Negotiations
Story By: MagnaEviL
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: AU, Sho-ai, OOC , gaje, dll dsb.
Special for Uzumaki Arisa's birthday. Hope you like this fict.
Don't Like Don't Read.
Enjoy
…
Hamparan langit yang begitu luas malam ini terasa begitu pekat. Tak ada hiasan apapun, baik itu bintang maupun bulan. Hanya sekedar tumpahan cat hitam yang diberi bercak kebiruan. Begitu kosong.
Dalam sebuah kastil ini, terdapat seorang pemuda yang berdiam diri di kamar mewahnya. Ia merebah di kasur, matanya memandang sayu ke arah jendela yang terbuka. Tirai-tirai melambai karena angin malam. Menatap hanya untuk memandang langit hitam tanpa bulan dan bintang di balik jendela kaca itu. Seolah hanya pemandangan itu yang tampak lebih menarik baginya.
Suara ketukan menggema di kamar itu yang berasal dari pintu kamarnya. Namun pemuda itu tak berminat. Ia hanya mendengar dan diam. Lalu, suara ketukan itu berbunyi lagi. Dan diiringi dengan munculnya sebuah suara.
"Pangeran."
Pemuda yang dipanggil pangeran ini tak menyahut panggilan itu. Tetap pada posisinya yang rebahan sambil memandang langit di balik kaca itu.
"Pangeran, saya ingin masuk ke kamar pangeran."
Lagi. Tak ada sahutan sama sekali. Namun, karena orang ini sudah hapal akan tabiat pangeran yang tak menyahut panggilannya, maka ia pun memasuki kamar itu. Karena ia tahu, sang pangeran apabila diam saja berarti bertanda 'ya'.
Pintu itu terbuka, menampilkan sesosok pemuda berambut coklat yang melangkah mendekat kepada sosok pangeran yang tengah rebahan itu, tanpa menatap dirinya. Ia juga membawa nampan yang di atasnya terdapat sebotol penuh berisi cairan merah dengan gelas bening berukir.
"Ada apa, Iruka?" tanya sang pangeran begitu sosok yang dipanggil Iruka ini mendekat.
Iruka tersenyum begitu mendapat tanggapan dari sang pangeran. "Saya disuruh ke sini hanya untuk menyampaikan suatu hal dari sang Raja."
Sedikit rasa tak senang mendengar 'sang raja' disebut dari Iruka. "Apa itu?"
"Anda diminta untuk menghadiri pertemuan para tetua sebentar lagi untuk membahas masalah penerus klan ini," ada jeda sejenak sebelum Iruka melanjutkan, "sebelum itu, saya mohon agar Anda meminum ini dulu," ujarnya sambil menyerahkan nampan yang berada di kedua tangannya.
Tanpa menoleh sang pangeran menjawab pertanyaan Iruka. "Persetan dengan pertemuan itu. Aku tidak akan datang."
Iruka menyanggah. "Tapi, Pangeran, Anda sebagai penerus klan ini wajib—"
"Sekalipun aku sebagai penerus klan ini, aku tidak akan datang ke pertemuan konyol itu. Aku tak menginginkan ini semua." Sang Pangeran menatap tajam ke arah Iruka.
Iruka mendesah pelan. Ia maklum dengan ketidak inginan Tuannya itu sebagai penerus klan ini. Pangerannya itu adalah orang yang sangat menjunjung tinggi kebebasan. Ia tak suka terikat akan aturan-aturan yang menurutnya konyol di klan ini. Membuatnya tak bisa bergerak bebas.
"Baiklah kalau Anda tak ingin datang ke pertemuan itu. Saya tak bisa memaksa." Ia menarik napasnya sejenak. "Tapi saya mohon kepada Anda agar minum 'cairan' ini. Anda sudah tak meminumnya empat bulan yang lalu. Wajah Anda sudah pucat, saya khawatir."
Sang pangeran itu bangkit dari rebahannya. Ia duduk di pinggir kasur dan menatap Iruka lembut. "Tidak, aku tak akan minum. Aku tak apa. Terima kasih telah mengkhawatirkanku." Ia berjalan mendekati Iruka. "Aku akan pergi untuk mencari angin. Apabila para tetua itu mencariku, bilang saja, aku keluar."
Ia membawa kakinya keluar dari kamarnya setelah Iruka mengiyakannya. Begitu pangerannya sudah menghilang, ia mendesah. "Sampai kapan kau akan begini, Naruto?" gumamnya pelan.
Sang Pangeran melangkah keluar dari kastilnya. Para penjaga dan pelayan yang kebetulan bertemu dengannya hanya menunduk hormat. Sang pangeran berdiam saja, tak membalasnya. Walau hanya sekedar anggukan singkat.
Angin malam ini begitu kencang. Menerbangkan helai rambut pirangnya berbagai arah. Ia memejamkan matanya. Merasakan tamparan angin membelai lembut wajahnya. Tak berapa lama, mata itu terbuka, menampakkan lautan biru indah yang siapapun memandangnya akan terpesona. Sang pangeran tersenyum, dan gigi runcing itu menyembul di balik bibirnya. Setelahnya, ia pergi meninggalkan kediamannya.
.
#
.
Tempat itu begitu ramai. Suara hingar bingar memenuhi ruangan yang sangat berisik itu. Alunan musik yang berasal dari dj begitu menggema, membuat siapa saja akan menari sesukanya.
Di sinilah sang Pangeran berada. Ia melangkah masuk ke dalamnya, mendapati ribuan manusia tengah bersenang-senang ria. Bau rokok dan alkohol dimana-mana. Namun bau yang paling menyengat menghampiri indra penciumannya hanya darah. Terasa begitu menusuk.
Beberapa wanita malam mendatanginya. Mereka tersenyum menggoda, hanya untuk menarik perhatian sang pangeran agar mau 'menyewa'nya. Andaikata para wanita itu tahu kalau pemuda yang tengah mereka goda ini 'berbeda', tentu mereka tak berpikir dua kali untuk menggodanya.
Sang Pangeran tersenyum. Menawan setiap pasang mata yang melihatnya, termasuk para wanita yang menggodanya ini. Terpesona, seolah itu adalah senyum malaikat yang mereka temui. Tanpa tahu di balik bibir menawan itu tersimpan senjata yang mematikan.
Dengan senyuman itulah sang Pangeran menolak permintaan wanita-wanita penggoda itu. Para wanita itu hanya mengangguk mengiyakan. Masih terpesona dengan senyuman malaikat di hadapannya. Tanpa berkata lagi, sang Pangeran meninggalkan para wanita itu.
Setelah para wanita itu tak lagi didekatnya, ia mendengus. Betapa menjijikkannya mereka, pikirnya saat itu. Mendekati meja bartender, memesan minuman yang kadang ia minum di tempat lain. Sang bartender mengangguk paham. Dan ia meninggalkan pangeran itu untuk memenuhi pesannya.
Mata birunya hanya memandang lautan pembawa darah segar dengan tatapan bosan. Ada yang menari sambil membawa sebotol alkohol, di pojok yang beremang ada yang sedang melakukan sesuatu yang sangat tak pantas dilihat, dan juga terdapat segelintir orang yang menghisap barang haram.
Melalui mata itu ia bisa melihat. Setidaknya ada beberapa makhluk seperti dirinya berada di ruangan itu. Bersyukurlah ia bisa menyembunyikan hawa keberadaannya sebagai 'makhluk yang beda' dari siapapun. Sehingga, para makhluk itu takkan bisa mengenalnya.
Sekelebat bau harum menghampiri penciumannya. Begitu nyaman ketika ia menciumnya dalam-dalam. Hampir membuatnya hilang kendali kalau ia adalah seorang 'makhluk' yang liar. Mata biru itu mengedar pandang. Mencari sosok yang memiliki bau harum itu.
Dapat. Ia menemukan orang itu. Seorang pemuda dan beberapa orang lainnya tengah memasuki ruangan ini dengan tatapan bosan. Ya, pemuda itu. Pemuda itulah yang memiliki bau harum ini. Sang pangeran menyeringai. Tapi gigi taring itu tersembunyi dengan baik.
Pemuda pembawa bau harum itu duduk di samping dirinya yang berjarak lima meter. Sang pangeran tetap membawa arah pandangnya ke pemuda itu. Bau harum ini begitu menggila di indra penciumannya.
Suara bartender membuyarkannya. Ia menoleh hanya untuk mendapati sang bartender menyerahkan pesanannya. Sedikit kesal karena bartender itu merusak kesenangan sesaatnya. Ia mengambil minumannya, dan kembali memandang pemuda berbau harum itu.
Rambut hitam yang mencuat, mata yang berwarna senada begitu tampak pada dirinya. Ditambah lagi dengan kulit putih pucatnya yang begitu indah di matanya. Saat matanya tertuju pada lehernya, ia tergoda. Hampir saja mata biru itu berubah kalau ia tak menahan dirinya. Apalagi saat ini ia tak 'makan' berbulan-bulan lamanya.
Rasanya sang Pangeran merasa familiar dengan wajah pemuda yang memiliki bau harum itu. Sang Pangeran mencoba mengingat-ingatnya lagi. Dan ah! Sang Pangeran ingat sekarang. Dia adalah seorang pemburu vampir yang lumayan terkenal itu. Pemburu vampir dengan organisasi bernama Taka. Dan pemuda itu juga keturunan Uchiha yang terkenal karena klannya itu beranggotakan pemburu-pemburu vampir yang hebat. Ya, tidak salah lagi. Dia yang sering dibicarakan anak buahnya. Uchiha Sasuke.
Sang Pangeran menyeringai. Menampakkan gigi putihnya yang selalu tersembunyi di balik bibir pucatnya. Entah kenapa ini terdengar sangat menarik baginya. Ia beranjak dari tempatnya, untuk menemui pemuda itu walau hanya sekedar sapaan biasa.
"Boleh aku duduk di sampingmu?" tanya sang Pangeran sesopan mungkin kepada pemuda yang merupakan musuh dari makhluk seperti dirinya.
Mata hitam itu melirik pada sosok di sampingnya. Pandangan tak tertarik diberikan. "Silahkan dimanapun kau mau."
"Thanks," balas sang Pangeran.
"Hn," sahutnya singkat yang bahkan sang Pangeran tak mengerti artinya itu.
Sang Pangeran melirik ke arah pemuda di sampingnya. "Kau tidak minum?"
Pemuda itu menggeleng. "Aku tidak minum."
Sang Pangeran mendengus. "Bagaimana bisa kau datang kesini kalau kau sendiri tak minum?"
"Aku hanya ingin mencari sesuatu," jawab si pemuda itu.
"Sesuatu?"
"Kalau kau ingin mengetahui urusan orang lain, urusi saja yang menjadi urusanmu."
Sang Pangerang nyengir. "Ok, maaf. Ah, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Aku Uzumaki Naruto. Kau?" sang Pangeran menjulurkan tangannya. Bermaksud untuk beramah tamah dengan si pemuda pemburu itu.
Si pemuda melirik tangan yang terjulur ke arahnya dari sang Pangeran. Ia memandang tak minat, lalu mengabaikannya. Tapi ia menjawab pertanyaan sang Pangeran yang diketahui bernama Naruto. "Sasuke. Uchiha Sasuke."
Mata Naruto berbinar mendengarnya. Sesungguhnya ia hanya berpura-pura senang mendengar nama Uchiha itu. "Kau Uchiha? Uchiha yang terkenal itu?" Naruto berteriak senang. Dan perlu diulangi lagi, sang Pangeran hanya berpura-pura untuk menutupi identitasnya. "Tak kusangka akan bertemu dengan anggota Uchiha di sini. Sudah lama sekali aku mengagumi kalian dalam berburu vampir. Jangan-jangan… kalian ke sini untuk berburu vampir?"
Sasuke tak menjawab. Ia hanya melirik singkat ke arah Naruto dengan mata hitamnya.
"Oh, ada sesuatu yang harus kuberitahukan kepadamu."
Sang pangeran bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan mendekati Sasuke. Kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Sasuke. "Kau memiliki bau darah yang sangat wangi. Aku sangat menyukainya," bisik sang Pangeran terlalu pelan. Tapi telinga itu mampu menangkap apa yang dikatakan sang Pangeran.
Mata hitam itu sedikit membesar. Ekspresi terkejut terpasang di wajah yang selalu memasang wajah datar itu. Tak sampai satu menit, Sasuke mengembalikan wajahnya seperti semula. Tangannya bergerak ke pinggangnya, hanya untuk mengambil sebuah belati perak untuk melukai sang pangeran.
Mengetahui pergerakan dari si pemuda, tangan Naruto bergerak cepat menahan tangan Sasuke di pinggang. "Jangan terburu-buru dulu, Uchiha. Tentu kau tak ingin memancing keributan di sini, 'kan?"
Uchiha itu berdecih. Kesal karena perlakuan makhluk yang menjadi musuhnya itu. "Bagaimana bisa hawamu tak bisa terdeteksi?"
Naruto tertawa singkat. "Kau tak bisa meremehkanku, Sasuke. Yang jelas, aku adalah makhluk yang paling kau cari."
Mata hitam itu menyipit kemudian setelah mengetahui jawabannya. "Pangeran Namikaze Naruto."
Melalui mata biru itu, sang Pangeran melirik ke arah Sasuke. "Tepat sekali." Ia membawa wajahnya menghadap Sasuke. "Ingatlah wajah ini baik-baik. Aku adalah Pangeran Namikaze Naruto. Makhluk yang akan selalu kau cari." Tangan yang berwarna tan itu naik, untuk menyentuh pipi pucat milik Uchiha Sasuke. Lalu menepuknya. "Aku harus pergi dulu. Kuharap kita bisa bertemu lagi, Sa-su-ke."
Si Uchiha membalikkan badannya ketika Naruto tak lagi ada di hadapannya. Namun bagai kecepatan kilat, sosok itu tak ada lagi dimanapun. "Sial!" umpatnya kesal. Lalu ia membawa pandangannya ke arah lautan manusia yang asik menari itu. "Aku akan mencarimu walau sampai ke ujung dunia!" tekadnya untuk menemukan vampir itu.
…
Sang Pangeran kembali ke kastilnya. Sepanjang perjalanan menuju kastil ini ia hanya tersenyum terus menerus. Menyenangkan bermain-main dengan pemburu vampir itu yang bernama Uchiha Sasuke. Bibirnya tak henti melantunkan suara tawa. Sampai pada saat ia memasuki kamarnya yang begitu luas itu kembali.
Ia kembali merebahkan dirinya ke ranjangnya yang berukuran king size. Lalu mata sebiru langit itu memandang langit hitam yang berada di balik jendela kaca yang masih terbuka tanpa ada tirai yang menghalangi. Namun sebuah ketukan pintu membuyarkannya. Entah kenapa ia merasa déjà vu akan hal ini.
"Masuk," sahut sang Pangeran.
Dan lagi-lagi yang masuk adalah Iruka, pengasuhnya yang sudah mengabdi pada keturunan ini bertahun-tahun lamanya. Perlu diketahui satu hal, bahwa Iruka termasuk golongan manusia. Berbeda dengan sang Pangeran yang keturunan darah murni dari seorang vampir.
Mata biru sang pangeran bisa melihat pengasuhnya itu berdiri sambil tersenyum. Dang sang pangeran membalas senyuman itu.
"Sepertinya Pangeran sangat senang sekali. Kalau boleh saya tau, ada apa sebenarnya?" Tanya Iruka dengan hati-hati.
"Kau tau, Iruka? Aku dapat mangsa baru," jawab sang pangeran.
"Mangsa baru?" sahut Iruka dengan alis terangkat. Bingung.
"Ya. Mangsa baru. Kau ingin tau rupanya?"
Iruka hanya mengangguk. Ia tertarik untuk mendengarkan cerita dari sang pangeran. Jarang-jarang juga ia melihat sang pangeran begitu bahagia seperti sekarang ini.
Naruto bangkit dari rebahannya di kasur. Ia duduk di samping Iruka. "Kau tau? Ia berasal dari pemburu. Yah… pemburu vampir tepatnya. Ia berasal dari klan Uchiha yang terkenal itu. Kau pasti tau dia kan?"
Iruka mengangguk sekali lagi. "Saya tau klan itu. Tapi sebaiknya Anda jangan terlalu berurusan dengan klan itu. Klan itu cukup licik untuk mengelabui mangsanya. Saya khawatir kalau Anda bisa terkena bujuk rayunya."
Sang pangeran tertawa. Lalu ia merangkul Iruka. "Tenang saja. Apa kau lupa kalau aku ini seorang pangeran? Aku takkan terkena oleh rayuan mereka," ujarnya yakin.
"Baiklah kalau begitu. Tapi—" Iruka menuangkan segelas 'cairan' yang dibawanya saat ia menuju ke sini, "—bukankah sebaiknya Anda meminum cairan ini dulu? Saya tau Anda pasti lelah."
Naruto menepuk pundak Iruka pelan lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tak begitu berminat lagi dengan darah biasa ini." Ia memegang bibirnya. Seketika itulah di balik bibir itu muncul taring yang tajam. "Aku hanya ingin darahnya. Darah Uchiha Sasuke." Ia menyeringai.
Entah kenapa Iruka sedikit bergidik melihat seringaian tuannya itu. Padahal ia sudah sering melihatnya. Naruto mengetahui kalau pengasuhnya itu sedikit ketakutan melihatnya.
"Jangan khawatir, Iruka. Aku tak berniat menggigitmu."
Iruka hanya tersenyum hambar.
Mata biru itu memandang kea rah jendela. "Mulai sekarang, aku harus mencari cara mendapatkan darah itu. Darah itu begitu wangi. Akan manis rasanya kalau darah itu bisa mengalir ke kerongkonganku."
"Saya harap itu bisa membuat Anda bisa minum darah lagi."
Tiba-tiba pintu kamar Naruto terbuka. Menampilkan sesosok yang dikenal oleh keduanya. Sekaligus yang paling dihormati. Iruka sampai bangkit dari duduknya. Ia berdiri sambil menundukkan kepalanya. Patuh.
Naruto pun ikut berdiri. Sedikit terbelalak juga melihat ayahnya datang ke tempatnya. Jarang-jarang juga sang ayah menemuinya seperti ini.
"Ayah," gumam Naruto kecil. Entah kenapa sedikit ada rasa tak enak kalau ayahnya itu datang ke kamarnya.
"Naruto."
PLAK!
Tamparan yang begitu keras mendarat ke pipi darah dagingnya. Naruto meringis. Menahan perih yang dirasakannya begitu sang ayah menghampiri pipinya dengan telapak tangannya. Dan saking kerasnya tamparan itu, mengakibatkan luka di sudut bibirnya.
Naruto memegang pipinya yang perih itu. "Ayah, ada apa ini?" tanyannya heran.
"Kau sungguh keterlaluan! Darimana saja kau selama pertemuan itu berlangsung? Kau tau? Dengan sikapmu itu aku hampir dipermalukan di depan para tetua!"
Naruto tak berani memandang wajah ayahnya yang kalap. Mendengar suara yang begitu tegas itu entah kenapa membuatnya bungkam. Biasanya ia selalu membantah apa yang dikatakan oleh ayahnya meskipun itu keras dan tegas. Malam ini ia merasa jiwanya ciut menghadapi ayahnya.
"Maaf, ayah."
Mata sang ayah menatap tajam ke arah sang anak. "Maaf, katamu? Setelah yang kau lakukan ini dengan mudahnya kau meminta maaf?"
Naruto tetap tertunduk. Ia masih saja memegang pipinya yang perih itu.
"Kau seharusnya sadar, Naruto, kalau kau adalah satu-satunya penerus klan ini. Kau juga seharusnya datang ke pertemuan itu." Minato—sang ayah menghela nafas pelan. "Lain kali aku tak mau kau tidak hadir dalam pertemuan selanjutnya. Aku tak mau mendengar alasan apapun. Aku harap kau sadar akan posisimu."
Minato berbalik. Kemudian ia membawa kakinya melangkah ke luar ruangan itu. Tapi sebelumnya, ia berhenti di hadapan Iruka. Tanpa memandang Iruka ia berkata, "Iruka, jaga Naruto baik-baik. Pastikan kalau ia takkan keluar lagi dari kamarnya malam ini."
"Baik." Sedikit menundukkan kepalanya, Iruka mengangguk patuh. Setelah mendengar persetujuan itu, Minato pun pergi meninggalkan ruangan itu.
Iruka menatap kepergian Minato di balik pintu itu. Setelah kepergian penguasa tertinggi itu, ia menghela nafas pelan. Beruntung, suasana tidak tegang seperti tadi.
"Brengsek!" sebuah makian keluar dari mulut sang Pangeran. Iruka menatap khawatir ke arah pangerannya. Naruto masih saja meringis menahan perih di pipinya itu.
"Pangeran, Anda tidak apa-apa?" Tanya Iruka sembari menghampiri Naruto.
"Tidak. Aku tidak apa-apa." Ia merintih tatkala jarinya tak sengaja menyentuh luka di sudut bibirnya.
"Sepertinya itu sakit sekali. Biar saya obati dulu." Iruka keluar dari ruangan itu untuk mengambil kotak obat yang berada di dapur.
Setelah beberapa menit kemudian, Iruka datang dengan sekotak peralatan obat-obatan.
"Seharusnya kau tak usah mengobatiku. Luka seperti ini akan hilang dalam satu jam kedepan. Melakukan hal ini akan menjadi sia-sia."
Iruka tersenyum menanggapi perkataan Naruto. "Biar saja. Lagipula saya senang melakukannya."
Naruto menghela nafas. Ia pasrah saja saat Iruka mulai mengobati lukanya yang sudah ia katakan sejak tadi bahwa luka itu akan menghilang.
"Kenapa mereka tidak menyadari sama sekali kalau aku tidak ingin jadi penerus klan ini?" Sang pangeran mulai berbicara. Ia mengeluh tentang ketidaksukaannya terhadap klan ini. Sementara Iruka sibuk mengobati lukanya. Sedikit kesulitan karena sang Pangeran sedang berbicara.
"Seharusnya mereka tau bahwa aku tidak mau menjadi apa yang mereka inginkan." Iruka diam mendengarkan. Kini ia telah selesai mengobati luka di sudut bibir sang Pangeran.
Iruka menepuk pundak Naruto pelan. "Mungkin ada alasan lain kenapa mereka memilih Anda sebagai penerus." Ia tersenyum.
Naruto memandang Iruka. "Tapi… masih ada Kyuubi, 'kan? Kenapa mereka memilihku? Kau tau? Kyuubi bahkan lebih berpengalaman dariku."
Iruka hanya menghela nafas. Mendengar segala keluhan dari sang Pangeran membuatnya merasa kasihan. Betapa sang Pangeran tidak menginginkan posisi itu. "Tapi Pangeran, bukankah Anda juga sudah tahu kalau kondisi fisik Kyuubi tidak memungkinkan?"
Naruto memejamkan matanya. Menghela nafas, kemudian merebahkan diri ke kasur kesayangannya. "Aku lelah memikirkan semua ini."
Iruka kembali memandang wajah pucat milik Naruto. Maklum saja, ia sudah tak 'makan' selama beberapa bulan. Kemudian dia kembali tersenyum. "Saya tinggal dulu, Pangeran. Saya harap Anda bisa beristirahat." Setelah mengatakan itu, Iruka pergi meninggalkan kamar mewah itu.
.
#
.
Keesokan harinya, tepat pada malam hari Naruto kembali mengunjungi sebuah bar yang sama ia kunjungi kemarin malam. Ia berharap, dengan kembalinya ia berkunjung ke bar yang lumayan mewah ini, ia bertemu dengan pemuda Uchiha yang memiliki bau harum itu.
Naruto memasuki bar itu. Dan seperti yang kemarin, ia kembali digoda oleh wanita-wanita nakal agar dia mau menyewa salah satu dari mereka. Tapi maaf saja, sang Pangeran lebih tertarik kepada pemuda bermarga Uchiha itu. Maka dengan halus, Naruto menolak mereka semua.
Naruto menajamkan penciumannya. Dan bau itu kembali hadir ke indra penciumannya. Naruto menghirup dalam-dalam aroma itu. Bagaikan ekstasi tersendiri baginya. Ia menajamkan matanya. Mencari pemuda itu sekiranya dimana ia berada. Mata biru mengedar pandang. Dan pada akhirnya mata biru itu menemukan sosok sang pemuda tengah duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Secepat kilat Naruto menghampiri pemuda itu.
Tampaknya si pemuda tak menyadari kehadiran Naruto yang secepat kilat berada di sampingnya. Maka Naruto pun mendekatkan diri ke arah pemuda itu.
"Mencariku, Uchiha?" bisik Naruto pelan ke telinga si pemuda.
Mata hitam itu terbelalak. Tapi secepat kemudian kembali ke semula. Ia menoleh, kemudian menatap tajam kepada sang Pangeran. "Namikaze," desisnya.
Dengan wajah tanpa dosa, Naruto tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya. Menyapa pemuda Uchiha itu, bertemu kedua kalinya. "Ternyata kita bertemu kembali."
Sasuke membuang mukanya. Ia enggan untuk menatap wajah penuh seringai milik Pangeran.
"Kau tidak sedang berpikir untuk menangkapku 'kan?" Tanya sang Pangeran di samping Sasuke.
"Hn," jawab Sasuke singkat.
Naruto membuang nafas. Ia menggaruk belakang kepalanya. "Aku tidak tau arti 'hn'mu itu. Suku kata yang aneh."
Sasuke memilih untuk mengabaikan ucapan Naruto. Matanya lurus ke depan. Menyedarkan pandang untuk mencari musuh yang bisa ia tebas malam. Matanya memicing tajam, tatkala ia merasakan hawa itu. Dan tepat saat itu ia melihat seorang pemuda tengah memeluk wanita. Pemuda itu membuka mulutnya, seketika dua buah taring menyembul dari balik bibirnya. Orang-orang di sekitar mereka tak menyadari apa yang dilakukan oleh pemuda itu.
"Oh, sial!" secepat kilat Sasuke bangkit dari duduknya, menghampiri pemuda yang bisa diketahui adalah seorang vampir yang hendak menggigit mangsanya.
Naruto memandang Sasuke dengan wajah kecewa. "Dia meninggalkanku sendiri di sini. Sepertinya vampir yang ada di sana lebih menarik perhatiannya daripada diriku." Ia menghela nafas. "Sebaiknya aku pergi saja." Setelah itu ia pergi meninggalkan gedung itu, tanpa sempat untuk sedikit bermain-main dengan pemuda yang menjadi targetnya.
Sementara itu Sasuke mengejar makhluk bernama vampir itu di luar bar setelah sebelumnya makhluk itu menyadari adanya bahaya. Vampir itu kabur tanpa sempat menggigit mangsanya. Ia berlari kemanapun asalkan bisa terlepas dari sang pemburu.
Kini makhluk itu terjebak di jalan sempit yang buntu. Tidak ada pilihan, maka makhluk itu memilih untuk melawan sang pemburu. Sasuke mengeluarkan pedangnya yang terbuat dari perak. Hanya dengan benda terbuat dari peraklah sang vampir bisa musnah. Selain itu hanya menimbulkan luka biasa.
Dengan mudahnya Sasuke menusuk vampir itu tepat ke jantungnya. Seketika tubuh si vampir hancur dan menjadi debu. Sasuke menatap debu itu yang terbang tersapu angin. Kemudian meletakkan kembali pedangnya ke dalam sarung di samping pinggangnya.
Ia mendongakkan kepalanya ke atas. Memandang langit hitam tanpa berhias itu. Lalu sekelebat muncul sesosok yang begitu ia kenal melintasi kepalanya. Sasuke berdecak kesal. "Cih! Kabur rupanya."
.
#
.
Seperti malam-malam sebelumnya, dan lagi-lagi sang Uchiha kembali dikejutkan oleh kedatangan sang vampir. Awalnya Sasuke hanya diam saja, entah kenapa semakin hari mereka sering bertemu, Sasuke merasa kesal oleh tingkah makhluk ini.
Contohnya seperti sekarang ini. Naruto datang dengan tiba-tiba dan langsung merangkul Sasuke layaknya teman lama yang lama tidak bertemu. Sasuke mendecih pelan. Ia merasa diambang batas kesabarannya.
"Lepaskan tanganmu, Dobe," geram Sasuke pelan.
Naruto dengan santainya menatap Sasuke. "Apa? Aku tidak dengar," ucapnya berbohong.
"Jangan memulai."
Naruto menyengir. "Ok, baiklah-baiklah." Tak ingin mencari gara-gara, Naruto melepaskan rangkulannya.
Pernah saat itu, Naruto mencoba bercanda dengan Uchiha yang ada di sampingnya. Tapi, karena saat itu mood Sasuke yang kurang bagus dan tidak sedang ingin bercanda, jadilah Naruto terkena sabetan pisau perak yang terselip di pinggang Sasuke. Alhasil, luka itu membekas sampai sekarang meskipun sudah dinyatakan sembuh. Iruka sampai kalang kabut dibuatnya.
Sementara itu, sampai sekarangpun Sasuke masih memikirkan cara bagaimana membunuh makhluk yang sampai sekarang masih dia temui. Entah kenapa, otaknya yang cerdas itu tak mau diajak kerja sama. Makhluk ini selalu bersiaga kapan saja, meskipun dirinya terlihat santai. Sasuke hanya pernah melukainya sekali. Dan setelah itu, ia mencoba untuk melukai makhluk itu hasilnya gagal. Makhluk itu selalu bisa membaca gerakannya.
"Hei, Sasuke. Mau minum? Aku akan mentraktirmu kali ini," ucap Naruto disela keheningan mereka.
Sasuke melirik ke arah Naruto singkat. "Tidak. Terima kasih. Aku khawatir kau memasukkan racun ke dalam minumanku," ucap Sasuke santai.
Naruto memasang wajah cemberut. "Gah! Sepicik itukah aku?"
"Hn."
Naruto ingin berteriak frustasi. Padahal dia berniat tulus untuk mendekatkan diri kepada pemuda ini. Meskipun tidak tulus sepenuhnya karena ia menginginkan sesuatu dari pemuda ini. Tapi pemuda ini selalu saja tidak mau didekati.
"Oh, ayolah~ Teme, aku hanya ingin menraktirmu saja. Tidak ada maksud yang lain." Naruto masih saja merayu pemuda ini. Dan entah kenapa ia merasa seperti merayu seorang gadis yang sedang cemberut karena permintaannya yang tidak dipenuhi oleh sang pacar?
"Aku tidak percaya."
Naruto membuang napasnya kesal. Ia sekarang ingin membanting sesuatu untuk menghilangkan rasa kesalnya. Jadinya ia hanya duduk di dekat bartender—seperti kemarin-kemarin dengan menopang dagu. Kesal sekaligus bosan.
Melihat pemandangan di hadapannya, dimana segelintir manusia yang sedang menikmati hentakkan musik dengan tubuhnya membuat pemuda pirang ini ingin berbuat jahil kepada pemuda yang selalu memasang ekspresi stoic ini.
"Hei, Teme," panggil Naruto.
Tak ada sahutan dari Sasuke.
"Teme, kau mendengarkanku tidak?"
Sebuah kedutan muncul di kening. "Apa?" dengan tidak ikhlas Sasuke menyahuti panggilan Naruto.
"Mau berdansa?" ajak pemuda pirang ini.
Ingin rasanya Sasuke mencabut pedangnya dan menebas kepala pemuda pirang yang kini tengah tersenyum lebar. Entah apa yang dipikirkan pemuda ini. Mengajaknya berdansa? Apa ia kira dia adalah seorang putri?
"Kau seperti mengajak seorang gadis."
Naruto tertawa. Tentu saja. Karena ia berhasil membuat Sasuke kesal. Padahal tanpa sadar dirinya telah membuat pemuda Uchiha ini kesal beberapa kali.
Sebuah keributan terjadi di bar itu beberapa menit kemudian. Naruto bisa merasakan kalau ada makhluk lain seperti dirinya di ruangan ini. Jumlahnya lumayan banyak. Apalagi salah satu dari mereka telah membunuh seorang manusia dengan cara menghisap darahnya sampai habis. Keributan ini berasal dari mereka yang dengan sengaja melempar mayat yang diketahui seorang gadis ke tengah lapangan bar. Sontak saja semua manusia-manusia khususnya para gadis berteriak histeris.
Sasuke memicingkan matanya. Mencari sekiranya dimana anak buahnya. Sialnya, ia hanya membawa sedikit saja anak buahnya ke sini. Apalagi ia bisa melihat, kumpulan makhluk itu banyak. Bahkan terlalu banyak mengingat mereka hanya berjumlah lima orang ditambah dirinya.
Para anak buahnya berlari keluar untuk mengejar makhluk itu. Tentu saja. Tapi ada sebuah ide lain yang terlintas di otaknya. Sasuke melirik pemuda pirang itu melalui sudut matanya. Ia hanya berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Sasuke menyeringai. Ia mencabut pedang yang berada di pinggangnya. Tanpa aba-aba, ia langsung menebaskan pedangnya ke arah sang Pangeran itu.
TBC
Wew… cuma twoshoot aja. Berhubung untuk dijadikan oneshoot itu kepanjangan, jadinya dibagi dua aja :P
Trus juga, selamat ulang tahun buat Uzumaki Arisa, My Beloved Seme—eh Uke :D
Semoga panjang umur, sehat selalu, trus makin cantik, tambah banyak rejeki dan makin disayang orang tuanya dan sememu :P *kicked*
Oh ya, kita udah jadian setengah tahun loh *apa hubungannya?*
Maaf ya, cuma bisa ngasih ini ^^ semoga suka :D
Ah, iya. Fic ini berasa jadi NaruSasuNaru ya? #nyengir
Dan… buat yang lagi UN, ganbatte kudasai! ^^
Review? Semakin cepat yang review, semakin cepat update. ^^
