Fanfic ini terinspirasi dari lagu Katy Perry - Unconditionally

saya minta maaf jika beberapa hal di dalam fanfic ini berbeda dengan yang umumnya berkembang di dunia perceritaan.


KASTIL DI TENGAH HUTAN

Author: Prissycatice


Pairing: ZoSan – Zoro x Sanji, Other x Sanji

Disclaimer: They belong to Odacchi, not mine

Genre: Romance? Fail! And huge Drama

Rating: M /untuk percakapan dan darah dimana-mana

Warnings: Yaoi. OOC. Alur Kecepetan. Typos. Abal.

You've been warned


.

.

.

Hutan Folkery, Grandline

.

.

Gesekan lembut rumput liar yang saling beradu terdengar begitu pelan. Nyaris sama dengan sepinya lingkungan hutan dimana dia sedang berjalan saat ini. Dia tidak memperlambat langkahnya, namun juga tidak mempercepatnya.

Pria bersurai keemasan itu melangkahkan kakinya yang panjang di atas rerumputan liar yang tumbuh hampir menyentuh lututnya. Jalan setapak di sana tidak berguna. Hanya akan digunakan saat ada kereta kuda yang lewat atau beberapa orang yang mungkin tersesat ke dalam hutan ―yang sangat jarang terjadi.

Hutan Folkery tidak pernah tersentuh. Hutan pedalaman di Grandline itu memang cukup dekat dengan pusat kota Folkery, tapi berbagai rumor yang ada membuatnya terasing dari dunia, bahkan dari penduduk setempat. Setiap orang yang masuk ke bagian dalam hutan di wilayah Folkery tidak pernah kembali, begitu mereka mempercayainya.

Dan itu memang benar.

Folkery adalah wilayah yang besar, bahkan saat kau melihatnya di peta. Penduduknya memang tidak padat, tapi cukup banyak. Kehidupan disana juga menggiurkan dan sibuk. Bahkan pada malam hari masih terlihat lampu-lampu toko yang menyala.

Dan jauh di dalam hutan, terdapat sebuah kastil besar nan mewah yang menjulang tinggi. Semua orang tahu tempat itu ada di sana, karena mereka bisa melihatnya dengan sangat jelas walau berada di tengah kota. Tapi tidak pernah ada yang mempermasalahkannya, kecuali kadang ada beberapa turis yang sedang berkunjung ke Folkery dan menanyakan arti keberadaan kastil itu di sana.

Mereka tidak akan mendapatkan jawaban apapun.

Karena tidak ada seorangpun yang tahu.

Dia tidak ingin sampai ke rumahnya dengan cepat, tapi tubuhnya yang terasa lelah membuatnya tetap berjalan. Mungkin sesekali dia harus membawa kuda bersamanya. Walau pasti membuat perjalanannya sedikit lambat.

"Selamat datang tuan Sanji." Seorang pelayan menyambutnya saat ia baru menginjakkan kakinya di tangga teras, membukakan pintu untuknya dari dalam.

Pria itu ―yang memiliki nama Sanji― mendecak pelan. "Kau tidak perlu berdiri seharian di sana, Marco. Aku bisa membuka pintu rumahku sendiri." Ucapnya sambil berjalan masuk.

Marco hanya diam, sudah ratusan kali dia mendengar tuannya mengatakan hal itu. "Mau kusiapkan air hangat untuk berendam?" tanyanya alih-alih membalas perkataan sang tuan. Dia berniat untuk mengambil jubah yang terpasang di bahu tuannya, namun diurungkannya saat melihat Sanji mengibaskan tangannya.

"Dimana mereka?" Sanji memberikan sebuah bungkusan kepada Marco, lalu jemarinya melepaskan kancing kemeja yang tersimpul di kedua pergelangan tangannya. Itu terasa cukup melegakan.

"Nona Reiju sedang keluar, ingin memeriksa beberapa toko di selatan kota. Tuan Ichiji seharian ini belum keluar dari kamarnya. Tuan Niji sedang― saya rasa beliau sedang menikmati makan siangnya. Dan tuan Yonji, terakhir saya melihat beliau ada di kamarnya." Jawab Marco.

Sanji berjalan menaiki anak tangga, diikuti oleh Marco yang membuntuti di belakangnya. Saat sampai di kamarnya, dia langsung menghempaskan tubuh lelahnya ke atas ranjangnya yang sangat besar dan membenamkan wajahnya ke salah satu bantal sementara Marco berlutut di sisi ranjang untuk melepaskan kedua sepatunya.

"Marco,"

Marco mendongak setelah meletakkan sepatu tuannya dengan rapi di sudut terjauh ranjang.

Sanji memutar tubuhnya menghadap ke samping. "Di dalam bungkusan itu ada roti, ambillah," Katanya. "Sisakan sedikit untuk Reiju, biar kuberikan nanti."

Marco sudah membuka mulutnya untuk mengeluarkan kata-kata penolakan, tapi dia menutupnya lagi. Bungkusan itu dibukanya, lalu diambilnya sepotong roti, yang ukurannya kecil. "Ambil satu lagi untuk Cosette." dan Marco mengambil satu lagi, sesuai perintah.

"Terima kasih tuan." Pelayan itu menunduk rendah. Tuannya yang satu ini memang berbeda dengan anggota keluarganya yang lain. Seluruh anggota keluarga Vinsmoke merupakan campuran dari kata angkuh, kejam dan berbahaya. Bahkan Reiju yang seorang wanita pun merupakan orang yang cukup kejam. Tapi Sanji Vinsmoke seperti sebuah pengecualian. Dia berbeda. Dan Marco sangat menyayangi tuannya yang satu ini.

Pelayan itu berdiri. Dia memperhatikan tuannya yang setengah tertidur dari sisi ranjang. Marco tidak ingin mengganggunya, tapi dia harus menyampaikan pesan dari sang tuan besar yang dititipkan kepadanya. "Saya akan membangunkan tuan satu jam lagi. Setelah itu anda harus mandi, karena tuan Ichiji berpesan kepada saya―" Dan kelopak mata Sanji terbuka saat mendengar nama kakak lelaki tertuanya disebut. "Saat tuan Sanji pulang nanti, tuan Ichiji ingin meminta jatahnya." Lanjut Marco, membuat Sanji menggeram penuh kekesalan.

Sial! Sekarang Sanji merasa benar-benar ingin merobek sesuatu. "Tutup kelambu ranjangku! Dan jangan ada yang masuk ke kamarku sebelum satu jam yang kau katakan tadi itu!" bentaknya.

Marco mendesah pelan. Ini bukan kemauannya. Dan dia yakin sang tuan juga pasti tahu semua itu. Tapi Marco juga tahu bahwa tuannya sedang lelah, dan perintah dari tuan Ichiji pasti membuatnya kesal, itu bukan salahnya, Marco sangat memahaminya. "Maafkan saya," dia mulai membuka dan menarik kelambu di setiap tiang ke sudut tiang lainnya, lalu berjalan ke arah pintu sambil memeluk dua buah roti yang masih terasa hangat.

"Selamat tidur, tuan." Ucapnya sambil menutup pintu.


...:::...ZoSan...:::...


"Kau sudah pulang?" Ichiji Vinsmoke tersenyum melihat kehadiran adiknya di ambang pintu kamarnya. Seharian ini dia sangat bosan terus berbaring di atas ranjang. Bukan karena dia tidak bisa melakukan hal lain selain itu, tapi dia tidak ingin melakukan hal lain di saat cuaca sedang cerah seperti ini.

Biasanya hutan Folkery minim cahaya karena selalu ditutupi awan atau kabut, tapi ada beberapa hari dimana awan-awan itu menghilang seperti hari ini. Dan Ichiji tidak menyukai itu. Kilauan cahaya selalu membuat matanya sakit.

"Kau sudah makan, hm?" Tanyanya lagi, saat Sanji mulai berjalan mendekat. Raut wajah adiknya yang terlihat kaku memberitahukannya bahwa Sanji tidak ingin berbasa-basi, dan dia memang tidak pernah mau. Tapi seorang Ichiji Vinsmoke tidak pernah terganggu dengan hal itu. Dia tidak peduli. Dia juga tidak menunggu jawaban. "Sini, duduk di pangkuanku." Tambahnya, menepuk pelan pahanya.

Sanji benci ini. Dia tidak menyukai semua anggota keluarganya. Mungkin dia menyukai Reiju, kalau dibandingkan dengan ketiga saudara laki-lakinya. Sikap mereka, apa yang setiap harinya mereka lakukan, mereka cuma sekumpulan orang tolol yang tidak berguna. Tapi orang-orang tolol itu tetaplah keluarganya, karena di dalam tubuhnya mengalir aliran darah yang sama. Seandainya dia bisa merubah fakta itu.

Dengan wajah angkuh yang sedikit terangkat Sanji merangkak naik dan duduk di atas pangkuan Ichiji. "Apa yang kau lakukan seharian ini?"

Untuk sedetik, Ichiji melebarkan kelopak matanya. Sanji sangat jarang bicara padanya kecuali untuk memaki atau mencela, "Oh, kau ingin tahu?" Ichiji balik bertanya.

Sanji menyamankan posisi duduknya di atas pangkuan sang kakak, sementara tangan Ichiji menahan pinggangnya untuk menyeimbangkan. "Aku yakin aku tidak mau tahu." Jawabnya. "Kau pasti hanya tidur seharian."

Senyum Ichiji mengembang. Dia tahu Sanji berbeda dengan adiknya yang lain, selalu tidak sependapat dan pemberontak yang merepotkan. Tapi kalau bicara biasa seperti ini ternyata cukup manis juga, walau perkataannya masih sinis. "Cuacanya sedang cerah, bukan salahku." Balas Ichiji. "Kau sendiri, mendatangi manusia rendah itu lagi? Tapi kau sudah mandi kan? Hm?" pucuk hidung Ichiji menyentuh leher Sanji dan menghirupnya. Ah, betapa dia sangat menyukai harum manis yang memabukkan ini.

Sanji menggeretakkan giginya. Dia tahu dia tidak akan bisa merubah pendapat para saudaranya, apapun yang dia lakukan. Mereka terlalu congkak dan tolol. "Dia bukan―"

"Kau tahu aku tidak akan meminta maaf." Sela Ichiji, kali ini menjilati sisi leher Sanji. Jemarinya naik perlahan untuk membuka satu-persatu kancing kemeja adiknya.

Ichiji tahu bahwa Sanji tidak akan melawannya, Sanji tahu itu. Dan itu membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa selain menambah deretan pada tumpukan rasa bencinya. Ichiji adalah kepala keluarga Vinsmoke setelah kematian ayahnya. Seharusnya kakak perempuannya, Reiju, kakak tertua yang mendapatkan predikat itu. Tapi seperti yang diketahui semua orang, takhta itu akan diturunkan kepada putra tertua, bukan putri tertua, kecuali jika tidak adanya putra mahkota.

Kini bahu putihnya yang nampak pucat sudah terlihat setelah Ichiji menanggalkan kemejanya. Ini salah satu kewajiban Sanji, yang ditetapkan secara sepihak oleh Ichiji, bahwa Sanji akan dengan sukarela memberikannya saat sang putra tertua memintanya.

Sanji akan memberikan darahnya kepada sang raja dari para klan vampire tersebut.

Bagaikan sebongkah berlian yang berada di dalam peti kecil dengan rantai dan kunci berlapis, fakta itu tersimpan rapat dari jangkauan tangan manusia. Fakta bahwa mereka tinggal di dunia yang sama, berjalan di atas daratan yang sama, bahkan menghirup udara yang sama.

Dengan fisik yang hampir serupa, mereka yang memiliki gigi taring dengan fungsi berbeda itu bisa dengan bebas berjalan di antara padatnya kerumunan. Dan tidak akan ada seorangpun yang tahu. Bahkan ketika para vampire itu melihat mereka dengan cara yang salah, yang akan berujung kepada hilangnya satu atau dua orang penduduk yang akan kembali keesokan harinya dengan rentang memori sepanjang hilangnya mereka.

Tapi sebisa mungkin mereka ―terutama para vampire kalangan atas (bangsawan), tidak ingin berhubungan langsung dengan manusia. Manusia itu rendah, mereka hanya makhluk lemah yang seharusnya berterima kasih karena telah dibiarkan hidup lebih lama. Mereka itu ternak, santapan, sapi perah, dan budak. Jadi saat vampire bangsawan membutuhkan darah para budak itu, mereka akan menyuruh para pesuruh mereka ―vampire kalangan bawah, mereka yang derajatnya lebih rendah― untuk menyiapkannya.

Keluarga Vinsmoke adalah satu-satunya keluarga dengan darah vampire murni. Mereka begitu dihormati dan dikagumi di antara para vampire lainnya. Bahkan keluarga vampire bangsawan lain juga menghormati mereka. Dan keluarga Vinsmoke telah menjadi raja klan vampire secara turun-temurun sejak berjuta abad yang lalu. Tidak peduli walau usia sang raja jauh lebih muda, keturunannya akan terus mendapatkan takhta.

Mereka semua rela mati untuk setiap anggota keluarga vampire berdarah murni.

Karena para vampire berdarah murni itu kuat, sangat kuat, membuat mereka menjadi bertambah sombong. Sanji membenci fakta bahwa dia harus terlahir di keluarga kerajaan. Andai dia terlahir di keluarga biasa, atau... manusia.

"Akh..." Sanji meremas bahu Ichiji saat gigi taring itu menusuk dan merobek kulit di persimpangan leher dan bahunya, tempat kesukaan Ichiji saat mengambil darah Sanji. Aliran darah yang bergerak naik dari ujung kaki ke daerah lehernya terasa begitu kuat.

Dan Sanji bisa mendengar tegukan demi tegukan, dia bahkan nyaris bisa melihat Ichiji bernafas dengan senang.

Tubuhnya mulai terasa panas. Tanpa disadarinya dia mengangkat tubuhnya naik, berusaha menjauh, tapi dengan cepat Ichiji merangkul tubuhnya dan membawanya turun kembali ke pangkuan sang kakak. "Ah... ahn... Ichi―ji... hahh..." Sanji naik lagi, dan Ichiji kembali menarik Sanji hingga bokong adiknya yang indah itu menyentuh pahanya, berulangkali, sampai pada saat Sanji mulai merasa bahwa ia kehilangan tenaga dan melingkarkan tangannya pada leher Ichiji.

Deruan nafasnya semakin cepat. Sanji yakin kepalanya akan terkulai begitu saja kalau bukan karena Ichiji yang menahannya untuk tetap di tempat. Dan seluruh isi ruangan yang serasa berputar sama sekali tidak membantu. Dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa saat saliva mulai mengalir tanpa permisi dari sudut bibirnya. Kakaknya sudah meminum terlalu banyak.

Ichiji mengangkat naik kepalanya, melepaskan tautan mereka saat pintu kamarnya berderit terbuka. Matanya berkilat marah, siapapun tahu bahwa tidak ada seorangpun yang boleh merusak waktu berharganya bersama Sanji. Marco seharusnya sudah memberitahu semua pelayan yang ada di rumah.

"Jangan melihatku seperti itu." Tatapan matanya dibalas dengan kilatan mata yang sama marahnya. Dan Ichiji merendahkan pandangannya, kalah. Reiju Vinsmoke berdiri di ambang pintu yang terbuka. Wanita cantik itu berjalan mendekat dengan angkuh. Ujung hak sepatunya yang tinggi menyeret lembutnya karpet bulu merah yang menutupi permukaan lantai kamar Ichiji sampai membentuk sebuah garis vertikal panjang.

Ichiji menghela nafasnya dan menyeka darah yang tersisa di tepian bibirnya. Padahal dia belum puas. Seandainya Reiju pulang satu jam lebih lama. Sebentar lagi. Ichiji menarik kepala Sanji lalu menjilat jejak darah yang masih mengalir dari kedua lubang yang dibuat gigi taringnya.

Dan tangan Reiju terulur cepat untuk mengangkat adiknya yang terkulai lemas di pelukan Ichiji. "Sudah cukup." Desisnya, membawa Sanji ke dalam dekapannya.

"Aku hanya ingin menutupnya." Balas Ichiji dengan nada santai, tidak ingin membuat kakak perempuannya marah. Karena dia sangat tahu betapa merepotkannya kalau dia sampai membuat seorang Reiju Vinsmoke marah.

Reiju menatap adik pertamanya dalam kebisuan yang cukup lama, memperingatinya untuk tetap diam. Dan perhatiannya teralihkan saat Sanji tersedak pelan. Ck, gadis cantik itu menjulurkan lidahnya untuk menyapu permukaan kulit Sanji, tepat dimana kedua gigi taring Ichiji membentuk dua buah lubang di sana, menutupnya. Dia juga menyeka saliva yang masih mengalir dari sudut bibir Sanji.

"Aku tahu darahnya memang terasa sangat enak." Kata Reiju. "Aku juga tidak melarangmu untuk meminumnya." Tambahnya, sedikit membungkuk untuk mengambil kemeja putih Sanji di dekat kaki Ichiji. "Tapi kau tidak perlu mengambilnya sampai dia selemas ini."

Wanita kebanggaan keluarga Vinsmoke itu melemparkan kemeja sutra Sanji tepat ke wajah Ichiji. "Pakaikan lagi, lalu bawa dia ke kamarnya. Aku menunggu di sana." Reiju merebahkan Sanji di samping Ichiji, lalu membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan ke arah pintu. "Aku tahu berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk melakukan hal itu." Katanya tepat sebelum ia menghilang di balik pintu, menyisakan suara ketukan sepatu hak tingginya yang beradu dengan lantai di sepanjang lorong yang semakin lama semakin terdengar jauh.

Dunianya masih terasa berputar. Sanji memejamkan matanya, berharap bahwa saat membukanya nanti, lemari dan kursi-kursi di kamar Ichiji tidak lagi terlihat seperti sedang menari-nari mengejeknya. Dan dia bisa merasakan tubuhnya sedikit terangkat saat Ichiji mulai memakaikan bajunya.

Satu menit yang panjang berlalu. Sanji masih bisa merasakan kain sutra itu bergerak untuk menyelimuti tubuhnya. Dan Kelopak matanya refleks terbuka saat hidung Ichiji terasa menyentuh kulit lehernya dalam gerakan yang terburu-buru.

Sanji menggeram rendah dan berusaha menaikkan tangannya untuk menggapai kepala sang kakak yang berakhir sia-sia. "Ichiji..." desisnya. Tapi Ichiji tidak berhenti. Laki-laki tertua di keluarga Vinsmoke itu justru semakin gencar menciumi dan menjilat sisi leher Sanji, meskipun tangannya bergerak cepat memuntir kancing-kancing kemeja Sanji agar terpasang rapi.

"Perempuan itu benar-benar mengganggu" suara yang keluar dari bibir Ichiji lebih terdengar seperti sebuah desahan, yang langsung mengirimkan hawa panas ke tubuh Sanji.

"Kamarku, Ichiji," kata Sanji terbata-bata, dan mendesak. Lagipula kenapa Ichiji harus kembali menghirup aroma tubuhnya, dasar kakak tolol.

Dengan masam Ichiji menjauhkan tubuhnya. Peringatan keras dari Reiju kembali berputar di kepalanya. Seandainya kemarahan Reiju bukan hal yang merepotkan, dia tidak akan merasa terganggu, tapi kakak perempuannya itu merupakan salah satu yang terkejam selain dirinya. Meskipun tidak fatal, pasti akan berlangsung untuk beberapa hari ke depan.

Setelah kancing-kancing itu selesai terpasang, Ichiji meletakkan tangannya di bawah punggung dan lutut Sanji untuk mengangkatnya. Dan dia baru tahu bahwa Sanji benar-benar ringan. Adiknya yang satu ini memang kurus, tapi dia tidak pernah menyangka bahwa dia seringan ini.

Setelah meletakkan Sanji di atas ranjangnya sendiri, Ichiji berlalu pergi, tidak ingin menambah kerumitan dengan kakak perempuannya.

Reiju yang semula duduk di atas kursi mewah dengan bantalan empuk yang mahal dan berumur sangat tua itu berjalan menghampiri Sanji dan duduk di tepian tempat tidurnya. Kulit adiknya begitu pucat, dan terlihat lebih pucat kalau itu mungkin. Rasanya dia benar-benar ingin menendang Ichiji.

Sanji tergelak pelan, menyadari kakak perempuannya mengkhawatirkan keadaannya. "Aku punya roti untukmu, buatan Zeff," bisik Sanji. "Ada di kantung di atas meja." Tambahnya.

Reiju menghela nafas yang tidak sadar sedari tadi ditahannya. "Kau kan tidak perlu menemuinya setiap hari," kata Reiju. "Tubuhmu itu lebih lemah dari kami, Sanji. Dan aku yakin kau juga tidak membawa kuda dalam perjalananmu kali ini." Nada itu terdengar marah dan khawatir.

"Ck, aku baik-baik saja Reiju. Kudengar kau pergi ke selatan kota hari ini?" Sanji mencoba menggerakkan tubuhnya naik, tapi persendiannya masih terasa sakit, jadi dia merebahkannya lagi. Mungkin membawa kuda dalam perjalanan berikutnya bukan ide yang buruk.

"Ya, aku membeli beberapa baju baru untuk persiapan musim dingin," Reiju mengambil bungkusan di atas meja dan mengeluarkan satu roti. "Yah, bukan berarti kita akan terpengaruh dengan cuacanya sih. Cuma ingin menyesuaikan saja." Roti itu dibelahnya menjadi dua, lalu dimakannya segigit. "Aku juga membelikan beberapa pasang untukmu. Nanti cobalah, kalau tidak suka biar kuganti."

Diambilnya sebilah pisau yang selalu ada di atas meja di samping keranjang buah. Dan dia menggoreskannya dengan cepat ke telapak tangannya, menyisakan sebuah luka panjang yang langsung mengalirkan darah. "Minumlah," ucapnya, menyodorkan telapak tangannya ke bibir Sanji.

Wajah Sanji berpaling. "Aku tidak memerlukannya."

Telapak tangan Reiju yang lain menarik wajah adiknya untuk kembali menatapnya. "Jangan jadi anak yang menyebalkan. Sedikit saja." Wanita cantik itu mengepalkan tangannya, membuat darahnya mengalir di satu titik. Dan Sanji membuka mulutnya, tepat saat tetesan darah itu jatuh.

Putra ketiga keluarga Vinsmoke itu mengecapnya, merasakan tubuhnya menghangat setelah darah itu mengalir memasuki tenggorokannya. "Lebih baik?" tanya Reiju, mengelap luka di telapak tangannya dengan sehelai kain yang biasa digunakan untuk menutupi kemeja agar tidak kotor saat makan, lalu membuangnya ke tempat sampah.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku sedang bersama Ichiji?" Sanji menemukan dirinya bertanya setelah dia berhasil mendudukkan diri.

"Para pelayan melarangku masuk ke kamarnya saat aku ingin memberitahukan sesuatu kepadanya," jawab Reiju, mendengus saat mengingat kembali hal itu. Larangan itu terlalu lucu sampai membuatnya kesal. "Apalagi kalau bukan sedang berduaan denganmu?"

Sanji tergelak lagi. "Kau mengucapkannya seolah-olah kami sedang berhubungan intim."

"Kalian memang sedang berhubungan intim." Timpal Reiju, memutar kedua bola matanya ke samping.

"Eugh... itu menjijikkan, Reiju," ringis Sanji, tidak bisa membayangkan akan disetubuhi oleh kakaknya sendiri. Memang saat 'meminta jatah', Ichiji sering mencium dan menjilati tubuh Sanji, tapi itu murni karena aroma manis yang menguar dari tubuhnya. Sanji jadi geli sendiri kalau memikirkannya. "Ada berita apa?" tanyanya. Mengalihkan pikirannya kepada hal lain sepertinya lebih bagus.

Reiju kembali menyamankan dirinya di salah satu kursi mewah di ruangan itu. "Akan ada pertemuan dalam waktu dekat, mereka akan datang."

Sanji terkesiap. Itu berita buruk, setidaknya untuk dirinya. "Kenapa mereka harus datang ke Folkery? Aargh!" kalau Reiju sudah bilang mereka akan datang, itu berarti semua vampire bangsawan akan hadir, dan Sanji tidak menyukai mereka. "Kenapa tidak diadakan di Montanique saja? Atau rumah paman Don?" setidaknya kalau bukan di Folkery, Sanji bisa beralasan untuk tidak hadir. Lagipula acara itu biasanya hanya berupa pesta minum atau rapat yang membosankan yang tidak berhubungan dengan dirinya.

"Justru paman Don yang mengusulkan agar diadakan di Folkery, kau tahu, sepertinya dia sangat rindu padamu," seringai hadir di wajah Reiju, membuat Sanji menggumamkan sumpah serapah yang cukup panjang. "Susah memang kalau jadi orang populer, bagaimana hubunganmu dengan dua anak keluarga Dracule?" Reiju semakin memanasi.

Kesialan di dalam takdir itu memang ada, karena Sanji merasakannya sendiri. Umumnya para vampire tidak terlalu suka meminum darah vampire lainnya. Darah mereka berbeda dengan manusia, rasanya hambar, meskipun bisa digunakan untuk memulihkan diri. Jadi hanya akan diminum ketika benar-benar terdesak.

Tapi meminum darah vampire berdarah murni itu suatu keistimewaan, itu merupakan suatu hal yang sangat mewah. Dan itu juga berlaku sebaliknya, ketika para vampire berdarah murni meminta darah mereka, itu akan menjadi suatu kebanggaan dan kebahagiaan yang luar biasa.

Terlepas dari fakta bahwa dia salah satu vampire berdarah murni, Sanji menemukan bahwa dirinya berbeda. Darah yang mengalir di dalam tubuhnya selalu menguarkan aroma manis yang sangat disukai para vampire. Sejarah mengatakan orang sepertinya akan terlahir beberapa ribu tahun sekali, dan hanya akan terlahir satu.

Hal itu terkuak ketika Sanji kecil terjatuh di tengah pesta dan menjatuhkan sebuah cangkir keramik yang langsung terbelah pecah. Saat itu dia berusaha untuk mengambil pecahannya, walau semua orang disana sudah melarangnya ―karena seorang vampire berdarah murni tidak perlu melakukan hal itu― dan berujung pada goresan di telapak tangannya.

Seluruh orang di ruangan terhenyak, bukan karena seorang vampire berdarah murni terluka, tapi saat darah itu merembes keluar dari luka di telapak tangannya, aroma manis yang memabukkan langsung menyebar dan memenuhi udara.

"Oh Reiju! Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka,"

Reiju mengikik, hal yang sangat jarang dilakukannya, "Tapi kau sudah tidur dengan keduanya kan?"

"Bukan berarti kami bersama." Sanji tidak mengerti bagaimana Reiju bisa selalu tahu. Wanita itu seperti memiliki mata di seluruh penjuru dunia kalau menyangkut dirinya.

Reiju melemparkan senyum manis dengan sedikit seringai yang terlihat jahat, "Jadi, kau suka yang mana?" tanyanya. Dan sebelum Sanji sempat menjawab, dia menambahkan, "Mereka berdua akan datang dalam acara itu lho," senyuman itu masih ada di sana, "Dua-duanya."

.

.

.


To be continued


.

.

.

A/n: ini pertama kalinya saya membuat satu chapter sepanjang ini. ff ini lahir begitu saja setelah mendengar lagu Unconditionally yang sangat indah.

dan saya sangat senang kalau kalian mau memberikan pendapat kalian pada kolom review ^^


With Love,

Cndy