Jika salah satu keinginanmu akan terkabulkan, apa yang akan kau inginkan? Jika kau memohon, dan permohonanmu itu akan terkabulkan, apa yang akan kau mohon? Kekayaan? Kekuatan? Rupa yang rupawan? Kehormatan? Ketenaran?
Itukah yang akan kau inginkan? Itukah yang akan kau mohon?
Kalau aku, aku tidak akan memohon itu. Jika salah satu keinginanku akan terkabulkan, aku hanya akan meminta satu hal, yaitu; aku ingin bertemu dengannya sekali lagi. Melihat senyumnya, mendengar suara tawanya, merasakan kehangatan tubuhnya, dan memberitahunya,
"Maafkan aku, karena aku mencintaimu…."
.
.
.
I'm sorry, because i love you
By : Razux
Disclaimer : Naruto Belong To Masashi Kishimoto
.
.
.
Aku tidak ingat kapan kau mulai berada di sampingku. Seingatku, sejak kecil, kau selalu ada disampingku. Dari saat aku membuka mataku pada pagi hari, hingga aku menutup mataku pada malam hari . Kau yang begitu kecil dan lucu, selalu mengenggam tanganku, mengikutiku ke mana saja kupergi.
Masa kecilku mungkin bukan masa yang membahagiakan di mata orang lain. Aku yang hidup di panti asuhan selalu kekurangan. Aku sering kelaparan sepajanga hari karena makanan yang tidak pernah tercukupi, kedinginan di malam hari karena kekurangan selimut dan penghangat, apalagi saat musim dingin, selalu dihina dan dipandang rendah oleh siapabpun, serta tidak merasakan kasih sayang orang tua.
Masa kecil yang menyedihkan dan kelam, bukan? Tapi, tahukah kau? Jika aku boleh memilih, aku ingin masa itu terulang lagi. Aku ingin mengulang lagi masa itu, menukarnya dengan jalan hidupku sekarang yang tidak pernah kekurangan—hidupku yang selalu berlimpahan.
Meski makanan selalu tidak tercukupi, meski aku tidak pernah melewati malam dengan perut kenyang, aku selalu merasakan kebanggaan karena dapat memberikan sebagian dari makananku padamu. Melihat ekspresi kebingunagan di wajahmu saat kusodorkan makananku, melihat wajahmu yang memerah saat kusuapin makanan, serta melihat ekspresi kekenyangan dinwajahmu setelah menghabisakn makanan yang kusodorkan karena kau tidak pernah dapat menang melawan perintahku. Tahukah kau betapa bangga dan senangnya diriku? Kau kenyang, kau tidak kelaparan, hanya itu yang kubutuhkan.
Saat malam tiba, saat selimut tipis tidak dapat mengusir hawa dingin yang menyerang tubuh, sambil memeluk bantal dan dibaluti selimut tipismu, kau akan berjalan ke tempat tidurku. Wajahmu akan menyungingkan seulas senyum malu-malu penuh kegugupan. Dan aku hanya akan membuka kedua tanganku, memelukmu dan membiarkanmu tidur di tempat tidurku, disampingku. Tahukah kau? Meski selimut kita tipis dan mustahil dapat mengusir hawa dingin yang ada, sejujurnya, aku tidak merasakan kedinginan saat itu. Karena kau ada. Karena tubuh kecilmu yang kupeluk dapat menghangatkan badanku, mengusir kedinginanku.
'Pengemis', 'Anak yatim piatu', 'Anak buangan', 'Anak yang tidak diinginkan', itulah kata-kata yang ditujukan orang-orang padaku. Mereka menghinaku, melihat rendah diriku yang masih kecil. Sedih? Marah? Kesal? Kecewa? Sakit? Ya, itu yang aku rasakan. Siapa yang tidak akan merasakan itu jika dihina dan dipandang seperti itu? Tidak ada. Hanya saja, tahukah kau? Tahukah kau apa yang menenangkan perasaanku setiap kali menerima hinaan seperti itu? Jawabannya adalah suara lembutmu yang memangil namaku. Di matamu, diriku tidak seperti itu. Dalam matamu , aku bukanlah pengemis, anak yatim piatu, anak buangan ataupun anak yang tidak diinginkan. Di mata hitammu, aku ada aku.
Kasih sayang orang tua? Mungkin bagi semua orang itu penting. Tapi, bagiku saat itu, itu tidak penting. Aku tidak tahu siapa orang tua kandungku. Aku ditemukan tergeletak di depan pintu panti asuhan saat masih bayi. Aku adalah anak yag tidak diinginkan, mungkin itu memang benar. Karena itu, aku tidak mengharapkan kasih sayang dari mereka yang telah membuangku. Namun, bukan itu. Alasan sebenarnya aku tidak memerlukan kasih sayang adalah karena kamu. Gengaman tangamu yang hangat, senyum dan tawamu yang menawan. Meski selalu kikuk, malu-malu dan takut-takut, kutahu, kau menyanyangiku, sama sepertiku. Betapa aku menyayangimu.
Aku bahagia. Aku memiliki masa kecil yang sangat bahagia. Di dunia masa kecilku yang sempit, gelap dan kelam, kaulah satu-satunya cahayaku. Kau memberikanku semua yang tidak seharusnya kumiliki sebagai seorang anak yatim piatu. Kebanggaan dan kegembiraan karena bisa melindungi orang yang berharga, kehangatan pada malam-malam yang dingin, kekuatan untuk melalui semua hinaan yang kuterima, serta kasih sayang yang mustahil bisa kurasakan…
Kau berikan itu semua padaku, Hinata.
Aku tidak berbohong. Dalam hidupku sebagai Sasuke, masa kecilku bersamamu di panti asuhan yang selalu kekurangan adalah masa terbahagia dalam hidupku. Mungkin karena itu aku sering berpikir sekarang, kenapa waktu tidak berhenti pada saat itu saja? Pada masa kita masih kecil, pada masa kau masih mengenggam tanganku ke mana saja, pada masa wajahmulah yang aku lihat pada pagi hari saat aku membuka mataku dan malam saat aku menutup mataku, pada masa kau masih ada disampingku…
.
.
.
Mengapa ini semua bisa terjadi? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Kenapa? Ratusan kali—tidak! Mungkin sudah jutaan kali aku tanyakan pada semua yang ada. Pada mereka yang mengenalmu, pada Tuhan dan pada diriku sendiri. Mengapa? Kenapa? Dan bagaimana mungkin tanganmu yang kecil itu bisa sampai terlepas dari tanganku? Bagaimana mungkin aku bisa sampai kehilanganmu…
Semua tidak pernah sama lagi semenjak kau menginjakkan kakimu ke bangku kelas satu SMP. Kau yang lebih kecil satu tahun dariku tidak lagi berlari dengan riang menemuiku pada hari pertama kita bertemu di sekolah. Kau hanya menatapku yang bersama teman sekelasku dengan mata bitu tuamu yang penuh kegugupan tanpa bergerak sedikit pun.
"Inikah, Hinata yang selalu kau ceritakan pada kami, Sasuke-kun?" tanya Karin, teman sekelasku sambil menatapmu dengan lekat-lekat dari atas hingga bawah.
"Tidak semanis yang kau ceritakan, Sasuke-kun." Tawa Ino, sahabat Karin.
"Hei! Hentikanlah, kalian berdua! Tidakkah kalian lihat gadis kecil ini ketakutan?" ujar Gaara datar.
Kulihat wajah kegugupanmu berubah menjadi ketakutan. Tapi, kubiarkan itu, karena aku sedang sibuk mengamati sosokmu yang kini dibalut seragam SMP. Di mataku saat itu, kau begitu manis, begitu lucu dan menggemaskan—kau sangat memesonakan.
Aku gembira karena akhirnya kau duduk dibangku SMP, sebab dengan begitu, kita bisa pergi dan pulang bersama lagi. Aku bisa mengenggam tanganmu lagi, mendengar suaramu, melihat senyum dan tawamu seperti saat kita masih sama-sama duduk dibangku SD.
Tapi, kau menjauh. Tidak kumegerti kenapa, kau mulai menjauhiku. Kau tidak mau pergi ke sekolah bersama lagi, kau selalu pergi lebih awal dariku dengan alasan ada sesuatu yang harus kau lakukan di sekolah. Dan jika pun aku bisa mencocokkan waktu untuk pergi bersama denganmu, kau akan menolaknya dengan berbagai alasan yang tidak pernah terdengar logis dalam kepalaku. Begitu juga dengan pulang sekolah, kau selalu menolaknya dengan alasan kau telah berjanji untuk pulang dengan teman sekelasmu atau guru yang memintamu tinggal untuk menyelesaikan sesuatu. Kau mulai jarang bicara denganku, kau lebih memilih menyibukkan diri pada kegiatan klub-mu. Di panti asuhan pun, kutahu, kau mulai menghindariku.
Aku bingung. Apakah aku telah melakukan sesuatu yang salah? Melakukan sesuatu yang membuatmu marah? Namun, akhirnya, setelah tiga bulan berlalu, aku berhasil menemukan jawabannya, yakni; ternyata kau telah menemukan penggantiku, teman sekelasmu, Naruto Uzumaki.
Kenapa? Demi dirimu yang kutahu akan memasuki SMP ini, aku melakukan yang terbaik. Karena tidak ingin kau dihina dan mengalami kesulitan sebagai anak yang berstatus yatim piatu, aku melakukan semua yang terbaik yang bisa dicapai, menjadi seorang Ketua OSIS, Sang juara umum, Ketua Klub Basket dan judo—orang paling disegani dan dihormati di sekolah. Kerena itu, kenapa kau lebih memilih dia yang jauh dibawahku dariku? Kenapa? Aku kecewa, aku sedih, aku tidak tahu harus berbuat apa, dan aku...
Aku takut.
Akan ada merebut kehangatanmu, suaramu, senyum dan tawamu dariku. Merebut apa yang paling berharga bagiku—merebut dirimu. Aku tidak bisa menerima itu. Si berengsek itu tidak mungkin mengenalmu lebih dari pada aku. Aku yang tumbuh besar bersamamu di panti asuhan, merasakan bagaimana tawa dan derita tidak ada orang tua. Dia yang tumbuh besar di keluarga yang hangat dan cukup mampu tidak mungkin mengerti itu semua! Karena itu, Kenapa?! Kenapa bukan aku?!
Lalu, saat aku melihatmu tersenyum dan tertawa untuknya, aku pun akhirnya sadar untuk pertama kali; aku mencintaimu. Ternyata aku telah mencintaimu tanpa pernah aku sadari. Tidak tahu kapan, mungkin sejak kita masih kecil-kecil sekali, aku telah mencintaimu, sangat-sangat mencintaimu.
Karena tidak bisa merelakanmu, karena tidak bisa melepaskanmu, karena aku sangat-sangat mencintaimu. Perasaan kecewa, sedih, tidak tahu harus berbuat apa dan takut yang kurasakan berkembang. Berkembang dan berkembang, hingga akhirnya menjadi kemarahan, keiirian, kecemburuan dan juga, kebencian.
Aku benci melihatmu bersamanya, benci melihatmu berbicara padanya, tersenyum dan tertawa untuknya. Aku hanya ingin kau bersamaku, berbicara denganku, tersenyum dan tertawa untukku. Hanya untukku seorang!
Kebencian membuatku gelap mata. Kebencian membuatku tidak bisa berpikir logis lagi. Kumanfaatkan kekuasaan yang kumiliki untuk menyiksa dia yang merebutmu dariku. Menghinanya, mempermalukannya dan juga memukulnya. Namun, kau muncul menghentikanku, melindunginya. Kau akan meneteskan air mata dan menatapku dengan ekspresi wajah yang tidak pernah kusangka akan kau perlihatkan padaku—ekspresi marah.
Marahkah kau padaku? Bencikah kau padaku? Kenapa kau meneteskan air mata untuknya? Bukan hanya senyum dan tawa yang terebut dariku, bahkan air matamu pun kini telah direngut dariku. Aku benci dia, sungguh-sungguh benci, luar biasa aku membenci dia yang merebutmu dariku!
Waktu terus berlalu, jurang diantara kita semakin melebar. Dan akhirnya, musim dingin saat aku kelas tiga SMP dan kau kelas 2 SMP tiba, waktu yang mengubah hidup kita untuk selama-lamanya.
"Sasuke-kun, kudengar Hinata-chan sudah jadian denga Si Umazaki itu, loh?" Ujar Karin.
"Benar. Kudengar ada yang melihat mereka berdua berciuman." Tambah Ino.
"Wah! Adik kesayanganmu sudah direbut Si berengsek yang paling kau benci, sekarang, Sasuke." Tawa Gaara.
Bagaikan beribu-ribu pedang tajam menancap hatiku mendengar cerita itu. Tidak bisa mempercayainya, tidak kupedulikan teman-temanku, kulangkahkan kakiku untuk mencarimu. Namun, apa yang kulihat kemudian adalah sesuatu yang paling tidak ingin kulihat. Dibelakang gedung sekolah yang sepi, kulihat dia memelukmu, dan kau yang membalas erat pelukkannya.
Apa yang paling tidak kuinginkan telah terjadi. Apa yang paling kutakuti telah terjadi. Yang paling berharga bagiku, yang paling penting dariku telah membuangku. Kau memilih dia, bukan aku.
Sakit. Hatiku sakit. Sedih. Hatiku perih. Dan yang paling penting. Aku marah, aku benci. Tidak akan aku biarkan ini terjadi! Tidak akan pernah aku biarkan siapapun merebutmu dariku! Kau adalah milikku! Milikku seorang!
Sepulang sekolah, saat semua orang telah pulang. Kau yang selalu pulang terlambat karena kegiatan klubmu kutarik ke dalam gudang belakang sekolah dengan paksa. Kulihat ekspreasi kebingungan bercampur ketakutanmu. Kau bertanya padaku, 'Ada apa?' . Namun, aku tidak mempedulikannya. Kecemburuan, kemarahan, kesedihan dan kebencian yang berpadu telah membuatku kehilangan diri, memuatku gila. Kucium paksa bibirmu, kubuka dan kurobek seragammu, kuabaikan airmata, teriakan serta ketakutanmu….
Kuperkosa dirimu.
Milikku. Kau milikku, hanya milikku. Itulah yang ada dalam pikiranku. Tidak berani aku bayangkan bagaimana jadinya diriku jika kau menjadi milik orang lain. Karena itu, akan aku lakukan apapun untuk membuatmu menjadi milikku, meskipun itu artinya aku harus menodaimu, meskipun kutahu yang aku lakukan; salah.
Kau diam membisu, menyembunyikan segalanya. Tidak pernah kau laporkan atau pun ceritakan kejahatanku pada siapa pun. Kau menahan luka yang kuberikan dengan badan kecilmu. Sejak saat itu, kau tidak pernah lagi berbicara denganku. Kau semakin kurus, semakin lemah. Badanmu bergemetar hebat setiap kali melihatku. Ketakutan terlihat jelas di wajahmu dan kau akan langsung melarikan diri.
Ketakutan…
Kau takut padaku sekarang. Aku bisa memakluminya, sebab apa yang aku lakukan sesungguhnya adalah sesautu yang tidak termaafkan. Aku benci diriku. Sungguh aku membenci diriku. Apa yang telah aku lakukan? Apa yang telah aku lakukan padamu? Aku tidak seharusnya melakukan semua itu? Ingin sekali kuputar waktu kembali, untuk menghentikan diriku yang melukaimu. Namun, aku bukan Tuhan. Aku tidak bisa melakukan itu. Aku telah melukaimu, itu adalah kenyataan yang tidak bisa kuubah lagi.
Melihatmu yang takut padaku, melihat kau yang tidak mau melihatku, tidak ingin mendekatiku, aku hancur. Karena itu, kubulatkan tekadku. Tidak peduli kau akan memaafkanku atau tidak, aku ingin meminta maaf padamu. Aku tidak tahan dengan semua ini lagi.
Seminggu setelah kejadian itu, kutunggu kau yang pulang sekolah di jalan yang selalu kau lalui. Kupaksakan sebuah senyum padamu dan memanggil namamu. Dan kau…
Kau menatapku penuh ketakutan dengan badan yng bergemetar hebat. Kau terlihat begitu rapuh, begitu lemah dan tidak berdaya. Gara-gara aku. Akulah yang membuatmu menjadi seperti itu. Kugerakkan kakiku mendekatimu, kuangkat tanganku untuk menyentuhmu, lalu tanpa mengucapkan apapun, kau membalikkan badan dan berlari menjauh.
Tidak menyerah begitu saja, kukejar dirimu sambil memanggil namamu—itulah kesalahan yang kulakukan lagi padamu.
Kau yang panik dan ketakutan tidak melihat sekelilingmu. Lampu lalu lintas yang telah berubah dari merah ke hijau pun tidak kau perhatikan lagi. Jalan kau seberangi. Dan dihadapanku, semua itu terjadi dengan begitu cepat. Suara klakson mobil yang keras, teriakan orang sekeliling, suara berdecit mobil, hantaman dari sebuah mobil yang mengenai badan munggilmu—dirimu yang terbang ke atas udara dan jatuh menubruk aspal jalan.
Dunia bagaikan membeku saat itu, tangan kakiku, seluruh badanku mendingin. Ketakutan memenuhi hatiku—ketakutan yang tidak dapat lagi aku jelaskan dengan kata. Kuberlari padamu yang kini telah berada dalam genangan darahmu sendiri. Kuangkat badanmu, kupanggil namamu, namun matamu tetap tertutup, tidak bergerak sedikit pun.
Apa yang aku lakukan lagi saat itu, aku tidak tahu. Yang kutahu aku memeluk erat dirimu, menatap sekelilingku, berteriak, "Tolong! Tolong! Aku mohon! Siapapun! Selamatkan dia! Selamatkan dia! Selamatkan Hinata!"
Selamatkan dia! Selamatkan dia! Siapapun juga, selamatkan Hinata. Satu-satunya milikku yang paling penting, milikku yang paling berharga—satu-satunya gadis yang kucintai.
Di tengah kebingungan, kepanikan dan ketakutan. Tiba-tiba kurasakan tanganmu menyentuh pipiku. Kutolehkan kepalaku menatapmu. Mata biru tuamu telah terbuka. Sebuah senyum melintas di wajahmu—-senyum yang sudah lama sekali tidak kau tujukan padaku.
"S-Sasuke…" Panggilmu pelan.
"Tenanglah, Hinata. A-aku ada di sini, s-semua akan baik-baik saja, kau tidak akan apa-apa. Aku ada di sini.." Ujarku berusaha keras mempertahankan kesadaranmu.
Senyummu bertambah lebar, air mata mengalir menuruni matamu. Lalu, tanganmu yang ada di pipiku terlepas, dan kedua matamu kembali tertutup.
.
.
.
.
To Be countinue…
Author's Note : Fic ini hanya terdiri dari 3 Chapter. Dan aku tahu, fic ini mungkin sangat aneh, gaje dan OOC, tapi mohon dimaklumi. Aku benar-benar kurang tahu dengan bagaimana sifat para tokoh-tokoh di Naruto, sebab aku jarang membaca manga dan menoton animenya.
Razux.
