"Indonesia" dipakai buat percakapan langsung
"Indonesia" yang ini flashback
Indonesia yang ini fashback juga, tapi kalimat narasi.
'Indonesia' ini buat perkataan hati nurani..
"Indonesia" ng... ini apaan yah?
Seorang pemuda dengan rambut acak-acakan terlihat tengah duduk di meja makannya dan menatap ke luar jendela, dihadapannya terdapat secangkir kopi yang masih mengepul dan selembar koran pagi dengan bahasa asing.
Sorot matanya tak dapat dibaca, nafasnya dalam dan lama, tampak seperti mencoba menenangkan diri, sedangkan mulutnya berkali-kali menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.
Ia kemudian menyeruput kopi itu.
"Pahit"
Yah, tentu saja, siapa suruh buat kopi tubruk tanpa gula?
Ia kemudian berdiri, meninggalkan kopi yang masih panas itu serta koran pagi yang memiliki headnews sangat menarik dan dicetak besar-besar di halaman pertama;
THE DISSOLUTION OF INDONESIA.
.
"Selamat pagi, Kak"
.
Awake
Prolog: Pahit.
A Hetalia-Axis Power Fanfiction
Disclaimer: I own nothing, Himaruya Hidekazu own Hetalia
Warning: OC Fem!Indonesia, OC (mantan) Propinsi di Indonesia, Pembubaran RI, Pembentukan Negara baru, Alur membingungkan, gaje, OOC (?), genre gak jelas, typo(s), author baru di fondom Hetalia-Axis Power.
Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fiction ini, dan tidak bermaksud menyinggung pihak manapun, pun cerita ini tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyata.
.
.
Jakarta, 9 Juni
Seorang pemuda tersenyum menatap anak-anak kelas 3 sekolah dasar yang sedang belajar itu. Sungguh, dia sangat bersyukur bosnya mau memberikan waktu untuk refreshing dan memberi rekomendasi kepada mereka untuk mengisi waktu dengan mengajar di sekolah yang masih berstatus 'diakui' [1] dan menjadi satu dengan panti asuhan ini.
'Yah, walaupun hanya aku yang benar-benar mengajar sih...' Pikirnya sambil memandang ke lapangan di luar lewat jendela, dimana seorang pemuda yang sebaya dengannya sedang mengejar seorang bocah lelaki, dan seorang pemuda lainnnya berteduh dengan santainya di bawah pohon.
Sekarang kelas kesenian, ia, bertindak sebagai guru pengganti meminta anak-anak itu untuk menyanyikan lagu yang mereka suka. Mereka berusaha menyanyi sebaik mungkin di hadapannya, sang guru (pengganti) kehormatan di sekolah mereka, yang (hanya mereka ketahui sebagai) orang penting di pemerintahan.
Baiklah, pemuda itu juga sudah (banyak) berusaha; suara anak-anak ini hanya sepertiganya yang bisa didengar. Sisanya? Hanya Tuhan yang tahu makhluk apa yang tahan.
Ah, sekarang giliran anak itu, anak gadis manis dengan kulit kuning langsat dan rambut hitam mengkilat, mengingatkannya akan kakaknya sendiri.
Ralat, mantan kakaknya.
"Ayu, pengen nyanyi opo?"[2]
Yang ditanya tersenyum dan menjawab,"Tidak tahu judulnya kak, tapi lagunya bagus!"
"Oh ya? Coba nyanyikan."
Dan gadis kecil itu mulai mengambil nada, ia tidak menyanyikan tembang-tembang jawa seperti yang biasanya dia senandungkan, namun sebuah lagu yang, memang indah, dan menyentuh hati pendengarnya.
Terutama pemuda yang tadi dipanggilnya 'Kak'.
"...Sejak jaman purba, Terkenal makmurnya.."
"Hei, Yog. Mau kakak ceritakan tentang Kakek Majapahit tidak?"
Si pemuda tertegun. Suara gadis itu terdengar merdu, berbeda dengan suara toa anak lainnya.
Tapi kenapa harus lagu ini?
"Tanahnya yang kaya, Bagikan permata..."
Bagai permata? Ah, lebih, sejujurnya lebih indah dari permata.
"Kalau kamu tancapkan ranting itu disini sebulan lagi pasti tumbuh daunnya"
"Begitu ya kak?"
"Iya! Dan tanah inilah, Yog, dengan kesuburannya, lebih berharga dari permata."
"Jiwaku, tenagaku, Untuk Nusa Bangsa.."
Nusa Bangsa... bukan Negara kah?
"Sampai ke akhir dunia, Kubela Tanah Airku"
"Kalau begitu, kakak biar aku yang jaga!"
"Hm? Kenapa?"
"Sampai ke akhir dunia, Kucinta Tanah Airku"
"Kan kakak lebih berharga dari permata."
Gadis itu selesai bernyanyi, teman-temannya sontak bertepuk tangan riuh.
Seorang anak mengangkat tangannya.
"Kak Yoga, Sebenarnya itu lagu apa?"
Pemuda itu tersenyum.
"Hahahaha! Kamu ini lho Yog, Yog..."
"Tanah airku"
.
"Kak, bagaimana kabarmu?"
.
Beberapa anak kecil berlarian di halaman, seorang bocah tertawa dengan riang saat seorang pemuda menangkapnya dari belakang.
"Kena!"
"Ah! Kak Jaka curang nih!" Jerit si bocah ditengah gelaknya.
"Kakak curang! Kenapa hitungannya nggak sampai sepuluh? Kan aku belum sembunyi!"
"Haha! Ya, salahmu sendiri! Lagipula kakak kan nggak bisa lama-lama."
"Curang bagaimana?" Si pemuda menjawab dengan santai dibarengi senyumannya yang tak kunjung lepas.
"Kan tadi janjinya mau pake tutup mata!" Sahut si bocah dalam pelukannya.
"Kan kakak janjinya mau main seharian!"
Si pemuda tersenyum jahil. "Lho? Kakak kan sudah pakai"
Bocah itu cemberut. "Kalau penutup matanya dipakenya di leher sih, sama saja kak!"
"...Kakak, kapan kakak bebas buat main sama Jaka?"
Wajah cantik itu tampak terkejut, ia diam sampai pada akhirnya menjawab,
"...Besok, waktu kakak sudah merdeka"
Pemuda itu melepaskan pelukannya, menatap mata dengan iris sewarna kayu jati itu. Iris yang begitu mirip dengan miliknya, dengan milik mereka sendiri.
"... Jangan pergi ya kak?"
Si pemuda tersenyum sambil menutup matanya, mencoba menghindari kontak mata dengan anak itu, yang begitu mengingatkannya bagaimana dulu, ia pernah berada di posisi si anak. Dengan mata yang cerah dan begitu menuntut orang yang melihatnya untuk selalu membuatnya tersenyum.
Mata yang selalu berhasil membujuk mantan kakaknya untuk tersenyum.
"Dulu, kakak waktu main kejar-kejaran rame-rame sama kak Yoga nggak pake tutup mata tuh." Katanya.
Si anak mengenyritkan alis, "Rame-rame? Sama siapa aja kak? Sama saudaranya kakak?"
Senyum itu mengendur sedikit.
Mulut itu membentuk garis lengkung ke atas, kemudian terdengar tawa kecil darinya,
"Jangan nangis. Kakak kan masih disini, Jaka."
"Iya, sama saudara-saudaranya kakak."
.
"Kak, apa kakak masih tertawa?"
.
Pemuda berkaca mata itu duduk di bawah pohon yang rindang, dari sana ia dapat melihat seorang pemuda yang dikerubungi anak-anak kecil sedang tersenyum (Yang langka sekali, biasanya dia menyeringai saja) sambil dipaksa oleh para bocah itu untuk memakai penutup mata dengan baik dan benar, kemudian mengejar anak-anak itu lagi.
Sedangkan ia dapat melihat pemuda yang lainnya, melalui jendela, berada di dalam gedung sekolah, bertepuk tangan bersama anak-anak sekolah dasar itu sambil berkata sesutu, entah apa, ia tak dapat mendengarnya, masih dengan sebuah senyuman di wajahnya, seperti biasa. Yah, dia memang murah senyum.
Tapi ada yang sama di kedua senyum itu; ada sesuatu yang dipendam, dan dipaksakan. Sebuah kegetiran, kekecewaan, dan rasa bersalah.
"Kak Surya!"
Merasa dirinya dipanggil, si pemuda menolehkan kepalanya dan mendapati seorang anak, yang kira-kira berumur 12 tahun, dan bertubuh gendut sedang berlari ke arahnya.
Si pemuda tersenyum (Yang lebih mirip seringai jahil)"Kenopo 'mbul?" [3]
Si gendut manyun, "Aku cuman gemukan dikit kok kak."
"Sur, Makan yang banyak, nanti kamu kurus lho!"
"Aku kan cuman gemukan dikit kak!"
Pemuda itu tertawa lepas, kemudian mengacak-acak rambut si bocah tambun.
"Iya, iya. Terus kamu mau apa?"
"Gini kak," Si anak mulai,"Tadi aku browsing di Internet, terus.."
"Tunggu, tunggu..." Sela si pemuda, "Kamu bukannya harus belajar buat ulangan besok ya? Kok malah dolanan Internet? Yok opo kon iki?" [4]
"Besok ya besok kak, sekarang kita nikmati waktu browsing yang ada."
"Hei!"
"Besok kakak nggak kemana-kemana kan?"
yang ditanya hanya tersenyum.
"Dengerin dulu kak! Terus ada artikel tentang 'Spice Island' [5] katanya 'Spice Island' itu kaya banget lho kak! Sampai-sampai dijuluki 'Serpihan Surga yang Jatuh ke Bumi'! "
Senyum itu turun sedikit.
"Ayolah kak, minta ke Maneer-sialan itu-hari libur! Sehariiii saja!"
Senyum itu turun sedikit, "Sur, maafin kakak yah?"
Si anak yang sedang merengek itu tertegun.
"Oh," Katanya, berusaha terlihat tidak peduli, "Terus, kenapa mbul?"
"Kenapa kak?"
"Spice Island itu dimana kak? Aku pingin banget pergi ke sana kalau sudah besar!"
Senyum itu jatuh, digantikan oleh sorot mata yang tidak bisa dibaca.
"Karena kita belum bebas"
Pemuda itu akhirnya tersenyum sama seperti dua orang pemuda lainnya di sekolah yang merangkap panti asuhan itu.
Pahit.
"...Kamu... pingin aku jawab apa mbul?"
.
"Kak, kakak dimana?"
.
TBC to chapter 1
Footnotes.
[1] Tingkatan status sekolah di pemerintah, mulai dari terdaftar, diakui, sampai disetarakan. (kayaknya sih..).
[2] "Ayu ingin menyanyi apa?" Bahasa jawa.
[3] "Kenapa 'ndut?" 'mbul itu maksudnya gembul.
[4] "... kok malah main internet? Bagaimana sih kamu ini?" Bahasa jawa juga, logat Surabaya.
[5] Pulau rempah-rempah, mengacu ke pulau-pulau tropis yang didatangi bangsa-bangsa Eropa buat nyari rempah-rempah, disini saya lebih mengacu ke Nusantara, yah, Indonesia gitu...
Author sarap mau ngomog:
Gyaaa! Apa-apaan ini! THE DISSOLUTION OF INDONESIA!? Hell! Gimana mungkin negeri seindah ini, seAWESOME ini bisa di dissolve!?
Tapi beneran, Author sebenernya sakit banget hatinya karena harus mendissolve Indonesia demi keperluan cerita. Maaf ya, jangan bakar saya, karena ini cuman fanfiction... it's just for fun...
Disini saya buat perwakilan propinsi itu ibukota propinsinya, jadi jangan bingung yah...
Huhuhu... Author lagi galau tingkat dewa makanya buat fic-fic galau macam begini...
Oh ya, ini mau di multichap... doain aja biar kelar yah...
Btw, lagu yang dinyanyiin Ayu di atas itu 'Tanah Air' karya R. Iskak, bukan punya saya juga.
Saya akan berusaha apdet kilat.
Yang lagi galau,
TifaCAT
Notes:
OC yang tampil di prolog:
Yoga: Yogyakarta
Jaka: Jakarta
Surya: Surabaya
Dan anak-anak panti asuhan.
