Title: The Other Of Us
Characters/ Pairing: Hatake Kakashi & Haruno Sakura
Type: Multiple Chapter/ MC
Genre: Adventure/ Sci-fi/ Romance
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto, The Last Of Us © Naughty Dog
(Kami tidak mencari keuntungan dalam bentuk materi apapun dari penggunaan karakter-karakter ciptaan Om MK ini.)
Summary: Tahun 2032, 16 tahun setelah pandemik penyakit otak akibat jamur Cordiseps yang telah menghancurkan 60% populasi dunia. WHO gagal temukan vaksin. Para penyintas dari pandemik ditempatkan di Zona Karantina, terpisah dari Yang Terinfeksi.
-oo-
THE OTHER OF US
(Prologue)
.
Jantung Sakura berdetak lebih cepat sepuluh kali dari biasanya hingga rasa sakit dan sesak yang dirasakannya seperti meremukkan tulang rusuknya. Napasnya terdengar memburu, terengah-engah keluar dari bibirnya yang pucat dan kering. Kaki rampingnya sudah tak kuat lagi membawa tubuhnya untuk terus berlari. Lututnya terasa goyah seakan sendi-sendi engsel lututnya mulai terlepas satu persatu. Sepanjang jalan, tubuh mungilnya gemetar tanpa bisa dikendalikannya lagi. Air mata dan peluh bercampur menjadi satu. Kedua tangannya terkepal erat dan giginya bergemeretak menahan rasa takut dan dingin yang mencekik. Dia sudah tidak memperhatikan ke mana arah dia berlari. Keds-nya menginjak apapun yang bisa dipijaknya. Entah itu bongkahan batu, genangan air, endapan lumpur busuk, ranting ek, duri, dan potongan-potongan besi. Dia tak peduli. Hingga sepasang kaki itu pun akhirnya menyerah.
Sakura jatuh tersungkur saat tersandung gulungan kawat yang mencuat dari balik tiang beton yang sudah roboh. Telapak tangannya berdarah dan lecet tergores kerikil-kerikil kecil yang tajam. Dia sudah lelah. Dia tak ingin lagi berlari. Dia ingin berbaring di sini. Mungkin saja kematian tidaklah seburuk kedengarannya. Tapi segera saja sebuah telapak tangan yang besar dan kasar menarik lengan atasnya dengan kuat.
"Bangun. Kita harus terus berlari. Terowongannya sudah dekat. Jika masih ingin hidup, kita harus berlindung di sana."
"A—aku ingin istirahat. Sebentar saja," jawab Sakura terengah-engah sambil terhuyung bangkit.
"Aku tidak peduli bahkan jika harus menggendongmu, Sakura," tukas Kakashi kasar. Dengan kedua telapak tangannya yang besar dia mengangkat tubuh mungil Sakura dan memaksanya berdiri. Suara gemeretak kerikil jalanan yang terhempas, kilasan lampu depan yang menyapu kegelapan malam, serta derum-derum mobil yang mendekat membuat mereka harus berburu dengan waktu. Menit yang terbuang bisa membuat nyawa mereka melayang. Jika itu terjadi, semua pelarian serta perjuangan yang mereka lakukan sejauh ini akan berakhir sia-sia.
Tanpa menghapus air matanya yang mengalir deras di pipi, Sakura memaksa kakinya yang gemetar hebat untuk berdiri. Dengan bantuan tangan kekar itu, dia kembali berlari dan berlari dengan kaki nyaris diseret, hingga akhirnya berhasil mencapai pintu terowongan air yang gelap dan lembab. Langkahnya langsung terhenti, mengikuti isyarat pria di depannya, yang menunjukkan jarinya ke atas—pada jeep-jeep dan barisan pasukan tentara bersenjata yang lewat di atas terowongan. Sinar dari puluhan lampu jeep membuat mereka semakin masuk ke terowongan air. Napas mereka seakan berhenti saat jeep-jeep itu berhenti tepat di atas mereka.
Saat lampu-lampu mulai menyorot ke segala arah, Kakashi bergegas menarik tubuh Sakura dan menekannya sekuat mungkin ke dinding terowongan yang lembab, licin dan berlumut tepat di balik sebatang pipa besar yang sudah retak dan meneteskan air selokan, menebarkan bau busuk. Sedapat mungkin mereka membenamkan tubuh di sana dan berharap lumut tebal yang bergayut mampu menyamarkan bayangan keduanya. Suara napas mereka yang memburu, detak jantung yang begitu kencang menyakitkan berpadu dengan bunyi tetes-tetes air yang berkecipak saat tikus-tikus berlarian di sela-sela kaki mereka. Sakura berjengit dan nyaris memekik saat seekor tikus memutuskan untuk mencicipi rasa betisnya.
"Shhh…" desis Kakashi tajam sambil membekap bibir mungil gadis itu.
Sakura terengah. Kakashi menekan tubuhnya dengan begitu kuat hingga dia nyaris tidak bernapas. Tubuh pria di hadapannya begitu jangkung dan ramping namun menyembunyikan otot yang liat dan kekuatan mematikan. Napas Kakashi yang hangat terasa menyapu pipinya. Dia merinding untuk sebuah perasaan yang tidak bisa diterjemahkan.
Wajah Kakashi menunduk dan menekan kepala Sakura di balik rengkuhan lengan atasnya. Mereka hampir tak bisa bernapas saat cahaya-cahaya menyilaukan kembali menyorot ke segala arah mencari keberadaan mereka. Mereka baru berani menghembuskan napas saat pasukan itu akhirnya berlalu. Dengan cepat roda-roda jeep mereka bergerak menjauh menuju kegelapan malam.
Setelah dirasa aman, Kakashi bergerak perlahan melepaskan Sakura yang masih terengah-engah dengan wajah terasa panas yang tak ada hubungannya dengan kelelahan habis berlari. "Ayo. Kita harus cari tempat berlindung malam ini," ajak Kakashi datar seolah-olah kejadian baru saja adalah hal yang biasa.
Dan itu benar. Kakashi bukan baru pertama kali berada di luar sini, jauh dari Zona Karantina.
Setelah sekitar setengah jam berjalan menyusuri tembok kota yang retak-retak dan penuh coretan grafiti, mereka tiba di sebuah apartemen yang sudah porak poranda ditinggalkan penghuninya, dan memasuki kamar mana pun yang masih bisa digunakan.
Pria itu lalu beranjak dan mengunci gadis itu dari luar.
"Kau mau ke mana?"
"Tunggu di sini."
"Hei!"
Kakashi segera berlalu dan menghilang bagai bayangan suram di dalam kegelapan malam. Sakura menendang pintu dengan geram. Dia memutuskan jika Kakashi tidak kembali dalam waktu 30 menit, dia akan mendobrak pintu itu. Jika bisa tentu saja. Akhirnya dia menghempaskan bokongnya dengan kesal di atas lantai yang dingin.
Hampir 10 menit berlalu dalam kesunyian. Sakura yang duduk bersandar di dinding dengan mata terpejam, menoleh cepat dan seketika berdiri dengan pemukul baseball teracung ke arah pintu saat melihat benda itu mengayun terbuka. Dia menghembuskan napas lega saat melihat Kakashi masuk membawa beberapa makanan instan serta botol-botol air.
"Kau dapat itu dari mana?" tanya Sakura dengan mata berbinar melihat semua yang Kakashi bawa. Dia sangat lapar. Bahkan saking laparnya, dia tidak akan menolak makan daging tikus.
"Aku baru saja belanja di supermarket," jawab Kakashi asal membuat Sakura mendengus tajam. "Kita sudah aman, untuk sementara. Paling tidak untuk malam ini. Kita bisa bermalam di sini."
Sakura langsung menyambar sebotol air mineral. Air dingin langsung masuk ke kerongkongannya namun tak segera menghapus dahaganya. Seolah sudah tak minum selama berbulan-bulan, Sakura terus menenggak air di dalam botol hingga hampir habis. Dia kemudian menyeka bibirnya yang pecah-pecah dengan punggung tangannya yang kotor. Lalu diambilnya sebungkus mi instan dan segera diremukkannya sebelum ditaburi bumbu.
"Apa yang akan terjadi dengan... Hinata?" tanya Sakura yang menelan makanannya dengan susah payah.
Kakashi yang sedang menajamkan mata anak panah miliknya tidak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya mengangkat wajah sesaat dan menatap Sakura untuk kemudian kembali meneruskan pekerjaannya. Punggungnya bersandar di kaki tempat tidur. Sinar bulan separuh yang masuk samar-samar lewat kaca jendela apartemen yang sudah pecah tampak membias di rambut peraknya yang indah dan kini terjuntai menutupi sebagaian dari wajah tampannya yang keras dan beku. Lampu-lampu jalanan di distrik itu sudah mati, hanya menyisakan kegelapan.
Pikirannya jauh melayang ke satu setengah jam yang lalu, saat mereka mengendap-endap keluar dari sebuah gedung apartemen tiga lantai. Lima menit setelah meninggalkan bangunan itu, pasukan keamanan menemukan mereka. Hinata tertangkap. Kakashi sempat beradu tembak dengan pasukan-pasukan itu tapi mengingat persenjataannya yang tak sebanding, dia pun memilih lari sambil menyeret Sakura yang bersikeras tak ingin meninggalkan Hinata. Bagaimana pun, dia harus memastikan keselamatan Sakura. Dia tak boleh terluka sedikit pun. Tentang Hinata… dia tak bisa berbuat banyak.
Sakura menunggu pria itu menjawabnya. Mata hijaunya memicing di kegelapan seperti kucing, menatap lurus Kakashi. Pria itu pun menarik napas panjang. "Aku harus memastikan keselamatanmu, Sakura."
"Jadi kau memang sengaja meninggalkannya?" tanya Sakura sengit dan melupakan bungkusan roti serta mi instan yang baru dia makan separuh.
"Ya. Itulah yang kulakukan."
"Kau benar-benar… sampah!"
"Ya. Memang."
"Kau adalah bajingan egois yang pengecut, Kakashi! Pengecut!" teriak Sakura dengan marah sambil bangkit dan menghantamkan kepalan tangan mungilnya ke dinding apartemen yang keras dan dingin.
Sial! Jarinya rasanya ada yang patah!
"Benarkah?" Kakashi dengan acuh tak acuh mengangkat dagunya dan menatap Sakura dengan malas. "Aku juga berpendapat begitu."
Sakura meraung frustasi sebelum menghambur ke arah pintu. "Ba—baiklah." Sakura menggeratakkan rahangnya kuat-kuat hingga gemetar, "Kalau kau terlalu takut untuk menyelamatkan mereka, aku yang akan pergi ke sana! Kau boleh mendudukkan bokongmu dengan manis di sini dan menjaga wajah cantikmu agar tetap mulus, Mr. Hatake!"
Sakura berbalik dengan cepat, meraih El Diablo miliknya dan mengokangnya. Baru saja dia ingin memutar anak kunci, tiba-tiba saja dia jatuh terbanting di atas lantai marmer yang dingin. Sakura mengaduh saat merasakan bagian belakang kepalanya berdenyut sakit. Pria tampan berambut perak itu berdiri di atasnya, kini menatapnya dengan mata kelabu yang terlihat mengeras.
"Jangan. Sebut. Aku. Cantik. Nona. Kecil." Suara bariton itu begitu dingin dan datar membuat Sakura meneguk ludahnya dengan kering. Ada begitu banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang. Salah satunya adalah karisma. Dan itulah yang dimiliki pria ini. Pria alpha yang ditakdirkan untuk selalu menjadi pemimpin di garis depan. Dia terbiasa untuk dipatuhi dan tidak untuk dibantah.
Kakashi menatap tajam gadis di depannya sebelum mengunci tangannya di atas lantai apartemen. Dia lalu berkata dengan nada dingin, "Tugasku adalah menjagamu. Itu janjiku pada Shizune. Demi keselamatanmu, beberapa orang harus dikorbankan. Aku tidak suka kegagalan karena itu aku tidak mau mengalaminya. Kau dengar, Gadis kecil?"
Sakura membalas tatapan pria itu dengan sepasang mata hijaunya. Dia ingin berdebat. Dia yang pada awalnya mengangkat masalah ini dan tak tahu konsekuensi apa yang akan dia terima. Sakura dengan berani menengadahkan dagu dan menatap wajah dingin pria itu. Tangan kekar pria itu membuatnya tak mampu bergerak se-inci pun.
"Ingat fakta itu baik-baik di kepala cantikmu, sebelum kau menyebutku pengecut, Nona."
Kakashi memang benar. Sakura mengalihkan matanya. Dia kalah.
Pria yang dipanggil Kakashi itu lalu bangkit berlutut, mulai berdiri di atas Sakura dan berkata dengan nada datar, "Kusarankan agar kau mengurangi kecerewetanmu. Kau tidak mau kita tertangkap 'kan?"
"Kau…" Sakura ingin sekali memukul pria itu. Dia sama sekali tak punya hati. Bagaimana mungkin dia masih bisa setenang itu di saat… di saat… Sakura meremas rambut merah mudanya dengan frustasi. Dia bangkit untuk duduk dan mengangkat kepala yang masih pusing karena menghantam lantai sambil menatap Kakashi yang kini berdiri di depan jendela yang sudah pecah, menatap nanar kota yang telah lama mati di luar sana.
"Tidurlah." Kakashi membuka suara sambil masih memunggunginya. "Besok pagi kita harus meninggalkan kota terkutuk ini."
"Tapi…"
"Jangan membantah."
Kakashi sekali lagi meneguk air botol sebelum duduk di sebuah sofa tua dekat jendela. Ranselnya terdekap di dada dengan salah satu tali yang masih terkait di pundaknya. Sebuah senjata hunting rifle, dengan peluru yang bisa menjatuhkan seekor singa jantan, berdiri tegak bersandar di kaki sofa bersama crossbow. Kedua matanya terpejam meski tahu bahwa pada akhirnya hal itu sama sekali tidak berguna.
-oo-
Kakashi tersentak bangun saat mendengar deru kendaraan di luar sana. Dengan gerakan cepat dia memakai ranselnya dan melihat ke jalan raya di bawah apartemen yang mereka tempati. Kuso! Segera dia membangunkan Sakura yang masih terlelap dan gadis kecil itu menggeragap.
"Ap-Apa?"
"Kita harus segera pergi!"
Tanpa melihat ke arah jendela pun, Sakura tahu maksud Kakashi. Kesadarannya kembali seketika. Meski kerongkongannya masih terasa kering, dia segera melompat bangun dan mempersiapkan diri. Sambil berjalan keluar kamar mengekori pria itu, dia meraba El Diablo yang terikat di pinggulnya. Sakura bahkan bisa merasakan sebuah pisau yang terikat di paha kanannya, menekan kakinya saat harus berjongkok dan merayap maju sedikit demi sedikit guna menghindari agar tak terlihat orang-orang yang mengejar mereka.
Mereka mengendap-endap menyusuri koridor lengang yang menyeruakkan bau jamur tak sedap. Sesekali terdengar suara dari orang-orang yang mengejar mereka, bersiul dalam kode-kode tertentu. Di saat seperti ini, gerakan sekecil apapun, yang bisa menimbulkan suara, harus mereka hindari.
Kakashi berhenti di tengah-tengah koridor, tangan kanannya terkepal di udara memberi tanda untuk berhenti pada Sakura yang berada tak jauh di belakangnya, membuat remaja 16 tahun itu meneguk ludah. Keduanya mendengar suara batuk tertahan dari salah satu kamar. Hanya sebuah dinding rapuh yang memisahkan mereka dari asal suara itu.
Kakashi menyuruh Sakura mundur untuk masuk ke kamar yang sebelumnya mereka lewati. Dengan cepat Sakura mengikuti instruksi pria itu. Kakashi menegakkan tubuh begitu masuk di kamar, menyuruh gadis yang bersamanya untuk bersembunyi di balik tempat tidur lalu berjalan menuju pintu pemisah antar kamar yang sedikit terbuka. Seperti sekejap mata, Kakashi melayangkan anak panah yang langsung menghujam mata kiri pria di hadapannya dan menembus batok kepalanya. Pria itu ambruk seketika tanpa pernah melepaskan satu peluru. Kakashi mengambil senapan AK-47 milik pria itu dan menyampirkannya di pundaknya lalu menarik keluar anak panah miliknya dari mata pria itu, membuat Sakura mengerang saat mendapati darah muncrat bersamaan dengan sebuah bola mata tercerabut dari tempatnya.
Dengan segera mereka meninggalkan kamar dan menghabisi tiga orang lagi yang menghalangi mereka menuju tangga darurat. Kakashi terpaksa melepaskan tiga peluru melalui pistol berperedam suara. Namun saat Kakashi membuka pintu terakhir yang mengarah langsung ke atrium, dia menutup kembali pintu itu dengan sangat pelan.
"Mereka semua di sini," bisik Kakashi sambil meraba senapannya. Sekali lagi, dia terjebak dalam satu situasi yang membuatnya harus memilih.
"Lift," bisik Sakura sambil terengah ketakutan.
Kakashi menatap Sakura dengan dahi mengernyit. "Lift?"
"Iya. Lift," jawab Sakura mantap setelah menarik napas panjang untuk menenangkan diri. "Kita bisa lari lewat basement gedung ini."
"Listrik mati, Sakura. Lift-nya tidak berfungsi," kata Kakashi mengingatkan.
"Aku tahu," tukas Sakura. "Biarpun lift-nya berfungsi, kita tidak akan memakai lift dan mengumpankan bokong kita pada tentara yang siaga menunggu kita di pintu lift saat terbuka. Kita akan melarikan diri lewat tangga besi kecil yang ditanam di jalur lift itu. Kau tahu? Itu adalah satu-satunya jalan keluar kita," oceh Sakura cepat dengan antusias. Jarang-jarang dia bisa lebih pintar dibanding Kakashi.
Kakashi terus menatap gadis itu. Sakura benar. Tanpa membuang waktu, mereka kembali ke lantai empat tempat lift berada dan bergerak dengan penuh kehati-hatian agar tidak menarik para pengejar mereka ke lantai ini. Kakashi menemukan lift yang tadi mereka bicarakan. Pintunya tertutup. Kakashi membukanya dengan paksa hingga otot-otot lengannya bertonjolan. Nampak ruangan di dalam lift itu kosong dan gelap. Ada empat buah sling baja yang tergantung dari atap gedung dan tertanam kuat di atas kotak lift, namun dua di antaranya sudah putus. Hal yang menjelaskan mengapa kotak lift itu tampak tergantung miring menyedihkan di bawah mereka. Mereka bisa melihat dengan jelas tangga yang mereka bicarakan tadi. Sakura bisa melewatinya, tentu saja.
Dengan cekatan Kakashi membantu Sakura naik ke bagian atas lift itu. Terdengar bunyi berderit menandakan lift itu sudah rapuh. Dengan sangat perlahan, tubuh mungil Sakura melangkah di bagian atas lift, salah satu tangannya memegang sling sementara tangannya yang lain berusaha meraih deretan anak tangga besi di hadapannya. Lift itu semakin bergoyang dengan suara derit besi berkarat. Kakashi menatap khawatir sling yang mulai meregang.
"Ayo, Sakura. Kau bisa melakukannya." Kakashi menunggu dengan penuh kehati-hatian. Sesekali pandangannya terarah ke pintu darurat dan pintu-pintu kamar di sekeliling mereka sementara telinganya tetap dipasang untuk mendengar suara-suara mencurigakan.
"Aku mencobanya!" Sakura menggeram. Lututnya gemetar hebat. Ternyata prakteknya tidaklah semudah kedengarannya. Dia dengan jelas bisa melihat lubang gelap puluhan meter di bawahnya yang siap melumatkannya menjadi bubur jika sampai terjatuh ke bawah. Sakura mengayunkan tubuh sekali lagi, membuat lift kembali berderit-derit membuat Sakura terpekik ngeri. Dalam satu lompatan mantap dia menghantam tembok dan tangannya meraih salah satu anak tangga itu. Dengan cepat dia membawa tubuhnya sendiri untuk melekat pada anak tangga, terengah-engah. Dengan wajah pucat dan penuh peluh, dia menatap Kakashi yang berdiri di luar lift.
Kakashi perlahan melangkah masuk ke dalam lift namun sling di atasnya langsung meregang mengingat beban yang disangga benda itu. Kotak lift itu akhirnya terjatuh, menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga saat berdebam ringsek menghantam lantai basement, meninggalkan tubuh Kakashi yang berayun memegang sling. Dari arah tangga darurat terdengar siulan-siulan dari para pengejar mereka.
"Temukan mereka!"
"Mereka ada di dalam lift!"
"Brengsek," maki Kakashi dengan suara tertahan. Dengan gerakan cepat dia mengangkat tubuhnya meraih sisa sling yang terputus, berayun beberapa kali sebelum telapak tangannya yang kasar menyambar besi anak tangga dan bertengger dengan nyaman seolah melompati lubang lift menganga sedalam puluhan meter adalah hal biasa. Sakura menggeram. Mengapa Kakashi bisa tampak begitu lentur?
Kakashi menunduk untuk melihat Sakura di bawahnya. "Kau baik-baik saja?"
Sakura mengangguk tanpa suara. Bagaimana pun, dia masih terkejut. Jika dia terlambat sedikit saja, tubuhnya pasti sudah remuk.
Mereka menuruni satu persatu bilah anak tangga menuju basement. Lift di bawah mereka sudah ringsek di satu sisi. Sakura masuk ke lift melalui lubang besar yang terbuka di langit-langitnya dan dia menjadi yang pertama tiba di dasar lantai dengan mencari-cari pijakan dan berusaha untuk tidak melukai dirinya sendiri.
"Kau jangan keluar dulu." Kakashi mendaratkan kakinya ke lantai. Dinding-dinding lift di sekelilingnya terasa lembab dan dingin. Dia bergumam pelan, "Suara tadi pasti membuat mereka berkumpul."
Kakashi menajamkan pendengarannya. Dia mengintip, mengawasi basement sejauh matanya bisa memandang. Meski di luar matahari bersinar terang, tidak dengan tempat mereka sekarang. Lantai dasar gedung itu gelap, lembab dan aroma busuk menguar di sekeliling mereka. Tetesan-tetesan air menggema dengan jelas dari pipa-pipa bocor. Beberapa kendaraan yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya nampak berserakan seperti mainan. Semen-semen yang ambruk serta cat-cat yang sudah terkelupas di sana-sini. Bagi Kakashi, itu bukanlah apa-apa. Kakashi menelengkan kepalanya saat mendengar suara langkah terseok-seok dan geraman tak jauh dari mereka.
"Mereka…" gumam Sakura dengan suara kering.
Runners.
Kakashi meringis tertahan sembari meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, isyarat agar gadis muda itu menutup mulutnya, sementara mata abu-abunya menatap keluar. Runners bertebaran di hadapan mereka. Sebagian berjalan-jalan mencari mangsa dan yang lain hanya menggeram di tempat mereka berdiri.
Dengan seluruh syarafnya yang waspada dalam level tertinggi, Kakashi melangkah keluar, menjejakkan kakinya dengan sangat pelan. Boot-nya menginjak genangan air, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun meski itu hanya sebuah cipratan kecil. Matanya memicing di kegelapan, mengandalkan cahaya yang menembus sela-sela dinding beton.
Tanpa menunggu instruksi dari pria itu, Sakura berlari keluar menuju mobil terbalik tak jauh dari mereka dan bersembunyi di sana. Sepatu karetnya meredam suara kakinya. Detak jantungnya meningkat berkali lipat, membuat Sakura berharap para Runners tidak mendengarnya. Jika itu terjadi…
Kakashi mengumpat dalam hati melihat Sakura yang bertindak ceroboh. Dia menatap tajam gadis muda itu yang kini berbicara tanpa suara padanya. Aku aman. Kakashi mendesah pelan—dan agak kesal melihat Sakura tidak menunggu instruksinya—dan sekali lagi matanya memicing mengawasi, tangan kanannya menggenggam erat sebuah shotgun. Dia merunduk untuk meraih sebuah batu seukuran kepalan tangan lalu melemparkannya sekuat tenaga sejauh mungkin dari pintu keluar.
Batu itu mengenai dinding dan mendarat di lantai dengan suara yang menggema, membuat jantung Kakashi seolah berhenti berdetak kala makhluk-makhluk dengan wajah rusak karena ditumbuhi jamur, berlarian ke arah sumber suara tadi. Makhluk-makhluk itu bergerak dengan ganjil, menggeram dan mendesis, menimbulkan bunyi seperti orang tercekik.
Kakashi menggunakan kesempatan itu untuk mengendap menuju pintu keluar dan Sakura pun bergabung dengannya. Samar-samar didengarnya percakapan dari lantai atas.
"Mereka mati?"
"Aku tidak tahu. Jika tidak tertimpa lift, mereka mungkin dimakan makhluk-makhluk menjijikkan itu."
"Kita harus turun memeriksanya."
"Yang benar saja!"
"Tapi Komandan menyuruh kita…"
"Aku tidak ingin menyumbangkan tubuhku untuk didiami jamur-jamur brengsek itu! Kau dengar itu? Jumlah mereka pasti puluhan di bawah sana!"
Kakashi menoleh ke belakang dan melihat bagaimana makhluk-makhluk itu berkumpul di dasar lift menuju arah suara dari lantai atas. Tiba-tiba saja dari sisi kirinya, dia disergap oleh salah satu makhluk itu.
Sial! Stalkers!
Wajah makhluk di atasnya mulai ditumbuhi jamur. Bagian hidungnya sudah rusak dan menutupi salah satu bola matanya. Kakashi lupa, bahwa di antara para Runners, Stalkers bersembunyi dan bisa menyergap kapan saja. Dia pun berjuang di bawah tekanan tubuh makhluk itu yang mengeluarkan suara mendengus ganjil dan berusaha menggigitnya. Dia harus bertindak cepat, jika tidak para makhluk yang lain akan berlari dengan beringas ke arah mereka.
Sakura yang seolah bisa membaca pikiran pria itu, segera mendekat dan menarik pisau dari sarungnya, dengan cepat membenamkannya di kepala makhluk itu yang langsung terkulai lemah. Suara dengusannya pun perlahan berhenti. Kakashi mendorong makhluk itu ke samping, mengusap bagian wajahnya yang terkena tetesan darah dengan punggung tangan. Dia mengangguk pelan pada Sakura.
Bersamaan dengan itu, para makhluk di belakang mereka berkumpul, dan mulai mengejar mereka dengan beringas.
"Sial, Kakashi! Mereka pasti mendengar Stalker tadi!" seru Sakura meraih pisaunya dan langsung berlari kencang di antara mobil yang bertebaran tak teratur.
"Teruslah berlari, Sakura. Jangan berhenti sampai kau di luar!" teriak Kakashi.
Mengendap-endap tak ada gunanya lagi dalam situasi seperti ini. Yang kau butuhkan adalah kecepatan berlari dan amunisi yang cukup. Sakura kini harus melompati sebuah mobil, naik ke atapnya. Kaki mungilnya bergerak lincah menuju pintu keluar. Dia tak menoleh sedikit pun pada Kakashi yang berlari di belakangnya. Telinganya menangkap letusan pistol 9mm. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali.
Sakura mencapai pintu keluar dan menghirup udara segar, membiarkan sinar matahari menyentuh kulitnya yang pucat. Dia merasa lega namun di saat yang bersamaan dia merasa takut. Letusan itu telah berhenti. Jantungnya berdetak cepat saat menatap pintu keluar, namun pria itu tak juga menunjukkan batang hidungnya. Beberapa saat dia menunggu, napasnya beradu dengan waktu.
Kakinya seolah tak lagi berada di tanah saat melihat pria itu muncul dengan agak sempoyongan dan berlumuran darah. Rasa lega seketika memenuhi dirinya.
Terdengar umpatan-umpatan tak jelas keluar dari bibir Kakashi sembari menyarungkan pistol miliknya di pinggulnya. Pria itu menengadahkan wajah dan memicing di bawah sinar matahari. Sakura berdiri di sana. Mata abu-abunya menangkap tubuh gadis muda itu yang bergetar. Kakashi mendengus pelan.
"Aku harus sembunyi di bawah mobil hingga mereka tenang," ujarnya pelan sambil mendekati gadis 16 tahun itu. "Kau baik-baik saja?"
Sakura mengangguk pelan. Dia menoleh ke belakang. Di dalam sana, sesaat dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia meninggalkan Kakashi berjuang sendirian di dalam sana. Meskipun selamat tanpa pria itu, dia juga tak tahu harus ke mana atau menghubungi siapa. Dia tak pernah keluar dari Zona Karantina sejauh ini selama 16 tahun. Kalau pun dia keluar, dia hanya menjelajahi tempat-tempat dalam radius 500 meter di bawah tanah.
Sakura teringat kejadian semalam, karena sebuah emosi membuatnya tak bisa berpikir jernih. Dia lahir dan besar di dalam tembok setinggi 50 meter, tak tahu dunia luar seperti apa dan bagaimana. Mungkin saja dia bisa mati dalam waktu 10 menit tanpa Kakashi. Tiba-tiba saja kerongkongannya terasa kering dan dia pun menengadah menatap pria yang berdiri di sebelahnya.
"Kakashi, aku…"
"Aku haus. Kau punya air? Botol airku terjatuh di dalam sana. Kuharap makhluk-makhluk itu meminumnya supaya jamur-jamur mereka makin subur."
Kakashi langsung meneguk isi botol air milik Sakura yang disodorkan padanya. Sakura menatapnya khawatir dan berdoa dalam hati agar pria itu tidak menghabiskannya. Kakashi mengembalikan benda itu pada Sakura. Sakura menatap botol di tangannya yang isinya tinggal setengah sebelum mendesah dan menyelipkannya kembali di kantong samping ranselnya.
"Kita di mana sekarang?" tanya Sakura yang berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Kakashi tapi sudah jelas dia tidak akan bisa melakukannya. Sakura akhirnya berlari-lari kecil di samping pria jangkung itu. Anggap saja sebagai olahraga ringan.
"Kurang lebih dua setengah km dari Zona Karantina."
"Apa kita sudah aman dari mereka?"
"Mereka siapa? Yang Terinfeksi atau yang lain?"
"Entahlah." Sakura menjawab pelan. "Apapun itu."
Kakashi mengangkat bahu. Prajurit militer yang mengejar mereka sejak semalam tentu saja tak akan melepaskan mereka begitu saja dan tentu saja bukan satu-satunya ancaman di luar Zona Karantina.
"Aman bukan kata yang tepat untuk kita, Nona Muda. Daripada itu, aku lebih mengkhawatirkan Hunters di luar sini dibanding makhluk-makhluk itu."
Sakura menarik napas panjang. Salah satu petugas keamanan di dalam Zona Karantina pernah bercerita padanya jika manusia-manusia yang hidup di luar Dinding masih lebih kejam dibanding Yang Terinfeksi. Dia pun bergidik. Orang-orang akan menghalalkan segala cara untuk tetap survive di tengah situasi apokalips seperti ini. Keluar dari Zona Karantina bagai dua sisi mata pedang. Pertaruhan hidup dan mati.
Kakashi kini melebarkan peta di atas kap sebuah Land Rover berkarat yang tentu saja sudah ditinggalkan pemiliknya selama bertahun-tahun. Sementara Sakura duduk di kursi depan sembari memegang kemudi.
"Sekarang kita ke mana?"
"Menemui seorang teman."
"Jalan kaki?"
"Aku lebih suka naik mobil tapi mengingat kita tidak menemukan kendaraan yang bisa berfungsi saat ini, yup, kita jalan kaki." Kakashi melipat peta lalu menyimpannya di saku kemeja hijau tuanya. "Kita pergi."
Sakura mendengus sambil turun dari mobil rongsokan itu dan mengikuti Kakashi.
-oo-
TBC
.
Gin:That's it! Fic yang diadaptasi dari game fav saya, The Last Of Us. Ada di ps3 dan juga ps4. Ada yang pernah memainkannya?
Sekali lagi, tinggalkan jejak ripyu. Kritik dan saran sangat dibutuhkan *bow*
