Hidup bersama lima saudara membuat secara tidak sadar ada hubungan-hubungan yang begitu erat dan hubungan yang renggang. Kau tidak akan bisa memiliki kedekatan hubungan yang sama dengan setiap saudara, pasti ada yang sangat dekat, lumayan dekat, dan tidak dekat.

Hidup bersama lima saudara juga dapat membuat hal-hal kecil tidak ternotis. Hal-hal kecil seperti apa yang dilakukan anak ketiga di kamar atas, dimana anak bungsu berada, dan hal lainnya.

Karamatsu Matsuno adalah anak kedua dari enam bersaudara (kembar)—walau hanya beberapa menit lebih awal dari adik pertamanya. Menjadi anak kedua tidak terlalu menyenangkan jika kau melihat bagaimana ia diperlakukan. Walau dia termasuk salah satu yang lebih tua, bukan berarti dia mendapat rasa hormat atau kemudahan untuk mengatur adik-adiknya. Dia justru dilupakan, dianggap tidak ada, atau menjadi sasaran kejahilan saudara-saudaranya—oh, dia lupa kalau Matsuno bersaudara dikenal sebagai iblis bersaudara.

Dia kira menjadi anak yang kedua berarti akan menjadi tempat sandaran anak tertua, Osomatsu. Karamatsu kira kakaknya itu dapat mengandalkan dirinya dengan berbagi masalah dan meminta tolong berbagai hal. Dia pikir kakaknya itu bisa mempercayainya, sebagai sesama anak tertua untuk menanggapi masalah keluarga.

Nyatanya, semua itu salah.

Osomatsu justru lebih mengandalkan Choromatsu, anak tertua ketiga keluarga Matsuno. Terbukti dengan sang kakak yang lebih dekat dengan sang adik. Lebih sering menghabiskan waktu bersama berdua. Bertanya pendapat Choromatsu tentang ini-itu.

Sebagai anak kedua, yang berada di antara anak pertama dan anak ketiga membuatnya dapat melihat hubungan Osomatsu dan Choromatsu secara jelas. Dia dapat melihat kedekatan mereka, keakraban mereka, rasa percaya pada satu sama lain.

Iri? Tentu dia iri, hanya saja memilih untuk tidak menunjukkannya karena bukankah itu sia-sia? Tidak akan ada yang peduli.

Jadi dia hanya akan melihat interaksi keduanya, dalam hati menginginkan perhatian dan kepercayaan itu.

.

.

.

.

to be his special one

Osomatsu-san © Akatsuka Fujio

Dibuat untuk kesenangan semata, tidak ada keuntungan lainnya yang didapatkan.

a/n: akan ada tiga chapter. untuk yang pertama dari sisi-nya Karamatsu. cerita ini fokusnya pada older trio atau animatsu. (fik ini niatnya buat animatsu day tapi gak kelar-kelar /yha/)

.

.

.

.

Osomatsu dan Choromatsu memang sudah sering menghabiskan waktu bersama, sejak mereka masih anak-anak maupun sekarang saat usia mereka mencapai kepala dua. Di mana ada Osomatsu, pasti ada Choromatsu. Dan begitu juga sebaliknya. Mereka berdua lebih sering menghabiskan waktu bersama.

Sewaktu mereka masih berumur lima sampai delapan tahun, Osomatsu dan Choromatsu kerap kali melakukan keusilan berdua, hampir semuanya dipelopori oleh ide-ide berasal dari yang tertua. Membuat Chibita menangis karena mereka memakan oden di depan temannya itu, misalnya. Menyembunyikan mainan kesayangan milik Jyushimatsu. Menaruh sepatu Todomatsu di loteng agar saat pagi si anak bungsu panik mencari sepatunya. Kenakalan-kenakalan mereka tidak lagi dapat disebutkan karena terlalu banyak jumlahnya. Terlalu sering dilakukan.

Namun, Karamatsu hampir menghapal semua kenakalan yang mereka lakukan. Dia hampir selalu ada di dekat mereka untuk melihat keusilan apa yang mereka rencanakan, tahu siapa target kenakalan mereka, kapan akan dilaksanakan. Karamatsu akan memerhatikan mereka melaksanakan rencana kenakalan mereka, melihat wajah mereka yang tersenyum gembira ketika sang target memberi reaksi seperti yang mereka harapkan.

Karamatsu sempat berpikir bahwa, ya, Osomatsu dan Choromatsu itu saling melengkapi satu sama lain. Sifat Osomatsu yang terlalu santai dan lebih senang bermalas-malasan, dengan sifat Choromatsu yang akan memaksa sang kakak untuk melakukan sesuatu yang berguna—anak ketiga itu dapat membuat Osomatsu merubah pikiran dan akhirnya melakukan sesuatu dibanding hanya tidur dan bersantai di masa mereka masih sekolah dulu.

Sifat Choromatsu yang terlalu banyak berpikir—yang ini mungkin dapat dibantu dengan sifat Osomatsu yang (setidaknya sedikit) mengerti adiknya, mungkin ia akan mengajaknya bersantai sebentar agar adiknya itu tidak terlalu stress. Walaupun bodoh, Osomatsu bisa menjadi berguna dalam hal-hal seperti ini.

Ketika mereka memasuki jenjang SMA, sedikit-banyak mereka berubah. Tidak ada lagi enam pasang pakaian yang sama—kecuali seragam sekolah—karena masing-masing sudah memiliki warna khas sendiri, tidak lagi kesana-kemari terus-menerus berenam, tidak lagi berlaku layaknya anak-anak—mungkin ... pengecualian untuk Jyushimatsu?

Mereka berenam mulai mempunyai hobi dan ketertarikan dalam bidang yang berbeda-beda. Todomatsu yang senang berkumpul dengan anak-anak populer dan para gadis, Jyushimatsu dengan hobi bermain bisbol, Ichimatsu tertarik dengan binatang-binatang (khususnya kucing), Choromatsu yang kutu buku dan senang mengikuti penyanyi atau idol group masa kini, dirinya dengan klub drama, dan ... Osomatsu dengan teman-temannya yang senang berkelahi.

Kesenangan Osomatsu akan adu kekuatan antar lelaki tampaknya semakin bertambah ketika memiliki teman yang juga suka dengan hal yang sama. Masa-masa ini adalah masa dimana anak tertua itu akan pulang dengan memar serta beberapa luka, dimana terkadang Osomatsu akan membolos pelajaran dan berakhir dihukum sepulang sekolah, dan dimana Osomatsu selalu mencari Choromatsu.

Setelah berkelahi, Osomatsu akan pulang dan mencari adik keduanya, ingin tubuhnya diobati. Sehabis dihukum guru, anak tertua itu akan mencari Choromatsu untuk bercerita bagaimana dia kesal dan lelah membersihkan kamar mandi sekolah sebagai hukumannya. Saat mendapat tugas remedi akan nilai-nilai merah, Osomatsu akan mencari Choromatsu untuk mengajarinya pelajaran yang dia lewati dan tidak mengerti.

Dan seperti saat mereka masih anak-anak, Karamatsu akan tahu dan melihat bagaimana Osomatsu pulang dengan badan penuh luka, berdiri di depan pintu rumah dan meneriakkan nama Choromatsu. Bagaimana dia tidak sengaja mendengar percakapan keduanya di ruang utama ketika mereka kira tidak ada orang lain yang berada di rumah. Bagaimana Osomatsu akan selalu pergi menuju kelas Choromatsu (oh, Karamatsu dan Osomatsu berada di kelas yang sama, omong-omong) setiap waktu istirahat dan meminta adiknya mengajari ulang bagian yang tidak ia pahami.

[Karamatsu akan dapat melihat senyum Osomatsu saat kakaknya berada di dekat Choromatsu. Senyum bahagia. Senyum tanpa beban. Senyum tulus.

Senyum yang ada karena keberadaan Choromatsu, bukan karena disebabkan oleh dirinya.]

.

.

.

Karamatsu melirik arloji yang melingkar di tangannya, kedua kaki terus melangkah menuju rumah dengan langkah pelan. Jam menunjukkan waktu sudah hampir tengah malam, tapi dia tidak terlalu peduli. Kecepatannya melangkah tidak ia tambah, merasa tidak perlu bergegas pulang karena berpikir tidak akan ada yang menunggunya juga. Ah, bahkan mungkin kelima saudaranya itu bersyukur futon mereka terasa lega.

Memasukkan kedua tangan pada saku jaket kulitnya, ia kembali mengingat ketika dulu sempat pulang lebih dari tengah malam. Saat itu dia masih bodoh, mengharapkan kakaknya akan menunggu di depan pintu karena dia belum kembali. Dia ingat, waktu itu dia dicegat sekumpulan preman yang memalaknya uang—padahal saat itu dia baru saja pulang dari pachinko dan tidak memiliki sisa sepeser pun. Untung para preman itu hanya menghajarnya, tidak sampai membunuhnya. Dengan langkah tersaruk ia bergegas pulang, berharap menemui wajah cemas sang kakak ketika sampai di depan rumah nanti.

Nyatanya tidak ada yang menunggunya di pintu. Tidak ada juga yang terbangun. Karamatsu ingat sekali bagaimana hatinya sakit, mengobati luka-lukanya sendiri seadanya. Ketika ingin masuk ke futon pun sempat mendapat gerutu dari Todomatsu yang merasa tidurnya terganggu.

Baru ketika pagi datang dan Choromatsu melihat dirinya yang luka-luka dan hanya diberi perban sana-sini—belum lagi beberapa memar yang dia tidak sempat pedulikan, karena malam itu ia cukup lelah baik fisik maupun mental—dia diobati dengan benar. Selama Choromatsu mengobati luka-lukanya, telinganya pun ikut mendengar ceramahan yang terlontar dari mulut sang adik, kedua matanya melihat kerutan di dahi Choromatsu, dan bibir yang tertekuk ke bawah. Dia ingat sekali wajah Choromatsu saat itu, adiknya tampak peduli, peduli padanya yang diam-diam menaruh rasa iri dan —sedikit, sedikit saja—rasa benci.

Langkahnya terhenti ketika dia sudah berada di depan pintu rumah, membuatnya kembali ke masa kini dari mengingat memori beberapa tahun lalu. Dari luar, terlihat tidak ada lampu yang menyala, menandakan seisi rumah sudah terlelap dalam tidur.

Karamatsu menghela napas dan tangannya beralih pada pintu, menggesernya, dan menutupnya kembali ketika sudah berada di dalam. Melepas sepatu, ia berjalan masuk, berniat langsung saja beranjak ke kamar untuk tidur.

Tapi niatannya itu terhenti ketika melihat lampu ruang utama yang menyala, sayup-sayup terdengar suara televisi. Karamatsu menaikkan sebelah alis tebalnya, mungkinkah seseorang lupa mematikan lampu dan televisi?

Kedua mata Karamatsu melebar seketika ketika ia membuka pintu ruang utama dan melihat seseorang yang berada di dalam sana, dengan tangan menopang kepala di atas meja, kedua mata tertutup, dan kedua bahu yang naik-turun dengan pelan. Mulutnya tertekuk ke bawah, suatu ciri khas dirinya.

Itu Choromatsu, yang tertidur dan tidak terbangun ketika Karamatsu berjalan mendekatinya. Tangan Karamatsu menepuk pelan pundak adiknya, membuat pemilik pundak itu membuka kedua matanya dan menatap Karamatsu dengan sepasang mata mengantuk. Menyadari keberadaan orang di hadapannya, Choromatsu melirik jam dinding, lalu menautkan kedua alisnya setelah tahu waktu menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh menit.

"Kenapa baru pulang?" tanya Choromatsu dengan nada kesal-tapi-khawatir.

"Aku lupa waktu," jawab Karamatsu, menarik tangan adiknya itu agar berdiri, "maaf membuatmu khawatir, brother."

Choromatsu membiarkan dirinya ditarik berdiri, maniknya masih memerhatikan kakak keduanya yang mematikan televisi dan mendorongnya keluar dari ruang utama. Mereka berdua beranjak menaiki tangga, berjalan menuju kamar di mana keempat saudara lainnya sudah mendengkur keras.

"Kupikir kau akan pulang dengan luka-luka lagi," gumam Choromatsu ketika mereka sudah berada di dalam kamar dan dirinya masuk ke dalam futon di antara Osomatsu dan Jyushimatsu.

Karamatsu tidak menjawab, hanya menatap ke arah adiknya dalam kegelapan yang sepertinya sudah kembali tertidur.

[Hal-hal seperti ini, di saat Choromatsu terlihat khawatir, terlihat peduli padanya membuat Karamatsu merasa dirinya jahat sekali. Jahat, karena bagaimana bisa ia menaruh rasa iri dan—sekali lagi, sedikit, sedikit saja—rasa benci pada seseorang yang memberinya perhatian seperti itu? Dia tahu perhatian seperti itu terlihat normal, karena bukankah sesama saudara sudah seharusnya mereka saling peduli? Tapi dalam cerita Karamatsu, seseorang yang memberinya perhatian seperti ini terasa ... spesial. Spesial karena hanya Choromatsu yang terlihat peduli.

Tunggu.

Sebenarnya dia ini ingin mendapat perhatian Osomatsu atau justru sudah nyaman dengan perhatian yang diberi Choromatsu?]

.

.

.

Asap rokok dihembuskan, membuat bau nikotin tercium tajam. Tangannya beralih mengibas udara di depan wajahnya agar asap itu tidak terlalu banyak ia hirup. Pasti nanti Todomatsu akan terbangun akibat dirinya yang berbau rokok.

"Tidak bisa tidur?" tanya si perokok, tak lain tak bukan adalah Osomatsu. Kepalanya menoleh pada Karamatsu yang kini berada di sampingnya, tangannya yang memegang sepuntung rokok ia dekatkan pada asbak, membuang abu yang berada di ujungnya.

"Ya," jawab Karamatsu singkat, sedikit berbohong—karena sebenarnya dia terbangun akan suara kakaknya membuka pintu dan teringat kebiasaannya merokok dini hari.

Hanya saat-saat seperti ini dia bisa menghabiskan waktu hanya berdua bersama sang kakak. Biasanya memang tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya seputar adik-adik dan orangtua mereka. Obrolan-obrolan ringan yang berlangsung singkat, namun cukup membuat Karamatsu sedikit senang dan gugup.

"Kemarin kau pulang tengah malam?" Osomatsu kembali bertanya setelah menghembuskan asap rokok ke sebelah kanan agar tidak kena Karamatsu yang berada di sebelah kirinya.

"Choromatsu memberitahumu?" Karamatsu menebak, hafal kebiasaan adiknya bercerita macam-macam pada Osomatsu.

Tebakannya direspon dengan anggukan, "Apa yang kau lakukan kemarin?"

Karamatsu menghela napas. Dia sudah tahu arah pembicaraan ini, apa yang akan Osomatsu katakan setelah ia memberikan alasannya, tahu bagaimana nanti dia akan kembali sakit hati—karena akhirnya ia disadarkan kembali pertanyaan itu diajukan bukan karena Osomatsu benar-benar ingin tahu alasannya.

"Aku ..." ia mencoba memikirkan alasan, "... hanya terlalu lama mengobrol dengan Chibita. Itu saja." Dia bahkan tidak sempat kepikiran untuk menambahkan kata-kata yang dianggap orang-orang menyakitkan.

Tapi sepertinya Osomatsu pun tidak akan sadar.

"Hah, kau ini," gumam si anak tertua. Pandangannya tertuju pada tangannya yang mematikan rokok pada asbak.

Oh, biar Karamatsu tebak apa yang akan dikatakan kakaknya itu selanjutnya. Dia mahir dalam hal ini.

"Jangan melakukan hal bodoh yang membuat Choromatsu khawatir."

Osomatsu kembali menatap Karamatsu, "Jangan melakukan hal bodoh yang membuat Choromatsu khawatir."

Bingo. Karamatsu rasa dia semakin mahir menebak, mungkin dia bisa memanfaatkan keahliannya ini lain kali.

"Hmph." Ia memasang senyum favoritnya, senyum aku-baik-baik-saja-walau-kata-katamu-menyakitiku. "Tentu saja, apapun akan kulakukan, my brother."

"Ya, ya, aku sudah mendengarnya ribuan kali."

Osomatsu membawa asbak berisi abu rokok bekas ia hisap, berjalan ke dapur untuk membuang isinya, tangannya yang tidak memegang asbak menepuk pundak Karamatsu sebelum ia meninggalkan adiknya itu sendiri.

Karamatsu memutuskan untuk kembali ke kamar, masuk ke dalam futon, dan berpura-pura sudah tertidur ketika Osomatsu menggeser pintu kamar.

[Karena apapun pembicaraan mereka, apapun topiknya, semua pasti setidaknya membahas satu orang itu. Namanya akan selalu diucap oleh Osomatsu, seakan Osomatsu selalu memikirkan si pemilik nama.

Choromatsu.

Nama itu selalu diucap Osomatsu, setidaknya sehari minimal ratusan kali.

Dan ya, mungkin saja Osomatsu memang selalu memikirkan si pemilik nama, Choromatsu.

Mungkin ini saatnya Karamatsu berhenti berharap untuk menjadi orang yang spesial untuk kakaknya, karena Osomatsu sudah memilih Choromatsu dari dulu, bukan dia.]