The Dragon's Breath
Malam mencekam adalah malam yang kualami setiap hari. Tak peduli apa yang terjadi, baik hujan maupun badai, malam adalah satu-satunya hal yang aku takuti. Dan aku tahu hal ini sangat memalukan. Tapi apa daya? Semuanya dimulai beberapa tahun yang lalu, sebuah ritual dilaksanakan pada malam bulan purnama. Ritual yang melahirkan 'dia' yang paling kutakuti.
Tapi itu dulu. Bertahun-tahun berlalu, aku mulai terbiasa dengan keberadaan'nya'. 'Ia' bertumbuh layaknya manusia biasa, sama denganku, yang sayangnya membuatku semakin khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang akan dikatakan adik-adikku? Apa yang akan dikatakan ibuku? Apa yang akan dikatakan ayahku? Bagaimana aku bisa menjelaskan semuanya ini? Tapi sungguh, aku tidak pantas menerimanya. Karena ini semua bermula bukan karena kesalahanku.
"Yang mulia, sang kaisar ingin bertemu dengan anda.."
Salah satu prajurit itu berkata kepadaku. Beberapa hari ini, sang 'kaisar' yang adalah ayahku dan ayah dari adik-adikku, sering memanggilku untuk menemuinya. Membicarakan pertunanganku dengan negeri tetangga.
"Saya akan segera ke sana, pergilah," jawabku.
Prajurit itu membungkuk tanda hormat lalu meninggalkan ruanganku. Hah.. benar-benar menyebalkan. Sebagai pangeran tertua di kerajaan yang berkuasa, kehidupanku selalu saja diatur. Mulai dari pakaian yang kupakai, makanan yang kumakan, sikap dan sifat yang harus aku lakukan, aku tak pernah melakukan sesuatu dengan kehendakku sendiri.
Dan aku sudah muak dengan hal itu.
Tak apa bila mereka mengatur kehidupan sosialku, tapi mereka tak ada hak untuk mengatur kehidupan percintaanku. Bahkan sang kaisar sekalipun. Sudah berkali-kali kukatakan kepadanya bahwa aku masih belum mau bertunangan, tapi ia tidak menedengarkanku. Dan aku tidak mau saudara-saudaraku cemas akan hal itu.
Dengan diam kuselipkan belati cantik kesayanganku ke dalam lengan bajuku. Sungguh, sebenarnya aku tidak tahu apa yang akan kulakukan dengan itu. Tapi belati inilah yang telah menemani hari-hariku, siang dan malam, cerah dan hujan. Bisa dibilang bahwa belati ini adalah jimat keberuntunganku.
Aku melangkah pergi dari ruanganku, menuju ruangan 'ayah'ku tercinta. Setiap prajurit yang ada di dekatku membungkuk tanda hormat, dan aku sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi aku bosan. Aku bosan kehidupan yang serba diatur ini. Kehidupan apa yang ada diluar sana? Diluar gerbang istana. Jujur, aku tak pernah meninggalkan istana. Paling jauh hanya sebatas gerbang pembatas. Memang kerajaanku terkenal kuat dan makmur, tapi aku tak pernah mengetahui kehidupan rakyat di luar sana. Dan tak ada di antara adik-adikku yang mengetahui hal itu pula.
Kuketuk pintu besar itu tiga kali. Setelah mendengar kata "Masuk" dari dalam, dengan ekspresi datar kumasuki ruangan itu. Dinding bercat merah dengan dekorasi emas menghiasi ruangan itu. Furnitur berbahan kayu terbaik di seluruh China mendiami ruangan itu. Terkecuali sebuah kursi yang terbuat dari campuran emas, perak, dan berlian.
Singgasana Sang Raja.
Tidak hanya kami berdua yang ada di tempat itu. Ibuku, permaisuri Wang Yin duduk di salah satu kursi sambil menggenggam sebuah kotak. Perasaanku tidak enak.
"Selamat datang putraku, Wang Yao. Penerus kerajaan Lǎo jiàn. Hari ini aku mempunyai sebuah kejutan untukmu," Sang kaisar mulai berbicara sambil terduduk di singgasananya.
Aku berjalan mendekatinya lalu berlutut memberi hormat. Dapat kurasakan kedua orang tuaku tersenyum bangga. Tapi aku merasa jijik melakukannya.
"Bangunlah putraku," katanya.
Aku melakukan apa yang ia katakan. Kemudian ibuku mulai berjalan mendekati kami dengan perlahan. Masih membawa kotak kayu berukir indah itu bersamanya.
"Kau tentu masih ingat apa yang kita bicarakan 2 hari yang lalu,"
Pertunangan.
"Kerajaan kita dan kerajaan Kào xíng memang telah menjadi sahabat untuk waktu yang lama. Dan kau sendiri sudah tahu, bahwa kami membuat kesepakatan."
"Ya, Ayah telah mengatakan hal ini untuk kesekian kalinya," jawabku tanpa takut.
Ia hanya tertawa.
"Kalau begitu tidak perlu penjelasan lagi, pesan ini datang pagi-pagi buta. Dikirim langsung dari Kaisar Shao. Silahkan permaisuriku..," ia berkata.
Ibuku mengangguk dan menyerahkan kotak itu padaku. Saat kotak itu telah ada di tanganku, ia kembali berjalan ke samping kaisar, saling bertukar senyum. Aku membukanya perlahan, penasaran walau tak mau tahu apa isinya. Sebuah surat.
Yang terhormat Pangeran Wang Yao,
Saya Kaisar Shao Bao, mengatakan betapa tersanjungnya saya bersama seluruh anggota kerajaan atas pertunangan anda dengan putri kami, putri Shao Lien. Dengan kesepakatan bersama antar kedua kerajaan, dengan senang hati saya menginformasikan anda bahwa pertunangan akan dilaksanakan esok hari, pukul 12 tepat bertempat di kerajaan kami. Saya harap perjalanan anda berjalan dengan lancar dan selamat.
Dengan hormat,
稍抱
Aku tidak percaya apa yang aku baca. Padahal aku sudah bilang padanya bahwa aku masih belum mau bertunangan. Aku yakin aku telah mengatakan hal ini sebelumnya. Hanya beralasan 'membalas budi', tega sekali dia melakukan hal ini padaku. Sudah cukup aku dijajah seperti ini!
"Benarkan? Ia sama sekali tidak mendengarkanmu. Kenapa kau tidak mendengarkanku?"
"Diamlah.."
"Sayang? Kau berkata apa?"
Aku hampir tak bisa mendengar suara ibuku saat ini.
"Akan lebih mudah jika kau turuti kata-kataku dan mengakhirinya 2 hari yang lalu. Sekarang lihat apa yang ia perbuat. Ia menyia-nyiakanmu sebagai anak. Aku yakin kau sudah tahu. Kau membencinya bukan?"
…
Tidak. Memang benar ia telah mengatur hidupku sesuka hatinya, tapi kemarahanku hanya sebatas kesal. Dia adalah ayahku, yang telah membesarkanku dari kecil hingga sekarang. Aku tidak akan pernah bisa membenc-
"Kau bahkan pernah berharap agar dia mati saja.."
"Sayang? Yao?"
Aku berbalik pergi. Akan menjadi masalah jika kedua orang tuaku melihat 'dia' sekarang ini. Aku harus tegar.
"Putraku, ada apa? Kau baik-baik saja?" dapat kudengar sang kaisar bertanya cemas.
Tapi aku tidak mempedulikannya. Dengan masih menggenggam surat dan kotak dari kerajaan seberang, aku berjalan menuju pintu.
"Yin.,"
"Ya.."
Aku terkejut ketika merasa seseorang menarik tanganku. Berdasarkan ukuran tangannya, dapat kupastikan bahwa dia adalah ibuku. Tapi aku tidak berbalik dan menatapnya. Tidak ketika 'dia' terus memprovokasiku.
"Qīn'ài, ada apa? Katakan saja," katanya.
"Ini kesempatanmu! Jangan sia-siakan! Untuk apa kau terus membawa belati itu jika tidak kau gunakan!"
"Diamlah.."
"Qīn'ài ?"
"Ibu.. aku hanya terkejut itu saja. Aku akan kembali ke kamarku sekarang," kataku.
Dengan kasar aku melepaskan genggamannya dan keluar dari ruangan itu. Dapat kudengar samar-samar suara ibuku bertanya-tanya, tapi kenapa suara paling jelas yang kudengar adalah suara'nya'?!"
"Dasar bodoh! Kau menyia-nyiakan kesempatanmu! Apa kau hanya akan duduk dan menuruti semua perkataannya?! YAO!"
"Sudah kubilang diamlah.. kau tahu sendiri aku tidak akan pernah bisa melakukannya.," jawabku pada'nya' sambil mulai berlari menuju ruanganku. Tiap pegawai istana yang kulewati hanya menatap bingung. Setelah sampai, aku segera masuk dan mengunci pintu. Menutup semua jendela, memastikan ruangan itu benar-benar tertutup.
"Kau bahkan tidak berusaha Yao! Bagaimana kau bisa bebas jika kau terus diam?!"
Aku hanya menarik napas mendengar perkataan orang ini. Atau bisakah aku menyebutnya 'orang'?
Perlahan-lahan, siluet baru muncul di belakangku yang masih terpaku di depan jendela. Siluet yang lahir karena aku di malam itu. Yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang kumiliki. Kejam, sadis, tidak berperasaan dan tidak suka pikir panjang. Tapi ada satu sifat yang kuharap aku memilikinya.
Keberanian.
"Yue, sudah berapa kali kubilang jangan tiba-tiba berbicara denganku diluar," kataku padanya.
'Yue' itulah nama yang kuberikan padanya. Karena setiap kali aku bertatapan dengannya, aku selalu teringat bulan purnama malam itu. Dan akan terasa aneh bila kau memanggil 'dirimu sendiri' dengan nama yang sama bukan?
"Aku bisa mendengar apa yang kau katakan dalam hati Yao. Aku tahu kau sangat ingin bebas. Itu sebabnya aku memberitahumu bahwa kau punya kesempatan tadi."
"Kesempatan apanya?! Ibuku ada disana! Apa yang akan dikatakannya bila melihatku melakukan hal itu?!"
"Jadi kau benar-benar ingin membunuhnya?"
…
"Ja- Jangan mengatakan hal itu seolah-olah bukan apa-apa Yue."
Aku menunduk malu. Seharusnya aku tahu bahwa ku tak bisa menyangkal diriku sendiri. Menyangkal kegelapan yang lahir dan ada di dalam hatiku. Tapi.. jika dia terus bicara seperti itu dengan perawakan yang sama persis denganku, dengan wajahku! Bagaimana aku bisa mengakuinya dengan mudah..?
"Hah.. maaf. Seharusnya aku tidak egois tadi. Kau benar, aku yang terlalu terburu-buru," katanya.
Aku mengangkat wajahku dan menatapnya. Terkejut dengan apa yang dikatakannya. Bagaimana bisa- Ah, dia dapat mengetahui apa yang kupikirkan. Ya ampun, kenapa setelah 12 tahun berlalu aku belum saja hafal kemampuannya?
"Haha.. tapi Yao, aku ingin kau tahu. Aku melakukan semua ini untukmu juga. Jika kau terluka, aku juga ingat? Kita sebenarnya adalah orang yang sama. Bisa diibaratkan Ying dan Yang. Kau adalah Ying, dan aku adalah Yang. Walau seharusnya aku Ying berdasarkan nama yang kau berikan padaku."
"Haha..," aku tertawa.
Memang benar kita adalah orang yang sama, dia adalah aku. Hanya saja bisa dibilang, aku adalah sisi yang baik dan dia sisi yang jahat. Meskipun terkadang dia membuatku kesal dan takut, tapi jujur, aku merasa nyaman di dekatnya. Mungkin karena kita orang yang sama? Ah.. ini mulai membingungkan.
"Lalu? Apa yang akan kau lakukan Yao?" tanyanya dengan nada serius.
"Ha?"
"Pertunangannya besok kan?"
Ah..
Rupanya semua perdebatan ini membuatku lupa akan masalah yang sebenarnya kuhadapi. Aku melihat surat itu lagi, yang sekarang telah duduk manis di atas ranjangku. Kubaca sekali lagi cermat-cermat.
"Esok hari, pukul 12 tepat bertempat di kerajaan kami.. berarti setidaknya harus berangkat pukul 6 pagi," kataku.
"Ka- Kau benar-benar akan pergi?" Yue bertanya, sedikit terkejut.
"Hm.. Lien wanita yang baik, manis, cantik, ia juga perhatian dan kuat. Dan sepertinya ia setuju-setuju saja bertunangan denganku," kataku sambil mengingat-ingat gadis berambut panjang ponytail itu. Walau memang, sakit sekali jika terkena pukulan 'dayung'nya tercinta.
"Heiheihei.. kau tidak serius kan?!" kali ini Yue benar-benar panik.
"Hahaha! Nggak, nggak. Nggak mungkin lah aku tahan sama cewek macho kaya dia!" jawabku sambil tertawa.
"Hah.. harusnya aku tahu. Ayolah, ini serius! Apa yang akan kau lakukan? Kau jelas-jelas tidak mau bertunangan kan?"
"Kau bahkan telah mendengarnya berkali-kali bukan? Tidak. Aku belum mau bertunangan. Jadi, kita harus mencari cara untuk membatalkan pertunangan ini," kataku.
Kami berdua sama-sama berpikir, yang anehnya dapat mendengar suara satu sama lain di dalam kepala kami. Yue kemudian mengambil kotak kayu yang menjadi 'amplop' surat itu. Ia memeriksanya entah kenapa lalu..
"Ah? Yao, ada satu surat lagi untukmu," katanya sambil mengibas-ibaskan kertas berwarna merah itu.
Aku pun mengambilnya. Aneh, kenapa aku tidak melihatnya tadi?
"Surat itu terselip di bagian bawah kotak. Wajar jika kau tidak melihatnya," Yue menjawab.
Aku hanya menghela napas dan mulai membaca surat itu. Tulisan ini.. tidak salah lagi, ini tulisan Lien.
Yao, aku menulis surat ini dengan kertas merah. Tentu kau tahu maksudnya kan? Sebenarnya aku senang kita bisa bertunangan, tapi aku tahu bahwa selama ini perasaanmu padaku hanya sebatas teman. Aku tidak akan memaksamu seperti kedua ayah kita. Jadi, terserah padamu. Jika kau memang mau bertunangan denganku maka aku sangat bahagia. Tapi jika tidak tak apa. Kau bebas memilih kali ini Yao. Berhati-hatilah selalu..
Lien
Memang dia sahabat yang baik. Aku bersyukur memiliki sahabat sepertinya dan juga adik-adik yang pengertian walau kami berbeda ibu. Jika sang kaisar terus mengatur hidupku, maka mereka semua mencoba 'melonggarkan' hidupku. Bersama mereka, aku bisa tersenyum dan tertawa dengan puas.
"Hey Yao.," Yue membawaku kembali dari lamunanku.
"Jika 'membatalkan' mungkin akan mustahil. Tapi bagaimana kalau 'menghindari'?"
Aku mengangkat sebelah alis. Sedikit tidak mengerti dengan ucapannya.
"Dengan 'menghindari' kita bisa menembak 2 burung dengan satu batu!" katanya bersemangat.
"Err.. tunggu dulu. Apa sebenarnya maksudmu dengan 'menghindari'?" kini dia benar-benar membuatku bingung.
"Kau masih belum bisa membaca pikiranku ya? Tentu saja kabur bodoh!" jelasnya ceria.
Mataku terbelalak.
"Ta- Tapi itu.."
"Tidak usah takut! Walau memang jika ketahuan akan berdampak besar.. tapi jika berhasil, kau tidak perlu bertunangan dan juga bisa bebas dalam waktu yang bersamaan!"
"I- Itu.."
Benar juga sih.. aku bisa menggapai mimpiku pada akhirnya dan tidak perlu terkurung di dalam sangkar sempit ini lagi. Tapi..
"Ba- Bagaimana caranya? Kesempatan yang kita punya hanya hari ini saja. Tidak mungkin kita kabur dalam perjalanan esok dengan banyaknya prajurit yang akan mendampingi kan?"
Walau belum diberitahu, aku sudah tahu bahwa besok akan banyak, BANYAK sekali prajurit yang akan mengantarkan kepergianku. Mengingat aku adalah calon kaisar selanjutnya dan pentingnya acara yang ada. Tidak akan ada celah untuk menyelinap.
"Kita lakukan malam ini lah," jawabnya santai.
.
.
.
"APA KAU BERCANDA?!"
"Shhhhhh!"
"Ah?!"
Aku segera menutup mulutku. Ya ampun, bagaimana bisa aku berteriak sekencang itu?
"Nanti ada yang dengar bodoh! Begini, aku sudah menyiapkan rencana ini sejak 10 tahun terakhir. Jadi kujamin kita pasti akan kabur tanpa diketahui!"
Mendengar perkatannya itu, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali ber-sweatdrop ria
"..10 tahun?"
"Hei! Aku nggak ada kerjaan! Lagian aku juga sudah tahu bahwa kau ingin sekali keluar dari sini, makanya aku bikin rencana. Seharusnya kau berterimakasih padaku!" dia mulai protes.
"Iya iya.. terserah deh. Lalu? Apa rencanamu ini?" tanyaku.
Yue hanya menatapku sesaat tanpa berbicara apa-apa. Aku menyadari hal itu dan mulai menatapnya bingung.
"Yue?"
.
.
.
"Ada yang mendengarkan percakapan kita."
Hetalia - Hidekaz Himaruya
Plot sama sekali tidak berhubungan dengan cerita aslinya, jadi jangan dianggap serius yow ^^. Ini cerita pertama saya, jadi jika ada kesalahan saya mohon bimbingannya. Selagi liburan, kemungkinan besar chapter berikutnya nggak akan butuh waktu lama, just bear with it :D Terimakasih banyak buat yang sudi baca cerita ini, saya akan selalu ingat jasa-jasa kalian *membungkuk*
