A/N: Entah kenapa belakangan ini lagi terobsesi pada 'bartander'. Terimakasih sebesar-besarnya pada penghuni warteg. Laf yu gais. Di sini ceritanya Indonesia lagi nyari pekerjaan.

Disclaimer: Hetalia milik Hidekaz Himaruya. Saya nggak punya apa-apa. Kecuali, kerapuhan.

Warning!

OC. OOC. Parodi. Parodi everywhere. Nggak semua hotel begini. Hints BL. Awas absurd!


1001 Rooms.

.

"Kepuasan anda adalah penderitaan saya."

.

.

September Ceria.

Indonesia melingkari tulisan Comic Sans berwarna biru ngejreng di kalender gratisan dari toko swalayan kemarin.

Senyum yang jarang terlihat selama enam puluh tahun terakhir merekah bagai bunga tulip pada musim semi.

Oh, andaikan adiknya juga ikut serta dalam misi ini.

(—"Eeeh, kenapa liat gue sambil senyam-senyum begitu? Nggak! Pokoknya gue nggak mau ikutan rencana sinting lo lagi, Ndon! Nggak ada yang kedua kali! NO! No way! Pokoknya ENGGAK!")

Tidak apa-apa.

Sendiri juga tidak masalah.

.

.

1001 Rooms © RapuTopu

Hetalia: Axis Powers © Himaruya Hidekaz

"Seperti yang tercantum di kontrakmu yang berlangsung selama seminggu penuh. Tugasmu hanya menjadi bartenderehm—pelayan hotel di hotelku ini. Tidak sulit, kok. Hanya mengantarkan minuman dan makanan ke nomor-nomor kamar yang sudah kusediakan. Bila ada kendala dengan fasilitas atau tamu hotel, hubungi saja aku di meja resepsionis. Aku selalu stand-by di sana dua puluh lima jam. Ada pertanyaan?"

"Saya sudah mengerti, Pak... Tapi—"

"Tapi kenapa? Masih ragu dengan tawaranku?"

"Ng… Nggak, Pak. Tapi…"

"Katakan saja padaku. Bila kau merasa tidak nyaman di hotel ini, katakan saja. Biar kuurus nantinya."

"I-Iya, Pak... Saya... merasa tidak nyaman..."

"Tidak nyaman? Tidak nyaman bagaimana? Jelaskan padaku."

"Ng… anu. Maaf, Pak. Begini ya, Pak. Lain kali kalau masuk ke kamar mandi orang diketuk dulu; apalagi pas orangnya lagi mandi. Dan jangan masuk semena-mena mentang-mentang kuncinya rusak… Dan tangan Bapak jangan main-main di 'anu' saya terus—

—Ghheeelli, Phaak..."

.

.

.

Masih ingat dengan rencana sinting yang tingkat kesintingannya bahkan belum diukur oleh pihak medis keluharahan di atas? Lah, lalu apa hubungannya antara rencana sinting dengan kelurahan?

Ya. Seseorang sedang mencari pekerjaan sekarang.

Nah! Dia adalah anak kita satu ini; yang baru saja melepaskan masa remajanya yang kemudian tumbuh menjadi insan yang berbakti pada negara dan tanah air, berusaha menjajaki dunia suram dan berhawa napas neraka yang dinamakan 'pekerjaan'.

Melepaskan masa nganggur selama setahun, yang biasanya diisi dengan menjadi supir taksi bandara, tukang siomay keliling, penjual balon, dan jasa laundry di rumah-rumah blok M; yang bahkan sempat mengaduk-aduk otak ibu-ibu setempat; ragu dengan statusnya yang mengaku sebagai pengangguran tetapi memiliki seribusatu pekerjaan, dia akhirnya memutuskan untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri setelah sadar dengan arti kehidupan.

Dari sanalah ia mulai mengawali harinya ditemani kicau burung pagi—entah burung siapa. Berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, menawarkan CV yang ia susun sedemikian rupa selama tujuh hari tujuh malam, ditemani kembang tujuh rupa, lengkap dengan bantuan hawa napas raksasa Buto Ijo dan ditaburi dendam Nyi Pelet, CV penuh dosa dan liur Buto Ijo itu akhirnya tiba di tangan seorang direktur muda dari Belanda.

"Hm. Menarik. Kau diterima."

Satu kalimat sederhana yang meluncur mulus dari bibir yang mengapit tembakau itu memberi efek dahsyat bagai ledakan supernova baginya, melemparkan tubuhnya ke angkasa, terbang bersama King Kong berbulu merah muda, melayang di bulan bersama para astronot Axe, kemudian mendarat di ladang ubur-ubur.

"Terima kasih, Pak!"

Ucapnya penuh kegirangan.

Tak pernah menyangka bahwa respon positif penuh kebahagiaan itu kelak membawanya ke jurang nereka di Aljazhair.

Dua hari kemudian, fakta bahwa atasannya adalah penganut sistem hedonism tingkat sekarat sudah membuat pemuda itu agak lelah.

Sebuah fakta lain yang cukup membuatnya menyesal dilahirkan pada tahun yang sama dengan kelahiran Miley Ciyus yang lagi heboh-hebohnya dengan aksi goyang itik di acara VMA itu adalah; bosnya ternyata gay akut.

Dan sialnya pintu keluar di lantai dasar hotel sudah tertutup rapat dengan puluhan gembok penjara. Dan tanda tangan di kontrak terkutuk itu menjadi serdadu penghalang baginya dengan dunia luar.

.

.

DAY 1

.

Drink & Food.

.

.

Kamar 140.

.

Ting tong.

"Permisi. Pesanan humberger ekstra bawang dengan parutan keju Swiss sudah tersedia."

Tak perlu menunggu waktu lama setelah memencet bel yang bunyinya seperti alarm kebakaran itu, suara 'gladak-gluduk' beserta lantai yang bergetar dalam waktu sepersekian detik kemudian, sudah membawanya pada pemandangan pintu kamar yang terbuka cepat dan menampilkan sesosok pria Amerika berpostur tinggi setelahnya.

"Mana? Mana humberger-nya?" tanyanya bersemangat dengan mata berkilat-kilat di balik kacamatanya.

"Ini dia." katanya sopan seraya mengulurkan sepaket junkfood dari McDonnald.

Begitu melihat bungkusan dengan gambar badut berambut afro merah yang tersenyum pedophile di paket makanannya, pemuda Amerika itu berkaca-kaca dengan senyum merekah lebar di wajah tampannya.

"TERIMA KASIH BANYAK!"

"Sama-sama."

"Sebagai ukuran hero sepertiku, tidak makan tiga hari adalah cobaan berat."

Matanya mengerjap begitu mendengar penuturan penuh penderitaan itu. "Astaga... Anda kasihan seka—"

"Ya, itu memang benar! Tidak makan humberger dan menikmati milkshake selama tiga hari adalah cobaan berat! Eh? Ngomong-ngomong aku belum memberi tip, ya? Nah, ini dia! 25 sen cukup, kan? Kalau tidak cukup minta saja pada atasanmu, ya! Sampai jumpa! Daah!"

Bahkan sebelum ia sempat memotong kalimat cepat sepantaran lagu rap Nicki Minaj itu, pintu ulin beraksen corak kubisme tersebut terbanting tepat di depan wajahnya yang masih melongo, bahkan dengan tangan yang masih menengadah di udara, menunggu uang tip—

—yang bahkan belum diberikan sama sekali itu.

.

Kamar 141.

.

Ting tong.

"Permisi. Satu botol saos tomat ABC sudah tersedia."

Tidak seperti kamar terdahulu yang isinya adalah penghuni ugal-ugalan salah asuhan itu, kamar berbau paella ini sedikit lebih 'ramah' dan menggoda.

menggoda?

Pintu terbuka pelan dan menampilan sesosok pria dengan balutan kulit eksotis laksana perunggu yang mengkilat indah.

Pelayan kita satu ini terdiam sejenak untuk memandangi tamunya dengan mata terperangah.

Mata hijaunya berbinar ramah dan bibirnya tersenyum lebar penuh kehangatan menyambut sang pelayan.

"Wah, sudah datang tomatnya. Terima kasih, yaaa." sahutnya ceria dengan tawa bahagia, dan sebelum pelayan kita sempat menyambut sapaannya, botol merah darah itu sudah dirampas dalam hitungan cahaya.

"Sama—"

Pintu terbanting keras. Lagi.

"—sama."

.

Kamar 142.

.

Ting tong.

"Permisi. Satu botol wine sudah tersedia."

Tidak ada reaksi dari dalam.

Dia menunggu dengan sabar ditemani bunyi detik jam dinding yang tertawa. Tidak ada bunyi-bunyian gaduh seperti dua kamar terdahulu. Tidak ada bunyi langkah kaki raksasa seperti Buto Ijo lagi. Yang ada hanya sendiri… biarkan aku sendiri… sendirii… wooo~

Ia cepat-cepat menggelengkan kepalanya, memusnahkan lagu jadul yang memberi efek galau selama berminggu-minggu itu dari pikirannya. Dan dari sekian ribu lagu galau yang memenuhi playlist mp1nya selama bertahun-tahun, kenapa juga harus lagu Sherina yang lolos seleksi?

Pintu terbuka dan membuyarkan carut-marut pikirannya yang mirip ulet bulu kesetrum setrikaan.

Seorang pria dengan rambut emas tergerai indah di bahunya menyambutnya dengan senyum menggoda bercampur desahan erotis dan mata menyipit seperti menahan ereksi. Sekilas mirip Jaime Lannister. Kecuali untuk desahan erotis dan ereksi.

Oh, dua poin itu juga ikut…

"Hooo~~~ botol wine-ku sudah datang. Lengkap dengan orangnya juga, ya~ Mon ami, padahal aku tidak meminta dibawakan seseorang untuk menemaniku malam ini, tapi atasanmu mengerti sekali keinginanku. Jika aku menegak sebotol wine biasanya aku akan menarik orang yang berada di dekatku dan—"

"CUKUP! AMBIL INI! AMBIL INI! AMBIL SAJA UANG TIPNYA! AKU SEDANG ADA URUSAN! TERIMAKASIH!"

.

Kamar 143

.

Ting tong.

"Permisi. Satu piring scone sudah tersedia."

Pintu langsung terbuka begitu bel dipencet. Tidak ada gelagat abnormal kelewat sinting seperti tiga kamar sebelumnya. Tidak ada jeritan bahagia, tidak ada senyuman ramah yang mencurigakan, dan tidak ada desahan erotis menahan ereksi lagi. (Untung yang terakhir tidak ada. Terimakasih, Tuhan.)

Yang ada hanya seorang pria Brittish dengan aksesoris bulu-bulu setebal kue legit di atas matanya.

… astaga. Itu alis.

"Kenapa lama sekali?" tanyanya langsung, tanpa embel-embel sapaan atau jeritan bahagia mengerikan seperti manusia di kamar pertama. Aksen Brittish yang kental seperti susu kental manis cap #EEAAA itu berhasil menyihir pelayan kita untuk terdiam sejenak sambil memapah sepiring scone gosong yang sudah menimbulkan polusi udara maha dahsyat di areal sekitar koridor.

"Maaf. Tadi sconenya kurang gosong."

Pria itu memandanginya sejenak dengan tatapan suntuk. Terlihat bingung antara ingin memarahi atau memaafkan.

Sedetik kemudian dia menarik napas dalam-dalam, seakan ingin menghabiskan seluruh kandungan oksigen di gedung ini dalam satu tarikan napas. Kemudian menghembuskannya pelan dengan wajah lelah. Dia menunduk meratapi lantai beludru dengan semburat merah yang samar di wajahnya.

"Buat yang lebih gosong lagi lalu antarkan ke kamar 140."

.

Kamar 140.

.

Ting tong.

"Permisi. Ada kiriman dari kamar 143."

Pintu langsung terbuka dan sosok yang sempat membuatnya trauma beberapa menit lalu sudah berdiri di ambang pintu dengan penampilan celana pantai bercorak bendera Amerika yang belum disetrika. Mulutnya mengunyah dengan bunyi-bunyian super berisik, setelah sebelumnya membuat suatu gigitan raksasa yang menghabiskan nyaris separuh tiruan Krabby Patty itu dalam hitungan detik. Dan di tangan satunya ada sebotol milkshake dengan taburan keju kotak-kotak.

Dan yang pelayan kita ini sadari adalah selang beberapa detik adalah—

...itu bukan makanan dan minuman yang dia antar sebelumnya.

Yang artinya adalah—

"Kiriman-munch? Aku-munch-dapat kiriman?"

"Ya. Scone hangat dari—"

"OH, TIDAK. TERIMAKASIH. SAMPAI JUMPA!"

Pintu itu terbanting bagai kayu yang terlepas dari engselnya ketika badai Sandy menyerang Amerika. Namun sayangnya kecepatan tangan pelayan kita yang sepantaran jurus jari-ngesot si Pitung ini berhasil menahan pergerakan daun pintu dengan gerakan secepat petasan yang meledak ke rumah pak RT.

Dia menahan pintu dengan satu tangan sementara si pemilik kamar terbengong-bengong ketika menyaksikan stuntman Bruce Lee hadir di hadapannya dengan ekspresi sorot mata yang sama.

Si pelayan menjulurkan tangannya ke depan; seperti hendak menusukkan kedua jarinya ke lubang hidung si empunya kamar; yang saking syoknya bahkan sampai membiarkan sebotol milkshake jatuh dari tangan dengan dramatis.

"MANA TIP SAYA, PAK?"

.

Kamar 144.

.

Ting tong.

"Permisi. Pesanan dua piring pasta sudah tersedia."

Pintu terbuka perlahan. Sebuah rambut yang entah bagaimana cara perawatannya hingga bisa tegang dan menyembul dari kepala itu menyambutnya; dan bergetar pelan. Sedetik kemudian keluarlah sang pemilik rambut tegang itu dengan wajah polos yang amat sangat tak berdosa dan menyapanya dengan desahan versi lain dari kamar sebelumnya.

"Vee~~~"

Dia bingung entah harus kabur atau melemparkan piring pasta ini ke wajah kelewat ceria di hadapannya.

"Pasta~? Terima kasih, ve~~~" katanya sambil menerima uluran piring dari si pelayan.

"Eh? Kenapa hanya ambil satu? Bukankan tadi pesanannya dua?"

Dia berlagak seperti kelupaan sesuatu. "Ah! Fratello~! Fratello sedang keluar kamar, vee. Anda ingin pastanya? Atau diberikan padaku saja? Waah~ Tuan Pelayan, anda manis sekali? Anda dari negara mana? Apa kita bisa berkenalan, vee? Aku akan menunjukkan lukisan negaraku~ Anda juga akan kuantar berkeliling Italia untuk mencari pastaTenaang~ Orang Italia ramah-ramah, tidak seperti orang Jerman, vee. Dan masakan kami juga tidak semengerikan Inggris. Dan kau juga bisa melihat menara Pisa, vee~"

"… tolong keluarkan aku dari sini."

"Apa kau baru saja mengatakan sesuatu, vee?"

"... tidak."

.

Kamar 145.

.

Ting tong.

.

"Permisi. Satu botol vodka sudah tersedia."

Kriieettt.

Pintu terbuka sangat perlahan. Dan bunyinya seperti kuda terjepit. Atau memang ada kuda di balik pintu ini? Mungkin Unicorn.

Segumpal aura hitam bercampur violet yang amat gelap langsung menerpa wajahnya seperti parfum kadaluwarsa. Dan sedetik kemudian sensasi udara ingin yang suhunya sama seperti hutan-hutan di Russia langsung merangkul tubuhnya.

Dia pernah merasakan kejadian ini sebelumnya; di film. Tepatnya dari sebuah potongan film horor lokal dimana Luna menyusuri lantai 13 untuk pertama kalinya. Hening dan mencekam, kan?

Yang dirasakannya kini tak jauh berbeda.

"Ada apa?"

Botol vodka itu nyaris terlempar ke luar gedung ketika sosok wajah bahagia menyambutnya dengan puluhan molekul aura-aura jahat di sekelilingnya.

"I-i-ini pesanannya." Botol vodka itu diserahkan dengan tangan gemetaran seperti mesin dinamo rusak.

GREP.

Tangan raksasa itu mencengkeram lengannya sangat kuat.

"Bersatulah denganku, da."

Matanya membulat horor. Sedetik kemudian dia berteriak.

"M-MAAF, PAK. SAYA SUDAH MENJADI MILIK ATASAN SAYA. MAAAFF!"

.

Kamar 146.

.

Ting tong.

.

"Permisi. Satu paket bakpao daging tersedia."

Tak perlu menunggu waktu lama untuk berdiri di tempat terkutuk ini, pintu sudah terbuka beberapa detik kemudian. Menampilkan sesosok pemuda Asia dengan alis tajam dengan rambut Miss World yang tergerai indah dan menyilaukan, membuat pelayan kita terpaksa memakai kacamata hitam untuk menghindari kilau Pantene-nya.

"Hooo. Sudah datang, ya? Isi bakpaonya apa, ya?"

"Daging hasil sembelih lebaran dua tahun lalu, Pak."

"Hoo. Terima kasih banyak, aru. Nah! Ambil ini! Ambil ini!"

Dia terbengong-bengong ketika si artis shampoo ini memberinya sebuah amplop merah dengan tebal yang sama seperti buku tulisnya semasa SD.

Dia menatap hadiahnya dan si pemberi hadiah secara bergantian dengan tatapan berkaca-kaca menahan tangis yang akan membludak. Tak menyangka akan diberikan THR walaupun telat beberapa tahun. Dia bersujud di depan kaki si pemilik kamar dengan tangis berderai seperti deburan air terjun Niagara.

"T-terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Hiks. Terima kasih…"

Pemuda Asia itu menepuk-nepuk pundak si pelayan; menyuruhnya untuk berdiri lagi. "Sudahlah. Ini memang pantas buat kamu karena berhasil menjawab satu pertanyaan dari saya."

Pelayan kita yang masih menangis tersedu-sedu dengan bahu bergetar, langsung menatap pemilik kamar dengan tatapan bingung nan nanar. "… maksudnya, Pak?"

"Nyangka bakal dikasih uang?"

"… Nggak nyangka, Pak."

"Nah, kalau begitu," Ia tiba-tiba memegang bahu si pelayan dan memutarnya, sehingga berhadapan dengan dinding di belakangnya dimana sebuah kamera super kecil tengah menyorotnya dengan lampu menyala. "SELAMAT! ANDA MASUK DI ACARA 'GAK NYANGKA!' TRANS 8!"

.

Kamar 147.

.

Ting tong.

"Permisi. Satu botol sake sudah tersedia."

Bunyi kecapi yang dimainkan samar-samar terdengar dari dalam kamar. Pelayan kita curiga jangan-jangan di dalam sana ada dua penjahat berbahaya yang berkedok pemain musik dari film Kung Fu Hustle. Mendesah amat dalam, ia menyesal karena belum mempelajari gerakan ngesot-terbang-goyang-pinggul milik Sule. Dia pasti akan diserang lagi.

Pintu terbuka pelan.

Dan di depannya kini sudah berdiri pemuda Asia lain dengan potongan poni rata seperti mangkok terbalik. Mata monokrom hitamnya menatap pelayan kita dengan ramah. Ketika matanya berpindah dari wajah si pelayan menderita menuju barang pesanan yang dibawa oleh telapak tangan menderitanya, wajah manis itu tersenyum.

"Terimakasih banyak."

Dan si pelayan berani bersumpah di belakang si pemilik kamar ada seorang wanita dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya; tengah merayap di sepanjang dinding kamar dan melakukan senam aerobik karena kakinya berkali-kali melewati kepalanya, dengan mengeluarkan bunyi seperti leher yang terjepit engsel lemari.

.

Kamar 148.

.

Ting tong.

"Permisi. Lima botol beer sudah tersedia."

Terdengar bunyi barang-barang berat yang jatuh dari dalam kamar, menimbulkan sensasi gempa mini pada lantai yang ia pijak. Getarannya bahkan bisa merangsangnya untuk melakukan gerakan Goyang Caisar. Sedetik kemudian terdengar bunyi-bunyian kaca pecah dan barang-barang jatuh yang kian banyak disusul hardikan keras seseorang.

Pelayan kita terdiam sejenak untuk berpikir, jangan-jangan di dalam sana sedang berlangsung syuting film Titanic 2.

Pintu kemudian terbuka keras, membuatnya terlonjak ke belakang.

"HEEEII! APA KABAAAR-hik? AKU ADALAH-hik-PRUSSIA SI AWESOME! Hik-EH? PAKAIAN APA ITU? Hik! TIDAK AWESOME SEKALI-hik. KENAPA WAJAHMU–hik-KAGET BEGITU? KESESESESESE-hik! LUCU SEKALI HOTEL INI-hik—"

Sedetik kemudian sebuah sambaran tangan raksasa lain menerjang wajah si pemuda mabuk dengan bergelas-gelas bir di tangannya.

"Bruder! Berhenti!"

Sementara si pelayan hanya menatap terbingung-bingung menatap dua pria yang mulai beradu otot di dalam sana. Yang satu berusaha menghentikan yang mabuk dengan sekuat tenaga, namun tetap gagal walaupun sudah mengerahkan tenaga seperti seribu tentara Nazi. Sementara yang mabuk… berusaha untuk lebih mabuk lagi.

"A WHOLEE NEW WOORLDD-hik! A NEW PAN-hik-TAS-TIC POINT OF VIEW-hik! ASEK ASEK JOS!"

Seorang pria yang berpenampilan seperti Ade Rai versi Eropa dengan rambut klimis yang disisir rapi itu, menatap si pelayan dengan tatapan menyesal bercampur malu.

"Tinggalkan saja bir itu di depan kamar. SELAMATKAN DIRIMU SELAGI BISA, ANAK MUDA!"

Dia baru saja sadar pada misi baru yang diberikan kaptennya. Ini bukan latihan! Ini emergency! Dan dia sudah dilatih bertahun-tahun untuk terjun dalam konflik ini.

"Baik, captain!"

Dan si pelayan segera kabur meninggalkan kamar itu dengan pintu yang masih terbuka.

Sementara lagu-lagu kematian seperti Friday dari Rebecca Black mulai berkumandang dari kejauhan dengan khidmat.

Lantai 1. Clear

.

.

Next: Lantai 2.

.

.

.

A/N: All hail parody! Parody everywhere! Hell yeah! Hidup pegawai hotel! Hidup direktur hotel! Hidup semuanya! Saya cinta kalian semua wahai penghuni hotel! Hidup resepsionis! Hidup satpam! Hidup tukang parkir!

Notes, di bagian kamarnya Japan, saya masukin Sadako, btw.

PS: Fanfic iseng. Ditulis waktu mabok, sehingga hasilnya bikin mabok juga. Masih banyak kamar yang harus 'ditaklukan', nak. Bertahanlah...

Review for chapter 2

(Satu review akan menambah nominal gaji untuk pelayan tersayang kita)

Sign, Rapuh