A PROLOGUE OF VMIN STORY
By Elixir Edlar
.
.
.
.
Jimin pikir, ia tahu segalanya tentang Taehyung.
.
Sahabat masa kecil sekaligus tetangga sebelah rumahnya itu memang sosok yang terbilang cukup unik.
Taehyung menjelma menjadi makhluk bumi dua bulan setelah Jimin pertama kali berstatus sebagai manusia supermini disebut bayi, yang baru berhasil lepas dari tubuh induknya.
Jimin dan Taehyung berteman sejak keduanya masih berada dalam buaian—dalam kandungan ibu mereka masing-masing malah. Dan setelah lahir pun mereka langsung menjadi sepasang sahabat akrab.
Semuanya dimulai ketika mereka masih balita.
Taehyung dan Jimin selalu bermain bersama-sama sejak baru bisa berjalan. Terkadang keduanya akan berebut rubber duck atau bebek karet kuning yang berbunyi cit, cit, cit ketika diremas. Selain itu mereka juga akan berebut pacifier atau dot bayi; yang akan mereka gigiti secara bergantian.
Setelahnya, salah satu dari kedua bocah tengil itu akan emosi duluan dan berakhir dengan menubruk tubuh lawannya, kemudian bertindihan sambil berguling-guling tak jelas sampai puas.
Kalau salah satunya sudah ada yang mengalah—lebih tepatnya menyerah, maka keduanya akan bersalaman, berbaikan, lalu berpelukan erat seperti teletubbies.
Sesederhana itu saja.
Soulmate, begitu orang-orang sekitar menjuluki keduanya. Tapi tidak begitu menurut mereka. Karena pada kenyataannya, Taehyung dan Jimin lebih tampak seperti sepasang soulfighter daripada soulmate.
Tidak peduli apa pun istilahnya—yang penting perasaan keduanya tetap satu, soulful.
Di mana ada Jimin, di situ ada Taehyung; namun di mana ada Taehyung, belum tentu di situ ada Jimin.
Hal ini bermula ketika kedua pemuda tanggung itu menginjak usia delapan belas; tepatnya setelah mereka berdua melepaskan statusnya sebagai pelajar sekolah menengah atas.
Taehyung mulai menekuni hobi barunya yang cukup unik, menghilang dari peradaban.
Ya, membiarkan rumahnya kosong selama berhari-hari, kadang berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan; dan melalang buana entah ke mana.
Nenek Taehyung yang pada mulanya tinggal bersamanya, kini sudah dirawat di panti jompo karena penyakit alzheimer yang dideritanya. Oleh karenanya, Taehyung bisa bebas berkeliaran ke mana pun yang ia suka tanpa adanya orang yang melarang.
Kelayaban bingung seperti bujangan pada umumnya.
Ya, begitulah nasib Taehyung sebagai bujangan, ke mana-mana—asalkan suka, tiada orang yang melarang. Hati senang walaupun tak punya uang, uwoo~
Dan kalau Taehyung sudah menghilang seperti itu maka tak seorang pun yang mengetahui di mana rimbanya, termasuk Jimin selaku sahabatnya.
.
.
Kebiasaan doyan minggat Taehyung ini sejatinya memang telah terindikasi sejak dulu, tatkala ia masih pre-child (baca: precil) dan baru saja memasuki sekolah pertama mereka.
Taman Kanak-Kanak kelas bunga Matahari.
Sounds familiar? Crayon Sinchan, anyone?
Pada saat usia Taehyung baru menginjak angka lima, terjadilah sebuah peristiwa krusial yang mengubah hidup Taehyung selamanya. Sebuah titik yang menyebabkan Taehyung kerapkali minggat dari TK ke sebuah kebun kosong penuh rerumputan untuk bermain seorang diri.
Berbicara pada rumput yang bergoyang dan mendengar bisikan angin, katanya.
Saat itu kedua orang tua Taehyung memutuskan untuk berpisah secara legitimasi dan dua tahun kemudian membangun keluarga baru masing-masing dengan pasangan barunya.
Meninggalkan Taehyung kecil berdua saja bersama neneknya—yang mulai pikun karena penyakit alzheimer—yang merupakan seorang janda mantan serdadu angkatan udara pada masa Perang Dunia II.
Beruntung karena statusnya sebagai istri seorang purnawirawan, nenek Taehyung masih bisa menyekolahkan cucunya dengan uang pensiunan suaminya.
Meskipun uang itu tetap saja tidak akan cukup untuk membiayai jenjang pendidikan tinggi yang semestinya ditempuh Taehyung setelah lulus sekolah menengah atas.
Lalu bagaimana dengan orang tua Taehyung sendiri?
Di saat Taehyung tengah berjuang dan bertahan hidup dengan mengandalkan uang pensiunan kakeknya, kedua orang tuanya malah tidak jelas jluntrungannya dan menghilang entah ke mana. Tepatnya setelah keduanya menikah lagi dengan pasangan masing-masing.
Membiarkan Taehyung berkutat sendirian dengan seluruh problematika hidupnya sementara mereka seolah raib begitu saja bak ditelan tsunami, karena ditelan bumi itu sudah terlalu mainstream.
Faktanya, semenjak keduanya bercerai, tanggung jawab mereka berdua selaku orang tua pun ikut tercerai-berai begitu saja.
Seperti sweater rajutan yang benangnya tersangkut di salah satu baling-baling helikopter dan dibawa terbang tinggi hingga yang tersisa hanyalah gumpalan benang kusut.
Boro-boro mengunjungi Taehyung, ada kabarnya saja tidak. Lebih-lebih mengirimi uang bulanan, tidak ada ceritanya.
Pada akhirnya Taehyung pun tak bisa melanjutkan kuliah karena tersandung masalah biaya. Tepatnya, karena kedua orang tuanya tidak mau membiayainya. Ironis sekali.
Padahal dari segi intelektual, kemampuan Taehyung jelas mumpuni.
Ia bahkan sedikit lebih baik dari Jimin yang notabene siswa teladan yang teramat disiplin dan rajinnya keterlaluan.
Hanya saja, bocah kerempeng itu sama sekali tidak pernah menunjukkan gelagat tertarik pada semua hal yang berkaitan dengan perkuliahan beserta serba-serbinya.
"Kuliah berpotensi mengerdilkan kebebasan berpikirku pun mengungkung berbagai imajiku. Dicekoki oleh berbagai doktrin beserta teori oleh mereka yang telah sukses menerbitkan novel ilmiah bernama disertasi. Dan aku tidak suka itu," dalihnya pada Jimin.
Sesungguhnya kalau ia mau, berbagai tawaran beasiswa dapat dengan mudah ia dapatkan.
Tapi lagi-lagi, Taehyung tidak tertarik.
Karena pada hakikatnya, ada hal lain yang membuatnya tertarik.
Sebuah kebebasan mutlak tanpa taburan bumbu kekangan sebuah tirani.
Ini bukan tentang perkara apa maupun siapa.
Bukan pula tentang sosok mungil yang selalu mengitarinya kemana-mana, si angsa manis bermanik secemerlang tetes embun pagi, yang biasa disebutnya sebagai Chim-Chim.
"Jangan sebut aku Chim-Chim, Tae! Nama itu terlalu imut untuk ukuran lelaki jantan macam diriku," begitu kata Jimin.
"Jantan apanya? Dengar suara gemerisik daun di malam hari saja sudah pekik histeris sampai kebelet pipis," batin Taehyung.
"Baiklah, Chim-Chim, my sweet marshmallow upon the window nearby the willow when you seeking for a cow inside the bungalow," Taehyung mulai bermain tounge-twister.
"Kubilang jangan sebut aku Chim-Chim! Dasar Chimney sialan!" Chimney yang dimaksud Jimin di sini tentu saja adalah cerobong asap atau perapian; yang biasa digunakan untuk menghangatkan tubuh tatkala musim gugur dan musim dingin tiba.
"Hey, Tae Chimney! Penampilanmu yang berantakan itu tidak ada bedanya dengan anak kecil yang baru saja bermain kejar-kejaran dengan Sinterklas yang merangkak-rangkak di dalam cerobong asap sampai wajahnya kusam semua," Jimin mulai menyulut api peperangan di antara keduanya.
"Kalau bermain di dalam cerobong asap sih, bukan kusam lagi namanya, tapi cemong. Omong-omong ayo beranalogi. Ucapanmu mengenai cerobong asap membuatku mendadak terinspirasi!"
"Ya, ya—terserah padamu, Tuan Tukang Analogi," kibasan tangan Jimin di depan wajah Taehyung merupakan pertanda bahwa ia sudah sangat bosan dengan berbagai teori-teori tidak masuk akal yang sering Taehyung kemukakan pada dirinya.
"Well, kau tahu kan kalau sebuah perapian itu terdiri dari beberapa komponen? Ada kayu bakar, api, arang, abu, dan juga jelaga yang menempel pada dinding cerobong. Nah, dari keempat hal tersebut, mana yang terbaik untuk merepresentasikan diriku, Jiminnie?"
Jimin menyeringai, tidak biasanya ia senang dengan pertanyaan yang diajukan oleh Taehyung kepadanya.
"Haha! Tanpa perlu berpikir dua kali pun aku tidak akan ragu untuk memilih jelaga sebagai analogi terbaik dari karaktermu!"
"Hm, jelaga ya? Kenapa tidak api saja—atau kayu bakar mungkin?" Taehyung menawar.
"Api dan kayu bakar—maumu! Jelas-jelas kau itu jelaga, Tae. Sudah cemong, kusam, lengket, pekat, menempel, sulit dibersihkan lagi!"
"Ah, kurasa aku tidak secemong itu, Chim. Hm, tapi tidak masalah. Biarpun kau bilang begitu, tetap saja aku adalah jelaga paling tampan sedunia! Hahaha."
"Cih, dasar narsis!" decih Jimin membentuk gestur jijik dengan bibirnya.
Mengenai kelakar Taehyung yang bernada narsis satu itu, sejujurnya Jimin pun tidak bisa untuk tidak setuju.
Taehyung memang tampan dan semua orang pun mengakui hal itu.
Termasuk Park Jimin—yang tentu saja tidak akan pernah rela mengakuinya secara terang-terangan.
.
.
.
Hubungan Taehyung dan Jimin itu cukup unik, sebut saja bromantik semisadistik.
Baru dengar istilah seperti itu?
Kata orang-orang, mereka berdua cukup mesra untuk dikatakan sekadar sahabat.
Namun pada kenyataannya memang sedemikian mesra sih. Kelewat mesra malah.
Keduanya bahkan suka saling sentuh satu sama lain. Tunggu dulu, jangan berpikir yang bukan-bukan dulu karena konteks kata 'sentuh' di sini bukan dalam artian negatif atau cabul.
Mereka berdua hanya gemar saling sikut, saling piting, saling tendang, bahkan saling gulat sampai berguling-guling di atas bumi seolah tiada hari esok lagi.
Suatu kebiasaan yang sama sekali tidak pernah berubah semenjak keduanya masih berbentuk miniatur manusia yang masih saling berebutan dot dan bebek karet; sampai akhirnya kebiasaan ini terbawa juga sampai dewasa.
Sama saja. Tidak ada bedanya antara dulu dengan sekarang. Hanya saja aksi keduanya mungkin bisa dibilang lebih brutal dari sebelum-sebelumnya.
Apabila Jimin hobi tampar-tampar pipi Taehyung dalam segala situasi dan kondisi; maka Taehyung akan balas toyor-toyor kepala Jimin sampai bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Jimin juga gemar memiting kepala Taehyung dengan sikutnya lalu menjebaknya di bawah ketiaknya. Untung saja ketiaknya wangi aromaterapi, kalau tidak?
Bisa-bisa Taehyung pingsan dibuatnya. Dan pitingan dari seorang Park Jimin itu, sukses membuat kepala Kim Taehyung bergesekan manja dengan kedua tonjolan kembar pada dada rata milik Jimin.
Namun empunya tampaknya tenang-tenang saja. Sudah biasa dan seolah bukan apa-apa. Jadi, tidak ada masalah.
Sementara Taehyung, sejurus kemudian akan balas piting kepala Jimin menggunakan tungkai-tungkai panjangnya yang mirip kaki belalang itu.
Tentu saja setelah keduanya berguling-guling mesra terlebih dulu di atas tanah sambil bergulat dengan sepenuh jiwa dan raga mereka. Setelahnya, ia akan mengunci kepala Jimin di antara selangkangannya yang kerapkali berfriksi dengan kesejatian di balik celana panjangnya.
Namun itu bukan apa-apa. Sudah terbiasa dan tidak ada rasa.
Begitu kata mereka.
.
.
.
Sejak kecil Jimin dikenal oleh masyarakat sekitarnya sebagai sosok yang religius dan taat beragama.
Setiap Minggu, ia akan pergi ke gereja untuk melakukan ritual mingguannya. Kebaktian.
Sejak kecil pula Jimin selalu mengajak Taehyung yang selalu menolak tiap kali Jimin menyeret-nyeretnya untuk kebaktian. Dan sayangnya, usaha Jimin ini selalu menemui kegagalan.
Taehyung yang licin itu selalu berhasil melarikan diri. Kabur begitu saja pada saat Jimin sedang lengah.
Pernah pada suatu hari Jimin bertanya kepada Taehyung mengenai perihal yang masih berkaitan dengan isu religi yang kerapkali diusungnya sebagai topik pembicaraan.
"Tae, kau sudah pernah dibaptis ketika bayi?"
"Entahlah, sepertinya tidak. Mm, setahuku memang tidak."
"Kau yakin? Coba tanyakan pada nenekmu?"
"Kau lupa? Nenekku kan sudah pikun. Mana dia tahu?"
"Ah, benar juga ya. Maaf, aku lupa hehe."
"Masih muda saja sudah pikun seperti nenekku? Bagaimana tuanya?"
Dan Jimin tentu saja tidak akan menyinggung perihal orang tua Taehyung dengan melayangkan saran seperti, "Kalau begitu, coba tanyakan pada ibumu atau ayahmu," karena masalah ayah dan ibu terbilang sensitif bagi seorang Kim Taehyung.
Akhirnya si sahabat mungilnya itu hanya tersenyum penuh misteri. Dan tampaknya sel-sel kelabu di otaknya tengah menyusun serangkaian lego bernama rencana mengembalikan Taehyung ke jalan yang benar.
Sebuah misi klandestin untuk seorang Kim Taehyung.
Pada suatu hari di malam Minggu, Jimin sengaja meminta Taehyung untuk menginap di rumahnya. Itu adalah siasat yang bertujuan tidak lain untuk mengelabui Taehyung agar bisa ia bawa ke gereja.
Taehyung pun tidak menaruh kecurigaan sama sekali karena mereka berdua memang biasa menginap bersama pada akhir pekan maupun hari-hari biasa.
Pagi itu Jimin menyuruh Taehyung mandi duluan sementara ia menyiapkan setelan kemeja putih dan celana bahan hitam beserta sepatu pantofel hitam mengkilap untuk sahabatnya tersebut.
Setelahnya, Jimin pun mendandani Taehyung dengan pakaian yang telah ia siapkan dengan dalih yang cukup konyol namun dapat membuat seorang Kim Taehyung tertipu.
Kata Jimin, "Tae, hari ini kita akan pergi menghadiri ulang tahun pernikahan kakek dan nenekku. Jadi, kau kenakan pakaian ini ya? Supaya kita bisa kembaran."
Dan pagi itu, Taehyung benar-benar terperdaya oleh Jimin. Bahkan Taehyung pun sempat duduk di deretan bangku jemaat gereja dan mau tidak mau mengikuti ritual kebaktian seperti menyanyi dan mendengarkan pendeta menyampaikan khotbahnya.
Setelah semua prosesi telah rampung seluruhnya, Jimin pun segera menyeret Taehyung ke hadapan pak pendeta yang tengah sibuk dengan sebuah bejana berisi air di dalamnya.
Tampaknya itu adalah perkakas untuk pembaptisan. Bagaimana bisa? Bisa ditebak, Jiminlah yang memesannya sejak jauh-jauh hari kepada sang Pendeta.
"Pak Pendeta, ini temanku yang katanya sejak bayi belum pernah dibaptis," jelas Jimin.
"Hm, siapa namamu anak baik?" sang pendeta mengangguk dan meneliti wajah Taehyung.
"K-Kim Taehyung.." lirih Taehyung.
Sang pendeta tersenyum bijak, ia pun meneliti wajah Taehyung lekat-lekat. Setelahnya. ia mulai mengambil bejana keemasan yang mengkilap berisi air di dalamnya beserta sebuah tongkat alloy yang juga berwarna senada.
"Baiklah, tuan Kim Taehyung..." pendeta itu sudah bersiap dengan perkakas pembatisannya namun...
"Huwaaaaa, kabuuuuurrr!" tiba-tiba Taehyung lari tunggang langgang dan melompat ke luar gereja dari salah satu jendela besar yang terbuka di sisi kiri kapel.
"Kenapa dia lari, Nak Jimin?" pendeta di depan Jimin itu tampak keheranan.
"Maafkan saya pak Pendeta. Mungkin saja dia lapar, hehehe," alasan super konyol dari Jimin.
Setelahnya, Jimin pun ikut menghambur keluar untuk mencari sosok sahabat anehnya tersebut.
.
.
Jimin benar-benar tidak habis pikir mengapa Taehyung begitu paranoid untuk diajak ke gereja. Sempat terlintas di dalam pikirannya pertanyaan seperti, "Apakah Taehyung itu seorang atheis?"
Kalau benar begitu maka Jimin akan berusaha mengembalikan Taehyung agar kembali ke jalan yang benar. Begitu katanya.
"Tae, kau tahu tentang catatan perkamen kuno mengenai konsep teologi? Seperti ritual penyucian jiwa dengan istilah sakramen misalnya?"
"Hah? Apa itu perkamen dan sakramen? Yang aku tahu itu ultraman, superman, dan batman," tukas Taehyung malas.
Selama ini Taehyung memang cukup cuek kalau tidak ingin dikatakan tidak peduli dalam menanggapi isu-isu religius yang sering dinubuatkan oleh Jimin kepadanya.
Alasannya apa, Jimin pun tak pernah tahu. Namun, ia selalu ingin tahu. Apa pun itu.
Jimin memang tipikal yang apabila ia merasa penasaran akan sesuatu maka ia akan terus mencari tahu.
Mencari tahu sampai puas sehingga akhirnya ia bosan dan tak mau tahu lagi.
Dan suatu hari Jimin pun menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini.
Secara tak dinyana pun disengaja olehnya.
Sore itu cerah, sang mentari masih berada di atas batas cakrawala dengan pendar kuning jingga yang tampak mencolok mata manusia.
Burung-burung walet beterbangan membelah langit senja yang tampak begitu bersahaja.
Jimin menghampiri sahabat sepenanggungan namun tak senasibnya itu di dalam sebuah bangkai pesawat tua sisa Perang Dunia II yang terletak di belakang pekarangan rumah nenek Taehyung. Di samping pohon akasia yang usianya lebih kurang satu abad dikurangi dua dasawarsa.
Jimin mendekati Taehyung yang tampaknya tengah sibuk berkutat dengan sebuah buku tebal; yang terlihat lusuh dan berwarna kuning pudar.
Mulutnya berkomat-kamit seperti seorang dukun yang sedang merapal mantra dengan kedua manik yang berulang-alik ke kanan dan ke kiri.
"Tae, kau sedang apa?" Jimin mengambil tempat duduk di sebelah kursi kemudi—kursi yang diduduki Taehyung saat ini.
Taehyung berhenti sejenak dari aktivitasnya dan menjawab, "Merapal Dharma sekaligus menghafal Sutra. Kau tidak lihat?" lalu kembali berkomat-kamit dengan kitab kuning di hadapannya.
"Hah? Sejak kapan kau mulai menghafal Sutra? Kau pindah keyakinan?" Jimin keheranan, tatapannya penuh selidik.
"Tentu saja sejak aku bisa membaca. Nenekku yang mengajarkanku prinsip-prinsip Dharma beserta barisan-barisan Sutra semenjak aku masih kecil. Dan aku tidak pernah pindah keyakinan," jelas Taehyung yang segera mengabaikan Jimin untuk kembali berkencan dengan kesibukannya menghafal.
"Jadi, selama ini kau penganut Buddha?" Jimin memekik di akhir kalimatnya.
"Kau pikir apa alasanku menolak semua ajakanmu ke gereja?" Taehyung mendengus, agak sebal juga dilempari pertanyaan terus-menerus di kala ia sedang sibuk belajar agama.
"Kenapa kau tidak pernah bilang, Tae?!" nada bicara Jimin mulai meninggi.
Tidak marah, hanya terlampau kaget saja.
Taehyung menutup kitabnya dengan kasar, "Kau kan tidak pernah tanya! Bagaimana sih?" lalu menoyor dahi kinclong sahabatnya dengan begitu santai. Membuat empunya termangu dengan berbagai asumsi yang menari-nari di kepalanya.
Benar juga. Selama ini Jimin selalu berkicau mengenai konsep ketuhanan beserta pasal dan ayat-ayat yang dikutipnya dari Injil untuk dikhotbahkan kepada Taehyung tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara apalagi menyela.
Pantas saja. Mana mungkin Taehyung paham perihal ayat dan pasal pada injil, lebih-lebih tentang perkamen atau sakramen kalau yang dibacanya sejak kecil adalah kitab kuning Tripitaka berisi barisan Sutra dan berbagai prinsip Dharma.
.
.
.
Jimin adalah seorang computer freak, aspirasinya adalah menjadi salah satu hacker kenamaan dunia. Obsesinya ini dimulai sejak ia mengenal internet pertama kali. Dari seluk-beluk internet itulah Jimin menjadi begitu terbuai oleh bahasa-bahasa pemrograman dan ingin menguasainya.
Setiap hari ia akan mengutak-atik komputer di kamarnya dan menjajal berbagai hal yang menurutnya tak masuk akal. Namun hanya satu orang saja yang tahu tentang obsesi berlebihannya terhadap komputer ini, siapa lagi kalau bukan Kim Taehyung.
Dan Taehyung, hanya akan rebahan di tempat tidur Jimin sambil menghabiskan aneka camilan yang tersedia di kamar sahabat sepanjang usianya itu; sementara Jimin asyik menyibukkan diri dengan sesi ubrak-abrik komputernya tersebut.
Pada suatu kesempatan Jimin bertanya, "Tae, sebenarnya apa hal yang kausukai di dunia ini?"
Taehyung memproyeksikan kedua binernya ke kiri atas, "Mm, makan, tidur siang, bermain, dan tak melakukan apa pun. Keempatnya adalah favoritku, tapi yang terakhir adalah yang terbaik," jawabnya enteng sambil mengunyah bungkusan keripik kentang yang masih tersisa sedikit isinya.
Catat, Taehyung mengunyah bungkusnya, bukan keripik kentangnya.
"Yang benar? Setidaknya kau pasti punya hobi atau ambisi kan, sepertiku saja misalnya, aku sangat menyukai semua hal tentang komputer. Kau pasti juga memiliki hal yang seperti itu bukan?"
"Ya, kurasa. Aku ingin menguasai sebuah seni," ucapnya dengan kepala terkulai ke bawah ranjang sementara kakinya ia angkat tinggi-tinggi melawan gaya gravitasi.
"Benarkah?! Apa itu Tae?" kedua manik kelam Jimin menampakkan binarnya yang paling terang. Pertanda bahwa sang empunya begitu tertarik dengan jawaban apa yang akan diucapkan oleh Taehyung.
"Nothing," jawaban Taehyung menimbulkan kernyitan di dahi yang lebih pendek. "Aku hanya ingin menguasai—the art of doing nothing, alias seni tak melakukan apa pun," tambahnya, satu alisnya ia angkat lebih tinggi dari sebelahnya. Pongah sekali.
Dan ekspresi Taehyung yang kelewat menyebalkan seperti itu hanya membuat Jimin tidak tahan lagi untuk tidak meluncurkan sekepal tinju ke wajah tampan sahabatnya itu.
"Sialan kau Kim Taehyung", gerutunya sebal.
BUGHHH!
BUGH! BUGH! BUGH!
Santai.
Karena Jimin melayangkan bogem mentah ke wajah kawannya itu hanya di dalam imaji.
Di dunia nyata? Mana berani.
Tepatnya, mana mau ia merusak kerupawanan sebuah karya seni; hasil sentuhan langsung tangan Tuhan yang nyaris sempurna tersebut. Tidak tega.
"Mengagumi ketampananku, eoh? Aku tahu kok kalau parasku ini memang terlalu menawan sehingga kau tak kuasa melepaskan tatapan matamu dari wajahku," goda si kerempeng.
"Cih, percaya diri sekali? Tidak sudi! Aku menatapmu bukan karena mengagumi ketampananmu melainkan sedang berpikir bagaimana caranya untuk mengurangi sel-sel narsis yang tumbuh subur seperti gulma di dalam otakmu!"
"Ah, mengaku sajalah. Tidak usah malu-malu. Kau tahu kan kalau aku menerimamu apa adanya?" seulas seringai dan kedipan genit dilayangkan Taehyung untuk Jimin.
"Ya, kau ini bicara apa?! Sekadar informasi saja, aku ini lurus. Jadi, mana mungkin aku mengagumimu? Dan satu lagi, aku lebih suka melon daripada pisang!" kilah si pendek.
"Aku tahu kok. Itu sebabnya sampai saat ini, kau masih saja belum punya pacar. Kau suka melon kan? Makanya kau selalu menolak setiap yeoja yang menyatakan cintanya padamu. Itu karena kau itu lurus Chim—benar-benar lurus, selurus busur panah yang patah jadi dua hahaha," gelak tawa pemuda berkulit eksotis itu menggema di seluruh penjuru kamar Jimin, membuat empunya menggeram marah bagaikan serigala lapar yang siap menerkam mangsanya.
Bagaimana tidak, busur panahnya sendiri saja sudah bengkok. Kalau sampai patah jadi dua, lalu apa namanya? Bengkok kuadrat atau dobel bengkok?
"Kim Taehyung, sialan!" Jimin menggeram murka, giginya bergemeletuk penuh tantrum.
Sekonyong-konyong, Jimin menyerbu pemuda kerempeng yang masih asyik rebahan di atas tempat tidurnya; menindihnya, memitingnya, menduduki perutnya, kemudian bergulat sambil berguling-guling ke sana kemari di atas kasur king size-nya.
Nasib baik tempat tidur Jimin berukuran king size sehingga mereka bisa leluasa berguling-guling tanpa takut jatuh. Meskipun kemungkinan untuk tidak terjatuh pada dasarnya juga kecil, tapi setidaknya mereka punya durasi lebih lama untuk bermain di atas kasur.
Lagi pula, menonton pertunjukkan live wrestling match antara Park Jimin dan Kim Taehyung itu benar-benar sangat seru. Yang satu akan berteriak-teriak dengan suara beratnya dan yang satunya lagi akan menggeram marah dengan pekikannya yang seperti lumba-lumba.
Keduanya baru akan berhenti jika Taehyung meminta ampun dan mengaku kalah duluan. Dan Taehyung sesegera mungkin harus mengaku kalah—karena apabila aktivitas keduanya tetap dilanjutkan, ujung-ujungnya mereka akan melakukan ritual dry-humping terselubung yang saling mereka nikmati satu sama lain.
Taehyung dan Jimin memang selalu mengingkari bahwa pada kenyataannya mereka berdua tengah melakukan ritual dry-humping yang terbungkus rapi dalam kemasan 'gulat sambil guling-guling'.
Sebuah alibi berkedok nostalgia dalam rangka mengenang memori masa kecil yang tidak lain adalah berebutan dot dan bebek karet.
Namun tentu saja, keduanya tidak ada yang mau mengakui hal tersebut.
Gengsi. Sama-sama gengsi.
Yang mana kadar gengsi mereka bila disusun mungkin tingginya bisa mengalahkan puncak piramida Giza yang ada di Afrika.
"YAK KIM TAEHYUNG, TERIMA INI!"
"Ampun Chim, ampun akk! Ampun akkk!"
Ya, begitulah hubungan keduanya.
.
.
TBC
.
Implied action for the next chapter.
VMIN anyone?
Have no title yet.
.
A/N
Do not take it seriously and i ask you guys apology for bringing up such a religious matter in this fic.
IF IT BOTHERS YOU A LOT I'LL DELETE THE RELIGIOUS ISSUES UPTHERE.
