Yamanaka Ino terbiasa menjadi satu-satunya kunoichi di team 10. Sangat terbiasa malah. Ia menikmati posisinya sebagai 'bunga' tim, dimana ia memiliki hak untuk memerintah anggota timnya.
Meskipun, sangat disayangkan, tidak ada satu pun anggota timnya yang tertarik padanya. Padahal kan, seru tuh, kalau Shikamaru dan Chouji terpikat akan kecantikannya, lalu memperebutkannya seperti kisah di novel-novel.
Tapi tidak masalah, kok, selama dia bisa menjadikan keduanya sebagai budaknya, Ino nyaman-nyaman saja menjadi the one and the only girl di dalam timnya.
Hingga hari ini.
SACRIFICE
Disclaimer:I do not ownNaruto. Naruto © Masashi Kishimoto
Story© Gugigi
Cover © Gugigi
Ino's POV
Aku melipat tangan, kesal. Pandangan mataku tertuju kepada kunoichi pirang di hadapanku, yang dengan menjijikkannya, menempelkan tubuhnya layaknya lintah kepada patner satu timku yang berambut nanas.
Kalian butuh penjelasan? Baiklah, simak baik-baik kisah tragis Yamanaka Ino di hari minggu yang cerah.
Pagi hari, adalah momen favoritku, walaupun mayoritas penduduk bumi mengatakan sebaliknya. Namun, ternyata pagi hari justru jadi awal bencana besar yang tak kuduga.
Hokage kelima (diam-diam aku memanggilnya Nenek Tua) memanggilku untuk menemuinya ke kantor secepatnya. Artinya sangat jelas, terlambat sedikit saja, Nenek Tua itu bakal marah-marah, huh.
Saat aku mengetuk pintu, terdengar jawaban dari Shizune, yang mempersilahkanku untuk masuk.
"Silahkan masuk, Ino-chan," jawabnya dari dalam ruangan.
Kuputar kenop pintu, dan dahiku langsung berkerut mendapati ada 3 orang manusia tambahan di ruangan yang biasanya hanya terdiri 2 penghuni tetap. Terlebih, ketiganya kukenal dengan baik.
"Oh! Ohayou, Ino!" sapa Chouji melambaikan tangannya, sementara tangan satunya lagi memegang sebungkus keripik kentang ukuran besar. Disampingnya, terdengar kuapan Shikamaru dan ucapan selamat pagi Asuma-sensei.
Sebagai jawaban, aku mengangguk, dan mulai memahami situasi yang terjadi. Bila aku dipanggil bersama Chouji, Shikamaru, dan Asuma-sensei, pastilah ada misi baru yang menanti. Huft, membosankan. Apa Nenek Tua itu tidak tahu hari minggu adalah hari libur internasional, ya?
"Baik, karena semua sudah berkumpul, akan kami jelaskan misi yang akan kalian tempuh hari ini," Tsunade-sama mengedarkan pandangan kepada kami berempat, kemudian memberi isyarat pada Shizune untuk memulai.
Mengangguk, asisten hokage kelima itu membuka mulut, "Misi kalian adalah melakukan pengawalan kepada seorang kunoichi bernama Shiho yang tinggal di Pusat Badan Kriptologi di Gunung Si. Dia-"
"Maaf," potongku sembari mengangkat tangan. "Bukankah si Shi… ho atau apalah namanya adalah seorang kunoichi? Untuk apa mengawal seseorang yang bisa menjaga dirinya sendiri?"
Semua mata langsung tertuju padaku, menandakan bahwa tindakanku tidak etis. Biarlah, yang penting, aku harus mempertahankan hak ku untuk libur di hari Minggu. Sudah lama aku belum shopping dan creambath. Hmm, kuharap Nenek Tua mempertimbangkan pendapatku. Secepatnya aku akan menghubungi salon langgananku yang nomornya kuhafal di luar kepala.
Terdengar helaan nafas tak sabar si Nenek Tua, yang menandakan pertidaksetujuannya. "Shiho adalah seorang kunoichi yang mengkhususkan diri pada bidang kriptologi. Jadi dapat dibilang, pertahanan dirinya amat rendah."
Aku tahu pertanyaan yang kulontarkan bodoh, tapi kuberanikan diri membuka mulut, "Keriptologi itu apa?"
"Kriptologi, bukan keriptologi, bodoh," koreksi Shikamaru cuek. "Itu adalah bidang ilmu mengenai pemecahan dan pembacaan kode-kode rahasia."
"Aku tidak bodoh!" gerutuku sebal, melampiaskan amarah dengan menjitaknya sekuat tenaga. Kontan saja, korbanku yang berkepala nanas itu mengaduh kesakitan sembari bergumam 'merepotkan'.
Si Nenek Tua berdehem singkat, meminta perhatian dari kami semua. Setelah memberikan death glare terakhir pada Shikamaru, aku memusatkan konsentrasiku pada ucapan hokage kelima.
"Kita membutuhkan kemampuan Shiho untuk membantu memecahkan kode dalam situasi perang yang semakin dekat. Namun, pihak musuh juga menyadari bakat Shiho yang diatas rata-rata dan hendak menghabisinya. Oleh karena itulah, kami meminta kalian untuk mengawal kepulangan Shiho kembali ke Konoha. Apa itu dapat dimengerti?"
"Siap, dapat dimengerti!" jawab kami berempat serempak.
Tsunade-sama mengangguk puas, kemudian memberikan segulung peta kepada Asuma-sensei, menunjukkan rute terdekat yang dapat ditempuh kurang dari satu hari.
"Berkemaslah untuk perjalanan kurang lebih 2 hari. Nanti kita berkumpul lagi di gerbang. Tidak ada kata terlambat," titah Asuma-sensei kepada kami bertiga dengan nada serius.
Baiklaah, jadi aku sudah tidak dapat mengelak lagi dari misi konyol pengawalan kunoichi super cerdas yang super lemah pula. Jadi, apa lagi yang dapat kukatakan selain 'Ya' kepada Asuma-sensei?
~gugigi~
Perjalanan kami ke Gunung Si tidak memakan waktu yang lama. Seingatku, kami hanya berhenti rehat sejenak sebanyak 2 kali, dan tahu-tahu saja sudah sampai ke bangunan coklat kusam bernama Pusat Badan Kriptologi yang sumpeknya minta ampun.
Pikiran yang pertama kali melintas dalam otakku ketika mendengar kunochi berotak encer dan lemah adalah seorang gadis berambut hitam dikuncir nanas yang tengah menguap, mata sayu, dan menggunakan pakaian berupa jas lab putih atau semacamnya. Yah, pokoknya kayak Shikamaru versi cewek, lah.
Tapi, penampilan Shiho ini jelas-jelas jauh dari perkiraanku, dan mungkin perkiraan yang lain juga, karena kudengar semuanya mengeluarkan nafas tersentak ketika kunoichi itu keluar dari dalam gedung. Fashion-eye ku langsung bekerja, menindai gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hasilnya? 100% Nerd!
Hal yang sangat mencolok dan perlu menerima perbaikan fashion secepatnya adalah rambutnya. Maksudku, sudah bagus rambutnya berwarna pirang platina sepertiku, kenapa gadis itu harus menguncirnya dengan asal-asalan? Rambutnya sangat berantakan dan mencuat disana-sini. Apa dia tidak mengenal benda bernama sisir?
Pandangan mencelaku turun kebawah, dan menilai wajahnya dengan seksama. Ugh, tidak banyak yang bisa kulihat, karena wajah ovalnya 'tenggelam' ditelan oleh kacamata konyolnya. Dan –ya ampun! Apa perlu dia memasang seringai tolol seperti itu ketika melihat kami?
Kemudian pakaiannya? Seperti yang dapat ditebak, jas lab putih. Jujur, kalau Tsunade-sama tidak memberitahu identitas gadis ini, aku bakal mengira dia adalah cewek galau yang biasa berdiri di tepi jurang sambil berseru Selamat tinggal dunia!
Ah, akhirnya aku bisa mengerti kenapa gadis itu perlu pengawalan.
Seusai berbasa-basi sebentar, kami pun angkat kaki dari bangunan muram itu. Shiho ternyata berlari cukup lambat, sehingga kami terpaksa memperlambat kecepatan kami. Dan akibatnya? Kami terpaksa bermalam di tengah hutan yang seram.
Jadi, bagaimana, apa kalian sudah memahami maksudku bahwa dia adalah penyebab semua bencana celaka di hari Mingguku? Sangat menyebalkan, eh? Kukira aku bisa -tunggu sebentar… aku belum menjelas hal penting dari Shiho yang nyaris membuatku mencekik lehernya.
Keberadaan Shiho menghapus titelku sebagai satu-satunya wanita di dalam tim 10. Awalnya sih, aku baik-baik saja, toh dengan penampilan seperti itu dia tak mungkin menarik minat pria waras manapun. Aku saja yang cantik begini diacuhkan selama bertahun-tahun, apalagi dia, huh.
Ternyata, aku salah besar.
Entah apa yang dilihat mereka dari Shiho, yang jelas, mereka menatapnya seakan-akan dia adalah wanita sungguhan, sementara selama ini aku diberi pandangan minggir-kau-wanita-dedemit! Tidak adil!
Asuma-sensei langsung mengajaknya bermain shogi (aku tidak mengerti kenapa beliau membawa papan shogi di tengah-tengah misi begini), dan mendadak mereka langsung akrab begitu saja, menertawakan lelucon-lelucon cerdas yang tak kupahami.
Chouji, cowok gendut sang pecinta makanan sejati, rela berbagi keripik kentang kesayangannya kepada Shiho. Hei, ini adalah keajaiban. Kemana Chouji si-pelit-makanan-terutama-keripik-kentang yang kukenal?
Bahkan Shikamaru, penganut setia aliran cewek-itu-merepotkan ternyata juga menunjukkan ketertarikan kepada kunoichi lemah itu. Terbukti dari kedekatan mereka membicarakan kemungkinan-kemungkinan perang dengan bahasa matematika, dan sesekali diselingi tawa dan canda.
Belum pernah kulihat Shikamaru tertawa seperti itu, dan tak pernah kudengar sekalipun kata 'merepotkan' dari mulutnya ketika ia berbicara dengan Shiho. Padahal kalau dia bersamaku, dalam waktu satu menit saja sudah terucap beribu-ribu kali kata 'merepotkan'. Apa dimata Shikamaru Shiho jauh lebih baik dariku, ya?
Cih. Menyebalkan. Shiho sudah merebut hari Mingguku. Sekarang, dia juga merebut cowok-cowokku. Apa lagi yang mau ia ambil? Bajuku? Sisirku?
"Ino! Apa yang kau lakukan? Cepat ambil kayu bakar lagi," seru Asuma-sensei dari balik api unggun.
Kudengar Shikamaru juga menimpali, sementara jaket hijau pemuda nanas itu sudah berpindah ke bahu Shiho yang mungil. "Shiho bisa kedinginan di alam bebas seperti ini. Dia kan terbiasa tinggal dalam lab. Carilah kayu bakar yang banyak, merepotkan."
Tuh, kan. Shiho lagi, Shiho lagi. Sejak kapan Shikamaru begitu perhatian? Yang memakai baju mini itu aku, bukan Shiho. Harusnya yang lebih kedinginan itu aku, bukan Shiho si-pengguna-jas-lab-jelek.
Bersungut-sungut, aku berjalan ke hutan, mencari kayu yang dapat meningkatkan suhu api unggun.
~gugigi~
"Itadakimasu!" pekik Chouji riang dengan sumpit terangkat.
Berkat Chouji, yang ternyata tidak hanya hobi mengunyah makanan namun juga membuat makanan, kami menikmati semangkuk sup daging hangat sebagai makan malam. Hmm, rasanya pun enak, membuatku melupakan program diet dan amarahku pada Shiho sejenak. Baiklah, aku mau tambah!
"Hei, Ino, apa tidak masalah badanmu yang gendut itu menambah satu mangkuk lagi?" tegur Shikamaru mengetuk mangkuk supku dengan sumpitnya.
"Apa?" aku menoleh sebal. "Sejak kapan kau peduli apa yang aku makan? Huss, pergilah! Sana, manjain tuh, tuan putri Shiho!"
"Kau ini merepotkan sekali! Aku kan hanya bertanya, tidak usah sewot. Dasar gadis merepotkan," keluh Shikamaru dengan cueknya.
"Aku tidak merepotkan!" jawabku galak, memandangi si kepala nanas dengan tajam. Ugh, selera makanku langsung lenyap entah kemana. "Jadi maksudmu, aku ini sangat mengganggu hidupmu, hah? Siapa suruh kau mencampuri urusanku! Kau pergi saja, urus keperluan tuan putrimu itu!"
"I-ino… ja-jangan bertengkar," lerai Shiho tergagap padaku, meskipun pandangan matanya jatuh pada Shikamaru. Apa dia kira gagap-nya terlihat imut, ya? Maaf saja, deh, gagap-nya Hinata jauh lebih imut dari dia!
"Diamlah! Aku tidak berminat bertengkar dengan siapapun hari ini, kecuali kalau kau mau memulainya sekarang," ujarku ketus, sembari memasukkan sup daging ke mangkuk. "Jadi, diam dan jadilah tuan putri yang manis nan manja!"
"Ino!" Asuma-sensei menegurku keras, mulutnya masih terisi daging yang baru setengah terkunyah. "Jangan bersikap tidak sopan. Cepat minta maaf!"
"Minta maaf? Pada dia?" seruku dengan nada tinggi, tidak peduli guruku lah lawan bicaraku. Kuhentakkan mangkuk sup ke tanah, dan kupandangi wajah guruku sengit. "Sensei boleh menyuruhku mengambil kayu bakar untuk dia, berbagi tenda dengan dia, tapi untuk satu hal yang ini, maaf, aku tidak bisa."
Tanpa menoleh sedikitpun, aku beranjak pergi dari sana.
~gugigi~
Okee, tindakan marahku emang keren banget tadi! Membuat semua orang terpana, haha. Yihaa~ rasakanlah, Shiho! Rasakan amarah ala Yamanaka Ino! Jangan berani-berani menyulut masalah di depan seorang Yamanaka!
Tapi, kini aku menyesali keputusanku untuk pergi. Bukan, bukan karena Asuma-sensei. Bukan pula karena tatapan Shikamaru yang menusuk punggungku saat aku pergi. Aku menyesal tidak sempat membawa serta semangkuk sup daging dalam aksi kaburku tadi. Haah… sekarang aku benar-benar lapar. Kira-kira, disini ada pohon apel tidak, ya?
"Ini."
Terkejut, aku menoleh. Kurasakan sebuah tangan terulur menyodorkan semangkuk sup daging yang mengepulkan asap, hangat. Dan pemilik tangan itu…
"Shikamaru?"
Pemuda nanas itu mengeluarkan seringai malasnya. "Ya iyalah, kau kira siapa, lagi? Siapa suruh kau marah-marah tidak jelas. Pakai aksi sok kabur segala lagi. Sungguh mengherankan kau tidak tersesat. Ini. Kau pasti lapar, kan, setelah aksi amarah meledakmu?"
Ceramah Shikamaru yang cukup panjang lebar untuk ukuran pemalas sepertinya membuatku tercengang. Dia mengkhawatirkanku? Bagaimana dia bisa tahu aku ada disini? Terus, bagaimana dia bisa tahu juga kalau aku kelaparan?
"Sudah, cepat makan. Keburu dingin," Shikamaru kembali menyodorkan mangkuk sup, yang kini kuterima dengan senang hati.
Sembari aku makan, Shikamaru merebahkan dirinya disampingku, memejamkan matanya dengan malas. Hmm, pasti tak lama lagi akan kudengar desah nafasnya yang teratur. Yap, pasti sebentar lagi dia tertidur.
"Ino," panggilnya pelan, ternyata ia belum tidur juga. "Pertahankan nafsu makanmu yang baik ini. Cocok untukmu."
Cocok? Maksudnya, aku cocok jadi gemuk, begitu? Kukira dia sudah memaafkanku, ternyata dia masih marah, sampai-sampai mengejekku pula! Arghh, Shikamaruuu!
"Kupikir," terdengar jeda sebentar, sementara kurasakan hutan mendadak hening, seakan menunggu kelanjutan ucapan Shikamaru. "Kau akan jauh lebih baik bila ada sedikit daging disana-sini."
Lebih baik? Dia memujiku? Berarti, Shikamaru merasa bersalah, kan? Kini, sepertinya giliranku untuk meminta maaf duluan, sekaligus berterima kasih atas sup yang ngomong-ngomong, masih seenak tadi.
Kupaksakan menelan sesendok sup hangat, membiarkan tenggorokanku lecet. "Aku tidak tahu apa maksudmu tadi. Tapi, kurasa, aku berterima kasih padamu dan aku… minta maaf."
Lirih kuucapkan permohonan maaf. Suasana hutan masih hening, angin sepoi-sepoi meniupkan helaian rambut pirangku. Sebagai jawaban permintaan maafku, terdengar desahan panjang Shikamaru.
"Merepotkan."
Bibirku menyunggingkan senyum. Shikamaru telah memaafkanku.
~gugigi~
Akan kuringkas sesingkat mungkin kejadian tadi malam. Jadi, setelah percakapanku dengan Shikamaru, aku kembali ke tenda dan mengucapkan permohonan maaf kepada mereka satu per satu.
Asuma-sensei memaklumiku, dan turut meminta maaf pula karena sudah membentakku. Sementara Chouji justru tertawa hangat dan menawarkan ku untuk menambah sup. Shiho? Dengan gaya cewek-sok-rendah-hati-dan-sok-baik-bak-malaikat ia memelukku dan mengatakan semuanya adalah kesalahannya. Cih!
Intinya, semuanya berjalan cukup lancar. Yah, paling tidak untuk malam ini.
Paginya, kami membereskan tenda dan berkemas untuk pulang. Dari kejauhan, lokasi Konoha sudah mulai terlihat. Membuat perasaan rindu membuncah di dadaku, tak sabar untuk menceritakan semua petualangan gila ini kepada sahabatku, Sakura. Hmm, mungkin saja kami berdua bisa menjadi duo penata rias gila untuk Shiho!
Sejak kejadian semalam, rasanya aku agak err… sulit menatap wajah Shikamaru. Hal yang konyol, tentu saja, mengingat kami adalah sahabat masa kecil yang sudah terbiasa menghabiskan waktu bertahun-tahun.
Aku tidak mengerti apa sebabnya, dan rasanya setiap mengingat kejadian semalam, pipiku memerah dengan sendirinya dan ada kebahagiaan yang manis di dadaku. Syukurlah Shikamaru tampaknya tidak mengingat kejadian semalam, entah karena dia terlalu malas atau semacamnya. Jadi, dia tidak dapat melihat perubahan wajahku.
Perjalanan kami cukup lancar, dan berdasarkan perkiraan Asuma-sensei, kami dapat mencapai Konoha sebelum matahari tenggelam. Fiuuh, akhirnya! Hanya tinggal beberapa jam lagi, aku dapat berpisah dari Shiho yang menjengkelkan itu!
Langkahku terhenti ketika Asuma-sensei mengangkat tangan, memerintahkan kami untuk bersiaga. Indraku langsung menajam, dan menyadari ada segerombolan shinobi yang tengah mengintai kami dari balik pepohonan.
Kami berempat mengangguk bersamaan, memahami instruksi tak tersirat. Sebelum shinobi musuh itu beraksi, Asuma-sensei melemparkan kunainya. Pertempuran pun pecah!
Sebagai anggota tim paling lemah (iyaa, aku sadar, kok!), tugasku adalah melindungi klien, yang dalam kasus ini adalah Shiho. Sementara Asuma-sensei, Chouji dan Shikamaru melawan segerombolan musuh.
Berkat refleks yang terbentuk bertahun-tahun, koordinasi dan kerja sama tim mereka sangat bagus. Shikamaru dan Chouji memahami keinginan satu sama lain dan saling beraksi di saat yang tepat. Mereka saling melindungi dan membantu. Asuma-sensei sendiri sudah menghabisi 6 shinobi dengan pisau cakranya.
Aku? Menyembunyikan diri bersama Shiho ditengah rimbunnya dedaunan. Berdasarkan pengalaman, cara terbaik untuk melarikan diri bukanlah benar-benar berlari. Musuh pasti akan mengharapkanmu kabur dan berteriak dengan idiot Aaah! Tolong! Aku disini! Aku menjerit agar musuh tahu dimana tempatku! Kemarilah musuh idiot! Tolong!.
Jadi, aku bertindak diluar perkiraan mereka, yakni bersembunyi di lokasi pertarungan.
Begini-begini, kemampuanku menyamar dalam lingkungan cukup baik, kok. Yang aku perlukan hanyalah menurunkan keingintahuan untuk mengintip dan ketakutan, seakan-akan tempatku memang disini dan bukannya sedang bersembunyi. Seakan-akan aku adalah bagian dari alam. Keren, kan?
Sayangnya, Shiho si-kunoichi-yang-tak-kenal-benda-bernama-sisir menghancurkan konsep brillianku tentang bersembunyi.
Alih-alih menutup mulutnya dan diam, dia justru bergumam tidak jelas dan gemetar ketakutan. Aku tidak bisa menyalahkan soal tubuhnya yang gemetar ketakutan, sih, soalnya aku sendiri juga takut setengah mati. Tapi bergumam? Tolong, ya, kita sedang bersembunyi. S-e-m-b-u-n-y-i.
Dan gumaman idiot itulah yang mengungkap keberadaan kami.
Awalnya aku sudah bersiap dengan kehadiran seorang musuh, untuk itulah aku menggenggam kunai. Tapi, satu buah kunai tidak ada artinya bila segerombolan musuhlah yang menemukan tempat persembunyianmu.
Jadi, kuucapkan kata yang wajar, "Lari!"
Shiho dengan patuh berlari sesuai perintahku. Mungkin karena rasa takut, kecepatan larinya meningkat, hal yang kusyukuri diam-diam karena tentu saja akan repot menjaga seseorang yang berlari selambat siput.
Sembari berlari mengikuti Shiho, kulempar serangkaian shuriken dan kunai, berusaha menjaga jarak dari musuh. Bodoh, kunai dan shuriken tak akan mampu merobohkan seorang shinobi semudah itu, kan?
Menggigit bibir kesal, kulirik sekilas Shiho yang sudah mulai hilang dari pandangan. Baiklah, kuharap tindakanku akan mengulur waktu. Saatnya Yamanaka Ino menunjukkan keahliannya!
Kuserang musuh secara acak dengan gerakan taijutsu rumit. Sengaja kuincar titik vital mereka, agar dapat melumpuhkan sekaligus menghemat tenagaku. Berhasil! Tidak sia-sia jam-jam latihan taijutsu membosankan bersama Rock Lee dan Gai-sensei. Sepulangnya dari sini, aku harus mentraktir mereka ramen!
Satu, dua, tiga, lima, sepuluh musuh roboh. Sisanya masih banyak. Sepertinya jumlah shinobi yang musuh kerahkan cukup banyak untuk mengejar gadis-anti-sisir itu. Sial, bahkan orang jahat pun menginginkan Shiho. Ada gak, sih, orang yang menginginkanku?
Berhubung jurus klan ku tidak dapat digunakan tanpa kehadiran Shikamaru dan Chouji, terpaksa taijutsu, ninjutsu, dan kunai lah yang menjadi senjataku. Jumlah musuh yang justru makin bertambah semakin membuatku kewalahan. Sial, cakra ku juga mulai menipis. Sayup-sayup kudengar teriakan seseorang, mungkin Shikamaru? Ah, entahlah. Aku harus bagaimana? Kalau sampai musuh menangkap Shiho, apa yang-
"Kyaaaa!"
Jeritan itu! Shiho!
~gugigi~
Author's POV
Shikamaru memusatkan konsentrasinya, beragam strategi bermunculan dibenaknya. Tapi kemungkinan mana yang harus ia ambil?
"Shikamaru! Jumlah musuh semakin banyak! Apa yang harus kita lakukan?" seru Chouji di sela-sela pertempuran. Tubuhnya mulai dipenuhi memar dan luka, dan kalau Shikamaru tak salah lihat, ada darah yang mengalir dari dahinya.
"Ck, aku masih berpikir, Chouji! Beri aku waktu!" Shikamaru mengerutkan keningnya. Peluh membanjiri pelipisnya sementara ia berusaha menahan sebanyak mungkin musuh dengan bayangannya sekaligus memutar otaknya.
"Bergegaslah!" Asuma-sensei berteriak dari salah satu sudut pertempuran, diiringi suara derak tulang yang patah. "Sepertinya Ino dalam bahaya!"
Ino?
Tanpa pikir panjang, Shikamaru melepaskan jurus bayangannya, dan berlari menuju sahabat masa kecilnya.
Tepat seperti ucapan Asuma-sensei, Ino memang dalam bahaya. Kurang lebih 10 musuh mengeroyokinya, dan hebatnya, kunoichi merepotkan itu masih bertahan. Tapi, mulai nampak gejala kelelahan dari anggota kelompoknya itu, dan tak lama lagi, Shikamaru tahu Ino dapat kehilangan nyawanya. Menggerutu pelan, Shikamaru berlari melancarkan jurus andalannya.
"Ino! Pergilah! Jaga Shiho! Biar aku yang membereskan disini!" seru Shikamaru sekeras mungkin, melawan ributnya pertempuran.
Kunoichi pirang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar seruan Shikamaru. Yang terjadi justru Ino semakin gencar menyerang musuh-musuhnya. Shikamaru tidak jago berkelahi, tapi ia tahu strategi mana yang tepat dalam kondisi seperti ini. Dengan gerakan cepat, ia-
"Kyaaaa!"
Suara itu! Shiho! Mata Shikamaru terbelalak lebar tatkala menoleh, mendapati Shiho berhasil ditangkap musuh. Memang benar, gadis itu berusaha melawan, tapi kekuatannya lemah. Tinggal menunggu waktu saja sebelum gadis itu dihabisi. Gawat, mana yang harus ia selamatkan? Shiho, kliennya, atau Ino, sahabatnya?
Kebimbangan Shikamaru tidak bertahan lama, karena Ino langsung bereaksi mendengarkan jeritan Shiho.
Usai melempar serentetan kertas peledak kepada musuh, Ino berlari menuju Shiho dengan kecepatan menakjubkan. Shikamaru yang berhasil selamat dari ledakan bergegas mengikuti Ino, yang tinggal beberapa langkah lagi dari Shiho.
Shikamaru tiba tepat waktu ketika matanya melihat percikan darah dan sekelebat pedang yang dihujamkan ke punggung gadis pirang.
~TBC~
A/N. Fict multichap pertamaa! Gugigi kembali dengan pairing favorit, ShikaIno! Buat para Shiho fans, maaf, ya karakternya di bikin jahat dan lemah, no offence, kok. Gugigi sebenernya netral sama semua karakter Naruto. Cuman karena kebutuhan cerita, Shiho terpaksa jadi jahat. Maaaaf *peluk Shiho*
Oh iya, sebelumnya mau berterima kasih pada reviewers di "Coffee Love" dan "Aku"! Makasih banget buat kritik yang membangunnya! Cerita Gugigi sekarang sudah berkembangkah?
Makasih udah mau baca! Maaf kalo plotnya terkesan rush dan kurang nyambung. Gugigi bingung bikin adegan pertempuran ._. mudah-mudahan pada suka! Akhir kata, mind to review?
