakannya sebagai alasan agar bisa datang ke tempat ini.

Jungkook menghentikan aktifitasnya menata kue sejenak. Ia menatap Taehyung. "Kau ingin bertemu dengannya?"

Taehyung mengangguk canggung. Sejujurnya ia ingin menemui Jungkook, bukan si bocah cerewet itu.

"Dia ada di belakang." Jungkook menunjuk sebuah pintu di belakangnya dengan dagu, lalu kembali fokus dengan aktifitasnya.

Mungkin, memang Kim Taehyung tidak pernah diberkati.

Kalau begini, sama saja Jungkook seolah memberinya izin untuk menemui si bocah tanpa sang momma mengawasi. Hilang sudah harapannya untuk ngobrol bersama namja Jeon. Sebagai mantan pelacur seorang Kim Taehyung, Jungkook terlihat kelewat santai saat membiarkan mantan tuannya bertemu dengan putranya. Berdua saja. Padahal mereka sudah lama sekali tidak bertemu. Bagaimana kalau si bejat Taehyung menculik bocahnya, lalu membuangnya ke laut?

Malas-malasan, Taehyung berjalan melewati pintu itu, masuk ke sebuah ruangan dengan sofa nyaman dan meja berkaki pendek berada di tengah-tengahnya. Di sudut lain ruangan, ada televisi berukuran sedang yang sedang menayangkan siaran kartun dimana seekor pinguin dan beberapa hewan lainnya sedang bernyanyi. Terdengar sebuah suara cempreng menyanyikan lirik yang sama dengan irama seadanya.

Pemilik marga Kim mengikuti nalurinya untuk mencari sumber saura, dan ia menemukan sesosok makhluk mencurigakan tengah menggoyang-goyangkan pantatnya yang gendut dengan kepala yang masuk ke kulkas.

Taehyung tertawa, dan itu sukses membuat balita berpipi gembil mengeluarkan kepalanya dari dalam kulkas, menatap horor ke arah pria dewasa di belakangnya dengan mata yang membola. Ia langsung marah-marah begitu menyadari sosok yang mengagetkannya adalah teman baru-nya.

"Paman Taehyuuuuuuuung! Kau mengagetkanku!" ia berteriak protes dengan vokal u panjang sekali ketika melafalkan nama si paman. Kwonnie menggembungkan pipinya dan memasang wajah marah yang menggemaskan.

Taehyung mengusak kepalanya, membuat rambut dengan potongan seperti batok kelapa itu berantakan. "Salahmu bersembunyi di kulkas. Apa yang sedang kau lakukan, hm?"

"Uhh.. lepaskan!" tangan mugil itu menepis lengan Taehyung. "Aku sedang mencari pisang. Momma bilang dia menyimpannya di kulkas. Tapi aku tidak menemukannya sama sekali."

Taehyung mengeryit, berusaha menengok isi kulkas yang penuh dengan berbagai macam buah dan sayur. Sayangnya, benar-benar tidak ada pisang. Ia malah melihat sepotong besar black forest dan beberapa cupcakes. "Kau tidak mau makan kue saja?"

Bocah yang mengenakan kaos kuning cerah dan celana pendek coklat itu menggeleng pelan dengan wajah yang sedih.

"Kenapa?" Taehyung mengambil sebuah cupcake dengan topping buah strawberry dan krim, lalu mengangkat tubuh Kwonnie dan membawanya duduk di sofa.

"Momma bilang aku hanya boleh makan satu. Tadi aku sudah makan. Nanti momma marah-marah. Nanti mukanya seram."

Taehyung terkekeh, memindahkan cupcake di tangannya ke tangan si balita. "Nanti biar paman yang bilang, jadi momma tidak akan marah padamu."

Setan kecil mengangguk bersemangat, dan langsung memakan kuenya lahap. Kesempatan memakan kue lebih tidak boleh disia-siakan.

Rasanya aneh. Benar-benar aneh. Taehyung memanggil jalangnya dengan sebutan momma, sebagaimana si bocah gendut memanggilnya. Dan bibirnya langsung terasa kebas.

Setelahnya, mereka hanya menoton televisi dengan balita yang bernyanyi seadanya, dan orang dewasa yang celingukan mengamati isi ruang keluarga Jungkook. Ia mengeryit keheranan saat tak mendapati foto selain yang menunjukkan wajah Kwonnie atau Jungkook. Ia jadi bertambah penasaran, siapa sebenarnya ayah dari si setan ini.

"Hei, gendut. Dimana ayahmu?"

Kwonnie menghentikan aktivitas menonton televisinya, lalu mendongak ke samping untuk menatap Paman Tae. Wajahnya terlihat sedih, matanya mulai berkaca-kaca. "Uhh.."

"Kenapa? Ayahmu tidak pernah pulang?" Katakanlah Taehyung benar-benar seorang bajingan karena mengucapkan hal seperti itu kepada seorang anak kecil.

Mata bocah itu benar-benar berair sekarang. Tak berapa lama, ia terisak.

Kim Taehyung merasa panik. Ia sungguh khawatir kalau-kalau Jungkook memergokinya seperti ini. Bisa hancur image-nya.

"Hei, jangan menangis." Taehyung mengusap pipi gembil Kwonnie dengan sapu tangannya. Ia merasa ragu, sangat. Namun naluri membuatnya memajukan wajah, lalu mengecup singkat kening si bocah. Mengabaikan gelanyar aneh yang menyelimuti dadanya, ia berucap. "Maafkan paman, oke? Paman tidak akan bilang begitu lagi."

Kwonnie menggeleng cepat. Ia masih belum mau berhenti. Dengan suara yang bergetar, ia berucap, "Kangen.. poppaa…"

Dada pria bermarga Kim terasa nyeri. Entah mengapa.

"Momma bilang, poppa bekerja jauh-jauh. Tapi tidak pulang-pulang."

Taehyung mengangguk saja. Bingung harus bereaksi bagaimana. Ia masih mengusap-usap pipi si setan yang belum berhenti menangis.

"Momma akan sedih kalau Kwonnie bertanya kapan poppa pulang. Nanti momma menangis kalau mau tidur. Kwonnie tidak suka momma menangis."

"Kwonnie pernah bertemu poppa?"

Yang ditanya hanya menggeleng.

"Ya sudah, jangan menangis lagi. Sekarang 'kan ada Paman." Taehyung tersenyum getir. Setengahnya karena Jungkook benar-benar memiliki seseorang, setengahnya karena kasihan kepada bocah yang bahkan tidak tahu siapa ayahnnya. Dalam hati ia mengutuk siapapun yang tega meninggalkan keluarganya hanya untuk bekerja.

Tanpa sepengetahuan mereka, seseorang menyandarkan tubuhnya lemas di balik pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan kedai kopi Jeon.

.

Taehyung berpamitan pulang beberapa saat setelah Jungkook masuk ke ruang keluarga dan menyajikan latte untuknya, juga segelas susu untuk Kwonnie. Sebagai lelaki, ia benar-benar menepati janjinya untuk bilang kepada Jungkook bahwa dirinya lah yang membuat Kwonnie memakan sebuah cupcake yang disimpan di kulkas.

Awalnya pemuda Jeon memasang wajah marah, namun ia mengusap lembut kepala Kwonnie dan meminta maaf karena ia lupa kalau pisang kesukaan putranya sudah habis. Ia menganggapnya impas dengan catatan, lain kali tidak boleh diulangi. Paling tidak, Kwonnie harus bilang dulu padanya.

.

.

Kim Taehyung benar-benar bingung dengan dirinya sendiri. Harusnya, pagi setelah seluruh kliennya meninggalkan Busan, ia segera bertolak ke Seoul untuk menangani beberapa urusan. Setelah itu, ia diharuskan berangkat ke Jepang untuk untuk menilik kantor majalah fashion yang berada di bawah nama perusahaannya. Nyatanya, ia malah memperpanjang waktu tinggalnya di Busan. Ia sungguh membuang-buang waktu selama seminggu penuh untuk berjalan-jalan di tepi pantai, mengamati langit sore, dan kegiatan wajibnya adalah mengunjungi kedai kopi Jeon.

Ia tak peduli dengan apa yang jalang-nya pikirkan karena kunjungannya yang setiap hari itu. Yang jelas, Kim muda ingin bertemu dengannya, memandang wajahnya dan mendengar suaranya. Kalau sedang sial, Jungkook malah akan menyuruh putra semata wayangnya untuk menemani, lebih tepatnya, merepotkan Paman Tae.

Seperti Senin ini, lagi-lagi Jungkook sangat sibuk, sedangkan Kwonnie cemberut di pojok kedai karena sang momma sejak tadi mengabaikannya. Taehyung yang melihatnya langsung mendekat saja. Toh, Jungkook pasti akan menyarankan ia agar duduk di meja yang sama dengan si setan kecil.

"Jagoan, apa yang kau lakukan?" sejak membuatnya menangis hari itu, penyandang marga Kim selalu memanggil si bocah dengan sebutan-sebutan yang memberi semangat. Tak pernah lagi ia mengatai gendut dan sebagainya.

Kwonnie hanya melirik Taehyung sekilas. Ia lalu kembali fokus dengan crayon di tangan kirinya, juga buku gambar yang diletakkan di meja. Bibirnya mengerucut.

"Hei, paman bertanya padamu." telunjuk kanan Taehyung dengan kasual menyentuh ujung hidung si bocah. "Ada yang bisa paman bantu?"

"Tidak bisa menggambar mobil." Sepasang bola mata bulat itu menatap Kim Taehyung penuh harap. Ia menyentuh gambar tiga manusia lidi di kertasnya satu per satu, dimulai dari yang paling kanan, yang tengah, lalu terakhir yang kiri. "Aku sudah gambar momma, Kwonniedan poppa, tapi tidak bisa gambar mobil. Poppa pasti keren kalau menyetir mobil keren."

Taehyung tersenyum saja. Alih-alih merasa kesal karena si bocah membawa-bawa ayahnya yang, entah-siapa-itu dan dipanggilnya poppa, Taehyung malah memegangi tangan kiri Kwonnie, menuntunnya menggores guratan-guratan sederhana yang akhirnya membentuk sebuah mobil lucu dengan dua lampu depan yang diberi bulatan hitam di tengah-tengahnya, terlihat seperti sepasang mata yang besar.

Bocah itu tersenyum lebar. Menaruh crayon-nya, lalu mengangkat kertasnya tinggi-tinggi dengan kedua tangan. Bibirnya tak berhenti tersenyum seolah baru saja menciptakan sebuah masterpiece yang begitu sempurna. Padahal hanya tiga stick men dan sebuah mobil sederhana, namun kebahagiaan yang terpancar di wajahnya begitu nyata.

Mau tak mau, Taehyung tersenyum juga. Tangan kanannya terulur untuk mengusap puncak kepala Kwonnie.

"Senang?"

"Terima kasih, Paman." Kwonnie mengangguk cepat. "Akan kutunjukkan momma."

Bocah itu lalu melompat turun dari kursinya. Ia berlari kecil ke arah ibunya. Mereka terlihat benar-benar serasi, sepasang ibu dan anak yang bahagia. Taehyung tidak mendengar apa yang Jungkook katakan, namun namja bersurai madu dengan gigi kelinci yang mengintip ketika tersenyum itu tertawa renyah, bibirnya bergerak-gerak, matanya berbinar bahagia saat memeluk gemas putranya.

Sial.

Kim Taehyung semakin menginginkannya.

Beberapa saat kemudian, Kwonnie berjalan ke arahnya dengan langkah-langkahnya yang kecil. Tangan kanannya memegang masterpiece pertamanya, sedang tangan kiri membawa piring berisi cake entah-apaberwarna hijau.

Taehyung terkekeh. Balita itu terlihat begitu kepayahan, sangat menggemaskan. Kwonnie tersenyum sangat lebar saat mata bulatnya melihat pria bersurai kelam menunjukkan ibu jari kanannya, seolah memberi semangat agar ia cepat sampai. Si rambut batok setengah berlari ke meja Paman Kim, terlihat bersemangat sampai-sampai ia tak memperhatikan langkahnya. Tubuhnya limbung saat ujung kaki kanannya tersandung bagian tumit sepatu kirinya.

Kwonnie terjungkal ke depan. Piring di tangannya menghantam lantai hingga pecah berhamburan kemana-mana. Karya kebanggaannya menimpa kuenya yang jatuh ke lantai.

"Astaga." Taehyung terperanjat, ia langsung bangkit dari duduknya, berlari menghampiri balita yang mulai mendudukkan diri dengan dahinya yang memerah, "Hei, tidak apa-apa, Jagoan."

Kwonnie mencebikkan bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca.

Mereka berdua menjadi pusat perhatian, tapi Taehyung tidak peduli. Pusat dunianya berada pada setan kecil yang entah bagaimana kini terlihat seperti bayi malaikat yang baru lahir.

Tangannya meraba tubuh Kwonnie, memastikan tidak ada satupun yang berdarah, entah karena terjatuh atau karena terkena pecahan kaca. "Tidak apa-apa. Kwonnie hebat, kau tidak terluka."

"Gambarku…" suaranya bergetar. Tangannya terulur mencoba meraih karya terbaiknya. Dan begitu benda itu dapat ia ambil, putra tunggal Jungkook menangis keras sekali.

Gambar keluarganya rusak terkena noda kue disana-sini.

Taehyung panik.

Sangat panik.

"Tidak apa-apa. Nanti Kwonnie bisa menggambar yang baru. Jangan menangis, ya?" Ia berusaha menenangkannya, namun sepertinya percuma.

Bukannya diam, bocah itu menangis semakin keras. Ia mulai menjerit dengan wajahnya yang terlihat sangat kacau. Air mata menuruni pipinya yang memerah, ingusnya keluar, suaranya melengking seolah pita suaranya mau putus.

Sepasang lengan meraih Kwonnie, mengambilnya dari Taehyung.

Jungkook terlihat panik, kelewat panik untuk ukuran seorang ibu yang menghadapi anaknya yang menangis. Wajahnya ikut memerah dan Kim Taehyung bersumpah, ia pernah melihat Jungkook seperti itu. Ia tahu, pemuda bersurai madu tengah menahan tangisnya.

"Sayang, tidak apa-apa. Nanti kita buat lagi, ya?"

"Tidak mauuuu! Mo -mobilnyaa digambar Pama aaaann… tidak mau yang baru!" Kwonnie semakin menjerit, bahkan ia berontak. Tubuhnya mulai kejang dan saat itu juga, air mata lolos dari pelupuk Jungkook.

Pemuda itu tak lagi berkata kata, ia sibuk mengamati sekitar, dan tangannya terulur begitu saja untuk mengambil sendok yang terjatuh di lantai. Ia bahkan tak peduli ketika pecahan piring di sana menggores ujung telunjuknya. Dengan sangat berhati-hati, Jungkook memasukkan ujung sendoknya ke mulut Kwonnie. Wajahnya terlihat kacau saat merapalkan kata-kata penenang untuk putranya.

Jungkook melepaskan pegangannya pada sendok saat si balita menggigitnya kuat-kuat. Tubuhnya masih kejang-kejang dan Taehyung benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Semua pengunjung berhasil dibuat panik dengan kejadian ini dan dirinya hanya bisa memasang ekspresi blank tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Kook, ada ap -" seorang pria yang baru saja masuk ke kedai langsung menghampiri Jungkook. Ia memotong kalimatnya begitu melihat keadaan si balita. "Ayo ke rumah sakit. Kebetulan aku membawa mobil."

Jungkook menganguk saat pria bersurai coklat-pirang merangkul pundaknya. Memeluk Kwonnie erat, pemuda Jeon berjalan tergesa keluar dari kedainya.

"Gyeom, tolong kau urus tempat ini. Aku akan mengantar Jungkook ke rumah sakit. Mungkin malam ini dia tidak akan pulang, jadi tolong kau bawa saja kunci pintu rumah Jungkook."

Seorang pegawai berperawakan tinggi mengangguk saat pria yang bersama Jungkook berada di ambang pintu. Ia lalu keluar begitu saja meninggalkan kedai yang masih dalam keadaan kacau.

Taehyung menatap sekitar, menelusur seisi ruangan dengan tatapan nyalang saat gendang telinganya menangkap kata kasihan, tidak punya ayah, kambuh, dan operasi. Ia beranjak dan langsung menghampiri salah seorang barista, pemuda berperawakan tinggi yang tadi menyaguhi untuk mengurus sementara tempat ini.

"Hei, katakan padaku apa yang terjadi!" nada bicara Kim Taehyung terdengar sangat arogan. Persetan dengan sopan santun, ia hanya perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa setan kecil-nya bisa kejang begitu hanya karena menangis. Kenapa sampai dibawa ke rumah sakit. Dan begitu banyak kenapa yang lainnya.

Pegawai ber-name tag Kim Yugyeom itu menatap Taehyung penuh selidik, merasa heran."Kau tidak tahu?"

"Tahu apa?" potongnya cepat.

Yugyeom mendengus, berucap sarkastik. "Kupikir kau teman dekatnya Jungkook, sampai-sampai Kwonnie sangat menyukaimu. Ternyata kau bukan siapa-siapa."

Pemuda di hadapannya cari mati. Berani betul dia mengatai Kim Taehyung seperti itu. Walau sejujurnya, ucapan si Yugyeom berhasil menampar harga dirinya telak.

"Kwonnie menderita kelaian pada katup jantungnya sejak lahir. Dan sepertinya, itu kambuh karena dia menangis seperti tadi." si barista akhirnya bicara. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kasar. "Jungkook bekerja keras untuk mengumpulkan uang. Kau tahu sendiri, ayahnya Kwonnie yang brengsek itu tidak pernah kembali."

Dada Taehyung berdenyut nyeri. Ia tahu Jungkook-nya keras kepala. Bahkan si kepala batu membohongi putranya sendiri, mengatakan si bajingan bekerja di tempat yang jauh untuk mereka, sementara dirinya lah yang sebenarnya membanting tulang sendirian.

Tanpa mengucapkan apapun lagi, Taehyung pergi begitu saja membawa gambar setan kecil-nya yang kotor. Nanti, dia akan membersihkannya.

.

Kim Taehyung pergi ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan mobilnya setelah menaruh gambar buatan Kwonnie di kamar hotelnya, juga membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Ia tidak tahu kenapa, tapi rasanya ingin sekali memastikan si balita baik-baik saja. Bagaimanapun, kejadian itu berlangsung di depan matanya, dan saat itu ia tak bisa berbuat apa-apa.

"Permisi, apa ada pasien bernama Kwonnie di sini?" tanyanya dengan nada yang dibuat setenang mungkin. Ini sudah malam dan ia sungguh tidak ingin membuat masalah dengan bagian informasi.

"Maaf, bisa saya tahu nama lengkapnya?"

"Oh, itu -" pria yang mengenakan jaket tebal bercorak kotak-kotak, perpaduan antara warna hitam doff dan metalik itu memotong ucapannya sendiri. Mendadak ia merasa sagat bodoh.

Dirinya memang sangat bodoh sampai-sampai tidak tahu nama lengkap setan kecil yang mendeklarasikan diri sebagai temannya.

"Tuan?" tanya sang petugas membuyarkan lamunan Taehyung.

"Apa kau bisa mencarinya jika aku memberikan nama penanggung jawabnya?"

Petugas informasi mengeryit, namun ia mengangguk saja karena pria yang berdiri di depan mejanya terlihat tidak baik-baik saja. "Akan saya coba."

"Jungkook. Nama penanggung jawabnya adalah Jeon Jungkook."

Taehyung harus menunggu beberapa menit sampai akhirnya ia mendapat keterangan bahwa si gendut baru dipindahkan ke ruang rawat setelah sebelumnya berada di unit gawat darurat. Dan dirinya langsung berjalan tergesa menuju kamar tersebut.

Dari ujung lorong, ia melihat Jungkook keluar dari salah satu pintu, diikuti pria yang tadi mengantarkannya.

Taehyung menghentikan langkahnya.

"Kau yakin akan baik-baik saja?"

Jungkook mengangguk, setengah tersenyum saat tangan pria itu mengusap puncak kepalanya. "Dokter bilang kondisinya sudah stabil. Aku hanya perlu menungunya bangun. Kau bisa pulang, hyung."

"Kenapa dia menangis seperti itu? Akhir-akhir ini bahkan ia jarang sekali kambuh, kenapa bisa sampai kejang-kejang?"

"Gambar yang dibuatnya rusak." Jungkook terkekeh, walau begitu, gurat kesedihan terpancar jelas dari wajahnya. "Katanya itu gambar yang dibuat bersama teman-nya. Mungkin karena itu dia sangat sedih."

Pria yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana jeans selutut itu menghela nafas kasar. "Kook, Kwonnie tidak bisa terus-terusan mengkonsumsi obat-obatan. Kau tahu, dia masih sangat kecil. Aku takut ginjalnya akan bermasalah. Aku tahu ini beresiko, tapi kita bisa mencari rumah sakit dengan dokter terbaik di Korea Selatan untuk menangani operasinya. Tolong pikirkan ucapanku baik-baik."

"Terima kasih, hyung. Aku akan memikirkannya." namja bersurai madu kembali tersenyum, diikuti oleh pria yang berdiri di hadapannya. Tak berapa lama, pria itu pergi setelah berpamitan dan dengan seenaknya memberikan pelukan singkat kepada Jungkook.

Taehyung berjalan cepat menuju ruang rawat Kwonnie, bahkan mengabaikan pria yang tadi bersama Jungkook saat mereka saling berpapasan. Ia masuk begitu saja, sangat tidak sopan, saat pemuda Jeon hendak menutup pintu ruang rawat putranya.

Pria bersurai arang terengah, sedang pemuda dihadapannya memasang ekspresi terkejut.

"Apa dia baik-baik saja?"

Jungkook mengerjabkan matanya.

"Jungkook. Aku bertanya padamu."

Jungkook memejamkan matanya saat sepasang tangan meremat kedua pundaknya. Melihat ekspresi kesakitan itu, Taehyung melepaskannya.

"Maaf." gumamnya lirih.

Setelahnya mereka terdiam beberapa saat sampai yang lebih muda angkat bicara. "Dia baik."

Taehyung menunggu kejelasan lebih lanjut. Namun Jungkook memilih diam. Ia malah berjalan mendekati ranjang tempat putranya terlelap, kemudian duduk di kursi kayu yang disediakan.

Di tubuh mungil itu, terpasang selang infuse, alat bantu pernafasan dan alat rekam jantung. Mungkin, kondisinya masih perlu di pantau walau dokter mengatakan keadaannya mulai stabil.

"Sudah, itu saja?" nada bicara yang lebih tua naik. Mati-matian ia menahan diri agar tidak berteriak, bagaimanapun teman kecilnya sedang tidur.

Mendadak ia merasa marah.

Sangat.

Setiap hari dirinya berkunjung ke rumah Jungkook, bermain bersama putranya, tapi bisa-bisanya ia tidak diberitahu masalah sepenting ini. Bagaimana kalau Taehyung keceplosan berteriak dan mengagetkan bocah itu? Bagaimana kalau saat itu, saat dirinya membuat Kwonnie menangis karena menanyakan ayahnya, si bocah histeris hingga kejang-kejang?

"Brengsek." umpatnya begitu saja. Ia berjalan cepat ke arah Jungkook, lalu menyentak kasar pundaknya dari belakang hingga pemilik surai madu hampir terjengkang. "Itu saja yang bisa kau katakan padaku?"

Jungkook diam. Ia memilih membetulkan posisi duduknya, lalu kembali fokus memperhatikan putra semata wayangnya.

Emosi Kim muda semakin tersulut. "Bisa-bisanya kau merahasiakan ini dariku. Bagaimana kalau penyakitnya kambuh saat kami berdua saja? Bagaimana kalau dia menggigit lidahnya sampai putus saat kejang gara-gara aku tidak tahu apa yang terjadi?"

"Taehyung-sshi." potong Jungkook cepat. Ia berdiri dan langsung menyeret pria yang lebih tua menjauh dari ranjang putranya. "Kumohon, hentikan."

"Tidak akan, sampai kau menjelaskan apa maksudmu merahasiakan ini dariku."

"Memangnya siapa dirimu?" lagi-lagi pemuda Jeon memotong cepat. Ia menatap nyalang pria lebih tinggi yang berdiri di hadapannya.

Taehyung terdiam. Pertanyaan jalangnya benar-benar menusuk hingga membuatnya tak bisa mengatakan apapun.

"Hanya karena kau bersama putraku selama beberapa hari, lantas kau harus tahu semua tentang dirinya? Lalu apa yang akan kau lakukan setelah tahu dia seperti itu? Mengasihaninya? Tuan Kim, memangnya berapa lama lagi kau akan menjadi temannya dan tinggal di Busan? Di detik kau menginjakkan kakimu kembali ke Seoul, kau bahkan tidak akan ingat kalau kau pernah mengenalnya."

Mata Jungkook berkaca-kaca, nafasnya tak teratur saat bicara. Kim Taehyung jelas mengetahuinya.

"Berhenti bersikap sok peduli padanya. Dia akan baik-baik saja bersamaku."

"Baik-baik saja katamu? Kau bahkan tidak punya cukup uang untuk biaya operasinya. Bilang padaku berapa jumlah yang kau butuhkan, aku akan memberikannya. Jangan hanya berdiam dan menunggu suamimu yang bahkan tak pernah pulang itu."

Sedetik setelahnya, Taehyung baru menyadari bahwa ucapannya keterlaluan. Namun entah mengapa, ia bahkan tak bisa membawa dirinya sendiri untuk mengucapkan kata sesederhana maaf.

"Jangan bicara sembarangan." gumam Jungkook. Ia tersenyum hambar, dan setetes air benar-benar lolos dari matanya. "Pria bajingan itu bukan suamiku."

Dada Kim Taehyung mendadak nyeri. Rasanya sesak sekali.

"Ayahnya bukan suamiku." pemilik surai madu mendengus sekali, sepasang manik obsidiannya terlihat keruh. "Kwonnie tidak tahu ayahnya tidak akan pernah pulang. Aku membiarkannya begitu. Dan jangan coba-coba kau merusak apa yang sudah kusimpan rapi. Pulanglah ke Seoul dan jangan pernah kembali."

Baru saja beranjak satu langkah, sebuah tangan mencekal lengannya kuat, meremat kuat lengan Jungkook hingga membuatnya meringis kesakitan.

"Katakan padaku." gumam yang lebih tua dengan nafas yang memburu. "Beri tahu aku siapa ayahnya."

Jungkook menggeleng, berusaha melepaskan diri dari cegkeraman yang begitu menyakitinya. "Tidak. Aku ti -"

"Jeon Jungkook!"

"Uhh.. momma.."

Teriakan Taehyung berhasil mengusik Kwonnie, membuat bocah yang masih terlelap itu bergerak-gerak tidak nyaman sambil memanggil-manggil ibunya.

Kim Taehyung benar-benar seorang iblis. Ia malah mengeratkan cengkramannya dan semakin menatap obsidian Jungkook dengan sorot mengintimidasi.

"Lepaskan!" pekik Jungkook tertahan.

"Kalau kau ingin menenangkan putramu, beri tahu aku siapa ayahnya. Atau kau bisa terus bersikap keras kepala dan aku tidak akan peduli dengan apa yang terjadi padanya." pria bersurai gelap menunjuk si balita dengan dagunya.

Jungkook merasa ragu. Sangat. Namun Kwonnie-nya sedang sangat butuh dirinya, maka ia tidak boleh bersikap egois.

"Tengah malam." bisiknya, menyerah. "Berdirilah di depan pintu kedaiku dan kau akan bertemu dengannya."

Taehyung menepati janjinya untuk melepas Jungkook, dan pemuda itu langsung berlari mendekati ranjang putranya. Menenangkannya dengan usapan dan kecupan ringan di dahi. Ia sungguh mengacuhkan keberadaan pria yang dulu selalu menghangatkan ranjangnya.

Pewaris Kim Enterprise masih berdiri di sana. Dalam diam ia memastikan teman kecil-nya baik-baik saja. Tanpa aba-aba, ia ikut menghembuskan nafas lega usai melihat pemuda Jeon melakukan hal yang sama. Setelahnya, ia perlahan meninggalkan ruangan itu.

Masih ada beberapa jam sebelum tengah malam, namun Kim Taehyung tidak bisa menunda keinginannya untuk bertemu dengan si bajingan yang telah meninggalkan Jungkook, juga Kwonnie yang sedang sakit.

Ia mengendarai mobilnya bagai orang kesetanan. Sepasang maniknya melirik jam yang melingkar di tangan kirinya berulang-ulang. Sekali ini saja, Taehyung berharap waktu berjalan lebih cepat.

Ia benar-benar berdiri di depan pintu masuk kedai milik Jungkook yang terbuat dari kaca. Berkali-kali ia mengangkat lengan kirinya, memperhatikan jam, lalu mengumpat. Begitu terus ia lakukan berjam-jam sampai akhirnya jarum pendek dan jarum panjang jam analog-nya bersama-sama menunjuk angka dua belas. Taehyung mengumpat lagi.

Jeon Jungkook bukan seorang pembohong. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa Taehyung bisa bertemu dengan ayah putranya di depan kedai kopinya pada tengah malam hanya untuk membual.

Ia menghentakkan kakinya kesal. Hampir setengah jam lewat tengah malam, dan tidak ada seorangpun lewat di depan rumah yang bagian depannya dijadikan kedai oleh Jungkook. Baru saja ingin melontarkan makian. Ponsel pintar di saku Taehyung berdering. Ia langsung mengangkatnya tanpa repot-repot melihat siapa yang menelfon.

"Taehyung, kau masih bangun?" suara di seberang terdengar aneh dan ragu-ragu. Walau begitu, penyandang marga Kim tahu betul siapa pemiliknya.

"Menemukan sesuatu?" tanya yang lebih muda to the point. Ia masih kesal karena tidak menemui siapapun, dan Min Yoongi yang tengah menelfonnya adalah sasaran yang tepat untuk melampiaskan semuanya.

Helaan nafas berat diloloskan oleh sepupu Taehyung. "Kuharap kau baik-baik saja setelah ini."

"Katakan saja." Matanya masih mengamati sekeliling, dan tidak ada yang datang. Sekelebat pikiran yang mengatakan si bajingan akan keluar dari dalam rumah membuat Kim Taehyung membalikkan badannya.

Saat itu juga, nafasnya tercekat.

"Namanya Jeon Taekwon. Kau ingat nama itu?"

Yang ditanya hanya diam saja. Sibuk mengamati seseorang yang kini ia lihat dengan sangat jelas.

Bibirnya tersenyum meremehkan.

Meremehkan dirinya sendiri.

Pintu di hadapannya terbuat dari kaca berwarna gelap, dan dirinya berdiri tepat di bawah lampu depan rumah Jungkook.

Bayangan seseorang yang tengah menempelkan ponsel di telinga kirinya terlihat dengan sangat jelas di mata seorang Kim Taehyung.

"Kalau aku tidak salah ingat, saat kau bermain Truth or Dare dengannya, kau pernah mengaku akan menamai putra pertamamu dengan nama Taekwon."

Taehyung terkekeh ringan. Tangan kanannya terangkat, meremat surai kelamnya kuat-kuat.

"Usianya tiga tahun. Well, seminggu lagi adalah ulang tahunnya yang keempat. Kalau hitunganku tepat, Jungkook sudah memiliki bocah itu di perutnya, beberapa bulan terakhir sebelum dia berhenti. Tae, selama menjadi milikmu, Jungkook selalu berada di dekatmu. Kau tahu apa artinya?"

Kekehan Taehyung berubah menjadi suara tawa. "Sial! Dia benar-benar brengsek! Berani-beraninya menyuruhku datang ke sini hanya untuk membuatku menyadarinya."

"Taehyung, kau baik-baik saja!?"

Bukannya menjawab, Kim Taehyung malah mematikan sambungan. Ia membanting ponsel pintarnya begitu saja, lalu menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Matanya menatap nyalang pantulan dirinya yang terlihat jelas di pintu kaca kedai Jungkook.

Ia tertawa meremehkan. Merasa sangat bodoh karena berhasil dibodohi oleh jalangnya sendiri.

Merasa konyol karena bajingan yang selama ini ia maki-maki adalah dirinya sendiri.

"Kau benar-benar brengsek, Kim!"

Tapi Taehyung serius ketika bilang akan menghajar si bajingan. Maka ia melayangkan pukulan dengan tangan kanannya, menghantam refleksi dirinya kuat hingga pintu kaca itu hancur berkeping.

Taehyung meninggalkan tempat itu begitu saja, masih dengan pikiran kosong dan segala umpatan yang tertuju entah kepada siapa.

Tentu saja Jungkook tidak bilang padanya bahwa dirinya mengandung setan kecil di dalam perutnya dan lebih memilih meninggalkan Taehyung, lalu kabur entah kemana. Di dalam kontrak tertulis, Taehyung tidak mau memiliki keturunan dari pelacurnya. Dengan kata lain, Jungkook harus menggugurkan kandungannya jika sampai Kim muda mengetahui keadaannya saat itu.

Dan Jungkook melahirkan putranya sendirian, merawatnya, membesarkannya, semua tanpa pria Kim ketahui.

Dan dengan bodohnya, Taehyung memaksa Jungkook untuk memberitahunya siapa ayah yang tega mengabaikan Jungkook dan putranya.

"Kau benar-benar bodoh, Kim! Dasar bajingan!" umpatnya sambil tertawa saat menyetir mobilnya setengah sadar. Pikirannya benar-benar kacau. Bahkan tangannya yang berdarah karena menghantam kaca pun seolah tak berarti baginya.

Jungkook membencinya sekarang. Ia tahu itu.

Dan Kwonnie… apa yang akan dia lakukan kalau tahu ayahnya selama ini bahkan tidak sadar kalau dirinya memiliki seorang putra yang berjuang menghadapi kelainan katup jantung yang dibawa sejak lahir?

Taehyung butuh waktu untuk berpikir.

Dan mungkin beberapa botol alkohol, juga beberapa orang wanita dan pemuda manis akan membuat pikirannya jernih kembali.

.

.

.

.

TBC

.

.

Pertama kalinya bikin genre begini.

Tbh ini cerita udah lama tersimpan file-nya, tapi bingung mau dibuat series atau one shot. Dan akhirnya, diputuskan untuk dijadikan two shots.

Semoga readers suka *chuu

Terima kasih untuk dukungan dan review, serta semangat untuk menulis (terutama menulis thesis) yang readers berikan

Semoga Tiger segera lulus, aamiin…

Akhirnya, review please

Ig: kim_taemvan

Line: kimtaemvan

Love, Tiger