.
.
.
Tampak sepasang kekasih itu tengah duduk sambil memejamkan mata di tepi sungai Han. Kedua pasang matanya tertutup damai. Menikmati kenakalan angin yang dengan sibuk memainkan rambut keduanya.
Sang gadis semakin merapatkan tubuhnya, membuat kepalanya semakin masuk keceruk leher sang kekasih disampingnya.
"Yun…"
"Hm?"
"Saranghae…"
Mata bak musang itu terbuka ketika mendengar penuturan gadis berambut hitam disampingnya. Dia sedikit menegakkan kepalanya, menoleh, memandang kekasihnya yang sedang terpejam dengan bibir penuh yang mengulas senyum. Semakin mempercantik wajahnya.
Bibirnya perlahan tersenyum. Ia semakin menggenggam erat tangan dalam genggamannya.
"Nado saranghae, Jaeyoungie." Balasnya.
"Aku bahagia, Yun… Bahkan jika Tuhan mengambil nyawaku sekarang, aku akan ikhlas…"
"Tuhan tidak akan mengambilmu dariku, Jae… tidak akan pernah bisa… dua hari lagi kita akan menikah, saat kita berada di altar, Tuhan akan benar-benar tahu, kaulah yang terbaik untukku…"
Matahari tenggelam mengakhiri percakapan mereka kala itu.
…
…
…
"Saranghae"
.
YunJae
...
...
...
Terlihat raut gelisah pada tiap wajah yang sedang berada di depan ruang bertulis ICU. Suara isak tangis pun tidak meredam sedetikpun.
Seorang pria yang sedang duduk itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia ingin yang terbaik. Hanya itu. Meski harus ditukar dengan segalanya, dia rela.
Sang dokter keluar. Merosotkan masker yang digunakan lalu menghela kecewa.
Sebagian tahu tanda itu. Atau yang lainnya berpura-pura bodoh. Tidak menerima kenyataan sepertinya.
"Bagaimana keadaan putriku?" Tuan Kim menghampiri dokter.
"Kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi Tuhan sudah bertindak lebih dulu. Jaeyoung pergi ditengah operasi." Jelas sang dokter yang langsung disambut teriak histeris dari Nyonya Kim.
"Aniya! Youngie tidak mungkin meninggalkanku! Hiks…"
"Umma…" seorang pemuda memeluk wanita yang terduduk. Matanya sendiri sudah merah sedari tadi.
Kerah dokter itu tertarik, membuat beberapa orang disitu langsung menghalanginya.
"Katakan jika itu bohong! Jaeyoung tidak mungkin pergi! Besok adalah hari pernikahan kami! Kau pasti bercanda!" teriak pria musang itu. Air matanya sudah deras sedari tadi
Semua tahu, seorang Jung muda sedang hancur saat itu.
…
…
…
Kedua suami-istri itu terlihat muram.
"Pernikahan ini tidak boleh batal…"ucap Tuan Jung.
Tuan dan Nyonya Kim tidak percaya dengan pendengaran mereka.
"Apa maksudmu?! Putri kami baru saja pergi!"
"Kita sudah lama menantikan bersatunya keluarga ini, Youngwoon-ah. Pertalian keluarga yang dulu sempat terputus akhirnya bisa tersambung kembali." Jawab Tuan Jung.
Hanya alibi sebenarnya. Melepas kesempatan bisa bersatu dengan Keluarga Kim yang terhormat adalah tindakan terbodoh!
Dan Tuan Jung terlalu pintar untuk melepas hal itu begitu saja. Dia tidak akan pernah menyerah.
"Lalu… apa maksud ucapanmu barusan?" akhirnya Nyonya Kim bersuara setelah bisa menghentikan tangisnya meski dengan nada bergetar. Beberapa jam yang lalu ia serasa ingin bunuh diri mendapati putri yang begitu disayanginya pergi.
"Bukankah Jaeyoung memiliki saudara kembar? Kudengar dia bersekolah di Tokyo."
Mata Tuan Kim melotot tidak percaya. "Kau gila! Jaejoong seorang laki-laki!" bentak pria tua itu sembari menggebrak meja. Emosinya masih belum stabil.
"Bukankah mereka kembar identik? Jika Jaejoong didandani seperti perempuan, pasti tidak akan ada yang tahu, Youngwoon-ah. Bagaimana dengan semua persiapan yang sudah sempurna ini? Besok adalah hari pernikahan."
Tuan Jung masih bersikukuh rupanya.
Sedangkan Tuan dan Nyonya Kim tertunduk. Pernikahan yang sudah di siarkan akan batal?
Hal ini bisa menjadi aib bagi Keluarga Kim.
Akhirnya setelah bergelut dengan pemikirannya, Tuan Kim menghela. "Baiklah…"
Tuan dan Nyonya Jung saling berpandangan, kemudian tersenyum tipis.
"Tidak ada yang tahu kalau Jaeyoung meninggal. Kalian bisa mengatakan yang sebaliknya… bahwa yang akan dimakamkan hari ini adalah Jaejoong." Sambung Tuan Jung.
Mereka tidak tahu jika percakapan itu terdengar begitu jelas ditelinga seorang pemuda di balik dinding.
Tubuhnya perlahan merosot. Tangannya meremas kuat kemeja hitam yang dia kenakan.
Menganggap orang mati masih hidup. Dan yang hidup sudah mati.
Apa ada yang lebih menyakitkan dari kenyataan itu?
Sebisa mungkin, dia berjalan dengan tubuh yang sempoyongan. Dia sudah tidak memiliki tenaga bahkan untuk melangkah. Yang bisa ia lakukan hanya meredam isak tangis pilunya sembari menyeret langkahnya.
…
…
…
Semua tamu undangan penatap takjub sesosok yang tengah digandeng Tuan Kim dengan balutan gaun putih bersih dengan tangan yang menggenggam sebuket bunga mawar putih.
Rambut hitam panjang itu digelung rapi. Raut wajahnya yang putih merona karena sentuhan blush on begitu indah, dengan bulu mata lentik yang menaungi manik beningnya, lalu bibir mungil nan merah yang penuh mengulas senyum manis.
Ketika sampai di depan altar, Tuan Kim menempatkan seseorang itu disamping Yunho.
Suasana kembali khidmat ketika sang pastor menyelesaikan bagiannya.
"Silahkan cium pengantinmu. Dan kalian resmi menjadi suami-istri yang sah." Ucap sang pastor akhirnya.
Yunho menghadap wajah yang sangat ia cintai.
Jaejoong menyadari tatapan pria didepannya. Ia hanya bisa tersenyum miris. Wajah lain yang serupa dirinyalah yang dilihat pria itu. Bukan wajahnya.
Perlahan Yunho membuka kerudung putih yang menutupi wajah didepannya lantas mendekatkan wajahnya. Tepat ketika bibir tebalnya hendak menyentuh bibir penuh di depannya, ia sekali lagi tersenyum. Senyum tulus yang terakhir ia sunggingkan.
"Saranghae, Youngie-ya…"
Bulir air mata itu akhirnya jatuh ketika kelopak mata Jaejoong menutup. Air mata awal dari kisahnya.
"Nado saranghae, Yunho-sshi…"
…
…
…
Pesta pernikahan baru saja selesai. Yunho merebahkan seseorang yang digendongnya keatas ranjang empuk. Menatap lekat wajah cantik didepannya. Tangannya membelai lembut wajah putih dihadapannya.
Lalu ia kembali melumat bibir penuh itu. Lumatan lembut karena takut menyakiti. Tidak pernah sadar, bahwa sejak awal hati rapuh itu hendak pecah.
Tangannya menyelusup kebagian punggung, membuka resleting gaun. Perlahan mulai meraba tubuh halus dibawahnya. Sampai ketika gerakan tangannya berhenti.
Yunho turun dari kasur, berjalan mendekati sakelar lampu dan memencet tombol putih itu.
Jaejoong sekali lagi paham. Ia hanya bisa tersenyum untuk kisahnya. Yunho pasti tidak ingin melihat tubuhnya yang seorang laki-laki. Yunho masih begitu mencintai Jaeyoung.
Tapi dia bersyukur karena gelap, setidaknya Yunho tidak melihat seberapa banyak air mata yang ia tumpahkan malam itu dan malam-malam selanjutnya.
Ketika untuk yang kesekian kalinya ia menangis diam, menyadari bahwa tidak akan pernah ada namanya yang keluar dari bibir Yunho. Yunho hanya mendesahkan satu nama.
Mereka menyatu dalam kegelapan.
…
…
…
"Y-Yun… ahh… Yun..Ho… Yunh…" Jaejoong mendesah lirih ketika gerakan tubuh diatasnya semakin cepat. Tangannya melingkar erat dileher Yunho.
"Agh… Jae… Kkhh!"
Jaejoong memejamkan matanya rapat-rapat ketika perutnya penuh dan menghangat. Nafas keduanya mulai memburu. Yunho memeluk tubuh Jaejoong lalu tersenyum.
"Gomawo, Jae…" pria itu mendaratkan kecupan singkat dipelipis Jaejoong sebelum akhirnya terlelap diatas tubuh Jaejoong tanpa melepaskan diri.
Air mata kembali tumpah. Jaejoong kembali menangis tanpa suara. Ia biarkan airmatanya mengalir. Setidaknya hal itu mungkin bisa mengurangi perih dihatinya. Panggilan 'Jae' begitu ambigu.
Jaejoong akan selalu berharap jika nama itu untuknya. Tapi setiap berfikir seperti itu, seolah ia kembali ditampar keras agar cepat-cepat sadar.
Laki-laki cantik itu semakin menenggelamkan wajahnya dibahu Yunho. Ia juga mulai lelah dan mengantuk.
"Yunho-sshi… namaku Jaejoong…" bisiknya teramat pelan tepat ditelinga kiri Yunho. Sebelum akhirnya ia menyusul kealam mimpi.
…
…
…
Jaejoong tiba-tiba tersentak bangun.
Setelah kesadarannya terkumpul, dia melihat jam dinding yang menunjukkan angka 2, dia kembali menghela nafas.
Yunho tidak pulang.
Jaejoong menatap masakannya hari ini. Sia-sia. Harusnya ia tahu kalau semua masakan yang dia buat akan berakhir di tempat sampah keesokannya. Suaminya itu memang jarang sekali pulang. Tidak jarang Jaejoong mendapati Yunho mabuk yang selalu ditutup dengan tubuh yang menyatu keesokan paginya.
Perlahan dia melangkah menjauhi ruang makan menuju kamarnya. Di baringkan tubuh kurusnya keatas kasur empuk. Ia mulai menggelung selimut dan memeluk bantal disampingnya.
Mencari aroma suaminya yang tertinggal dibantal itu.
Matanya kembali berat dan mulai terpejam. Jaejoong mulai bermimpi dengan senyum. Mimpi indah yang tiap malam menemaninya.
Karena hanya dalam mimpi, Yunho akan memeluk erat tubuhnya.
Karena hanya dalam mimpi, Yunho akan memanggil namanya.
Karena hanya dalam mimpi… Yunho mencintainya.
…
…
…
Menunggu itu melelahkan. Bolehkah ia berhenti berharap sekarang?
Sekeras apapun Jaejoong berusaha, Yunho tidak akan pernah melihat dirinya.
Hanya ada Jaeyoung dalam manik hitam itu.
Tidak akan pernah ada Jaejoong dalam matanya.
Dan kini, Jaejoong merasa benar-benar lelah berjuang sendiri.
Ia putuskan untuk mengakhiri kisahnya sendiri dengan mengantar surat cerai pada Yunho kemarin malam.
Sudah hampir setahun mereka menikah. Yunho tidak pernah sekalipun memanggilnya 'Jaejoong'. Yang selalu terucap hanya 'Jae' atau 'Youngie'. Dan itu menyakitkan. Sangat.
Sekarang Jaejoong menatap miris surat ditangannya. Tiap air yang menetes, segera ia hapus.
Hei, dia seorang laki-laki. Mana mungkin cengeng seperti sekarang. Setelah setahunpun akhirnya dia bisa kembali menggunakan baju laki-laki yang semestinya, karena selama ini dia selalu dipaksa menggunakan dress jika ada petermuan para kolega Yunho maupun ayahnya.
Jaejoong menggeret koper hitamnya. Hanya satu, karena tidak banyak yang Jaejoong miliki dirumah itu.
Rumah milik Yunho dan saudari kembarnya..
…
…
…
Jaejoong meletakkan sebuket mawar putih diatas tanah yang sudah tidak basah. Jaejoong lalu tersenyum. Ia mulai berjongkok, membelai nisan kembarannya.
"Yunho sangat mencintaimu, Youngie. Tuhan juga tahu, dia hanya milikmu."
Sebelah tangannya terlipat diatas lutut, kemudian menempatkan dagunya di atas tangannya. Ia kembali menangis. Tidak terisak. Dia hanya membiarkan airmatanya mengalir sendiri.
"Mianhae, aku sudah jahat padamu, Youngie-ya…. Mianhae, karena aku sudah mencintainya… Tapi sekarang kau tak perlu cemas, aku akan pergi sejauh mungkin…"
Jaejoong berdiri. Ia menghapus air matanya lalu menepuk bagian belakang yang tertempel pasir.
"Taxi-ku sudah lama menunggu. Selamat tinggal, Jaeyoungie-ya… aku menyayangimu…"
…
…
…
Sore itu Yunho pulang lebih cepat. Dia memasuki rumahnya yang terasa sangat sepi. Alisnya mengkerut. Biasanya sore seperti ini akan selalu ada suara berisik didapur.
Dilangkah kakinya menuju ruang makan. Tidak ada siapapun disana. Dapurnya bahkan sangat rapi.
Dia mulai melonggarkan dasi merah hatinya.
"Jae…" panggilnya pelan.
Yunho memeriksa tiap sudut rumahnya dan hasilnya nihil. Dia tidak menemukan siapapun.
"Jae…!" panggilnya lebih keras.
Sampai ketika ia berada dikamarnya, Yunho melihat sebuah surat dan cincin putih pernikahannya.
Mata musang itu sontak melebar saat sadar surat ditangannya adalah surat cerai yang kemarin malam ia tanda tangani.
"Jaejoong!"
…
…
…
Jaejoong berjalan kecil di tepi sungai Han. Ketika senja adalah yang paling indah disana.
Diambilnya sebuah foto dari saku jaket. Bibir merahnya tersenyum. Foto Yunho ketika sekolah dulu. Ia ingat dengan jelas, kapan pertama cinta itu menetap dalam hatinya.
Saat dia memutuskan untuk menghabiskan masa liburan sekolahnya di Seoul, Jaeyoung, saudari kembarnya meminta datang kesekolahnya.
Dan disana, untuk pertama kalinya ia melihat sosok gagah seorang Jung Yunho yang sedang bertanding basket. Yunho berlari dengan wajah bahagia karena baru saja memasukkan bola ke ring. Dia diam-diam mengambil foto dengan kamera ponselnya
Perlahan manik bening itu menutup. Memutar kembali rekaman masa silam dalam rak memorinya. Memilah kenangan terindah sekaligus menyakitkan.
…
"Joongie-ya!" Jaejoong tersentak saat suara lantang itu tiba-tiba mengagetkannya.
Gadis yang menjadi tersangka hanya meringis. Jaeyoung melingkarkan tangannya pada lengan Jaejoong. "Aku ingin kau berkenalan dengan seseorang."
"Hung? Nugu?"
Mata Jaeyoung melirik sana-sini, mencari pacarnya. "Ah, Yunnie!" tangannya melambai-lambai pada seseorang. Kemudian memberi isyarat untuk mendekat.
"Apa kau melihatku tadi, Youngie?" sosok itu semakin tampan dari dekat.
Jaeyoung mengangguk. "Ah, aku ingin memperkenalkanmu dengan Jaejoong."
Yunho tersenyum ramah. Dia sudah sering melihat wajah serupa kekasihnya melalui foto-foto yang ditunjukkan Jaeyoung. Menurutnya, ada hal beda dari keduanya.
Mereka memiliki mata dan bibir yang beda.
Meski perbedaan itu sangat tipis.
Yunho menjulurkan tangannya, "Jung Yunho."
Harusnya Jaejoong membunuh hatinya saat itu. Laki-laki di depannya adalah kekasih saudari kembarnya. Harusnya ia tahu diri sejak awal.
…
Jaejoong kembali membuka mata. Kemudian menghela nafas singkat. Tangannya merogoh saku celana, mencari pemantik api yang tadi dibeli.
Perlahan, foto itu menjadi abu yang diterbangkan angin. Sekali lagi dia tersenyum. Satu-satunya kenangan Yunho sudah lenyap. Benda paling berharga yang selama ini ia simpan dengan baik dalam hidupnya kini sudah tidak ada.
Jaejoong menyerah. Benar-benar menyerah.
Harusnya sejak awal dia tahu, dia tidak diharapkan siapapun. Keluarganya. Maupun Yunho. Harusnya Jaejoong tidak usah menginjakkan kaki di Seoul.
Keluarga Kim masih memegang ajaran kuno yang mengatakan, jika bayi kembar membawa malapetaka, maka harus dipisah sampai mereka dewasa.
Jaejoonglah yang dibuang saat itu. Dia dititipkan oleh kenalan mereka yang berada di Tokyo. Sampai akhirnya ia merindukan keluarga yang sesungguhnya. Pulang ke Seoul. Bertemu Yunho. Dan Jaeyoung pergi.
Hal kuno seperti itu masih berlaku. Malapetaka itu benar-benar ada. Dan Jaejoong menyesal.
Pemuda itu membalik tubuhnya sembari menghapus jejak lurus di kedua pipi putihnya.
"Selamat tinggal, Yunho-sshi… Saranghae…"
…
…
…
.End.
