Summary :
"Anakmu adalah anakku, Sakura. Aku berjanji akan bertanggung jawab. Apapun resikonya."
.
.
Malam itu rintikan hujan membasahi permukaan kota Tokyo. Hembusan angin yang cukup kencang menjadi faktor bergoyangnya ranting pepohonan yang ada di deretan jalan. Daun-daun berguguran, kaca berembun, suhu menurun. Tak diragukan lagi, hujan di akhir bulan ini memang mengawali masuknya musim gugur di ibu kota Jepang.
Dan kini, Sakura Haruno, yang sekarang sedang tertidur di dalam sebuah ruangan, berada di atas permukaan kasur. Tubuh gadis berumur 22 tahun itu tetap menggigil kedinginan sekalipun kulitnya tak terkena sapuan angin dari luar.
"Mh..."
Di sela rasa kantuk yang masih menyerangnya, ia paksakan diri untuk meregangkan otot, merilekskan sendi-sendinya yang pegal. Ia miringkan tubuh lalu mencoba untuk memeluk dirinya sendiri.
Tapi sayang, tiba-tiba saja ada sebuah hal yang membuat Sakura terkejut. Terutama ketika ia merasakan telapak tangannya menyentuh kulit pinggangnya secara langsung—tanpa perantara, seperti kain pakaian atau celana.
Masih dengan kedua mata yang tertutup, Sakura meraba tubuhnya, lalu ketika ia menyadari bahwa dirinya polos tak berbusana, ia terkejut bukan main.
Srek!
Dengan sebuah sentakan, ia segera bangun dan mengubah posisinya menjadi terduduk. Karena tubuh bagian atasnya yang sempat terekspos, dirinya menegang. Cepat-cepat Sakura menarik selimutnya sampai ke batas leher. Masalahnya ia tidak pernah sekalipun terlelap tanpa pakaian.
Dan Sakura juga merasa bahwa ini bukanlah kamarnya.
Jadi dia lagi di mana?
Kemudian ia gerakan dua iris emerald-nya untuk meneliti ke sekitar. Kala menoleh ke kiri, dirinya terkejut bukan main, jantungnya berdegup kencang. Dia temukan sesosok pria bertelanjang dada yang menempati kasur di bagian sebelah.
Cara tidurnya tengkurap. Bantal putih itu menopang wajah tan yang berbingkai helaian pirang tipis yang mencuat. Tak nyaman oleh gerak-gerik Sakura yang membuat ranjang sedikit bergoyang, perlahan-lahan kelopak mata pria itu terbuka. Iris berwarna biru laut memandang tepat ke arahnya; ke Sakura. Dirinya juga menampilkan reaksi sama. Kaget. Tapi kemudian si jabrik memalingkan wajah dan meringis.
Dia terlihat khawatir dan... menyesal.
Sampai akhirnya bibir Sakura bergerak mengeluarkan sebuah nama. "Na-Naruto...?"
Segumpal saliva diteguk paksa. Sakura tau apa yang terjadi di antara dirinya dan Naruto.
.
.
.
SERPIHAN MERAH MUDA
"Serpihan Merah Muda" punya zo
Naruto by Masashi Kishimoto
[Naruto Uzumaki x Sakura Haruno]
Romance, Hurt/Comfort, Drama
AU, OOC, Typos, Threeshot, etc.
.
.
An exchange fict with Amertafuu
FIRST. Tanggung Jawab
.
.
"Lepas!"
Di dalam sebuah ruangan yang—kali ini jelas—merupakan sebuah kamar hotel, Sakura menepis tangan Naruto yang mencoba menahannya. Gadis bersurai merah muda itu susah payah menghapus jejak-jejak air mata yang masih terus berlinangan di kedua pipinya.
Naruto yang telah mengenakan kembali celana panjang mulai menghela nafas. Ia pandangi Sakura yang sedang sibuk memunguti potongan pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Sembari mengenakan pakaian dalam dan juga kemejanya, Sakura berusaha sekuat tenaga agar dirinya yang masih lemas itu masih mempunyai kekuatan untuk terus sadar.
"Dengarkan aku dulu, Sakura. Aku bisa menjelaskan—"
"Menjauh dariku!" Untuk yang kesekian kalinya Sakura memukul tangan Naruto yang sempat akan menyentuhnya. "Lagi pula apa yang bisa kau jelaskan dari hal ini? Menjelaskan kronologi mengapa kau bisa sampai mengajakku bercinta hanya dengan bir-bir sialanmu itu, hah!? Maaf, Naruto, aku sekarang sudah tau akal bulusmu! Dasar gila!"
Sakura memanas. Terbakar oleh amarah. Sambil menggeram dan merutuki Naruto di dalam hati. Buliran air matanya masih terus keluar tanpa bertahan. Ia menyesal sebesar-besarnya. Seharusnya kemarin ia tidak menerima ajakan Naruto untuk minum-minum di bar hotel yang baru dibangun. Padahal...
Ada sesuatu yang membuat Sakura terbelalak.
Padahal... Naruto adalah...
Sakura pun menunduk dan menjambak rambutnya sendiri. Hatinya serasa robek saat menyadari keadaannya saat ini. "Aku benar-benar tidak habis pikir..." Suaranya memelan. Dirinya yang lunglai langsung merosot ke lantai.
"A-Aku... Aku ini pacar Sasuke, Naruto..."
Padahal Naruto adalah sahabat Sasuke.
"Dan kau... adalah s-sahabatku sejak kecil..." Sakura berbisik lagi. "Kau b-benar-benar tidak punya hati..."
Naruto sempat pejamkan rapat-rapat kedua matanya. Ia menghela nafas, dan kemudian berjalan.
Terdengar langkah kaki yang mendekat. Itu Naruto. Pria itu berjongkok, lalu dengan hati-hati ia mencoba untuk mengadahkan wajah Sakura yang dibasahi oleh air mata hangat. Dia pandangi gadis tersebut yang telah memalingkan wajahnya ke arah lain, seolah-olah tak sudi lagi untuk bertatapan muka dengannya.
"Aku melakukan itu..." Naruto berujar. "Karena aku mencintaimu..."
Sakura cuma semakin menangis—tak bisa berkomentar.
Ya. Sakura memang sudah mengetahuinya dari lama kalau teman sebayanya ini mempunyai sebuah perasaan khusus dengannya. Tapi Sakura tidak bisa menerimanya, karena hatinya sudah sedari lama ia berikan ke seorang pria bernama Sasuke Uchiha—sahabat dari Naruto.
Sampai akhirnya, Sakura memandang langsung kedua iris biru Naruto yang terlihat redup. Ia yang masih terisak mengangkat tangan. Dia sentuhkan tangannya ke pipi Naruto dengan susah payah.
"Lalu... apa tindakan ini adalah bukti cintamu?"
Naruto mencoba menjawab, kali ini dengan suara parau. "Hm."
Sakura memejamkan mata. Suasana hening mewarnai ruangan.
"Naruto..." Gadis merah muda berdesis sinis. "Aku... membencimu."
Naruto menahan laju nafasnya. Hatinya terasa penuh oleh sesuatu yang menyesakkan.
Ia pun menutup kedua kelopak matanya, dan menjawab pelan.
"Ya. Aku mengerti."
.
.
~zo : serpihan merah muda~
.
.
Berbulan-bulan setelah kejadian itu terlewat, tak adalah lagi interaksi yang diperlihatkan oleh Naruto dan Sakura di lingkungan perkuliahan.
Sontak saja puluhan orang di universitas mereka—Tokyo Daigaku—menjadi terbingung-bingung. Tak heran; sekalipun sejak SD hubungan mereka hanya sebatas teman, mereka lumayan sering menjadi pusat perhatian apabila bila sudah membuat keributan di gedung universitas. Tapi kenapa mereka malah saling melengos jika berpapasan? Apalagi Sakura.
Dan jika ditanya paling jawaban yang dilontarkan hanyalah 'baik-baik saja'. Benar-benar tidak jelas. Sampai akhirnya warga universitas sampai terbiasa melihat keadaan Naruto dan Sakura yang tak lagi dekat. Pertemanan, keakraban, kasih sayang yang sering dipancarkan oleh Naruto dan Sakura dulu, kini telah dilupakan.
Trek.
Siang itu Sakura memutuskan untuk makan siang di kantin universitas. Ia yang baru saja membeli sushi meletakan piringnya ke permukaan meja kafetaria. Menyusul, Sasuke pun duduk di sebelahnya dalam diam. Tampaknya pria berwajah stoic itu tidak berminat untuk membeli makanan, hanya menemani pacarnya makan siang.
"Kau tidak makan, Sasuke-kun?"
Tanpa menjawab, pria berambut raven tersebut menggeleng singkat. Dirinya masih fokus ke layar ponselnya. Setelah mengambil sepasang sumpit, Sakura menatap Sasuke.
"Lagi email-email-an dengan siapa? Itachi-niisan, ya?"
"Ya. Menjelang kelulusanku, Itachi jadi lebih berisik."
"Kamu harus siap-siap mengurusi perusahaan sih..." Sakura tertawa kecil.
Sasuke hanya menghela nafas malas. Lalu ia berdiri. "Aku mau menelfon sebentar."
"Ya, aku akan menunggu di sini."
Sepeninggal Sasuke, Sakura melanjutkan acara makannya. Ia apit sebuah tekamaki, lalu ia masukan ke dalam mulutnya. Dengan mengunyah, tangan Sakura bergerak untuk menuangkan kecap asin Jepang ke sebuah piringan kecil. Namun baru saja gadis itu akan menelan makanan, ia tersentak, perutnya mendadak bergejolak.
"Uhk—uhuk!" Dirinya terbatuk. Buliran keringat dingin mulai keluar dari pori-pori dahinya.
'Lagi-lagi...' Sakura membatin. Selagi telapak tangannya membungkam mulutnya, ia melirik ke permukaan perutnya yang masih rata. Lalu dirinya kembali terbatuk dengan segera.
Tidak bisa bertahan lebih lama, Sakura melepaskan sumpitnya, lalu ia berlari ke toilet kafetaria. Sakura sedikit berlari ketika isi perutnya semakin bergerak naik. Namun ketika ia tinggal berbelok untuk memasuki kawasan toilet, dirinya menghantam tubuh seseorang.
Syukurlah Sakura tidak sampai jatuh.
"Ma-Maaf..." Bersama kepalanya yang tetap menunduk, ia mencoba melewati orang itu. Akan tetapi sebuah tangan menahannya. Sakura sedikit mengadahkan kepala, lalu melihat sosok Naruto yang sedang menunjukan tatapan tanpa ekspresinya.
Sakura menelan ludah. Ia lepas paksa tangan pria tersebut. "Ada apa menahanku?"
"Kau sakit?"
"Bukan urusanmu, Uzumaki-san."
Naruto merasakan percikan perih dari dalam hatinya. Sakura tak lagi memanggilnya dengan 'Naruto'. Itu tandanya Sakura telah memutuskan hubungan pertemanan dengannya. Tapi Naruto akan tetap konsisten.
"Tentu saja itu urusanku."
Sakura berniat pergi, tapi sebisa mungkin Naruto terus mencegah tangannya untuk terlepas.
"Aku tau kau sakit..."
"Jangan sok tau."
"Aku memperhatikan keadaanmu sejak dulu"
Sakura tertawa sinis. "Kau sudah beralih jadi stalker, ya?"
"Ya. Terserah kau mau bilang apa. Yang penting aku tau kau sedang sakit."
"Oh, memangnya aku sakit apa?"
"Entah."
Sakura berniat menghina, tapi Naruto sudah melanjutkan kalimatnya.
"Aku cuma yakin... kalau bayimu lah yang sakit."
Naruto dan Sakura terdiam. Mereka biarkan tatapan mereka yang bertemu itu terus bersinggungan.
"Bayi...?"
Sakura terbelalak.
"Bayiku..." Naruto menahan nada suaranya. Ia mencoba tersenyum—walau tidak selebar yang dulu. "Bagaimana keadaannya—?"
"DARI MANA KAU TAU!?"
"Eh?"
Naruto memandang Sakura. Dilihatnya gadis itu yang sudah menutup kedua telinganya. Kedua iris emerald itu berkaca-kaca, membuat jantung Naruto terasa berhenti berdetak.
Sakura terlihat sangat tersiksa.
"Dari mana kau tau... kalau aku sedang... hamil?" Suara desisan Sakura memelan. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Saku—"
"Dari mana!?"
Naruto menekan kedua rahangnya. "Minggu lalu aku sempat melihatmu ke dokter kandungan di salah satu tempat—"
"Cukup!" Sakura memotongnya. Masing-masing telinganya ia sudah tutupi dengan telapak tangan. "Hentikan!"
"Sakura, aku—"
"Karenamu, Naruto! Karenamu hidupku berantakan!" Ia menjerit, dan Naruto terperangah.
"Sakura—"
"Dari kemarin aku bingung sampai mau gila rasanya! Ba-Bagaimana cara aku menjelaskan ini kepada orang tuaku!? Terlebih lagi... apa pendapat Sasuke-kun nantinya!?" Sakura merasakan kedua matanya memburam oleh air mata. "Apa pandangan orang-orang... terhadapku yang seperti ini...?"
"Sakura..." Naruto berniat menyentuhnya, tapi langsung dielak mentah-mentah.
"Pergi sana!"
Sakura pun langsung merosotkan tubuhnya ke lantai, lalu memeluk kedua lututnya yang telah tertekuk. Ia tersedu-sedu sampai kedua bahunya berguncang. Naruto pun menghela nafasnya, mencoba menenangkan hatinya yang ikut kacau melihat Sakura yang terpuruk seperti ini. Untung saja kawasan di luar toilet sedang sepi, sehingga tak ada yang berlalulalang di sekitar mereka.
"A-Aku..."
Nyaris semenit terlewat dan agak tenangan, lirihan Sakura membuat Naruto meliriknya.
"A-Aku berniat m-mengatakannya ke Sasuke-kun... aku akan bilang... k-kalau bayi ini... adalah anaknya."
Kedua mata Naruto melebar. Nyaris saja ia kehilangan kesadarannya akibat kalimat tadi.
"Aku... akan meminta Sasuke-kun bertanggung jawab."
Naruto mencoba menahan sakit yang diterima oleh tubuhnya—mental, nafas, perut; keram. Dengan bergetar ia masih menjaga raut wajah. "Lalu... kalau Sasuke tidak mau?"
"Aborsi."
Jawaban yang paling menyayat seorang pria bernama Naruto Uzumaki.
"Aku tidak tau lagi. Aku akan mengaborsi bayi ini—"
Grep.
Mendadak Naruto memeluk Sakura.
"Jangan katakan hal itu." Dia benamkan wajah Sakura ke dadanya. "Anakmu adalah anakku, Sakura. Aku berjanji akan bertanggung jawab. Apapun resikonya."
Sakura memejamkan mata. Ia biarkan kedua sudut matanya mengalirkan butir demi butir kesedihan yang telah lama ia pendam sendiri. Inginnya memberontak. Tapi tak bisa. Rasa sedihnya terlalu kuat. Rasa nyaman yang Naruto berikan pun memberikannya sebuah kerinduan. Naruto adalah sahabatnya. Dada pria itu sudah ratusan kali ia jadikan sandaran di mana ia bersedih, marah, dan kalut. Karenanya Sakura membalas pelukan Naruto, membuat secercah harapan pedih kepada pria tersebut.
"Jika Sasuke tidak mau menerimamu, maka aku lah yang akan berperan mengganti posisinya. Tak ada jalan lain, Sakura..."
.
.
~zo : serpihan merah muda~
.
.
BUKH!
BUAKH!
Dari kediaman Uzumaki, terdengar suara pukulan keras yang dilayangkan berkali-kali oleh seseorang.
"Dasar anak tidak tau diri!"
BUKH!
BUKH!
"Sudahlah, Minato! Kasihan Naruto—!" Sang istri yang berambut merah panjang itu mencoba untuk menahan suaminya. Dia peluk tubuh Minato dari samping, lalu ia pegang salah satu tangannya—agar pria berumur 40 tahunan itu tidak lagi memukuli anak semata wayang mereka.
"Tidak bisa! Ini sudah keterlaluan! Dia harus diberi pelajaran!"
"Minato, kita bisa menasihatinya baik-baik, kan? Tidak perlu dengan cara kekerasan seperti ini!"
Di saat Kushina mencoba meredakan emosi Minato yang sedang tidak stabil, Naruto—anak mereka yang wajahnya sempat dipukuli itu—menyeka darah yang keluar dari ujung bibir.
"Naruto, kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja kok..." Bukannya apa, Naruto malah menyengir tipis. Tampaknya ia sendiri puas mendapati pukulan telak yang dilancarkan oleh ayahnya. "Memang ini yang kubutuhkan akibat perbuatan bodohku."
"Jadi kau sadar, hah?" Minato yang masih emosi bertanya.
"Ya... lumayan." Naruto mengangguk. Lalu ia berdiri, sekaligus menepuk debu yang menempel di celananya—akibat terjatuh sesaat diberikan 'pelajaran' dari sang ayah. "Tapi aku tetap tidak menarik kata-kataku. Aku ingin menikahi Sakura, Ayah. Aku harus bertanggung jawab atas bayi yang berada di kandungannya."
Ya, itulah alasan mengapa Minato bisa sampai semurka ini kepada anaknya. Naruto telah mengakui perbuatannya terhadap Sakura. Mana ada orang tua yang tidak marah apabila mengetahui anaknya telah melakukan akibat negatif dari pergaulan bebas seperti itu? Terlebih lagi, umur Naruto masih kelewat muda; 23 tahun.
"Karena itu, aku meminta izin dari kalian untuk mengizinkanku menikah dengannya."
Dengan tatapan sayu—akibat terlalu banyak menangis; sejak Naruto memberitahunya berita buruk itu—Kushina melirik suaminya. Minato mencoba sabar.
"Terserah. Pergilah sana—dan pergilah juga dari keluarga Uzumaki." Minato menjawab. "Kau diusir. Kau tak pantas berada di keluarga yang bermartabat tinggi ini."
Naruto bungkam.
"Baiklah. Aku sudah tau akan begini jadinya..."
Naruto memejamkan mata sebentar, lalu dibukanya kembali. Diperhatikannya dalam diam punggung sang ayah yang telah berbalik, dan menjauh—pergi dari hadapannya.
"Naruto..." Kushina yang masih ada di sana menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Naruto balas memandangnya, lalu tertawa hampa. "Sayang sekali, ya. Kalau Okaasan bertemu dengan Sakura, pasti kalian akan cepat berteman—sifat kalian berdua mirip sih."
"Na-Naruto..." Kushina kian menangis.
"Ah... lihat." Naruto mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna biru tua. "Ini cincin yang kubeli sendiri untuk melamar Sakura. Cantik, kan?" Ia tersenyum, lalu menyentuh platinum indah itu. "Untungnya uang tabunganku—yang mulanya akan kugunakan untuk membeli mobil sport—ada banyak. Jadi aku yakin itu cukup untuk kehidupanku sampai ke beberapa tahun ke depan."
Ya, Naruto sangat bersyukur dirinya memiliki harta yang sangat cukup—sehingga rasanya ia tidak akan begitu kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya nanti apabila ia menikahi Sakura.
Kushina semakin menangis. Ia peluk Naruto dengan erat. Meski ia tidak menyukai keputusan Minato, ia juga tidak bisa berbuat banyak. "D-Doa ibu menyertaimu..."
Naruto menghela nafasnya, lalu ia memeluk ibunya erat-erat.
"Sampai jumpa, Okaasan." Naruto menjauhkan tubuh ibunya, lalu ia kecup kening wanita itu. "Suatu saat nanti, aku kembali lagi. Dan akan kupastikan aku bisa membahagiakan kalian juga."
Naruto menutup kotak itu, lalu menggenggamnya. Ia menarik koper—yang telah ia persiapkan—keluar rumah. Dimasukkannya ke dalam bagasi mobil, lalu berangkat dari sana. Mulai saat ini ia akan menetap di salah satu loft apartemen milik keluarganya—yang dari dulu sudah Minato berikan kepada Naruto.
.
.
~zo : serpihan merah muda~
.
.
Sesudah menghabiskan banyak waktu untuk membereskan segala perpindahannya ke apartemen, Naruto melirik jam dinding. Nyatanya ini sudah jam 14.05—tandanya ia akan terlambat ke kuliah sorenya. Segeralah Naruto menghela nafas. Meski tubuhnya sedikit lelah, sepertinya ia harus segera ke universitas.
Bukan. Naruto bukanlah takut akan dimarahi dosen atau apa. Melainkan, ia ke universitas karena ingin menemui seseorang. Siapa lagi kalau bukan Sakura Haruno? Hari ini, Naruto akan memberitahu Sakura bahwa ia sudah sangat sanggup untuk menanggungnya dan juga bayi mereka berdua. Dikatakan seperti itu karena Naruto memang belum melamar Sakura. Ia mendahulukan izin dari orang tuanya.
Mengingat kembali rencana kegiatannya di hari ini, Naruto memutuskan untuk segera mandi dan pergi.
Ketika jam sudah menunjukan pukul 15.30 tepat, pria berambut pirang jabrik itu memarkirkan mobil Mazda abu metaliknya ke sebuah tempat kosong di bagian belakang gedung universitas Todai—Tokyo Daigaku. Ia segera keluar dan berjalan, membiarkan sol sepatunya menginjak permukaan aspal.
Sambil berjalan Naruto mengambil ponsel. Ia tekan sebuah nomor yang ada di kontaknya. Terdengar suara deringan dari speaker. Karena terlalu lama menunggu, Naruto berharap di dalam hati agar Sakura yang dia telfon cepat mengangkatnya—agar ia tau di mana posisi gadis itu
Tep.
Namun ketika ia berbelok untuk memasuki salah satu kawasan di gedung pembelajaran yang sepi, Naruto berhenti. Sesaat ia melihat kedua sosok familiar di dalam sana, kedua iris sapphire-nya melebar.
Di sana ada si raven—yang merupakan sahabatnya—dan juga si merah muda—yang merupakan orang yang ia cintai.
Sasuke Uchiha dan Sakura Haruno.
Dari tempatnya berdiri, Naruto dapat melihat kedua ekspresi yang dikeluarkan oleh mereka—tanpa sepengetahuan kedua belah pihak. Sasuke terlihat mengernyit, seakan heran dan merasa aneh. Sedangkan Sakura menangis.
Kenapa Sakura menangis?—Naruto mempertajam pandangannya.
"Aku belum pernah menyentuhmu, Sakura..."
Samar-samar, Naruto dapat mendengar pembicaraan yang sedang berlangsung di kejauhan sana.
"Su-Sudah. Kau sudah melakukannya kepadaku. A-Aku yang merasakannya... aku yang tau..."
Tunggu...
Apa yang mereka bicarakan?
"Tapi aku hamil, Sasuke! Aku hamil! Kalau bukan kamu, siapa lagi?"
Naruto nyaris tak bisa bernafas sat mendengar kalimat barusan. Jantungnya seolah ditampar gada panas. Baru kali ini Naruto nyaris mau tumbang hanya karena kata-kata. Bahkan kedua kakinya saja sampai melemas. Dengan pandangan yang kacau ia memperhatikan Sakura yang tengah menangis. Yang tanpa sadar dirinya pun ikut mengeluarkan tetesan air mata yang serupa.
Naruto merasakan paru-parunya semakin sesak, seakan ada yang menyumbat.
Naruto meremas kausnya sendiri—yang berada di bagian dada.
Tidak tau kenapa, ia merasa bagian itu terasa sakit.
Walaupun Sakura pernah mengatakan itu kepadanya—tentang akan meminta Sasuke bertanggung jawab—Naruto tetap tidak bisa terima. Ia merasa... sangat sakit. Terlebih lagi, Sakura tidak mengakuinya; bahwa ayah dari bayi yang dikandungnya itu adalah dia, seorang Naruto Uzumaki.
Naruto langsung berbalik dan berjalan pulang. Ia mencoba mengatur nafas. Dua tangannya terkepal erat. Sebisa mungkin ia menahan diri agar tidak menangis. Ia tidak boleh lemah.
Lagi pula ini salah dirinya dari awal, kan?
Untuk apa dia menjebak Sakura Haruno? Apakah dia tidak sadar bahwa yang dilakukannya sama seperti menanam benih di rahim subur gadis itu?
Ya, ini salahnya...
Di depan mobil, Naruto terdiam sekitar dua menitan.
Kemudian tangannya bergerak, mengambil sebuah benda di sakunya.
Cincin...
Cincin yang awalnya ia kira akan berakhir di jari manis Sakura...
"Hah... ahaha..." Meski tatapannya terasa kosong, Naruto tertawa pelan. "Seharusnya aku datang lebih cepat..."
Di tempatnya berdiri Naruto mencoba untuk membuang nafas. Dia pandangi lagi sebuah kotak kecil di tangannya. Ia buka, lalu mengeluarkan dua cincin itu dari sana. Untuk cincin pertama—yang memiliki ukiran 'Naruto'. Ia memasukkan benda itu ke kelingking kirinya. Sedangkan, untuk cincin kedua—yang memiliki ukiran 'Sakura'—ia genggam erat-erat.
Tak lama berselang, ia jatuhkan platinum indah itu ke aspal, dan melewatinya begitu saja. Naruto kembali menaiki mobil pribadinya.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
Author's Note :
Akhirnya jadi juga exchange fict pertamaku untuk Amertafuu! Sempet kukira fict ini ngga bakalan jadi (?), tapi nyatanya aku bisa ahaha. Yosh, gomen ya kalo telaaat. Mungkin chapter duanya bakalan lebih telat lagi #plakduesh (kalo ngga keberatan, silahkan anggap ini sebagai oneshot hoho). Tapi yang jelas aku seneng banget bisa exchange~ :))
Untuk cerita, aku sebenernya ngga tega juga kalo buat h/c yang mengimbas ke chara cowok. Tapi berhubung ini mesti hurt (sesuai tema yang diberikan oleh si Ame), aku coba deh buat yang begini. Sebenernya sih ini bisa dijadiin oneshot. Tapi berhubung aku sendiri gregetan untuk nyatuin NaruSaku di sini, aku nyoba agar bisa ngebuat fict ini ditambah 1-2 chap lagi. Doain bisa happy ending, ya... :')
.
.
Next Chap :
"Ah, gosip Sasuke-senpai yang menghamili Sakura, ya?"
"Ahaha, sial. Mataku berair..."
"Aku hanya mencintaimu..."
"Na-Naru... a-aku ingin pulang..."
.
.
Review kalian adalah semangatku :')
Mind to Review?
.
.
THANKYOU
