Dedicated for SHIKAINO_FC

ShadowMindFather

Disclaimer: bukahkah seluruh karakter dalam Naruto milik Masashi Kishimoto?

Genre: Family, Romance

Main Chara: Ino Yamanaka and Shikamaru Nara

Warning: author amatiran, abal tak terkira, banyak kesalahan dalam penulisan, payah EYD, bergelimpungan typo(s), hanya berharap maklum dari para readers.

Summary: dedicated for SHIKAINO_FC in Shadow Mind Father events – kumpulan fic One-Shoot ShikaIno dalam Event SMF / ada apa dengan rompi jounin sang ayah? Apa akan terjadi sesuatu hal yang mengejutkan dari sang putra dengan pakaian khas ninja si orang tua pria?


Daddy Series: Daddy's Vest

Kulihat kau dari kaca jendela rumah, bahwa kau sedang berjalan mendekati kediaman kita. Akhirnya, kau datang juga dari misimu selama dua minggu lamanya. Meninggalkanku dan putra semata wayangmu untuk menuntaskan tugas yang kau emban sebagai ketua jounin Konoha. Menjadikanku hampir setiap hari dalam posisi yang seperti ini – menunggu kedatanganmu dengan tak henti wanti-wanti. Kudapati juga, kau membawa satu kantung plastik besar yang tentu belum aku tahu apa isinya.

Cklek…!

Sebelum sempat kau memegang gagang pintu, aku terlebih dahulu membukakan penghalang keluar-masuk rumah. Kuberikan kau satu simpul senyum manisku, dan langsung memeluk erat tubuhmu. Kau membalas dekapanku, dan melepaskannya beberapa saat kemudian. Kau pindahkan objek mati yang sedari tadi berada dalam genggamanmu padaku, tak ayal dari lubang kantungan yang terbuka, aku menilik ke dalamnya.

Sebuah boneka rusa dan beberapa lembar baju kecil, yang jelas saja kau tujukan untuk anakmu. Kau melangkah melewatiku, dan langsung mendireksikan tapakan kaki untuk mencari Shaka. Kuikuti kau dari belakang, dan menemukanmu sudah duduk di dekat dia yang tertidur nyenyak di kamarnya. Ah, jangan salahkan kebiasaannya yang satu itu, harusnya kau sadar seperti itulah dirimu.

"Sudah tidur? Heeei..! Ini tou-chan pulang."

Kau mengelus rambutnya yang berwarna kecoklatan – perpaduan antara pirangku dan hitammu. Sedikit menggerakan jari di bagian perutnya, menggelitik bermaksud membuatnya terbangun. Kau pasti merindukannya, sebab tiap hari ia pun seperti mencoba mencari-cari keberadaanmu. Aku ingat, Shaka menangis satu malam saat kau baru berangkat. Dari raut wajahnya, tak ubah menunjukan kekesalan karena kau meninggalkannya.

"Kau mandilah! Aku akan siapkan makan malam," ujarku menyarankan, dan alih-alih menyahutiku, kau malah tetap asyik dengan aktivitasmu merecoki mimpi indahnya. Aku beranjak setelah menaruh baju yang kau bawa ke lemari pakaian Shaka, dan meletakan boneka rusa itu di dekatnya. Kali ini, kau bahkan sudah mengangkat tubuh mungilnya untuk duduk di pangkuanmu – meski matanya masih terpejam.

"Bangun, pemalas!" sempat saja kudengar kau berkata seperti itu, dan hampir tertawa karena tampaknya kau tidak sadar diri. Aku mulai menyiapkan hidangan makan malam, dan dari sudut dapur jangkauan netraku menangkap kau sedang bermain dengannya di ruang keluarga. Kau melepaskan rompi yang kau kenakan, dan memakaikannya pada Shaka.

Ia tidak suka, terbukti setengah mati Shaka melepaskan pakaian tersebut dari tubuhnya. Kau tertawa, saat anakmu dengan rona kesal yang gagal menjauhkan benda itu di badannya. Kau kalah, pada ujungnya kau juga yang membantunya untuk membuka kungkungan rompimu. Sembari mencoba untuk mendirikannya, kau berharap mendapati satu perkembangan baru dari putra semata wayangmu.

Prok…! Prook…! Kau menepuk-nepukan tangan di depannya, juga memundurkan tiga langkahmu ke belakang – kode dari kau meminta untuk dia menjejakan kaki kecilnya mendekatimu. Bukannya melakukan apa yang sudah kau harapkan, Shaka kembali mendudukan dirinya di posisi yang sama. Tak kecewa, kau pun mengulang lagi walau hasil yang kau terima tetap tak berbeda juga.

"Uuh…!" kesalnya Shaka, ia mendesah seperti itu dengan menggerakan dua kepalan tangannya memukul pundakmu. Aku yakin, kau pasti berpikir putramu ini masih merasa kesal karena kau tinggalkan ia beberapa hari – bahkan saat kau pergi, ia masih belum terjaga. Menyerah, kau anti memaksakan kehendakmu padanya. Ooh, Shikamaru, kau tertinggal banyak informasi tentang anakmu sendiri.

Kau beranjak ke kamarnya, tak lama kembali seraya membawa boneka yang baru saja kau bawakan untuknya dan beberapa main lain. Menaruh semua objek tak bernyawa itu di hadapannya, kau juga mengulurkan tangan berisi benda mati yang menjadi buah tanganmu tadi. Sekali lagi, Shaka menepisnya dengan memukul mainan baru tersebut. Kali ini kau menghela napas panjang, tapi aku percaya kau takkan marah.

"Apa Shaka sudah mandi?" kau melemparkan tanya untukku yang sesekali selalu saja menjatuhkan retina pada kalian. "Iyaaa," jawabku sekenanya, dan kau pergi meninggalkan Shaka untuk membersihkan tubuhmu tentunya. Beberapa menit berlalu, aku pun terlalu menyibukan diri dengan kegiatanku sekarang. Kendati begitu, tetap saja aku mengawasi apa yang buah hati kita lakukan – yang saat ini ia tengah berbaring di atas boneka rusamu.

"Astaga…!" kau berseru, dan kontan membuatku langsung lari ke arahmu – pada direksi kalian. Kau terperangah, mengedip-ngedipkan indera visualmu tatkala menemukan Shaka yang sudah kembali pulang ke alam mimpi. Kuhela napas panjang, takut-takut terjadi hal buruk padanya – di mana, nyatanya kau heboh sendiri sebab kelakuan buruk yang kau turunkan pada ia.

Kau garuk tengkukmu, yang mana aku tahu itu tidak seharusnya kau lakukan. Aku kembali untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda, sedangkan kau sendiri turut berbaring di dekatnya. Memijat-mijat telapak kakinya, mungkin saja kau berupaya melihatnya berjalan saat sudah terbangun nanti. Aku tersenyum, membiarkanmu dengan khidmat melanjutkan kelakuanmu.

Makin tidak dapatku sembunyikan sumringahku, ketika indera audiotoriku mendengar kau mengatakan sesuatu yang memang sering kau lontarkan untuknya. "Shaka nanti punya anak bernama Shikaku. Lalu, Shikaku kelak punya putra bernama Shikamaru. Lantas, Shikamaru yang baru memiliki penerus bernama Shaka!" bagai menyenandungkan nina bobo untuknya, kau lepaskan kata-kata manis itu.

Pantas saja, kau bersikeras untuk memberinya nama Shaka. Selain agar fonemnya terdengar identik dengan panggilanmu, rupa-rupanya kau sudah menyiapkan skama panjang untuk kelangsungan keluarga ini nantinya. Yaa, pemikiran visi seperti ini tentunya selalu ada dalam ranah estimasimu – termasuk hal yang mungkin tidak penting. Padahal, aku ingin sekali memberinya nama Inomaru, tapi kau bersikukuh menolak mauku – dan realita menyatakan, kau pemenangnya.

Aku sudah selesai dengan tugasku, dan telah menata sajian di atas meja makan. Kudekati kau untuk menyampaikan bahwa menu hidangan siap, kau bergerak sembari mengangkat miniatur kita. Kuambil Shaka dari pangkuanmu, saat kudapati kau kepayahan untuk menyuap makanan menggunakan sumpit karena adanya ia. Bangun, Shaka langsung mendestinasikan netra ke sekeliling, bermaksud untuk menemukan sesuatu. Rotasi matanya yang menyapu terhenti, saat mendapatimu di samping kiri tubuhnya.

Tersenyum dengan bibir yang terkatup rapat, lalu kubalikan arah badan serta kepalanya untuk memberikan ASI. Sudah menjadi prinsipku untuk memberikan air susu ibu selama dua tahun pada anak kami, dan Shikamaru pun sangat menyetujui keputusanku. Jari-jemari kecilnya menyentuh pipiku, "apa sayang?" ujarku sambil sesekali menciumi keningnya.

"Besok, Naruto memintaku untuk ke kantor Hokage. Jadi, tolong bangunkan agak pagi, yaa?" seketika kuhentikan kegiatan bermain dengan Shaka, menatapmu dengan nanar yang menunjukan tak menduga. Baru saja kau pulang, dan akan segera pergi lagi. Tak dapatkah, kau beri sedikit waktu untuk kami, atau setidaknya untuk putramu?

"Tidak ada misi, hanya rapat biasa." Kau seolah mengerti arti picingan mataku, hingga cepat-cepat menambahkan kalimat itu. Alih-alih mendapatiku menghela napas lega, kau temukan aku menggelengkan kepala pelan. "Tak bisakah kau libur sehari saja? Kau, kan, baru menyelesaikan misi selama berhari-hari,"pintaku, seraya memperbaiki rengkuhan terhadap putramu.

"Mendokusai!" kau mulai lagi menyebutkan kata terhandalmu, salah satu ciri khas yang sudah mendarah daging denganmu. Serta-merta turut menghela napas, selanjutnya kau tidak menuturkan apa-apa selain menyuap nasi. Aku tertunduk, menatap anak kita yang kupikir kurang mendapatkan perhatianmu. Aku tahu kau sayang padanya, tapi ia tidak butuh selalu kau bawakan uang, pakaian, dan mainan.

Ikut tersenyum, saat kulihat ia memberikan runcingan di tiap sudut bibirnya. Kau juga beberapa kali mentoel-toel pipi tembemnya, serta mengusap keringat di keningnya. Apa yang kau lakukan, membuat Shaka memberikan seluruh antensinya padamu. Ia bergegas ingin pindah pada pangkuanmu, "biarkan dia kenyang dulu, Shika!" titahku, sembari meminta anakmu untuk kembali mengalihkan perhatian padaku.

Kau tersenyum, menggelengkan kepala dan meneruskan makan malammu. Deruan napasku terdengar berat, ketika masih saja Shaka mencoba untuk balas melihatmu. Jengah akan selalu seperti itu, aku berinisiatif untuk menyusuinya di kamar saja, sekaligus menidurkannya. "Shika, tolong sehabis makan, kau bereskan dulu!" kalimat perintah itu kulontarkan, seraya beranjak berdiri dan berjalan menuju ruang pribadi kami.

"Kau tidak makan?" di sela langkahku, kau masih sempat bertanya demikian. Menjadikanku untuk kembali memutar arah padamu. "Nanti. Setelah menidurkan Shaka," jawabku, dan selanjutnya memusatkan destinasi tapakan menuju kamar. Selang durasi meniti, kau pun sudah ada dalam satu ruang dengan kami. Duduk di tepi kasur, "sana makan! Aku yang akan menemani Shaka," ujarmu, seraya mengelus punggung kecil putra kita. Aku mengangguk, "jangan kau bangunkan lagi!" waspadaku akan apa yang mungkin saja ingin kau kerjakan.

"Mendokusai!"

Aku keluar dari kamar, pasca mendengarmu mengucapkan untuk ke sekian kalinya satu kata andalanmu. Menikmati makan malam, aku juga langsung membersihkan semua perkakas yang kita gunakan. Selesainya, aku bergegas untuk segera melihat apa yang sedang kau lakukan di kamar. Takut-takut, kau akan kembali menggangu Shaka yang sudah tertidur.

"Aaaa….! Aaa…!" kudengar dari balik pintu kamar suara cempreng putraku, dan saat aku membukanya, tepat saja sekarang ia tengah berada di atas perutmu sembari menarik-narik kerah bajumu. Kau sendiri, dengan lengan kanan menahan tubuhnya, tampak tilas menikmati apa yang anakmu kerjakan. Bersamaan itu, tak lepas pula satu buku tebal di genggaman lainmu yang bebas.

Kuhela napas panjang. Bukankah, aku sudah mengatakan untuk tidak membuatnya terjaga? Kudekati kalian, duduk bersampingan denganmu dan serta-merta menarik Shaka dari atas badanmu. "Kan, aku bilang jangan dibangunkan!" langsung saja, runtukan itu yang kulisankan padamu. Alih-alih merasa bersalah, kau malah tertawa renyah sambil mengusap-usap puncak kepala anak kita.

"Baru juga jam segini," balasmu, bermaksud membarikan rasionalisasi yang tepat agar ia bisa lebih lama bermain denganmu. Ini salahmu, seharusnya kau lebih sering berada di rumah. Tidak dalam keadaan di mana putramu sebaiknya beristirahat, baru kau ingin mengajaknya bercanda. Mungkin, ini saatnya untukku memintamu lebih memperhatikannya.

Bukan, ini tidak soal apakah kau ayah yang baik atau bukan. Ini masalah tentang kau yang harus lebih sering memiliki waktu luang dengan putramu sendiri. "Besok rapat apa?" aku mulai meluncurkan tanya, dan yakin saja akan berujung dengan aksi boikot – yang aku rasa, sah-sah saja karena selama ini kau terlalu sibuk dengan urusan Konoha.

"Aah, cuma soal keamanan desa," kau melontarkan penuturan, namun sama sekali tidak memberikan atensi barang sedetik pun padaku. Aku mulai kembali menimang Shaka, menepuk-nepuk bokongnya pelan untuk membantunya lebih mudah masuk dalam buaian mimpi. Ooh, dia ini memang benar-benar darah daging si tukang tidur itu. Maka, tidak sampai sepuluh menit, Shaka sudah kembali memejamkan matanya, diikuti pula dengan bunyi dengkuran kecil – ia terlelap.

"Kalau hanya 'cuma', rasanya tidak membutuhkan kehadiranmu. Lagipula, soal keamanan desa bukankah sudah di pegang suaminya Hinata, Sasuke?" kau tahu, aku sedang dalam kegiatan sabotaseku. Terbukti, kau menghela napas pendek dan mengalihkan perhatianmu padaku dari buku, "sebentar saja. Setelah itu, aku akan langsung pulang."

Akhirnya, aku enggan untuk melanjutkan sesi obrolan ini. Aku tak mau, emosiku jadi meledak-ledak dan berakhir dengan pertikaian di antara kita. Kasihan anakku, aku paling takut ia terbangun karena terkejut atas perkelahian kedua orang tuanya. Beranjak untuk mengantarkan Shaka ke kamarnya, dan setelah memberikan ciuman di wajahnya, aku kembali berbaring di sisimu.

Mataku akan berhasil terkunci, apabila tidak kau halangi dengan menarik kepalaku untuk kau rebahkan di dada bidangmu. Kau sudah menaruh buku itu di atas lemari buffet terdekat kasur, dan tentu kali ini kau akan benar-benar memperhatikanku. "Dia putraku," entah kenapa, dua kata itu kau verbalisasikan dengan mengusap rambut pirangku.

"Tapi Shaka tidak hanya butuh uang, mainan, dan baju darimu."

" Inooo…"

"Kau bahkan tidak tahu ia bisa apa sekarang," kusela kalimatmu, yang aku tahu berisikan peneguhan dan pembetulan semata.

"Ooh, yaa? Aku tahu semuanya. Ia bisa menangis, marah, merajuk, dan lain sebagainya. Ia juga punya dua gigi susu," kau membela dirimu dengan mengatakan kalimat tersebut, juga menunjukan mimik yakin kalau ucapanmu tidak luput dari kebenaran. Kuhela napas pelan, kau terlalu meremehkan anakmu sendiri sekalinya.

"Kau…"

"Sudahlah, aku harus cepat tidur," kini kau yang mengintrupsi lisan yang ingin kulontarkan. Bersamaan itu, kau sudah memejamkan matamu rapat-rapat – yang mana, percuma saja mengajakmu berdebat bila kau sudah seperti itu, kau takkan mendengarkan ucapanku.

Aku bergerak untuk berbaring pada posisiku semula, dan kali ini aku yang menarikmu untuk berebah di atas dadaku. Membalas perlakuan yang kau berikan, aku tahu saat ini kau sudah mengambil ancang-ancang untuk memasuki alam bawah sadar. "Aku akan cepat pulang," masih saja, sebelum kau benar-benar melanglang di dunia tak nyata, kau berkata demikian. Sudahlah, semoga besok ada satu kejadian yang membuatmu tetap tinggal.


o

O

o

Matahari sudah memasuki cakrawala, ia tentu saja telah menampakan diri di peraduannya – ufuk timur. Lalu, sebagai seorang istri sekaligus ibu, tentu saja itu mengartikan untukku mulai mempersiapkan semuanya. Bangun dari tempat tidur, dan pertama mencari tahu keadaan putra kami. Eeh, rupanya iris aquamarine-nya sudah terlihat – ia telah terbangun. Bahkan, ia mendirikan tubuh sembari memegangi gagang tralis kotak bayinya.

"Sini, sayang!" kugendong badannya, dan ia tampak sangat ceria kali ini. Tak seperti saat Shikamaru menjalankan tugas, ketika itu Shaka terjaga namun tetap masih berbaring saja – mungkin, ia tahu sang ayah berada di rumah. Kududukan ia di ruang tengah dengan ditemani boneka rusa pemberian orang tua prianya, aku sendiri sibuk di dapur dengan arah pandang sesekali terdireksi padanya.

Tepat saat aku melintasinya dengan membawa rompi jounin Shikamaru yang sudah disetrika, ia mencoba untuk menggapai-gapai apa yang kupegang. Paham maksudnya, aku pun iseng untuk memakai esensi ninja suamiku pada ia. Moment yang ini, Shaka sama sekali tidak terlihat keberatan – tak seperti kemarin, ia memberontak untuk melepaskannya.

Ia mulai senang sendiri, menarik-narik kain baju dengan atensi penuh. Sampai-sampai, bibir mungilnya maju ke depan – arti, tidak bisa di ganggu gugat. Aku memulangkan pusat perhatianku pada pekerjaan yang harus segera kuselesaikan, tak luput juga dari tugas untuk membuatmu terjaga. "Shika, bangun! Kau ada rapat. Jangan sampai, utusan ANBU datang untuk memanggilmu," berusaha membuatmu terjaga dengan iming-iming mengingatkan rencana kegiatanmu hari ini.

"Yaa, yaa…! Mendokusai." Kau usap-usap wajahmu, dan sebelum beranjak untuk mandi, kau sempat saja mencium bibirku. Berjalan lagi melewati Shaka, rupa-rupanya ia masih saja memperhatikan pakaian Shikamaru yang di kenakan pada ia. Shaka, kau punya resistensi yang bagus pada apa pun yang menjadi kesatuan atensimu, nak.

Kudengar dari ruang depan, kau seakan sudah siap untuk membuana saja. Kau takut, saat akan berangkat pergi dan di lihat sang bocah, hingga berakibat terlambatnya kau dalam menjalankan misimu. Kubantu kau untuk mengikat rambutmu, juga mengambilkan sandal ninjamu untuk kau pakai. Tanpa suara apa-apa, kau memegang gagang pintu. Bukannya keluar rumah, kau malah berbalik pada direksiku.

"Rompiku?" kau teringat, akan satu komponen yang selalu harus kau kenakan bila berurusan dengan pekerjaanmu. Aku mengangguk, "ooh, sama Shaka. Kau tunggu sebentar!" sadar, bahwa tak mungkin kau yang mengambilnya dari putramu, aku pun berniat melangkah untuk melakukannya. Spontan, tapakan kakiku terhenti kala…

"Shaka?" tak urung kau bertanya dengan intonasi kaget seperti itu, saat mendapati anakmu berada tepat di ambang perbatasan ruang tamu dan keluarga. Ia berdiri di sana, dengan rompi jounin-mu melekat manis pada tubuhnya. Ia tersenyum, jari-jemarinya memegangi kain pada bagian perutnya. Sedangkan aku, hanya bisa bungkam mendapati wajah termangumu.

Ia melangkah, sedikit demi sedikit namun pasti pada direksi kita – atau lebih tepatnya, padamu. Bersamaan jejak yang agak kepayahan, ia pastikan mengeliminasi jarak. Terlebih lagi, rompi yang ia kenakan benar-benar tampak seperti tantangan tambahan. Bayangkan, yang biasanya rompi itu sebatas pinggulmu, tapi untuk Shaka, dapat sampai menutupi betisnya. Juga, bagian kerah yang cuma menutup area lehermu, pada putramu itu, bisa menyembunyikan daerah telinga.

Kau tak menduga, kalau ia bisa lakukannya. Sungguh, aku yakin kau merasa benar-benar bersalah karena hal ini lepas dari pantauanmu. Shaka pasti akan menghapus rentang jarak darimu, dan kau menatapnya dengan nanar bangga yang tak mampu kau hilangkan. "Tou-chaaaan…!" ia bercoleteh, menyebut pangilan orang tua pria yang jelas saja tertuju padamu.

Ia meniti, sesekali merentangkan kedua tangan mungilnya sekedar untuk mencari keseimbangan. Kau tak sabar untuk memeluknya, namun kucegah sebab aku yakin ia bisa mencapaimu. Kutarik lengan bajumu, kau pun akhirnya stagnan pada posisi yang itu-itu saja. Beberapa kali kau mengerjapkan mata, berupaya menyakini kalau ini bukan khayalan semata.

"Tou-chan!" sampai, ia langsung mencengkram celanamu. Tertawa-tawa, ia sungguh-sungguh begitu bersemangat hari ini. Kau berjongkok, guna menyetarakan tinggimu dengannya. Shaka sendiri, menghentak-hentakan kedua kakinya bergantian, tak pelak membuatmu semakin sumringah saja. Tanpa tanggung-tanggung, kau peluk dia dan berkata, " ini anakku!" tak ayal, aku hanya bisa memberikan senyuman manis padamu dan ia. Sayang, aku sudah tahu apa yang dapat Shaka lakukan dari dua minggu yang lalu.

Kau berdiri, dengan Shaka dalam rengkuhanmu. Tatkala ia tersenyum lebar, kau diberi satu lagi kejutan darinya. Aah, ada satu tunas gigi susu baru yang akan tumbuh. Kata lainnya, akan ada lagi bekal gigi yang akan meninggi dan menjadi tiga buah. Ancap kau tertawa, dan ia pun melakukan hal serupa. " Shaka mau jadi seperti tou-chan?" kau tanyakan frase singkat itu, sambil menarik-narik kain rompimu.

"Tidak, ia akan melebihimu, Shikamaru!" terang, aku tidak akan membuatmu lebih lama memandang sebelah mata kemampuan anakmu. Kau menganggukkan kepalamu, tampaknya kau sudah lupa dengan susunan acaramu untuk ikut rapat di gedung Hokage. Aah, mungkin, saat ini tidak ada pedulimu dengan pertemuan itu sekarang ini.

Tok…! Tok…! Tok…! Tiga bait ketukan pintu, membuat kau dan aku mengalihkan perhatian pada asal muasal suara. Aku bergerak untuk membuka, dan seorang utusan ANBU sudah berada di depan kita. Apalagi, bila tidak mengingatkanmu pada kegiatan pagi ini. Tahu sebelum ia bertutur, aku kembali untuk mengambil Shaka darimu, namun kau enggan memberikannya padaku. Kau mempererat rengkuhanmu padanya, seakan mengatakan untuk tidak memindahkannya.

"Nara-san, anda di minta Hokage-sama unt…"

"Katakan pada tuan Hokage, bahwa aku tidak bisa mengikuti rapat hari ini. Lagi pula, pasti ada ketua ANBU yang akan menyelesaikannya." Belum selesai orang dengan wajah tertutup topeng bergambar binatang itu melisankan tujuan datangnya ia, kau sudah terlebih dahulu menyela dengan nada perintah terbaikmu.

"Tapi, Nara-san…"

"Tolong!" satu morfem, kode dari kau tidak ingin adanya bantahan apalagi penolakan. Ia yang di ambang pintu hanya bisa membungkukan badannya, lantas dalam sekejap menghilang. Serius! Aku sama sekali tak menyangka hanya gara-gara putramu yang berjalan sembari memakai rompimu, dapat membuatmu mengurungkan niat untuk pergi. Padahal, Shaka tidak mengatakan banyak hal selain ocehan-ocehan lucunya. Anakmu memang hebat, kan, Shikamaru?

Syukurlah, untung tadi pagi ia memaksa untuk mengambil pakaian itu dariku. Jika tidak, mungkin saja saat ini kau sudah melanglang pergi dan masih tidak mengetahui perkembangan baru darinya. "Dia sudah bisa berjalan dari dua minggu yang lalu. Dan giginya, baru terlihat sekitar empat hari kemarin," terangku, mendekati kau dan anakmu untuk memberikan kecupan di pipi Shaka. Kau sendiri, mencoba tertawa sewajar yang kau bisa.

"Mendokusai. Ayo, ke hutan Nara, Shaka! Kita lihat rusa-rusa di sana." Usai bertutur demikian, kau melangkah melewati pintu yang masih terbuka. Berjalan bersama putramu ke tujuan yang telah kau ucapkan, kau sama sekali tidak mengatakan apa-apa padaku. Ia memang sudah menjadi segalanya untukmu, Shikamaru. Kulihat punggungmu yang semakin merentang jarak, sedangkan Shaka memberikan lambaian tangan padaku.

Saat kulihat kau turunkan ia dari gendongan guna memintanya untuk menyetapakan langkah, ia diam saja di tempat yang sama. Tak ayal, kau mengatainya dengan sebutan yang biasa kau terima – pemalas. Buah tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya, mungkin pepatah itu sekarang benar adanya. Maka, jangan permasalahkan ia dengan segala peringai buruk yang kau turunkan padanya.

Tiba-tiba, aku kembali teringat kata-kata yang sering juga kau ucapkan untuk putramu. Yaa, kelak Shaka akan memiliki anak bernama Shikaku. Lantas, Shikaku anak punya penerus bernama Shikamaru. Dan, Shikamaru kita yang baru akan memiliki putra bernama Shaka. Bukankah, itu merupakan rantai keluarga Nara yang baik? Tapi, tidak untuk sifat pemalas dan tukang tidur tentunya.

FIN


A/N:

Okeee…! Ini adalah fic pembuka untuk event shadowmind Father. Saya tidak tahu, apakah ini benar-benar sudah mewakili maksud event, yang jelas saya sudah berusaha. Awalnya, saya duga tidak akan lebih dari 2000-an kata, tapi begit selesai malah jadi 3000-an.*dia shock!

Ide fic ini juga ada karena mendapatkan request dari Satoshi 'Leo' Raiden untuk membuat karekater anak ShikaIno dengan beberapa ciri yang telah saya masukan di sini. Genius, cowok (dan memang selalu begitu), tukang tidur, bermata aquamarine, hanya saja rambutnya tidak pirang. Sebab, saya lebih suka Shaka memiliki rambut warna hitam atau bahkan kecoklatan.

Oke, maaf bila fic ini terkesan mengada-ada dan memaksa. Karena, sungguh saya mengerjakannya berbarengan dengan belajar untuk UAS yang dimulai pagi ini. Guncang-guncang badan, pukul-pukul pipi, jewer-jewer telinga sambil berkata, "UJIAN, WOOOIII…!"

Saya harap, akan banyak fic-fic yang didesikasikan untuk event setelah fic ini. Sungguh, saya benar-benar mengharapkan ramai akan partisipan. Saya sadar, saya dan fic ini tentu memiliki banyak kekurangan. Jadi, mohon bantuannya untuk mengoreksi kesalahan saya. No creatures perfect!

Bagaimana menurut kalian tentang fic ini? Saya ingin tahu pendapat teman-teman, jadi tolong berikan tanggapannya via review, yaa?!

So, review pleaseee…!

The last, long live and happily ever-after ShikaIno!

"your Shadow always in my Mind."

Salam

Pixie(yank)-chan.